Anda di halaman 1dari 6

Nama: Nining Nursakinah

NPM: 1810631080125

Kelas Asal: 6F

Mata Kuliah: Penulisan Editorial dan Opini

Dosen Pengampu: Hendra Setiawan, S.S., M.Pd.

A. Editorial

26 February 2021, 05:00 WIB

Vaksinasi demi Mutu Pendidikan


SISTEM pembelajaran jarak jauh banyak dikeluhkan guru, siswa, dan orangtua. Keterbatasan
gawai, juga tidak meratanya akses internet, membuat alternatif pembelajaran di tengah
pandemi ini tidak maksimal sehingga peserta didik tak mendapatkan kompetensi sesuai
tingkatan.

Tak ayal pemerintah menjadikan sektor pendidikan sebagai prioritas vaksinasi untuk
memulihkan sistem pendidikan. Hal itu demi memastikan hak belajar, salah satu hak dasar
anak-anak, tetap bisa terpenuhi, terutama di wilayah dengan akses internet yang terbatas.

Pemerintah telah memulai proses vaksinasi terhadap para tenaga pendidik. Presiden Joko
Widodo menargetkan 5 juta guru dan tenaga pengajar harus tuntas divaksin pada Juni
mendatang sehingga proses pembelajaran tatap muka bisa dimulai Juli.
Pro dan kontra mengiringi wacana pembukaan kembali sekolah. Argumentasi para
pendukung, karena dengan vaksinasi bagi para guru maka mereka mempunyai imunitas untuk
meminimalkan penularan covid-19 kepada anak didik.

Dengan demikian, saat ini tinggal mengatur bagaimana protokol kesehatan bagi anak didik
agar proses belajar mengajar bisa berlangsung aman. Protokol kesehatan yang harus
diterapkan termasuk skema pembatasan jumlah siswa dalam kelas.

Sebaliknya, sejumlah pihak lainnya meminta pemerintah tidak terburu-buru. Pasalnya,


vaksinasi tidak cukup hanya bagi tenaga pendidik. Menurut mereka, mestinya pemerintah
lebih dahulu mengupayakan vaksin bagi anak usia sekolah. Adapun vaksin CoronaVac
buatan Sinovac belum direkomendasikan bagi yang berusia di bawah 18 tahun.

Sebelum membuka pembelajaran tatap muka, pemerintah didorong untuk merancang


pengujian vaksin untuk usia anak agar herd immunity atau kekebalan kelompok terwujud.
Tanpa vaksinasi terhadap peserta didik, potensi penularan akan tetap terjadi.

Tinggal pemerintah memilihnya. Jika bertekad untuk membuka sekolah, tentu penyiapannya
harus matang dalam hal penerapan protokol kesehatan dan skema pembelajaran. Tidak bisa
pemerintah hanya mengejar target vaksinasi guru dan pendidik, tetapi alpa menyiapkan
rancangan pembelajarannya.

Pemerintah ingin meminimalkan ancaman learning loss atau pembelajaran tidak bisa
memenuhi kompetensi akibat pandemi. Dalam pendidikan mestinya memang tidak boleh ada
toleransi soal kualitas.

Untuk dunia pendidikan, tidaklah sekadar ada, tapi juga harus menjaga kualitasnya. Ini
terutama penting karena dampak panjang sebuah pendidikan. Bagaimana jadinya masa depan
bangsa ini jika kualitas pendidikan anak-anak saat ini dibiarkan rendah dan seadanya?

Hak anak untuk mendapat pendidikan berkualitas harus terpenuhi seiring dengan tetap
menjaga hak anak untuk tetap terhindar dari paparan covid-19. Menerapkan pembelajaran
tatap muka dengan protokol kesehatan yang layak bisa menjadi solusi untuk mengembalikan
kualitas pendidikan di tengah pandemi.

Rancang sistem pembelajaran tatap muka yang mengadaptasi protokol kesehatan. Kalau
perlu, atur jam sekolah dalam sistem sif sehingga tidak terjadi kerumunan. Bahkan, bila
perlu, untuk tahap awal sekolah tidak menerapkan jam pelajaran secara penuh.

Selain itu, target agenda pembelajaran tatap muka ini juga mesti mendapat dukungan para
orangtua dan seluruh pemerintah daerah. Pastikan sekolahnya siap, gurunya siap, siswanya
siap, orangtuanya siap, dan pemerintah daerahnya siap.

Jika salah satu tidak siap, tunda buka sekolah tatap muka karena akan berpotensi menjadikan
sekolah sebagai klaster baru. Harus dipastikan juga bahwa kasus covid-19 di wilayah itu
sudah landai. Tidak hanya memperhitungkan aspek keamanan kesehatan, tetapi juga aspek
kesiapan teknis dan psikologis.

Sumber Editorial

Nama Media: Media Indonesia

Pranala/Link: https://m.mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2260-vaksinasi-demi-
mutu-pendidikan

B. Tanggapan Editorial

Dalam pembahasan ini saya akan memberikan tanggapan pada editorial yang berjudul
Vaksinasi demi Mutu Pendidikan. Sebelum saya menanggapi, saya akan memaparkan
pengertian editorial dan unsurnya terlebih dahulu. Editorial sendiri memiliki arti artikel atau
surat kabar yang mengungkapkan pandangan redaksi terhadap suatu isu ataupun kejadian
yang sedang hangat dibicarakan khalayak umum. Setiap pandangan redaksi dalam editorial
juga harus memenuhi beberapa unsur diantaranya: (1) menyajikan sebuah pendapat; (2)
pendapat yang diberikan tersusun secara logis; (3) singkat; (4) menarik; dan (5) mampu
mempengaruhi para pembuat kebijakan dalam pemerintah atau masyarakat (dalam Assegaf,
1983:64). Berikut adalah kutipan kalimat editorial yang akan saya berikan tanggapan.

1) Tanggapan Kutipan Pertama

“SISTEM pembelajaran jarak jauh banyak dikeluhkan guru, siswa, dan


orangtua. Keterbatasan gawai, juga tidak meratanya akses internet,
membuat alternatif pembelajaran di tengah pandemi ini tidak maksimal
sehingga peserta didik tak mendapatkan kompetensi sesuai tingkatan.”
(Vaksinasi demi Mutu Pendidikan, Editorial MI)

Berdasarkan kutipan kalimat tersebut, pandangan redaksi yang diberikan sudah


memenuhi unsur-unsur editorial. Editorial yang dituliskan oleh Media Indonesia dengan judul
Vaksinasi demi Mutu Pendidikan sudah memiliki opini yang sesuai dengan fakta yang
disusun secara logis, singkat, dan menarik. Adanya pandemik ini, Kemdikbud memutar otak
agar pembelajaran tetap berjalan. Tercetuslah sistem pembelajaran yang dilakukan via daring
dengan sebutan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Namun sayangnya, setiap solusi tak selamanya
memberi dampak baik. Pada kenyataannya, banyak sekali kendala yang dialami para tenaga
pendidik, peserta didik, bahkan orang tua peserta didik juga ikut terdampak. Dimulai dari
kondisi sinyal internet yang buruk, biaya sewa internet yang mahal, dan keterbatasan gawai
yang dimiliki peserta didik terutama yang tinggal di daerah pelosok menyebabkan sistem
pembelajaran jarak jauh ini kerap menyusahkan interaksi murid dengan guru dan tak
memberi simbiosis mutualisme. Sesuai dengan pernyataan dalam kalimat editorial tersebut,
kehadiran pembelajaran jarak jauh memang tidak banyak memberi dampak baik, sebab
peserta didik justru tak maksimal dalam memahami materi dan kompetensi belajarnya akibat
dari kendala yang diterima. Pandangan redaksi yang disampaikan mampu mempengaruhi
saya sebagai pembaca menyetujui hal tersebut dikarenakan selaras dengan fakta di lapangan.

2) Tanggapan Kutipan Kedua

“Pemerintah telah memulai proses vaksinasi terhadap para tenaga pendidik.


Presiden Joko Widodo menargetkan 5 juta guru dan tenaga pengajar harus
tuntas divaksin pada Juni mendatang sehingga proses pembelajaran tatap
muka bisa dimulai Juli.” (Vaksinasi demi Mutu Pendidikan, Editorial MI)

Berdasarkan kutipan kalimat tersebut, menurut saya seharusnya Presiden Jokowi juga
mengutamakan kesehatan peserta didik yang diajar oleh tenaga pendidiknya. Sebab jumlah
peserta didik pastinya banyak yang akan diajar oleh tenaga pendidik dan berasal dari berbagai
daerah yang mungkin saja akan lebih rentan terpapar virus. Namun melihat fakta pada
kutipan pertama yang menyatakan pembelajaran jarak jauh tidak maksimal, tentunya
vaksinasi yang ditargetkan bagi 5 juta guru dan tenaga pengajar menjadi pertimbangan yang
matang terhadap keputusan Presiden Jokowi. Saya cukup memiliki pendapat yang pro dan
kontra terhadap fakta yang dituliskan dalam editorial tersebut. Setelah melihat secara
keseluruhan, kutipan kedua ini sudah menunjukkan opini yang menarik terutama bagi
masyarakat yang membacanya. Saya yakin siapapun yang membaca kalimat dalam kutipan
kedua ini, cukup memancing argumentasi dan akan banyak perdebatan yang terjadi antara
masyarakat dengan pembuat kebijakan tersebut.

3) Tanggapan Kutipan Ketiga

“Sebelum membuka pembelajaran tatap muka, pemerintah didorong untuk


merancang pengujian vaksin untuk usia anak agar herd immunity atau
kekebalan kelompok terwujud. Tanpa vaksinasi terhadap peserta didik,
potensi penularan akan tetap terjadi.” (Vaksinasi demi Mutu Pendidikan,
Editorial MI)

Menanggapi isi kutipan kalimat di atas, cukup menggelitik hati saya yang sempat
mengkhawatirkan terjadinya penularan atau klaster baru jikalau memang benar pemerintah
tetap ingin mengadakan pembelajaran tatap muka. Setahu saya, pembelajaran tatap muka
biasanya akan ada kontak tangan antara siswa dengan gurunya. Entah melalui buku ataupun
benda-benda lainnya yang rentan menjadi perantara perpindahan virus. Bagaimanapun juga
orang tua murid sangat mengkhawatirkan anaknya berkerumun di kelas tanpa adanya
vaksinasi, mengingat virus merupakan partikel yang tak terlihat dan masa inkubasinya hanya
5-6 hari atau paling lambat 14 hari. Menurut saya, pembelajaran tatap muka belum menjadi
solusi yang efektif di tengah pandemik yang kurva persebarannya pun belum melandai. Opini
yang dituliskan dalam kutipan editorial ini, menurut saya sudah sangat sesuai dengan fakta
yang akan terjadi. Mengingat pengalaman adik saya yang mengikuti pembelajaran tatap muka
di pesantren selama empat bulan, dan terdapat salah satu kakak kelasnya terdampak Covid-19
sehingga semua kegiatan pembelajaran dialihkan via daring.

4) Tanggapan Kutipan Keempat


“Untuk dunia pendidikan, tidaklah sekadar ada, tapi juga harus menjaga
kualitasnya. Ini terutama penting karena dampak panjang sebuah
pendidikan. Bagaimana jadinya masa depan bangsa ini jika kualitas
pendidikan anak-anak saat ini dibiarkan rendah dan seadanya?” (Vaksinasi
demi Mutu Pendidikan, Editorial MI)

Saya sangat setuju dan akan kasih dua jempol terhadap pandangan redaksi ini.
Penyampaian opini yang diberikan sangat menohok bagi pembuat kebijakan pemerintah dan
mengundang masyarakat Indonesia menyampaikan saran dan kritik mengenai kualitas
pendidikan yang masih rendah. Saya amat merasakan kualitas pendidikan di Indonesia yang
sangat jauh dan tertinggal dengan negara lain. Berdasarkan pengalaman saya menjadi seorang
murid di bangku sekolah, saya kerap kali menemukan guru yang terkesan „ogah-ogahan‟
mengajar di kelas. Saya sebagai penikmat fasilitas tentunya kecewa terlebih mengetahui
orang tua saya juga selalu membayar iuran SPP secara teratur. Pembelajaran tatap muka saja
masih sering saya temukan tenaga pengajar yang hanya sekedar memberi tugas tanpa
memberi penjelasan materi. Lantas, bagaimana dengan via daring? Bukankah pendidikan
menjadi tombak utama kemajuan sebuah negeri? Lalu mengapa kebijakan pemerintah
terkesan membuat para tenaga pendidik terlihat rendah di mata profesi lainnya. Gaji guru
yang masih terbilang kecil pun menjadi akar masalah mengapa masih banyak guru yang tidak
berkompeten saat mengajar. Menurut saya, pemerintah tidak perlu repot mengubah sistem
dan kurikulum terburu-buru jikalau kesejahteraan gurunya saja tidak diperhatikan. Apabila
guru sejahtera tentu saat guru tersebut mengajar pun memberi aura semangat positif bagi
murid-muridnnya. Sebenarnya masih banyak komponen lain yang harus diperhatikan bagi
pemerintah terutama di bidang kependidikan. Fasilitas yang memadai juga akan ikut andil
mendukung kualitas pembelajaran murid-murid di Indonesia. Akan dibawa kemana penerus
bangsa kalau semua fasilitas dan kemampuan tenaga pendidiknya hanya serba seadanya. Jika
terus menerus seperti itu, menurut saya Indonesia harus berkaca dengan negara Finlandia.

5) Tanggapan Kutipan Kelima

“Selain itu, target agenda pembelajaran tatap muka ini juga mesti mendapat
dukungan para orangtua dan seluruh pemerintah daerah. Pastikan
sekolahnya siap, gurunya siap, siswanya siap, orangtuanya siap, dan
pemerintah daerahnya siap.

Jika salah satu tidak siap, tunda buka sekolah tatap muka karena akan
berpotensi menjadikan sekolah sebagai klaster baru. Harus dipastikan juga
bahwa kasus covid-19 di wilayah itu sudah landai. Tidak hanya
memperhitungkan aspek keamanan kesehatan, tetapi juga aspek kesiapan
teknis dan psikologis.” (Vaksinasi demi Mutu Pendidikan, Editorial MI)

Opini yang disampaikan dalam editorial ini cukup meyakinkan saya dan membenarkan
pandangan redaksinya. Menurut saya, editorial yang dibuat sangat berbobot menempatkan
kesan di hati pembaca. Saya sangat setuju dengan pendapat dalam kutipan di atas,
bahwasanya pemerintah tidak usah terburu-buru menetapkan pembelajaran tatap muka jika
masih ada komponen pendukung yang belum siap karena akan menyebabkan permasalahan
baru dan merepotkan tenaga kesehatan nantinya. Sebaiknya pemerintah memperhatikan
terlebih dahulu kesiapan teknis dan psikologis meliputi perlengkapan protokol kesehatan
yang tersedia, kesiapan diri pada gurunya, murid, wali murid, dan pemerintah daerah
setempat menanggulangi apabila ada kemungkinan buruk terjadi. Sebab pembelajaran tatap
muka rentan terjadi kerumunan. Jika memang masih terjadi kendala teknis dan berbagai hal
lainnya, ada baiknya pemerintah tetap memberlakukan PJJ saja agar mencegah hadirnya
klaster baru.

Anda mungkin juga menyukai