Anda di halaman 1dari 25

ANALISIS KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN JIWA LANJUT PADA

BERDUKA DISFUNGSIONAL SESUAI STUDI KASUS JURNAL


INTERNASIONAL

oleh :
KELOMPOK PEMINATAN JIWA
Salwa Nirwanawati 206070300111003
Dessy Ekawati 206070300111007
Dewa Ayu Anggi G 206070300111011
Atin Humayya 206070300111014
Ridwan Sofian 206070300111024

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat, rahmat dan karunia-Nya, makalah yang berjudul “Analisis Konsep
Asuhan Keperawatan Jiwa Lanjut Berduka Disfungsional Sesuai Studi Kasus
Jurnal Internasional” oleh mahasiswa Magister Keperawatan Peminatan
Keperawatan Jiwa tahun 2021 ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini,
telah disusun semaksimal dan seoptimal mungkin sesuai dengan point-point yang
diminta dan berdasarkan pada literature atau jurnal yang kami dapatkan. Namun,
kami hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dalam penulisan
maupun tata bahasa.
Dengan segala kerendahan hati, tim penyusun menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, tim penyusun mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Malang, 25 April 2021

Kelompok Peminatan
Jiwa
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lahir, kehilangan, kematian, dan berduka adalah bagian dalam
kehidupan manusia yang pasti akan dilalui, integral dengan kehidupan dan
bersifat unik bagi setiap individu yang dapat menjadi stressor yang
membutuhkan dukungan dalam menghadapinya. Hidup merupakan suatu
rangkaian kehadiran dan kepergian, ada dan tiada akan selalu berlangsung
bergantian (Azizah, 2016).
Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan
sesuatu yang sebelumnya ada dan dimiliki (Yusuf, 2015). Sementara berduka
adalah respon emosi terhadap kehilangan yang dimanifestasikan dengan
adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain.
Berduka merupakan respon normal yang terjadi pada semua kejadian
kehilangan (Nurhalimah, 2016).
Setiap individu yang mengalami kehilangan pasti akan melewati
tahapan kehilangan. Mulai dari penyangkalan, marah, tawar-menawar,
depresi, dan terakhir fase penerimaan (Townsend, 2020). Tetapi tidak semua
individu dapat melalui tahapan berduka sampai fase penerimaan. Pada
beberapa kasus, seseorang akan mengalami berduka disfungsional. Menurut
Herdman (2018), berduka disfungsional merupakan suatu gangguan yang
terjadi setelah kematian orang terdekat atau kehilangan objek, ketika
pegalaman distress yang menyertai kehilangan gagal memenuhi harapan
normative dan bermanifestasi gangguan fungsional.
Menurut US Biro Sensus dalam Nurhidayati (2014), Salah satu bentuk
berduka disfungsional yang yang sering terjadi pada anak dan remaja yaitu
akibat kehilangan orang tua yang dicintai. Kematian bukan masalah yang
biasa bagi remaja. Sekitar 4% remaja di Amerika Serikat kehilangan orang
tua karena kematian sebelum mereka mencapai usia 18, dan 1,5 juta remaja
tinggal di keluarga orang tua tunggal karena kematian.
Menghadapi kematian orang tua di usia dini merupakan ujian yang
berat bagi setiap remaja. Sebagaimana penelitian sebelumnya yang telah
dilakukan oleh Sari yang berjudul Grief (Kedukaan) Pada Remaja Pasca
Kematian Ayah, menunjukkan bahwa remaja cenderung mengalami depresi
akibat kehilangan orang tua. Hal ini diakibatkan karena anak dan remaja
masih sangat bertumpu pada orang tua sehingga kasih sayang orang tua masih
sangat dibutuhkannya (Nurhidayati, 2014).
Intervensi psikoterapi merupakan sesuatu yang paling dibutuhkan oleh
klien dengan berduka. Banyak jenis psikoterapi yang dapat dilakukan untuk
mengurangi bahkan mengatasi berduka disfungsional sesuai dengan beberapa
penelitian yang dilakukan yaitu Psychoeducation, Supportive Psychotherapy,
Grief-focused Psychotherapy (Halder, 2020).
Dari latar belakang diatas, penulis ingin membuat sebuah bahasan
asuhan keperawatan pada sebuah studi kasus berdasarkan jurnal internasional
yang berjudul Grief-focused psychological intervention in exploration and
alteration of the emotional reaction in a child: a case study. Asuhan
keperawatan yang dibuat berdasarkan asuhan keperawatan ners spesialis.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mampu menganalisa konsep asuhan keperawatan jiwa lanjut pada kasus
berduka disfungsional dan penerapannya berdasarkan jurnal/literature
yang didapat.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mampu memahami konsep asuhan keperawatan jiwa lanjut pada
berduka disfungsional sesuai dengan studi kasus.
2. Mampu menganalisa konsep asuhan keperawatan jiwa lanjut pada
berduka disfungsional sesuai dengan studi kasus.
1.3 Manfaat
1.3.1 Pengembangan ilmu
Dijadikan bahan referensi untuk studi kasus mengenai konsep asuhan
keperawatan jiwa lanjut pada berduka disfungsional
1.3.2 Bagi masyarakat
Sebagai bahan ilmu tentang problem solving yang harus di lakukan di
masyarakat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Berduka Disfungsional


Kehilangan adalah suatu pengalaman pada individu ketika berpisah
dengan sesuatu yang biasanya ada menjadi tidak ada karena situasi aktual
ataupun potensial. Kehilangan terdapat beberapa jenis yaitu kehilangan orang
yang dicintai atau berarti bagi dirinya, diri sendiri, objek, lingkungan yang
dikenal dan meninggal. Hal ini dapat terjadi secara tiba-tiba ataupun
berangsur yang menyebabkan individu berduka jika tidak bisa diatasi (Indra
Ruswadi, 2021).
Berduka adalah suatu respon emosional yang diekspresikan individu
terhadap kehilangan yang digambarkan dengan adanya perasaan sedih,
gelisah, cemas, sesak nafas, dan susah tidur. Terdapat 2 tipe dalam berduka
yaitu diantisipasi dan berduka disfungsional. Berduka diantisipasi adalah
adanya pengalaman individu dalam menghadapi suatu kehilangan yang
dirasakan karena adanya hubungan serta tidak mampu secara fungsional
sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batasan normal.
Sedangkan berduka disfungsional adalah adanya pengalaman individu yang
mengahadapi kehilangan dengan dibesar-besarkan secara aktual maupun
potensial, hubungan dan tidak mampu menerima secara fungsional. Tipe ini
termasuk dalam abnormal serta kekacauan. Hal ini disebabkan karena adanya
kematian keluarga ataupun orang yang berarti, mengantisipasi kematian
keluarga, dan merasakan kehilangan seperti objek, pekerjaan, status, bagian
tubuh, serta hubungan sosial (NANDA, 2018).
a. Tanda dan Gejala (SDKI, 2017)
Mayor Minor
Subjektif Klien mengatakan Klien mengatakan
merasa sedih, merasa mengalami mimpi
bersalah, tidak mau buruk, merasa tidak
menerima kehilangan berguna, dan pobia.
dan tidak mempunyai
harapan untuk hidup.
Objektif Menangis, perubahan Tampak marah,
pola tidur, dan panic, dan fungsi
ketidakmampuan imunitas menurun.
untuk konsentrasi.

b. Jenis Berduka
1. Berduka normal yaitu adanya perasaan, perilaku, dan reaksi yang
normal terhadap kehilangan seperti sedih, marah, menangis,
kesepian, dan menarik diri dari aktivitas untuk sementara waktu.
2. Berduka antisipatif yaitu proses pelepasan diri yang muncul sebelum
terjadinya kehilangan atau kematian yang sesungguhnya terjadi.
Seperti ketika menerima diagnosis terminal, individu akan memulai
proses perpisahan dan penyelesaian dari berbagai urusan dunia
sebelum ajalnya menjemput.
3. Berduka yang rumit dialami oleh individu yang sulit untuk lanjut
pada tahapan berikutnya yaitu tahap kedukaan normal. Masa
berkabung seperti tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam
hubungan orang yang bersangkutan dengan orang lain.
4. Berduka tertutup yaitu kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat
diakui secara terbuka. Seperti kehilangan pasangan karena suatu
penyakit yang menular contohnya AIDS, anak yang mengalami
kematian orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan anaknya di
kandungan atau ketika melahirkan. (NANDA, 2018)
c. Fase
1. Fase Akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, terdiri
atas tiga proses yaitu:
a) Syok dan tidak percaya: respon awal yang berupa penyangkalan
secara emosional yang tidak dapat menerima kesedihan karena
kehilangan. Akan tetapi proses ini sesungguhnya memang
dibutuhkan untuk menoleransi ketidakmampuan menghadapi
kesedihan dan secara perlahan untuk menerima kenyataan
kematian.
b) Perkembangan kesadaran: timbulnya rasa marah dengan
menyalakan orang lain, rasa bersalah dengan menyalahkan diri
sendiri melalui berbagai cara dan menangis untuk menurunkan
tekanan dalam perasaan yang dalam.
c) Restitusi: proses yang formal dan ritual bersama teman dan
keluarga membantu menurunkan perasaan tidak menerima
kenyataan kehilangan.
2. Fase Jangka Panjang
a) Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih.
b) Reaksi berduka yang tidak selesai akan menyebabkan penyakit
yang tersembunyi dan manifestasi dalam berbagai gejala fisik.
Pada individu berkembang menjadi keinginan untuk bunuh diri,
mengabaikan diri dengan menolak makan dan penggunaan
alcohol. (Ah. Yusuf, 2015)
d. Tahapan Berduka
Adapun tahapan berduka menurut Enie Novieastari, dkk. (2019) yaitu:
1. Denial
Reaksi awal individu ketika mengalami kehilangan adalah tidak
percaya, syok, diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari
kenyataan, mengisolasi diri terhadap kenyataan serta berperilaku
seperti tidak terjadi apa-apa dan pura-pura bahagia. Saat seseorang
mengalami kehilangan akibat kematian orang dicintai pada tahap ini
individu akan beranggapan bahwa orang yang dicintai masih hidup
sehingga sering berhalusinasi melihat atau mendengar suara seperti
biasanya. Secara fisik akan tampak lemah, letih, pucat, mual, diare,
sesak nafas, detak jantung cepat, menangis dan gelisah. Pada tahap ini
memerlukan waktu yang panjang beberapa menit atau sampai
beberapa tahun setelah kehilangan.
2. Anger
Tahap kedua ini individu akan mulai menyadari tentang
kenyataan kehilangan. Perasaan marah yang timbul akan terus
meningkat yang diproyeksikan kepada orang lain atau benda di
sekitarnya. Reaksi fisik menunjukkan wajah memerah, nadi cepat,
gelisah, susah tidur, dan tangan mengepal.
3. Bergaining
Tahap ini individu membuat kesepakatan dengan penciptanya
yaitu Allah SWT berupaya untuk melindungi diri dari rasa sakit. Pada
fase pertahanan ini dirasakan yang paling lemah dalam melindungi
individu dari kenyataan yang menyakitkan, individu mulai percaya
terhadap apa yang sudah terjadi pada dirinya. Setelah rasa marah
mulai pudar timbul rasa bersalah ataupun menyesal dan biasanya
timbul pikiran “kalau saja...” seperti “kalau saja saya sadar
sebelumnya...” dan sebagainya.
4. Depresi
Tahap ini adalah tahapan diam dalam fase kehilangan. Individu
mulai menarik diri, tidak mau berbicara dengan orang lain dan tampak
putus asa. Secara fisik individu akan menolak makan, susah tidur, dan
letih. Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang termasuk
dalam tahap yang penting dan bermanfaat agar individu dapat
meninggal dalam tahap penerimaan dan damai. Tahap penerimaan
terjadi hanya pada individu yang dapat mengatasi kesedihan dan
kegelisahannya.
5. Acceptance
Tahap akhir dari perasaan kehilangan. Hal ini berfokus pada
pemikiran terhadap sesuatu yang hilang mulai berkurang. Menerima
kenyataan terhadap kehilangan mulai dirasakan sehingga sesuatu yang
hilang tersebut mulai dilepaskan secara bertahap dan dialihkan kepada
objek lain yang baru. Individu yang telah mencapai tahap penerimaan
akan mengakhiri proses berdukanya dengan baik. Jika individu tetap
berada di satu tahap dalam waktu yang sangat lama dan tidak
mencapai tahap penerimaan, maka termasuk dalam awal terjadinya
gangguan jiwa. Suatu saat apabila terjadi kehilangan kembali, maka
akan sulit bagi individu untuk mencapai tahap penerimaan dan
kemungkinan akan menjadi sebuah proses yang disfungsional.
e. Rentang Respon

2.2 Pengkajian
a. Faktor Predisposisi
1. Biologis: adanya riwayat keluarga yang mengalami depresi sehingga
kesulitan dalam mengembangkan sikap yang optimis dalam
menghadapi masalah seperti rasa kehilangan.
2. Psikologis: adanya pengalaman terdahulu mengalami kehilangan yang
menyebabkan depresi pada individu sehingga menimbulkan rasa tidak
berdaya, pesimis, ketidakmampuan menghadapi stress dan biasanya
peka jika dihadapkan dengan kehilangan.
3. Sosial: adanya perasaan rendah diri sehinggan klien menarik diri dari
lingkungan.
b. Faktor Presipitasi
Faktor Presipitasi disebabkan karena adanya factor pencetus
kehilangan sehingga timbul perasaan stress yang nyata atau berimajinasi
dan kehilangan yang sifatnya biopsikososial misalnya klien dalam kondisi
sakit, hilangnya fungsi seksual, harga diri, pekerjaan, peran dan
hillangnya tempat dimasyarakat. (Ah. Yusuf, 2015)
c. Penilaian Terhadap Stressor
1. Kognitif: adanya bayangan tentang kematian, mengalami mimpi
buruk, kurangnya percaya diri, kurangnya motivasi dan pesimis.
2. Afektif: adanya rasa marah, frustasi, kesepian, merasa bersalah, sedih,
ketakutan, depresi, dan penyesalan.
3. Fisiologis: insomnia, tremor, mual, muntah, menggigil, sakit kepala,
denyut nadi cepat dan kelelahan.
4. Perilaku: menangis, kontak mata kurang, gelisah, menarik diri dan
sulit tidur.
5. Sosial: klien membatasi komunikasi, tidak mau mengikuti komunitas
yang ada di lingkungan dan menarik diri dari lingkungan. (NANDA,
2018)
d. Sumber Koping
1. Kemampuan Personal
Adanya kemampuan klien untuk mencari informasi mengenai
masalah, kemampuan klien untuk identifikasi masalah,
mempertimbangan alternative untuk menyelesaikan masalah,
kemampuan klien untuk menceritakan masalah, tidak dapat
menyelesaikan masalah, tidak dapat mempertahankan hubungan
interpersonal dan identitas ego tidak adekuat.
2. Dukungan Sosial
Adanya dukungan dari keluarga, orang terdekat dan masyarakat.
3. Modal Material
Memiliki penghasilan yang sesuai dengan kebutuhan klien dan
mau memanfaatkan adanya pelayanan kesehatan.
4. Keyakinan Positif
Adanya keyakinan positif serta spiritual untuk mempertahankan
koping adaptif meskipun banyaknya stressor yang datang untuk
mengatasi masalah. (Stuart, 2016)
e. Mekanisme Koping
Koping yang digunakan individu saat mengalami kehilangan yaitu
denial, represi, intelektualisasi, regresi, disosiasi, supresi dan proyeksi
yang digunakan untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan.
Regresi dan disosiasi banyak ditemukan pada klien dengan depresi yang
mendalam (Ah. Yusuf, 2015).
2.3 Diagnosa
a. Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul yaitu berduka disfungsional,
berduka fungsional dan berduka berhubungan dengan kehilangan actual.
b. Medis
Diagnosa medis yang muncul yaitu kematian anggota keluarga atau
orang terdekat, amputasi, cedera medulla spinalis, kondisi kehilangan
perinatal, penyakit terminal seperti kanker, dan terputusnya hubungan
kerja. (SDKI, 2017)

2.4 Intervensi
a. Generalis
Individu
1. Bina hubungan saling percaya dengan klien.
2. Diskusikan dengan klien mengenai kondisi saat ini mulai dari
pikiran, perasaan, fisik, sosial, serta spiritual sebelum dan sesudah
mengalami kehilangan.
3. Diskusikan dengan klien cara untuk mengatasi berduka yang dialami
klien dengan mengungkapkan perasaan, melakukan aktivitas fisik,
melakukan kegiatan sosial dengan sharing melalui self help group
dan kegiatan spiritual dengan berdoa dan berserah diri.
4. Bantu klien untuk memasukkan ke dalam jadwal harian.
5. Melakukan kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa yang ada
dikomunitas seperti puskesmas.
Keluarga
1. Diskusikan dengan keluarga masalah yang dihadapi klien dengan
kehilangan dan berduka serta dampak yang dirasakan klien.
2. Diskusikan dengan keluarga cara mengatasi berduka yang dihadapi
klien.
3. Latih keluarga untuk mempraktekkan cara merawat klien dengan
berduka disfungsional.
4. Diskusikan dengan keluarga untuk memanfaatkan pelayanan
kesehatan untuk membantu keluarga mengatasi kehilangan dan
berduka pada klien. (Ah. Yusuf., 2015)
b. Spesialis
1. Individu
a) Cognitive Behaviour Therapy adalah terapi perilaku kognitif dan
terapi psikososial yang mengintegrasikan modifikasi perilaku
melalui pendekatan restrukturisasi kognitif. Terapi ini diberikan
untuk merubah pola pikir negatif menjadi positif, sehingga
perilaku maladaptif yang timbul akibat pola pikir yang salah juga
akan berubah menjadi perilaku yang adaptif (Salomonsson, etc.
2020). Adapun sesi CBT ini terdiri dari:
Sesi 1: Mengidentifikasi, mengenali pikiran dan keyakinan
negative.
Sesi 2: Mengubah pola pikir dan keyakinan yang maladaptive.
Sesi 3: Mengubah perilaku maladaptive.
Sesi 4: Penyelesaian masalah.
Sesi 5: Evaluasi pelaksanaan CBT.
b) Acceptance And Commitment Therapy (ACT) adalah salah satu
terapi yang diberikan kepada klien untuk menerima pikiran yang
mengganggu dan tidak menyenangkan dengan menempatkan diri
sesuai dengan nilai yang dianut sehingga klien akan menerima
dengan kondisi yang ada. Sesi dilaksanakan selama 30-45 menit
untuk setiap klien. Adapun sesi yang dilakukan sebagai berikut:
(Modul UI, 2019)
Sesi 1: Mengidentifikasi peristiwa yang tidak menyenangkan,
pikiran, perasaan dan perilaku yang timbul dan menerima
perubahan tersebut.
Sesi 2: Menemukan nilai-nilai kehidupan yang positif dan
berkomitmen menggunakan nilai-nilai yang dipilih klien untuk
mencegah kekambuhan.
c) Bereavement Life Review adalah bentuk intervensi yang digunakan
untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual dengan mendorong
klien dalam proses berduka yang efektif dalam peningkatan
kesejahteraan spiritual klien dengan penyakit terminal,
menurunkan distress psikososial dan mengantarkan pada kematian
yang sejahtera. Proses peningkatan spiritual melalui proses
rekontekstualisasi, memaafkan terhadap diri, dan refleksi yang
membentuk penguatan koping sehingga muncul pemaknaan
terhadap diri sendiri (A’la, Yosep & Agustina, 2017).
2. Keluarga
Family Psychoeducation therapy adalah salah satu elemen program
perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi
dan edukasi melalui komunikasi yang terapeutik (Stuart, 2016).
Bertujuan untuk mengurangi tingkat kekambuhan dengan mengurangi
stres yang timbul dari respons kritis dan perilaku yang terlalu terlibat
melalui penyediaan pendidikan dan pelatihan keterampilan.
Pelaksanaan terapi psikoedukasi keluarga terdiri dari 5 sesi. Setiap
sesi dilakukan selama 45-60 menit (Harvey, C., 2017). Adapun urutan
dari terapi ini adalah sebagai berikut:
Sesi 1: Pengkajian Masalah Keluarga
Sesi 2 : Perawatan Klien Gangguan Jiwa
Sesi 3 : Manajemen Stress Keluarga
Sesi 4: Manajemen Beban Keluarga
Sesi 5: Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga
3. Kelompok
Supportive Teraphy (ST) sekumpulan orang-orang yang berencana,
mengatur dan berespon secara langsung terhadap issue-issue dan
tekanan yang khusus maupun keadaan yang merugikan. Bertujuan
untuk memberikan support terhadap keluarga sehingga mampu
menyelesaikan krisis yang dihadapinya dengan cara membangun
hubungan yang bersifat suportif antara klien-terapis, meningkatkan
keterampilan koping keluarga, meningkatkan kemampuan keluarga
mencapai kemandirian seoptimal mungkin, serta meningkatkan
kemampuan mengurangi distres subyektif dan respons koping yang
maladaptive (Modul UI, 2019).
Sesi 1: identifikasi masalah dan sumber pendukung yang ada
Sesi 2: Cara menggunakan sistem pendukung internal
Sesi 3: Cara menggunakan sistem pendukung eksternal
Sesi 4: Evaluasi.
4. Psikofarmaka
Obat yang dapat diberikan yaitu obat-obatan antidepresan seperti
tetrasiklik contohnya Maprotiline, Mianserin, Amoxapine. Antidepresi
SSRI contohnya Sertraline, Paroxetine, Fluvoxamine, Fluoxetine,
Duloxetine dan Citalopram. Sedangkan anti depresi atipikal antara
lain Trazodone, Mirtazapine, Venlafaxine (Ah. Yusuf, 2015).

2.5 Evaluasi
Individu
a. Klien dapat mengetahui kejadian kehilangan dan berduka yang dialami.
b. Dapat memahami hubungan antara kehilangan yang dialami dengan
keadaan pada diri klien.
c. Dapat mengidentifikasi cara mengatasi berduka yang dialami klien.
d. Dapat memanfaatkan system pendukung.
Keluarga
a. Keluarga dapat mengetahuai masalah kehilangan dan berduka yang
dihadapi klien.
b. Keluarga dapat mengetahui cara merawat klien saat berduka
berkepanjangan.
c. Keluarga dapat mempraktekkan cara merawat klien dengan berduka
disfungsional.
d. Keluarga dapat memanfaatkan sumber pendukung yang ada
dimasyarakat. (Ah. Yusuf, 2015)
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Studi Kasus


Data klien, berusia 10 tahun, laki-laki, pelajar, yang berasal dari daerah
perkotaan Kolkata, India, dilaporkan dengan keluhan suasana hati yang buruk,
mudah menangis dengan hal – hal kecil dan kurang tidur, yang dipicu oleh
kematian ayahnya. Informan juga melaporkan, klien menunjukkan sifat lekas
marah, dan mimpi buruk, kadang-kadang. Wawancara mengungkapkan
adanya menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berdaya dan putus asa bersama
dengan konsentrasi yang buruk dalam pengkajian yang dilakukan baru-baru
ini. Intervensi psiko terapeutik dilakukan di sebuah klinik perkotaan di
Kolkata, India, dilanjutkan selama dua bulan, dengan jumlah total 8 sesi,
durasi per sesi adalah 45-50 menit.

3.2 Faktor Predisposisi (Zaini, 2019) (Widiyawati, 2020)


a. Biologis
Perawat dapat melakukan pengkajian terhadap riwayat penyakit
keluarga yang memiliki masalah yang sama dengan klien, terutama jika
keluarga pernah ada yang mengalami gangguan depresi. Perawat juga
dapat mengkaji mengenai riwayat kehamilan ibu pada masa
prenatal/perinatal (adakah penurunan kadar oksigen saat klien dilahirkan,
adakah kejadian kelahiran premature, adanya riwayat preeklamsi/eklamsi
saat mengandung, malnutrisi, apakah ibu merupakan pecandu alkohol,
perokok, pemakai obat-obatan dll). Selain itu, dapat dilakukan pengkajian
lebih lanjut terkait kondisi kesehatan secara umum, riwayat penyakit pada
klien, status nutrisi pada klien untuk mengkaji adanya gangguan nutrisi,
serta riwayat penggunaan obat-obatan, riwayat putus zat, merokok dan
minuman beralkohol.
b. Faktor Psikologi
Perawat dapat mengkaji mengenai tahap perkembangan klien dari
kecil untuk melihat apakah tahap perkembangan dapat dipenuhi dan
melihat harapan yang belum terpenuhi. Kaji terkait pola komunikasi dalam
keluarga, karena keluarga yang provokatif dan dominan dalam
beragumentasi dapat menyebabkan individu mudah mengalami depresi.
Selain itu, dapat dikaji pola keluarga dalam melakukan interaksi dengan
lingkungan sekitarnya.
c. Faktor Sosial-Budaya
Perawat dapat melakukan pengkajian mengenai peran sosial yang
dilakukan klien di lingkungan sekitar dan di dalam keluarga.

3.3 Faktor Presipitasi


Ayah klien meninggal

3.4 Penilaian Terhadap Stressor


a. Kognitif
Klien menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berdaya, putus dan
memiliki konsentrasi yang buruk
b. Afektif
Klien memiliki suasana hati yang buruk, sedih dan mudah marah
c. Fisiologis
Klien mengalami gangguan tidur dan kadang – kadang mengalami mimpi
buruk
d. Perilaku
Klien mudah menangis dengan hal – hal kecil
e. Sosial
Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut.

3.5 Sumber Koping


a. Kemampuan Personal
Dalam kasus tidak dijelaskan mengenai tindakan yang sudah dilakukan
oleh klien untuk mengurangi perasaan sedih, marah karena meninggalnya
ayah klien
b. Dukungan Sosial
Klien memiliki dukungan sosial yang datang dari keluarga.
c. Modal Material
Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut tentang perekonomian dalam
keluarga klien, namun dari kasus dapat disimpulkan bahwa layanan
kesehatan jiwa dapat dijangkau
d. Keyakinan Positif
Klien tidak memiliki keyakinan positif karena klien menyalahkan dirinya
atas meninggalnya ayah klien

3.6 Mekanisme Koping


Mekanisme koping yang digunakan klien yaitu mekanisme koping
destruktif, dimana klien tidak memiliki keyakinan positif terhadap dirinya.

3.7 Diagnosa
a. Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul sesuai kasus diatas yaitu berduka
disfungsional
b. Medis
Diagnosa medis yang muncul sesuai kasus diatas yaitu mengalami Depresi

3.8 Intervensi
a. Terapi Dalam Jurnal
Sesuai dengan kasus, beberapa intervensi terapeutik dan rencana
pengelolaan dirancang untuk mengeksplorasi, mengubah dan menyelesaikan
reaksi duka cita yang dirasakan klien. Klien dapat terbantu dengan
menggunakan sejumlah intervensi terapeutik, beberapa diantaranya adalah
Assertive Therapy dan Supportive Therapy
b. Generalis
Prinsip intervensi pada klien berduka disfungsional menurut Yusuf (2015)
adalah :
1) Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penyangkalan (denial)
adalah memberi kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya
dengan cara berikut.
a. Dorong klien mengungkapkan perasaan kehilangan.
b. Tingkatkan kesadaran klien secara bertahap tentang kenyataan
kehilangan klien secara emosional.
c. Dengarkan klien dengan penuh pengertian. Jangan menghukum
danmenghakimi.
d. Jelaskan bahwa sikap klien sebagai suatu kewajaran pada
individu yang mengalami kehilangan.
e. Beri dukungan secara nonverbal seperti memegang tangan,
menepuk bahu, dan merangkul.
f. Jawab pertanyaan klien dengan bahasan yang sederhana, jelas,
dan singkat.
g. Amati dengan cermat respons klien selama bicara.
2) Prinsip intervensi keperawatan pada tahap marah (anger) adalah
dengan memberikan dorongan dan memberi kesempatan klien untuk
mengungkapkan marahnya secara verbal tanpa melawan
kemarahannya. Perawat harus menyadari bahwa perasaan marah
adalah ekspresi frustasi dan ketidakberdayaan.
a. Terima semua perilaku keluarga akibat kesedihan (marah,
menangis).
b. Dengarkan dengan empati. Jangan mencela.
c. Bantu klien memanfaatkan sistem pendukung.
3) Prinsip intervensi keperawatan pada tahap tawar-menawar
(bargaining) adalah membantu klien mengidentifikasi perasaan
bersalah dan perasaan takutnya.
a. Amati perilaku klien.
b. Diskusikan bersama klien tentang perasaan klien.
c. Tingkatkan harga diri klien.
d. Cegah tindakan merusak diri.
4) Prinsip intervensi keperawatan pada tahap depresi adalah
mengidentifikasi tingkat depresi, risiko merusak diri, dan membantu
klien mengurangi rasa bersalah.
a. Observasi perilaku klien.
b. Diskusikan perasaan klien.
c. Cegah tindakan merusak diri.
d. Hargai perasaan klien.
e. Bantu klien mengidentifikasi dukungan positif.
f. Beri kesempatan klien mengungkapkan perasaan.
g. Bahas pikiran yang timbul bersama klien.
5) Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penerimaan (acceptance)
adalah membantu klien menerima kehilangan yang tidak dapat
dihindari dengan cara berikut.
a. Menyediakan waktu secara teratur untuk mengunjungi klien.
b. Bantu klien dan keluarga untuk berbagi rasa.
c. Spesialis
1. Assertive Therapy (AT)
Terapi ini merupakan terapi yang diberikan untuk melatih kemampuan
seseorang dalam menyampaikan perasaan, pikiran, dan pendapatnya,
secara jujur, tegas serta terbuka tanpa melibatkan penghinaan, sikap
menyinggung, ataupun melukai perasaan orang lain. (Kadji, 2017)
Adapun sesi AT ini terdiri dari : (Ramadia, 2014)(Prabowo & Asni,
2018)
Sesi 1 Mengidentifikasi kejadian apa yang membuat individu
merasa marah/kesal
Sesi 2 Mengungkapkan adanya kebutuhan dan keinginan
untuk memenuhinya
Sesi 3 Melakukan latihan sikap asertif dalam
mengungkapkan keinginan atau kebutuhan
Sesi 4 Memberikan latihan berkata “tidak” terhadap
permintaan orang lain
Sesi 5 Mempertahankan sikap asertif yang telah diajarkan
untuk mengungkapkan kebutuhan
2. Supportive Therapy (ST)
Pemberian Supportive Therapy dinilai mampu meningkatkan
kesehatan mental dan mempertahankan kesejahteraan psikologis
individu yang sedang mengalami depresi dengan cara memberikan
bantuan, tindakan penguatan, menunjukkan sikap caring, dan
memberikan alternatif solusi terhadap masalah yang sedang dihadapi
oleh individu. (Sukma & Panjaitan, 2018) Terapi ini terdiri dari 4 sesi,
yaitu : (Salsabhilla & Panjaitan, 2019)
Sesi 1 : Identifikasi Masalah Dan Sumber Pendukung Yang Ada
Sesi 2 : Ajarkan cara menggunakan sistem pendukung internal
Sesi 3 : Ajarkan cara untuk menggunakan sistem pendukung eksternal
Sesi 4 : Evaluasi

3.9 Evaluasi
Evaluasi yang didapatkan berdasarkan kasus pada jurnal dengan
pemberian terapi Assertive Therapy dan Supportive Therapy yang dilakukan
selama 8 sesi dan setelah sesi reguler perbaikan yang signifikan ditemukan
dalam perilaku dan emosi klien. Klien terlibat dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari dan fungsinya kembali secara keseluruhan, termasuk keterlibatan
akademis juga meningkat dari sebelumnya.

3.10 Prinsip Etik Dan Hukum Yang Harus Diperhatikan


Pada kasus diatas, perawat harus memperhatikan etik dan hukum dalam
memberikan terapi. Beberapa kebijakan yang harus diperhatikan dan berfokus
mengenai masalah kesehatan jiwa yaitu UU RI No 18 tahun 2014 tentang
kesehatan jiwa, PMK RI No 39 tahun 2016 tentang pedoman penyelenggaraan
program Indonesia sehat terutama tercantum pda pasal 3 mengenai penderita
gangguan jiwa mendapat pengobatan dan tidak di telantarkan (Wuryaningsih,
2018). Pada kasus diatas, tinjauan etik yang harus diperhatikan perawat yaitu:
a. Autonomy : klien tersebut memiliki kebebasan untuk memilih atau
menolak terapi yang diberikan oleh perawat yang disesuaikan dengan
kondisinya dan klien berhak untuk mendapatkan pengobatan yang tepat,
serta klien juga harus tetap memperoleh dan atau menyetujui informasi
dari setiap tindakan atau terapi yang akan diberikan. Penjelasan mengenai
kondisi klien dan pentingnya tindakan harus dilakukan dengan baik tetapi
tidak dengan cara memaksa klien.
b. Beneficience dan non maleficience : perawat harus memberikan perlakuan
baik kepada klien dan tidak merugikan klien,
c. Justice : perawat harus adil dalam memberikan intervensi kepada klien
tersebut dan juga klien lain. Tidak ada diskriminasi yang diberikan kepada
klien.
d. Veracity : pada kasus tersebut, kunci utama perawat yaitu kejujuran
sehingga akan timbul rasa percaya pada klien. Karena dengan rasa percaya
tersebut, klien akan mudah menerima intervensi yang akan diberikan oleh
perawat untuk meningkatkan kesehatannya.
e. Confidentiality : perawat juga harus mampu menjaga kerahasiaan
informasi klien terutama saat berada diluar area pelayanan karena
informasi terkait gangguan jiwa dilindungi secara undang-undang.
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berduka merupakan respon normal yang terjadi pada semua kejadian
kehilangan. Setiap individu yang mengalami kehilangan pasti akan melewati
tahapan kehilangan. Mulai dari penyangkalan, marah, tawar-menawar, depresi,
dan terakhir fase penerimaan. Akan tetapi tidak semua individu dapat melalui
tahapan berduka sampai fase penerimaan. Pada beberapa kasus, seseorang akan
mengalami berduka disfungsional. Salah satu bentuk berduka disfungsional yang
yang sering terjadi pada anak dan remaja yaitu akibat kehilangan orang tua yang
dicintai. Intervensi psikoterapi merupakan sesuatu yang paling dibutuhkan oleh
klien dengan berduka. Sesuai dengan kasus untuk mengeksplorasi, mengubah dan
menyelesaikan reaksi duka cita yang dirasakan klien, maka Klien dapat terbantu
dengan menggunakan sejumlah intervensi terapeutik, beberapa diantaranya adalah
Assertive Therapy dan Supportive Therapy

4.2 Saran
Sebelum memutuskan penggunaan terapi yang cocok untuk mengatasi
berduka disfungsional, perawat terlebih dahulu harus melakukan pengkajian
terstruktur dengan menggunakan pengkajian status mental Stuart dan
memperhatikan kode etik dan hukum yang berkaitan dengan pemberian terapi.
DAFTAR PUSTAKA

A’la, M. Z., Yosep, I., & Agustina, H. R. (2017). Pengaruh bereavement life
review terhadap kesejahteraan spiritual pada keluarga pasien stroke. Jurnal
Keperawatan Padjadjaran, 5(2).

Azizah, L. M, Zainuri, I. Akbar, A. (2016). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan


Jiwa: Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia Pustaka

Halder, S., & Samajdar, S. (2020). Grief-focused psychological intervention in


exploration and alteration of the emotional reaction in a child: a case
study. Indian Journal of Mental Health, 7(3).

Harvey, C., (2017). Family Psychoeducation For People Living With


Schizophrenia And Their Families. Bjpsych Advances. Vol. 24: 9–19, Doi:
10.1192/Bja.2017.4.

Herdman, T.H. (2018). NANDA International Nursing Diagnoses: definitions and


classification 2018-2020. Jakarta: EGC.

Kadji, Ramona Irfan. 2017. Pengaruh Latihan Asertif (Role Playing) Terhadap
Kemampuan Mengendalikan Marah pada Klien Skizofrenia dengan Perilaku
Kekerasan di Komunitas. Fakultas Keperawatan UNAIR Surabaya

Modul Universitas Indonesia. (2019). Fakultas Keperawatan Jiwa Universitas


Indonesia.

Novieastari, E., Ibrahim, K., Deswani, Ramdaniati, S. (2019). Dasar-Dasar


Keperawatan. Edisi Indonesia: Elsevier.

Nurhalimah. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Jiwa. Jakarta:


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Nurhidayati, N., & Chairani, L. (2014). Makna Kematian Orangtua Bagi Remaja
(Studi Fenomenologi Pada Remaja Pasca Kematian Orangtua). Jurnal
Psikologi, 10(1), 33-40.

Prabowo, Arga Satrio., Asni. 2018. Latihan Asertif : Sebuah Itervensi yang
Efektif. Jurnal Bimbingan dan Konseling Volume 7 Nomor 1 : 116-120

Ramadia, Arya. 2014. Penerapan Cognitif Behavior Therapy (CBT) dan Assertive
Training pada Klien dengan Resiko Perilaku Kekerasan Menggunakan
Pendekatan Model Stuart dan Adaptasi Roy di Ruang Gatot Kaca RS. DR.
H. Marzoeki Mahdi Bogor. Program Pendidikan Profesi Ners Spesialis Jiwa
FIK UI
Ruswadi, Indra. (2021). Keperawatan Jiwa Panduan Praktis Untuk Mahasiswa
Keperawatan. Indramayu: CV. Adanu Abimata.

Salomonsson, S., Santoft, F., Lindsäter, E., Ejeby, K., Ingvar, M., Öst, L. G., ... &
Hedman-Lagerlöf, E. (2020). Predictors of outcome in guided self-help
cognitive behavioural therapy for common mental disorders in primary
care. Cognitive behaviour therapy, 49(6), 455-474.

Salshabilla, Alifia., Panjaitan, Ria Utami. 2019. Dukungan Sosial dan


Hubungannya dengan Ide Bunuh Diri pada Mahasiswa Rantau. Jurnal
Keperawatan Jiwa Volume 7 Nomor 1 : Hal 107-114
SDKI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator
Diagnostik (1st ed.). Jakarta Selatan: DPP PPNI.

Stuart, G. W, Keliat, B. A, Pasaribu. J. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan


Kesehatan Jiwa Stuart. Edisi Indonesia (Buku 1). Singapura: Elsevier.

Sukma, Fitri Maharani., Panjaitan, Ria Utami. 2018. Dukungan Sosial dan
Hubungannya dengan Tingkat Depresi Pada Narapidana Anak Volume 6
Nomer 2. Jurnal Keperawatan : Hal 83-90

Townsend, M. C. (2017). Psychiatric mental health nursing: Concepts of care in


evidence-based practice. 9th Edition. Philadelphia: FA Davis Company.

Widiyawati, Wiwik. 2020. Keperawatan Jiwa. Malang : CV Literasi Nusantara


Abadi

Yusuf, A., Fitryasari, R & Nihayati, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan


Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Zaini, Mad. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa Masalah Psikososial di Pelayanan


Klinis dan Komunitas. Yogyakarta : Deepublish Publisher

Anda mungkin juga menyukai