Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FISIOLOGI REPRODUKSI IKAN


“Sex Reversal”

OLEH :
SITI HADIJAH N RASYID
O 271 17 076

FAKUTAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN


PROGRAM STUDI AKUAKULTUR
JURUSAN AKUAKULTUR
UNIVERSITAS TADULAKO
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ada banyak cara yang dilakukan untuk dapat meningkatkan mutu dan
pertumbuhan ikan, diantaranya adalah pemilihan induk unggul yang diperoleh
dengan teknik persilangan atau hibridisasi, manipulasi kromosom atau dengan
cara sex reversal untuk menghasilan benih monosex.

Memproduksi ikan monosex artinya memproduksi ikan dengan satu jenis


kelamin yaitu jantan atau betina saja. Hal ini didasarkan pada pola pertumbuhan
ikan yang berbeda antara ikan jantan dan betina. Contohnya pada ikan gurami
jantan lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan ikan betina, jantan berumur 10–
12 bulan dapat mencapai berat rata-rata 250 gram/ekor, sedangkan betina hanya
200 gram/ekor. Ini berarti pertumbuhan jantan 20% lebih cepat dibandingkan
betina. Sehingga dengan hanya memproduksi ikan jantan saja dapat meningkatkan
produksi dari usaha budidaya.

Dilihat dari segi perkembangan metode ini dari hari kehari yang semakin
diminati oleh para petani karena income yang didapatkan dari hasil monosex
sangat menjanjikan, maka hal tersebutlah yang melatar belakangi penulis untuk
membuat makalah tentang metode sex reversal

1.2 Tujuan

Adapun tujuan Pembuatan makalah sex reversal ini adalah sebagai berikut :

1. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang apa itu sex


reversal, cara yang digunakan dalam metode sex reversal serta bahan-
bahan apa sajakah yang sudah umum dipergunakan dalam pembentukan
kelamin tunggal ini.
2. Sebagai pemenuhan tugas matakuliah Seleksi Ikan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Seleksiikandisebutjugaperbaikangenetik (Genetic improvement)


merupaanaplikasigenetikdimanainformasigenetikdapatdiketahuidengancaraini
untukmelakukanpemuliaan.
Tujuandaripemuliaanitusendiriadalahmenghasilkanbenih yang unggul yang
diperolehdariindukhasilseleksi agar dapatmeningkatkanproduktifitas.

Produktifitas dalam budidaya ikan dapat ditingkatkan dengan beberpa cara


diantaranya ektensifikasi dan intensifikasi. Ektensifikasi adalah meningkatkan
hasil dengan memperluas lahan budidaya, sedangkan intensifikasi ialah
meningkatkan hasil persatuan luas dengan melakukan manipulasi terhadap faktor
internal dan faktor eksternal.

Menurut Tave (1995), seleksi adalah program breeding yang memanfaatkan


phenotypic variane (keragaman fenotipe) yang diteruskan dari orang tua kepada
keturunannya, keragaman fenotipe merupakan penjumlahan dari keragaman
genetik, keragaman lingkungan dan interaksi antara variasi lingkungan dan
genetik.

Pelaksanaan seleksi ikan bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu seleksi
terhadap fenotipe kualitatif yang dilihat dari warna tubuh, tipe sirip, polasisik dan
bentuk punggung, sedangkan seleksi terhadap fenotipe kuantitatif yang dilihat dari
pertumbuhan, fikunditas, daya tahan tubuh terhadap penyakit dan sebagainya.

Pelaksanaan pemuliaan pada ikan dari program breeding dapat dilakukan


dengan beberapa cara yang salah satunya adalah sex reversal. Sex reversal adalah
suatu teknologi yang membalikan arah perkembangan kelamin menjadi
berlawanan. Cara ini dilakukan pada waktu ikan baru menetas gonad ketika ikan
belum berdiferensiasi secara jelas menjadi jantan atau betina tanpa merubah
genotipnya.
Pada dasarnya ada dua metode yang digunakan untuk mendapatkan atau
memperoleh populasi monosex (sex reversal) yaitu melalui terapi hormon (cara
langsung) atau rekayasa kromosom (cara tidak langsung). Pada terapi langsung,
hormone androgen dan estrogen mempengaruhi fenotip tetapi tidak
mempengaruhi genotip.Misalkan pada ikan hias, nisbah kelamin keturunannya
tidak selalu 1:1 akan tetapi 50% jantan: 50% betina pada pemijahan pertama dan
30% jantan: 50% betina.

Pada metode langsung dapat diterapkan pada semua jenis ikan, apapun jenis
kromosom sexnya. Hormon biasanya diberikan pada awal kehidupan ikan. Pada
metode ini memiliki kelebihan utama yaitu sederhana. Selain itu juga pada dosis
yang optimal kematian ikan dapat ditekan. Kelemahan dari metode yaitu
keberhasilan yang didapatkan sangatlah beragam, hal ini disebabkan oleh
perbandingan kelamin alamiah antara jantan dan betina tidak selalu sama.
BAB III
PEMBAHASAN

Dalam ilmu genetika ikan, modifikasi kelamin dikenal dengan istilah sex
reversal atau pengarahankelamin. Dengan metode ini, jenis kelamin dapat
diarahkan sesuai dengan keinginan(menjadi jantan ataubetina). Keputusan untuk
menjantankan atau membetinakan ikan dapat didasarkan kepada harga jual atau
performa ikan akibat perbedaan kelamin. Untuk ikan tertentu, ikan jantan lebih
diminati dan begitupun sebaliknya. Untuk melakukan kegiatan ini, beberapa jenis
hormon estrogen dan androgen dapat digunakan yang kesemuanya bertujuan
untuk pembetinaan atau penjantanan.

Umumnya, proses sex reversal dilakukan secara oral atau melalui pakan dan
melalui perendaman(dipping). Untuk fase larva, kita dapat melakukannya melalui
oral dan atau dipping dan untuk fase telurdapat dilakukan dengan dipping. Pada
beberapa jenis ikan yang lain, perlakuannya diterapkan pada saatsedang hamil.
Untuk yang terakhir ini (biasanya pada beberapa jenis ikan hias berukuran kecil),
bisa menggunakancara perendaman induk yang sedang hamil tersebut.

3.1 Sex Reversal

Sex reversal adalah proses memproduksi ikan monosex atau memproduksi


ikan dengan satu jenis kelamin berupa jantan saja atau betina saja. Sex reversal
dengan pemberianmetiltestosterondikenal cukup efektif untuk memproduksi
populasi jantan. Pemberianmetiltestosteronmelalui oral (pakan) dianggap
kurangefisien karena memerlukan dosis tinggi dan waktu pemberiannya relatif
lebih lama walaupun tingkakeberhasilan merubah kelamin jantan dapat mencapai
96-100%, sedangkan pemberianmethyltestosteronmelalui metode perendaman
(dipping) lebih efisien karena dosis yang diberikan relatif kecil dan
waktukontaknya lebih singkat walaupun tingkat keberhasilan merubah kelamin
jantan dibawah 96% (Zairin, 2002),hal ini didukung oleh penelitian Priambodo
(1998), pada ikan nila bahwa dengan dosis 0,9-1,2 dengan lamaperendaman dua
jam sudah dapat merubah jenis kelaminnya.
Sex reversal merupakan cara pembalikan arah perkembangan kelamin ikan
yang seharusnyaberkelamin jantan diarahkan perkembangan gonadnya menjadi
betina atau sebaliknya. Teknik ini dilakukanpada saat ikan belum terdiferensiasi
gonadnya secara jelas antara jantang dan betina pada waktu menetas.Sex reversal
merubah fenotif ikan tetapi tidak merubah genotifnya. Teknik sex reversal mulai
dikenal padatahun 1937 ketika estradiol 17 disintesis untuk pertama kalinya di
Amerika Serikat. Pada mulanya teknik iniditerapkan pada ikan guppy (Poecilia
reticulata). Kemudian dikembangkan oleh Yamamato di Jepang pada Ikan
Medaka (Oryzias latipes). Ikan Medaka betina yang diberi metiltestosteron akan
berubah menjadi jantan. Setelah melalui berbagai penelitian teknik ini menyebar
keberbagai negara lain dan diterapkan padaberbagai jenis ikan. Awalnya dinyakini
bahwa saat yang baik untuk melakukan sex reversal adalah beberapahari sebelum
menetas (gonad belum terdiferensiasi).Teori ini pun berkembang karena adanya
fakta yangmenunjukkan bahwa sex reversal dapat diterapkan melalui embrio dan
induk yang sedang hamil(Masduki, 2011).

Penerapan sex reversal dapat menghasilkan populasi monosex (kelamin


tunggal). Kegiatanbudidaya secara monosex (monoculture) akan bermanfaat
dalam mempercepat pertumbuhan ikan. Hal inidikarenakan adanya perbedaan
tingkat pertumbuhan antara ikan berjenis jantan dengan betina. Beberapaikan
yang berjenis kelamin jantan dapat tumbuh lebih cepat daripada jenis betina
misalkan ikan nila dan ikan lele Amerika. Untuk mencegah pemijahan liar dapat
dilakukan melalui teknik ini. Pemijahan liar yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan kolam cepat penuh dengan berbagai ukuran ikan. Total biomass
ikan tingginamun kualitasnya rendah. Pemeliharaan ikan monosexs akan
mencegah perkawinan dan pemijahan liarsehingga kolam tidak cepat dipenuhi
ikan. Selain itu ikan yang dihasilkan akan berukuran besar danseragam. Contoh
ikan yang cepat berkembangbiak yaitu ikan nila dan mujair.Pada beberapa jenis
ikan hiasseperti cupang, guppy, kongo dan rainbow akan memiliki penampilan
tubuh yang lebih baik pada jantan dari pada ikan betina. Dengan demikian, nilai
jual ikan jantan lebih tinggi ketimbang ikan betina (Masduki,2011).
Sex reversal juga dapat dimanfaatkan untuk teknik pemurnian ras ikan. Telah
lama diketahui ikandapat dimurnikan dengan teknik ginogenesis yang produknya
adalah semua betina. Menjelang diferensiasigonad sebagian dari populasi betina
tersebut diambil dan diberi hormon androgen berupa methyltestosteronsehingga
menjadi ikan jantan. Selanjutnya ikan ini dikawinkan dengan saudaranya dan
diulangi beberapakali sampai diperoleh ikan dengan ras murni (Masduki, 2011).

Pada kasus hermaprodit, hormon yang diberikan hanya akan mempercepat


proses perubahan, sedangkan pada sex reversal perubahannya benar-benar
dipaksakan. Ikan yang seharusnya berkembangmenjadi betina dibelokkan
perkembangannya menjadi jantan melalui proses penjantanan (maskulinisasi).
Sedangkan ikan yang seharusnya menjadi jantan dibelokkan menjadi betina
melalui proses pembetinaan (feminisasi), (Masduki, 2011).

3.2 Hormon Steroid

Salah satu teknik sex reversal adalah dengan memberikan hormon steroid
pada fase labil kelamin. Pada beberapa spesies ikan jenis teleost gonochoristic,
fisiologi kelamin dapat dengan mudah dimanipulasi melalui pemberian hormon
steroid (Piferrer et al. 1994). Nagy et al. (1981) menjelaskan bahwa keberhasilan
manipulasi kelamin pada ikan menggunakan hormon dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain jenis dan umur ikan, dosis hormon, lama waktu dan cara
pemberian hormon serta lingkungan tempat pemberian hormon dilakukan.
Ditekankan oleh Hunter dan Donaldson (1983), bahwa keberhasilan pemberian
hormon sangat tergantung pada interval waktu perkembangan gonad, yaitu pada
saat gonad dalam keadaan labil sehingga mudah dipengaruhi oleh hormon.
Hormon steroid yang dihasilkan oleh jaringan steroidogenik pada gonad terdiri
atas hormon androgen untuk maskulinisasi, estrogen untuk feminisasi dan
progestin yang berhubungan dengan proses kehamilan (Hadley 1992). Namun,
pada tahap perkembangan gonad belum terdiferensiasi menjadi jantan atau betina,
hormon steroid belum terbentuk sehingga pembentukan gonad dapat diarahkan
dengan menggunakan hormon steroid sintetik (Hunter & Donaldson 1983). Salah
satu jenis hormon steroid sintetik yang banyak digunakan untuk proses sex
reversal pada ikan, khususnya ikan nila, adalah hormon 17a-methyltestosterone
(mt). Hormon 17a-mt.

3.3 Methyl Testosterone (MT)

Hormon androgen yang paling umum digunakan dalam aplikasi sex reversal
untuk maskulinisasi (pengarahan kelamin menjadi jantan) adalah 17α-
methyltestosterone yang diperkirakanefektif digunakan pada lebih dari 25 spesies
yang telah diuji. Methyl testosterone merupakan androgenyang paling sering
dipakai untuk merubah jenis kelamin dan penggunaan methyltestosteron pada
dosis yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda pula. 17α-
methyltestosterone (17α-MT) merupakanhormon sistetik yang molekulnya sudah
dimodifikasi agar tahan lama di dalam tubuh. Hal ini dikarenakan pada karbon ke-
17 telah ditempeli oleh gugus metal agar tahan lama (Junior, 2002). Methyl
testosterone dibuat betina pada pemijahan berikutnya (Masduki, 2011), dengan
cara menambahkan satu kelompok α-metil pada atom karbon ke-17 di dalam
gugus testosterondengan rumus bangun kimia kimia C20H30O2, berbobot
molekul 302,05.

Penggunaan 17α-methyltestosterone saat ini sudah mulai dikurangi. Hal ini


dikarenakan diduga sifat 17α-metiltestosteron yang dapat menimbulkan
pencemaran karena sulit terdegradasi dan karena 17α-metiltestosteron dapat
menyebabkan kanker pada manusia. Contreras –Sanchez et. al (2001) menyatakan
bahwa residu anabolik 17α-methyltestosterone masih tertinggal pada sedimen
kolam setelahtiga bulan penggunaan pada maskulinisasi benih ikan nila. Residu
ini dikhawatirkan dapat menimbulkanekspos yang tidak diharapkan pada pekerja,
ikan dan organisme lain. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian
hormon 17α-methyltestosterone mampu mempengaruhi perkembangan
gonadbeberapa ikan.

Percobaan pada diferensiasi seks lingkungan (ESD) di Atlantik Halibut


melalui suhu pemeliharaanterkendali yang menunjukkan hasil yang samar-samar,
meskipun salah satu studi menunjukkan bahwa suhutinggi terpengaruh ekspresi
sitokrom P450 aromatase gen (cyp19a) (van SPN dan Andersen, 2006). Hasildari
pekerjaan yang lebih baru menunjukkan bahwa suhu pemeliharaan tidak
mempengaruhi rasio jeniskelamin (Hughes et al., 2008). Penggunaan steroid
hormon yang efektif untuk seks disebabkan pembalikan (Hendry et al., 2003),
tetapi sementara steroid disetujui untuk digunakan dalam pertanian di
beberapanegara, mereka dapat menyebabkan masalah dengan konsumen persepsi
di bagian lain dunia. Penggunaannon-steroid agen untuk sexs pembalikan dapat
memberikan wawasan lebih lanjut tentang mekanisme yangmengontrol
diferensiasi seks, serta menyediakan alternatif untuk pengobatan steroid.

Menurut Mukti (2002), kelebihan dosis hormon methyltestosteron yang


diberikan pada ikan dapatmengurangi jumlah kelamin jantan yaitu hormon
methyltestosteron semakin memacu perkembangankelamin atau gonad betina ikan
(bukan kelamin jantan). Semakin tinggi dosis hormon yang diberikan dapat
menurunkan tingkat kelulushidupan ikan, karena adanya sifat racun (toxit) dari
hormon kepada ikan.

Pemberian hormon methyltestosteron pada benih ikan gurami tidak


menyebabkan perubahangenetik ikan, karena hormon ini hanya akan mencapai
dan mempengaruhi organ target saja dan bukankelamin ikan, diferensiasi kelamin
atas pengaruh pemberian hormon mengubah fenotip kelamin, tetapitidak
mengubah genotipnya (Zairin, 2002). Efektifitas pembentukan kelamin jantan
sangat ditentukan olehketepatan pemberian dosis hormon methyltestosteron dan
umur ikan sebelum gonad terdiferensiasi, karenadosis dan masa diferensiasi yang
tepat akan menghambat pembentukan ovari dan sebaliknya pembentukan gonad
jantan semakin cepat, sehingga gonad akan berkembang menjadi testis
(Sunandar,2006).

Pematang gonad ikan yang bekerja dibawah kendali hormon-hormon, secara


umum mekanismeterjadi secara alamiah dan rekayasa (rangsangan). Mekanisme
secara alamiah kerja hormon untukperkembangan dan pematangan gonad dimulai
dari adanya rangsangan dari luar seperti visual untukfotoperiode, kemoreseptor
untuk suhu dan metabolit yang kemudian diterima oleh susunan saraf otakmelalui
reseptor-reseptor penerima rangsangan susunan saraf otak kemudian merangsang
hipotalamusuntuk melepaskan Gonadropin Releasing Hormon (GnRH) untuk
mestimulasi kelenjar hipofisa (pituitary) untuk mengsekresikan Gonadotropin
Hormon (GtH) kemudian dialirkan ke dalam darah untuk merangsangkematangan
gonad akhir melalui simulasi untuk mensintesis hormon-hormon steroid
pematangan (sepertihormon testoteron dan estradiol) dalam ovarium atau testis,
dan mempengaruhi perkembangan kelaminsekunder (Sunandar, 2006).

Mekanisme rangsangan pembentukan gonad jantan dengan menggunakan


hormon methyltestosteron (hormon steroid) dimulai dari penyerapan hormon
kedalam tubuh ikan secara difusi dan disekresikan melalui saluran darah
(Montgomery,et all., 1983). Proses bagaimana hormon steroid tersebutdapat
merangsang pemasakan oosit maupun sperma mekanismenya belum diketahui,
tetapi diduga melaluitranfer kode terjemahan RNA (Darwisito, 2002).

3.4 Aromatase dan Aromatase Inhibitor

Selain dengan pemberian hormon steroid, diferensiasi kelamin juga


dipengaruhi oleh ekspresi dari gen yang menghasilkan enzim aromatase (Patino
1997). Aromatase adalah enzim cytochrome P-450 yang mengkatalis perubahan
dari androgen menjadi estrogen. Aktivitas enzim aromatase terbatas pada daerah
dengan target estradiol dan berfungsi untuk mengatur jenis kelamin, reproduksi
dan tingkah laku (Callard et al. 1990). Ada 2 bentuk gen aromatase pada ikan
yaitu aromatase otak dan aromatase ovari. Aromatase otak berperan sebagai
pengatur perilaku sex spesifik pada mamalia dan burung (Schlinger & Callard
1990, diacu dalam Melo & Ramsdell, 2001) dan juga mengatur reproduksi pada
ikan (Pasmanik et al. 1988, diacu dalam Melo & Ramsdell, 2001). Aktivitas
enzim aromatase pada otak teleostei 100-1000 kali lebih tinggi dibanding pada
mamalia. Aktivitas enzim aromatase ovari kurang dari 1/10 kali aktivitas enzim
aromatase otak (Gelinas & Callard 1993, diacu dalam Tchaudakova & Callard
1998). Fungsi cytocrome P-450 pada determinasi jenis kelamin telah teruji karena
merupakan enzim yang bertanggung jawab dalam proses aromatisasi dari
androstenedione menjadi estrone atau testosterone menjadi estradiol-17ß
(Jeyasuria et al. 1986, diacu dalam Kwon et al. 2000). Aktivitas enzim aromatase
berkorelasi dengan struktur gonad, yaitu larva dengan aktivitas aromatase rendah
akan mengarah pada terbentuknya testis, sedangkan aktivitas aromatase yang
tinggi akan mengarah pada terbentuknya ovari (Sever et al. 1999).
Pada ikan tilapia, sel yang memproduksi enzim aromatase positif terdapat
pada gonad XX berumur 7 hari setelah menetas. Aromatase ini penting bagi
sintesis estrogen yang selanjutnya akan mempengaruhi penentuan jenis kelamin.
Aromatase diekspresikan pada gonad XX 10 hari sampai dengan 2 minggu
sebelum diferensiasi ovari (Brodie 1991). Selain pada genotipe XX, aktivitas
enzim aromatase juga terdeteksi pada genotipe XY dengan tingkat yang lebih
rendah (D’Cotta et al. 2001).

Aromatase inhibitor berfungsi untuk menghambat kerja enzim aromatase


dalam sintesis estrogen. Adanya penghambatan ini mengakibatkan terjadinya
penurunan konsentrasi estrogen yang mengarah kepada tidak aktifnya transkripsi
gen aromatase sebagai feedback-nya (Sever et al. 1999). Penurunan rasio estrogen
terhadap androgen menyebabkan terjadinya perubahan penampakan dari betina
menjadi menyerupai jantan, dengan kata lain terjadi maskulinisasi karakteristik
seksual sekunder (Davis et al. 1990). Secara umum, aromatase inhibitor
menghambat aktivitas enzim melalui 2 cara, yaitu dengan menghambat proses
transkripsi gen aromatase sehingga mRNA tidak terbentuk dan sebagai
konsekuensinya enzim aromatase tidak ada (Sever et al. 1999). Cara kedua adalah
melalui cara bersaing dengan substrat selain testosterone sehingga aktivitas enzim
aromatase tidak berjalan (Brodie 1991).

Pada beberapa spesies, penghambatan aromatase menyebabkan pengaruh


maskulinisasi sama seperti pengaruh androgen (Kwon et al. 2000). Pada ikan
salmon, penambahan aromatase inhibitor jenis imidazole mampu menghasilkan
jantan fungsional sebesar 20% melalui perendaman telur selama 2 jam dengan
dosis 10 mg/liter (Piferrer et al. 1994). Pada ikan nilem, perendaman telur selama
4 jam dengan dosis 45 mg/liter mampu menghasilkan 84,83% anakan berkelamin
jantan (Wijayanti 2002). Pada ikan nila merah, perendaman embrio dengan dosis
30 mg/liter menghasilkan anakan berkelamin jantan sebesar 82,22% (Wulansari
2002), bahkan hasil penelitian Kwon et al. (2000) mendapatkan hasil populasiikan
nila hampir 100% jantan melalui penambahan aromatase inhibitor jenis fadrozole
pada pakan dengan dosis 400 dan 500 mg/kg pakan.
Pemberian aromatase inhibitor melalui perendaman pada fase larva kurang
efektif karena terlalu jauh untuk mencapai organ target, yaitu otak. Perlakuan
pengarahan kelamin dengan cara perendaman, hormon akan masuk ke dalam
tubuh ikan melalui insang, kulit, dan gurat sisi (Zairin, 2002) sehingga dengan
cara ini, tidak semua hormon masuk ke dalam tubuh ikan. Aromatase inhibitor
masuk ke dalam tubuh larva melalui proses difusi karena perbedaan konsentrasi
antara media perendaman dengan larva. Seperti halnya hormon (Misnawati,
1997), aromatase inhibitor diduga masuk secara difusi.

Aromatase inhibitor yang masuk ke dalam sel akan langsung berhubungan


dengan sisi aktif dari enzim dan mengikatnya sehingga sisi aktif tersebut tidak
ditempati oleh substrat alami (testoteron) (Brodie, 1991). Fungsi aromatase dalam
penentuan kelamin telah diamati, bahwa enzim yang mengkonvensi androgen
menjadi estrogen adalah aromatase (cytochorome p-450 aromatase) (Callard et al.,
1995). Dan menurut Jeyasuria et al. (1996 dalam Kwon, (2000) peranan
cytochorome p-450 aromatase pada determinasi jenis kelamin telah diuji dan
berpengaruh terhadap aromatase androstenedione menjadi estrone dan testostrone
menjadi estradiol-17β. Pada beberapa spesies, sifat penghambatan dari enzim ini
mengakibatkan maskulinisasi, serupa dengan efek yang ditimbulkan oleh
androgen (contoh, bullfrog Rana catesbriana, Yu et al., 1993: pada ayam
Gallusdomesticus, Elbrecth dan Smith, 1992, Wartenburg et al., 1992; pada ikan
chinook salmon Onchorhyncus tsahawytscha, Pieferrer et al., 1994).

Pemberian aromatase inhibitor (imadazole) pada periode waktu 9-13 hari


setelah menetas melalui pemberian pakan dengan dosis 500 mg/kg dapat
menghasilkan persentase kelamin jantan sebesar 74 % (Suhanti, 2003). Dan
menurut Kwon et al., (2000), masa diferensiasi ikan terjadi hingga 30 hari setelah
menetas, dan waktu yang paling efektif melalui pemberian pakan karena daya
serapnya lebih tinggi dan dapat langsung digunakan untuk diferensiasi kelamin
pada organ target yang dibandingkan dengan perendaman larva pada umur yang
sama.
Pada saat ini belum diketahui dosis yang dapat menyebabkan kematian pada
ikan. Namun, perlu diperhatikan hormon streoid, misalnya 17αmetiltestosteron
terdapat kecendrungan pemberian dosis yang terlalu rendah menyebabkan proses
pengarahan jenis kelamin kurang sempurna dan sebaliknya dapat menyebabkan
ikan menjadi steril, abnormalitas, dan bahkan dapat menyebabkan kematian ikan
(Zairin, 2002). Untuk perendaman yang efektif, perlu diperhatikan hubungan
konsentrasi dan lama perendaman. Umumnya perendaman dengan dosis yang
tinggi membutuhkan waktu perendaman yang singkat dan sebaliknya (Hunter dan
Donaldson, 1983).

Selain karena dosis aromatase inhibitor dan waktu perlakuan yang kurang
tepat, faktor lingkungan sangat berpengaruh terutama faktor suhu air
pemeliharaan. Dari studi terbaru telah diketahui bahwa suhu merupakan faktor
lingkungan yang berperan cukup besar terhadap jenis kelamin pada ikan
(Strussman dan Patino, 1995), namun responnya bervariasi tergantung pada jenis
ikan.

Hampir dapat dipastikan bahwa perubahan jeniskelamin ikan tidak selalu


karena faktor tunggal tetapi karena beberapa faktor. Faktor-faktor yang dimaksud
adalah:
1. Penomena sinergis, yaitu kombinasi dari dua zat atau lebih yang
bersifatmemperkuat daya racun.
2. Penomena antagonis, yaitu kombinasi antara dua zat atau lebih yang
salingmenetralisir, sehingga zat-zat yang tadinya beracun berhasil
dikurangi dinetralisir daya racunyasehingga tidak membahayakan.
3. Jenis ikan dan sifat polutan, yang tertarik dengan daya tahan ikan
sertaadaptasinya terhadap lingkungan, serta sifat polutan itu sendiri
(Sudarmadi, 1993).
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dalam ilmu genetika ikan, modifikasi kelamin dikenal dengan istilah sex
reversal atau pengarahankelamin dari jantan kebetina maupun sebaliknya.
Umumnya, proses sex reversal dilakukan secara oral atau melalui pakan dan
dippingatau melalui perendaman. Pemeliharaan ikan monosex akan mencegah
perkawinan dan pemijahan liarsehingga kolam tidak cepat dipenuhi ikan yang
berbeda ukuran.

Sex reversal juga dapat dimanfaatkan untuk teknik pemurnian ras ikan. Telah
lama diketahui bahwa ikandapat dimurnikan dengan teknik ginogenesis yang
produknya adalah semua betina. Menjelang diferensiasigonad sebagian dari
populasi betina tersebut diambil dan diberi hormon androgen berupa
methyltestosteronsehingga menjadi ikan jantan. Selanjutnya ikan ini dikawinkan
dengan saudaranya dan diulangi beberapakali sampai diperoleh ikan dengan ras
murni.

Guna terciptanya ikan dengan kelamin tunggal, maka metode sex reversal ini
tidak akan terlepas dari berbagai hormon-hormon penujangnya. Hormon yang
lajim digunakan dalam kegiatan sex reversal adalah hormon steroid dengan
methyl testoteron sebagai salah satu golongannya atau dengan menggunakan
aromatase dan aromatase inhibitor
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, P. D. and S.D. Apollonia 1978.Aquatic.Animal. Department of


Biological Sciencies. Ottawa.Canada.

Zairin, M. 2002. Sex Reversal: Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina.
Penebar Swadaya. Jakarta.

Priambodo, B. 1998. Optimalisasi Dosis Hormon Sintetis 17 α-Metiltestosteron


dan Lama Perendaman Larva Ikan Nila (Oreochromis spp.) Terhadap
Keberhasilan Perubahan Jenis Kelamin. Fakutas Perikanan Universitas
Brawijaya. Malang.

Masduki, Endang. 2011. Sex Reversal. SUPM-bone.net

Mukti, A.T., Priambodo, B., Rustidja, dan Widodo, M.S. 2002.Optimalisasi Dosis
Hormon Sintetis 17 α-Metiltestosteron dan Lama Perendaman Larva
Ikan Nila (Oreochromis spp.) TerhadapKeberhasilan Perubahan Jenis
Kelamin. Universitas Brawijaya. Malang.

Sunandar, dkk. 2006. Perndaman Benih Ikan Gurami () Terhadap Keberhasilan


pembentukan KelaminJantan. Jurusan Perikanan, Universitas
Muhammadiyah Malang, Malang. PKMI (1-20): 1-9

Zairin, M. 2002. Sex Reversal: Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina.
Penebar Swadaya. Jakarta.

Darwisito, S. 2002. Stretegi Reproduksi Pada Ikan Kerapu. Makalah Pengantar


Falsafah Sains Program PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Montgomery, R., Dryer. R. L., Conway, R. W., dan Spector A. A. 1983.


Biokimia: Suatu Pendekatan Berorietasi-Kasus Jilid 2 Edisi Keempat .
Gajah Mada Univercity. Yogyakarta.

Zairin, M. Jr., Waskitaningtyas, Nasrum, dan K. Sumantadinata, 2001. Pengaruh


Pemberian Artemia yang Direndam di dalam Larutan 17α-
Metiltestosteron Berdosis Rendah terhadap Nisbah Kelamin Ikan
Cupang (Betta splendens Regan), Aquaculture Indonesia, 2: 107-112.

Anda mungkin juga menyukai