Anda di halaman 1dari 9

HUBUNGAN KESENJANGAN SOSIAL EKONOMI DENGAN

KETIDAKRUKUNAN WARGA DI DESA CIKETING


RT 03/RW 08 KECAMATAN MUSTIKA JAYA
diajukan untuk memenuhi tugas individu pada mata kuliah Pendidikan Sosial
Budaya

Semester Genap T.A. 2020/2021

Dosen pengampu, M. Januar Ibnu Adham, S. Pd., M. Pd.

Disusun oleh:

Nining Nursakinah

NPM 1810631080125

Kelas 5F

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG

2020
HUBUNGAN KESENJANGAN SOSIAL EKONOMI DENGAN
KETIDAKRUKUNAN ANTARWARGA DI DESA CIKETING
RT 03/RW 08 KELURAHAN MUSTIKA JAYA
Nining Nursakinah

Universitas Singaperbangsa Karawang

niningsakinah306@gmail.com

ABSTRAK

Kelas ekonomi yang dimiliki masyarakat menentukan kemampuan dirinya dalam


berinteraksi sosial antartetangga maupun antarwarga di hunian yang ditempatinya.
Semakin tinggi kelas ekonomi masyarakat akan berakibat individualitas dalam hidup
bertetangga. Kebutuhan hidup semakin banyak sesudah berkeluarga, sehingga pemasukan
yang dibutuhkan juga ikut meningkat. Pilihan untuk menghidupi keluarga menjadi suatu
kewajaran bila seseorang berlomba-lomba menaiki tangga kelas ekonominya sampai pada
kedudukan yang tertinggi. Kehidupan perekonomian masyarakat Desa Ciketing RT 03/
RW 08 memiliki ragam kelas ekonomi. Kelas ekonomi paling bawah hingga tertinggi
banyak ditemukan di Desa Ciketing RT 03/RW 08. Berdasarkan pengamatan, keadaan
kelas ekonomi masyarakat ditentukan dari pendidikan, mata pencaharian, dan kekayaan
yang dimiliki. Terdapat beberapa warga yang sibuk mengadu nasib untuk berkarier di
luar rumah menyebabkan rendahnya kualitas dirinya untuk berinteraksi dengan tetangga
di sekitar rumahnya. Tujuan penelitian ini ialah mencari tahu sebab-akibat dari hadirnya
kesenjangan sosial ekonomi di sebuah lingkungan desa dengan gaya hidup warga
perkotaan. Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai dokumentasi dan bahan renungan bagi
peneliti dan pembaca agar tetap menjunjung tinggi kesejahteraan dalam hidup
bermasyarakat. Penelitian ini bersifat kualitatif dan yang diuji bukanlah teori, namun data
yang didapatkan setelah mengkaji.

Kata Kunci: Interaksi Sosial, Kelas Ekonomi, Mata Pencaharian, Kesenjangan, Gaya
Hidup, Kesejahteraan

ABSTRACT

The economic class owned by the community determines their ability to interact socially
between neighbors and among residents in the dwelling they occupy. The higher the
economic class of society will result in individuality in neighboring life. The necessities
of life are increasing after having a family, so that the required income also increases.
The choice to support a family becomes natural if a person is competing to climb the
ladder of his economic class to the highest position. The economic life of the people of
Ciketing Village RT 03/RW 08 has a variety of economic classes. The lowest to the
highest economic class is found in Ciketing Village RT 03/RW 08. Based on
observations, the state of the economic class of the community is determined by their
education, livelihoods and wealth. There are several residents who are busy trying their
luck to have a career outside the home which causes them to have low quality in
interacting with their neighbors. The purpose of this research is to find out the causes and
effects of the presence of socio-economic disparities in a village environment with the
lifestyle of urban residents. The results of this study are useful as documentation and
material for reflection for researchers and readers in order to uphold welfare in social life.
This research is qualitative in nature and what is being tested is not a theory, but the data
obtained after studying it.

Keyword: Social Interaction, Economy Class, Livelihoods, Inequality, Lifestyle, Welfare

PENDAHULUAN

Ketidakmampuan kelompok masyarakat dalam meraih pendapatan tertinggi dalam


suatu lingkungan menghadirkan kesenjangan ekonomi yang berdampak pada penurunan
kesejahteraan masyarakat. Timpangnya distribusi pendapatan melahirkan permasalahan
yang serius bagi negara maupun warga yang didalamnya. Faktor-faktor yang mendukung
kesenjangan ekonomi mencerminkan status sosial pada kelompok masyarakat yang ada di
lingkungan sekitar terkhusus masyarakat pedesaan yang hidup dalam hiruk pikuk
perkotaan.

Kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah rentan diperlakukan tidak adil


oleh khalayak umum. Hal tersebut dikarenakan penampilan dan pemikiran yang
dimilikinya tergolong tak mampu menyaingi kemewahan dan kekritisan pada kelompok
masyarakat berpendapatan tinggi. Pembagian kelas ekonomi di Indonesia mempunyai
tiga tingkatan. Ketiga tingkatan tersebut diantaranya: (a) tingkat ekonomi kelas bawah;
(b) tingkat ekonomi kelas menengah; (c) tingkat ekonomi kelas atas.
Pertama, pada tingkatan ekonomi kelas bawah merupakan kelompok masyarakat
yang memiliki jumlah individu yang cukup besar. Kelas ekonomi bawah ini mencapai
angka 95 %. Peningkatan tersebut timbul dari rendahnya tingkat kekayaan, ditambah pula
dengan penghasilan di bawah upah minimum. Rendahnya penghasilan dan kekayaan
membuat kelompok masyarakat ekonomi kelas bawah ini memiliki pengeluaran harian
yang tidak begitu besar dan gaya hidup yang jauh dari kata glamor.

Untuk mengatasi permasalahan masyarakat ekonomi kelas bawah, pemerintah


Indonesia sudah berupaya menyalurkan dana bantuan sosial. Dana bantuan sosial yang
diterima ialah pelayanan pendidikan gratis bagi yang memiliki KIP (Kartu Indonesia
Pintar), pelayanan kesehatan gratis dengan menunjukkan kartu BPJS Kesehatan, rumah
susun bersubsidi yang layak tinggal dengan menunjukkan SKTM (Surat Keterangan
Tidak Mampu). Selain yang telah disebutkan, pemerintah Indonesia juga mengupayakan
pemberian beasiswa dari universitas ternama dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Kedua, tingkat ekonomi kelas menengah merujuk pada kelompok masyarakat yang
berada diantara kelas atas dan kelas bawah. Jumlah individu dalam masyarakat ekonomi
kelas menengah di Indonesia diperkirakan mencapai 4.4 %. Masyarakat pada kelas
menengah memiliki pengelompokannya lagi disesuaikan dari tingkat pengeluaran per
bulannya yaitu: (1) Poor Middle, rerata pengeluarannya berkisar di bawah Rp 1.000.000;
(2) Aspirant Middle, rerata pengeluarannya berkisar antara Rp 1.000.000-Rp 1.500.000;
(3) Emerging Middle, rerata pengeluarannya berkisar antara Rp 1.500.000-Rp 2.000.000;
(4) Middle, rerata pengeluarannya berkisar antara Rp 2.000.000-Rp 3.000.000; (5) Upper
Middle, rerata pengeluarannya berkisar antara Rp 3.000.000-Rp 5.000.000; (6) Affluent,
rerata pengeluarannya berkisar antara Rp 5.000.000-Rp 7.500.000; (7) Elite, rerata
pengeluarannya berkisar antara Rp 7.500.000-Rp 10.000.

Ketiga, tingkat ekonomi kelas atas yang menjadikan kelompok masyarakat sosial
ekonomi tertinggi sehingga tergolong masyarakat kaya raya. Pendapatan yang dimiliki
masyarakat ekonomi kelas bawah di atas rata-rata dan jumlahnya sangat sedikit di
Indonesia yaitu hanya mencapai 0,6 %. Gaya hidup dan pola pikir yang tentunya sangat
berbeda dengan tingkatan kelas bawah dan kelas menengah membuat para sultan pada
kelas atas berkeinginan untuk mempertahankan harta kekayaannya serta menambah
pundi-pundi pendapatan. Hal tersebut merupakan akibat dari peningkatan gaya hidup
yang serba glamor. Di tingkatan ini biasanya memiliki kemudahan dalam mengakses
segala bidang kehidupan di dunia seperti fasilitas kesehatan yang memadai, sekolah yang
penuh sentuhan manja, bahkan faslitas rumah yang lengkap layaknya istana.

Berdasarkan pembagian kelas ekonomi di Indonesia, tak afdal bila tak


mencantumkan apa saja faktor pendukung kehadiran kesenjangan ekonomi. Faktor-faktor
yang menentukan kelas ekonomi di Indonesia ialah: (a) Pendidikan; (b) Pekerjaan; (c)
Kekayaan. Pendidikan menjadi faktor utama hadirnya kesenjangan ekonomi dikarenakan
semakin tinggi pendidikan yang ditempuh maka semakin tinggi pula biaya yang harus
dibayar selama aktif menjadi peserta didik. Seseorang yang mencapai pendidikan
tertinggi akan memengaruhi perilaku, pola pikir dan gaya hidupnya bermasyarakat. Maka
dari itulah semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan berbanding lurus dengan
tingginya kelas ekonomi dan status sosial di lingkungan masyarakat.

Pekerjaan atau mata pencaharian yang dimiliki individu dalam kelompok


masyarakatpun menjadi simbol dan identitas dirinya di lingkungan. Kelas ekonomi yang
semakin tinggi memiliki pekerjaan yang lebih layak daripada kelas ekonomi bawah.
Dapat diambil contoh pada pekerja serabutan, petani dan buruh jika dibandingkan dengan
tingkat sekelas manajer, pengusaha restoran, bahkan tentara sekalipun tentunya memiliki
status sosial dan kelas ekonomi yang sangat berbeda. Gaya hidup dan nuansa lingkungan
pekerjaan juga ikut mempengaruhi tingkat perekonomiannya sehari-hari.

Kekayaan yang dimiliki suatu individu dilihat dari seberapa besar penghasilan yang
diterima maupun warisan yang didapatkan dari orang tuanya. Gaya hidup beserta
pengeluaran pada kelompok masyarakat dengan kelas ekonomi atas tentu berbeda dengan
kelas ekonomi bawah. Hal tersebut dikarenakan tingginya kekayaan seseorang akan
berbanding lurus dengan jumlah uang yang dihamburkan. Ketiga faktor tersebut memiliki
keterkaitannya masing-masing. Bila suatu individu semakin tinggi kekayaannya maka
akan tinggi pula tingkat pendidikan yang dijalaninya.

Upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk meminimalisir angka kemiskinan


pada kelas bawah belum menunjukkan perubahan yang nyata dan signifikan. Terjadi
penyalahgunaan dana pada oknum-oknum pemerintah berakibat fatal pada
ketidakmerataan distribusi pendapatan terutama bagi individu pengangguran. Pada
akhirnya, kelompok masyarakat kelas bawah hanya mampu bermuara pada kegiatan yang
merusak moral dan etika dengan menjamurnya pertikaian antara si kaya dengan si miskin.
Ketidakrukunan dalam kesenjangan sosial ekonomi tiada habisnya bila masing-masing
individu menyikapinya dengan apatis. Manusia sebagai makhluk individu memang
memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Namun, alangkah baiknya bila
pemenuhan hak dan kewajiban tersebut diseimbangi dengan komunikasi yang sehat
antarmasyararakat di lingkungan sekitar.

Perlu diingat dengan lahirnya pancasila merupakan bentuk kepedulian pahlawan


nasional untuk generasi anak cucunya supaya bersikap damai dalam menghadapi
permasalahan. Kasus pada kesenjangan sosial ekonomi sudah terjadi semenjak zaman
kolonial Belanda, dimana pribumi dipaksa kerja rodi demi menyelesaikan kepentingan
pribadi para penjajah untuk menguasai kekayaan alam dan rempah-rempah Indonesia.
Nila-nilai pancasila sudah seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat
terkhusus Warga Negara Indonesia (WNI). Dengan demikian, masalah ketidakrukunan
kelas ekonomi serta status sosial yang terjadi di lingkung masyarakat dapat diselesaikan
secara bijaksana dan kekeluargaan.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif
dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih untuk menganalisis peristiwa-
peristiwa yang terjadi pada saat penelitian berlangsung. Dalam menganalisis data
dilakukan observasi dan wawancara dengan narasumber. Penyuguhan data dalam
penelitian ini mengangkat fenomena keterkaitan antara masalah kesenjangan sosial
ekonomi dengan ketidakrukunan warga di Desa Ciketing RT 03/RW 08 sesuai dengan
faktanya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan pengumpulan data yang didapat dari observasi dan wawancara dengan
narasumber, peneliti menemukan akar permasalahan dari hubungan kesenjangan sosial
ekonomi dengan ketidakrukunan warga di Desa Ciketing RT 03/RW 08 Keluraha
Mustika Jaya. Pengamatan melalui observasi lapangan menyatakan bahwa warga di Desa
Ciketing RT 03/RW 08 Kelurahan Mustika Jaya cenderung mempunyai pemikiran kolot
dalam menilai tetangganya yang memiliki status sosial dan kelas ekonomi lebih tinggi.
Dapat dibuktikan oleh pernyataan-pernyataan masyarakat di lingkungan sekitar,
khususnya di dekat rumah peneliti.
Mn, sebagai ibu rumah tangga yang memiliki latar belakang pendidikan terakhir
hanya lulusan SMP menyampaikan bahwa keberadaan keluarga X yang bertempat tinggal
tepat di depan rumahnya itu mengundang konflik batin yang membuatnya tidak nyaman
karena keluarga X tergolong menduduki kelas ekonomi atas. Ketidaknyamanan pada diri
Mn yang selalu melihat tetangganya membeli barang mewah menimbulkan keirihatian.
Mn yang memiliki keluarga dengan tingkat perekonomian kelas menengah, seringkali
bersikap impulsif untuk mengikuti kemajuan gaya hidup tetangganya. Berikut penuturan
hasil wawancaranya.

“Tetangga yang kaya mah ada ituu depanan rumah saya. Padahla
mah rumah adep-adepan tapi ora akrab pisan hahaha kita ge awang
nyapanya. Dia mah orang kaya, lah saya mah dibilang kaya engga,
miskin juga engga. Andainya kalo hari libur ge pergi-pergian bae ke
emol, wisata keluar kota, belanja ampe penuh bangat itu
tentengannya. Lah kita mah apa atuh, dokem bae di rumah. Ngiri
banget saya mah liat dia sibuk pergi-pergian mulu, udah gitu
pulangnya nenteng belanjaan dari Matahari. Saya mah di rumah
jarang kemana-mana, pengen kali-kali keluar jauh jalan-jalan pake
mobil sama keluarga saya gituh”

Pernyaatan dari Mn membuktikan bahwa kesenjangan kelas ekonomi tampak nyata


sesuai pengalaman yang diterimanya sehari-hari. Perbedaan kasta dan tingkat
pengeluaran perhari antara keluarga Mn dengan keluarga di depan rumahnya itu
memantik kesungkanannya untuk bertegur sapa. Hal tersebut terjadi dikarenakan
pengakuan Mn yang tidak senang melihat kebahagiaan keluarga di depan rumahnya yang
sibuk bepergian keluar kota. Konflik batin karena merasa tersaingi memicu pertikaian.
Pertikaian terjadi ketika Mn menyebar tuduhan palsu kepada warga sekitar tentang
keluarga X. Berikut pengakuan dari Mn.

“Saya mah kalo kaga demen sama orang bawaannya ni mulut gatel
pengen ngehasut supaya orang lain benci sama tu orang. Bagen tu
orang kaga punya temen kalo keluar rumah. Lagian hobi amat
mamerin jabatan sama harta di status Whattsapp. Apalagi waktu dia
ulang tahun kan buat status tu, eh buset banyak emen ampe titik-titik
itu fotonya. Menuh-menuhin memori HP orang aja.”
Ketimpangan status sosial ekonomi membuat Mn berusaha menindas keluarga X
dari belakang layar agar usahanya untuk memperoleh kebahagiaan dapat terpenuhi.
Kebahagiaan yang diperoleh Mn ialah dengan caranya bertindak asusila melakukan
ujaran kebencian diatas kesuksesan keluarga X. Peneliti juga mendapat laporan bahwa
Mn kerap kali mengusik kehidupan keluarga X demi mendapat pengakuan sebagai
penguasa di wilayah Desa Ciketing RT 03/RW 08 Kelurahan Mustika Jaya. Alhasil,
perilaku Mn pun diketahui oleh keluarga X. Dan keluarga X pun tidak terima dengan
tuduhan palsu yang dilempari Mn kepada orang-orang di sekitarnya. Perdebatan sengit
terjadi hingga pemuka agama berusaha melerai mereka. Namun, pemuka agama tersebut
juga telah terhasut oleh Mn sehingga hubungan antarwarga di wilayah tersebut menjadi
tidak rukun dan rentan tersulut amarah.

Selain Mn, warga lain yang juga tinggal di Desa Ciketing RT 03/RW 08 Kelurahan
Mustika Jaya menyampaikan informasi tentang ketidakrukunan warga dengan kelas
ekonomi yang berbanding terbalik. Rh, sebagai ibu rumah tangga sekaligus pemilik
warung kecil yang berlatar pendidikan lulusan SMA menyatakan bahwa saudara seibu
yang rumahnya bersebelahan itu telah melupakan dirinya karena kenaikan status sosial
dan kelas ekonomi. Saudaranya tersebut sudah menemouh pendidikan tinggi S1 dan
memperoleh status PNS sehingga menduduki kelas ekonomi menengah kelompok Upper
Middle. Berikut penuturan hasil wawancaranya.

“Tetangga saya yang sebelahan itu saudara saya, Mba. Dia udah jadi
PNS sekarang mah. Saya mah kaga ngapa-ngapa ya, kalau ga diajak
ke acaranya. Cuma yang bikin saya sakit hati mah, waktu dia sakit
kan saya urusin dia biar cepet sembuh. Lah pas udah sembuh mah
saya dilupain, dia ngobrol cipika-cipiki sama temen yang sama-sama
kaya. Giliran saya mah, mentang-mentang tinggal di gubuk begini
dari jaman dia masih kuliah ge boro-boro dianggep sodara.
Dianggep sampah mah iya kali. Kalau lagi kumpul keluarga, saya
sering nyindir dia biar sadar gitu, eh malah marah gagawokan.
Kadang ngerasa miris sama keadaan tapi yaudah jalanin aja.”

Pernyataan dari Rh yang posisi perekonomiannya stagnan di kelas ekonomi bawah


menginterpretasikan retaknya keadaan hubungan persaudaraan karena perbedaan jenjang
kelas ekonomi. Keretakan yang terjadi antara keluarga Rh dengan saudara kandungnya
tersebut tentu mengundang pertikaian yang berakhir pada kecanggungan dalam
berinteraksi sosial. Pertikaian kecil yang berupa amarah terpendam juga menimbulkan
konflik batin tersendiri bagi Rh yang merasa diasingkan. Akhirnya, ketidakrukunan
antara keluarga Rh dengan saudaranya pun lahir akibat kurangnya komunikasi yang
sehat.

KESIMPULAN

Berdasarkan deskripsi data penelitian yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa


hubungan kesenjangan sosial ekonomi dengan ketidakrukunan antarwarga di Desa
Ciketing RT 03/RW 08 Kelurahan Mustika Jaya dapat dikatakan sangat berpotensi
menimbulkan kegaduhan. Dampak buruk dari kondisi lingkungan yang tidak sehat juga
berperan aktif menciptakan suasana meracau. Hal ini dibuktikan, berdasarkan hasil
wawancara dari 2 orang warga yang menjabarkan kondisi sebenarnya terkait masalah
kesenjangan sosial ekonomi. Dari kasus Mn yang merasa tersaingi tingkat kekayaan dan
jabatan pekerjaan yang dimiliki tetangganya yaitu keluarga X, di mana faktor pendidikan
Mn sebagai lulusan SMP juga ikut berpengaruh pada pola pikir yang mengalami
pembiasan dalam bertindak. Dan kasus Rh yang mengalami komplikasi gejolak sosial
ekonomi antara Rh dengan perubahan perilaku saudara kandungnya adalah bukti semakin
tingginya kekayaan seseorang akan mempengaruhi gaya hidup dan pola pikirnya. Dari
kedua kasus tersebut merupakan implikasi kesenjangan sosial ekonomi erat kaitannya
menimbulkan jejak permasalahan baru seperti tidak rukunnya hidup bermasyarakat,
sehingga penyelesaian masalahnya pun butuh waktu yang cukup lama.

DAFTAR PUSTAKA

Maruf, Tiara. (2020). Pembagian Kelas Sosial Ekonomi di Indonesia dan Faktor
Penentunya [online]. Tersedia: https://materiips.com/pembagian-kelas-sosial-
ekonomi-di-indonesia (diakses 14 Desember 2020).

Anda mungkin juga menyukai