Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanah Lempung


Tanah lempung terdiri dari partikel – partikel berukuran mikroskopis dan
submikroskopis yang berasal dari pembusukan kimiawi unsur-unsur penyusun batuan yang
berbentuk lempengan pipih dan merupakan partikel mika, mineral-mineral lempung, dan
mineral-mineral halus lainnya. Mineral lempung (clay meneral) merupakan hasil dari
pelapukan kimia dari feldspar, ferromagnesium, dan jenis-jenis mika yang membentuk
sifat-sifat plastis dari tanah. Ukuran partikel-partikel mineral lempung umumnya berkisar
antara 1µ - 2µ. Menurut ASTM D-653 secara fisik batasan ukuran partikel lempung antara
0.002 mm sampai 0.005 mm. Selain digolongkan menurut ukuran butiran, lempung juga
dapat digolongkan menurut segi mineralnya. Berdasarkan segi mineral tanah lempung
mempunyai partikel-partikel mineral tertentu yang “ Menghasilkan sifat-sifat plastis pada
tanah bila dicampur dengan air” (Grim, 1953). Menurut Das (1995) terdapat tiga jenis
kelompok mineral penyusun lempung, diantaranya kaolinite, illite dan montmorillite.

Gambar 2.1. Struktur penyusun lempung (a) kaolite, (b) illite, dan (c) montmorillite
Sumber: Das (1995)

2.2. Tanah Lempung Ekspansif


Tanah lempung dapat diklasifikasikan menurut mineral pembentuknya dapat dibagi
menjadi lempung ekspansif dan lempung non ekspansif. Tanah lempung ekspansif
tersusun dari mineral lempung yang mempunyai kembang susut yang besar apabila terjadi
perubahan kadar air. Hal ini disebabkan oleh kandungan mineral ekspansif sehingga
memiliki kapasitas pertukaran ion yang tinggi. Apabila terjadi peningkatan kadar air,

7
8

lempung ekspansif akan mengembangkan disertai dengan meningkatnya tekanan air pori
dan timbulnya tekanan pengembangan. Namun ketika kadar air berkurang sampai batas
susutnya akan terjadi penyusutan. Menurut Bowles (1986) tanah lempung diperkirakan
akan mempunyai perubahan volume yang besar (ekspansif) apabila indeks plastisitas
melebihi 20 (IP>20).
Departemen Pekerjaaan Umum (2005) Tanah ekspansif memiliki karakteristik yang
berbeda dengan jenis tanah pada umumnya, yaitu sebagai berikut :
a. Mineral lempung
Mineral lempung yang menyebabkan perubahan volume umumnya mengandung
montmorillonite atau vermiculite, sedangkan illite dan kaolinite dapat bersifat ekspansif
bila ukuran partikelnya sangat halus.
b. Kimia tanah
Meningkatnya konsentrasi kation dan bertambahnya tinggi valensi kation dapat
menghambat pengembangan tanah. Sebagai contoh kation Mg++ akan memberikan
pengembangan yang lebih kecil dibandingkan Na+ .
c. Plastisistas
Tanah dengan indeks plastisitas dan batas cair yang tinggi mempunyai potensi untuk
mengembang yang lebih besar.
d. Struktur tanah
Tanah lempung yang berflokulasi cenderung bersifat lebih ekspansif dibandingkan
dengan yang terdispersi.
e. Berat isi kering
Tanah yang mempunyai berat isi kering yang tinggi menunjukkan jarak antara partikel
yang kecil, hal ini berarti gaya tolak yang besar dan potensi pengembangan tinggi
Tanah ekspansif merupakan tanah yang memiliki kandungan monmorillite yang tinggi.
Montmorillite merupakan jenis lempung yang mempunyai potensial mengembang yang
tinggi karena mineral montmorilite memiliki kapasitas pertukaran ion yang tinggi
dibanding mineral yang lain. Mineral montmorilite merupakan mineral yang bermuatan
negatif besar, menyerap air yang banyak dengan mengisi rongga pori sehingga tanahnya
mengembang dan akibatnya kekuatan tanah akan menurun drastis.

2.3. Sistem Klasifikasi Tanah


Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem penggolongan yang sistematis dari jenis-
jenis tanah yang mempunyai sifat-sifat yang sama ke dalam kelompok-kelompok dan sub
9

kelompok berdasarkan pemakaiannya. Sistem klasifikasi tanah dapat didasarkan pada


tekstur yang relatif sederhana karena hanya berdasarkan distribusi ukuran butir tanah (Das,
1995). Umumnya dalam pekerjaan konstruksi bangunan dipakai dua sistem klasifikasi
tanah yaitu sistem klasifikasi Unified Soil Classification System (USCS) dan sistem
klasifikasi American Association Of State Highway and Transportation Official
(AASHTO).
2.3.1. Unified Soil Classification System (USCS)
Dalam sistem ini, Cassagrande membagi tanah atas 3 (tiga) kelompok
(Sukirman, 1992) yaitu :
1. Tanah berbutir kasar, < 50% lolos saringan No. 200.
2. Tanah berbutir halus, > 50% lolos saringan No. 200.
3. Tanah organik yang dapat dikenal dari warna, bau dan sisa-sisa tumbuh-tumbuhan
yang terkandung di dalamnya.
Tabel 2.1. Simbol untuk Klasifikasi USCS
Jenis Tanah Prefiks Sub Kelompok Sufiks
    Gradasi Baik W
Kerikil G Gradasi Buruk P
Pasir S Berlanau M
    Berlempung C
Lanau M    
Lempung C wL < 50% L
Organik O wL > 50% H
Gambut Pt    
Sumber: Bowles (1989).

Tabel 2.2. Unified Soil Classification System (USCS)


Simbol
Divisi Utama Nama umum
kelompok
10

Pasir dengan butiran halus Pasir bersih (hanya pasir) Kerikil dengan butiran halus Kerikil bersih (hanya kerikil)
Kerikil bergradasi-baik dan campuran

atau lebih dari fraksi kasar tertahan pada ayakan No.4


GW kerikil-pasir, sedikit atau sama sekali tidak
mengandung butiran halus

Kerikil bergradasi-buruk dan campuran


GP kerikil-pasir, sedikit atau sama sekali tidak
Kerikil 50% mengandung butiran halus
Lebih dari 50% butiran tertahan pada ayakan No. 200

Kerikil berlanau, campuran kerikil-pasir-


GM
lanau

Kerikil berlempung, campuran kerikil-


Tanah Berbutir Kasar

GC
pasir-lempung

Pasir bergradasi-baik, pasir berkerikil,


lebih dari fraksi kasar lolos pada ayakan No.4

SW sedikit atau sama sekali tidak


mengandung butiran halus
Pasir bergradasi-buruk, pasir berkerikil,
SP sedikit atau sama sekali tidak
mengandung butiran halus
Pasir

SM Pasir berlanau, campuran pasir-lanau

Pasir berlempung, campuran pasir-


SC
lempung

Lanau anorganik, pasir halus sekali serbuk


Batas cair 50% atau kering

ML batuan, pasir halus berlanau atau


Lanau dan Lempung

berlempung
Lanau anorganik dengan plastisitas rendah
50% atau lebih lolos ayakan No.200

sampai dengan sedang lempung


CL
Tanah Berbutir Halus

berkerikil, lempung berpasir, lempung


berlanau, lempung "kurus" (lean clays)
Lanau organik dan lempung berlanau
OL
organik dengan plastisitas rendah
Lanau anorganik atau pasir halus
Batas cair lebih dari 50%
Lanau dan Lempung

MH diatomac, atau lanau diatomac, lanau yang


elastis
Lanau anorganik atau plastisitas tinggi,
CH
lempung "gemuk" (fat clays)
Lempung organik dengan plastisitas
OH
sedang sampai dengan tinggi
11

Tanah-tanah dengan kandungan organik Peat (gambut), muck, dan tanah-tanah lain
PT
sangat tinggi dengan kandungan organik tinggi
Sumber: Das (1995)

Tabel 2.3. Unified Soil Classification System (USCS) (lanjutan)

Sumber: Das (1995)

2.3.2. American Association of State Highway and Transportation Official


(AASHTO).
Sistem ini pertama kali diperkenalkan oleh Hoentogler dan Terzaghi, yang
akhirnya diambil oleh Bureau Of Public Roads. Sistem ini membedakan tanah dalam
8 kelompok yang diberi nama dari A-1 sampai A-8. A-8 adalah kelompok tanah
organik yang bersifat tidak stabil sebagai bahan lapisan struktur jalan raya, maka pada
revisi terakhir oleh AASHTO diabaikan (Sukirman, 1992).
12

Pada sistem klasifikasi AASHTO tanah yang terklasifikasikan dalam kelompok


A-1, A-2, dan A3 merupakan tanah granuler yang lolos saringan No. 200 kurang dari
35%. Tanah dengan persentase lolos saringan no. 200 lebih dari 35% diklasifikasikan
ke dalam kelompok A4, A-5, A-6 dan A-7.
Sistem klasifikasi didasarkan pada kriteria di bawah ini (Das, 1995):
a. Ukuran butir:
Kerikil: bagian tanah yang lolos ayakan dengan diameter 75 mm (3 in) dan yang
tertahan pada ayakan No. 20 (2 mm)
Pasir: bagian tanah yang lolos ayakan No.10 (2 mm) dan yang tertahan pada ayakan
No. 200 (0,075 mm)
Lanau dan lempung: bagian tanah yang lolos ayakan No.200
b. Plastisitas:
Nama berlanau dipakai apabila bagian-bagian yang halus dari tanah mempunyai
indeks plastisitas [plasticity index (PI)] sebesar 10 atau kurang. Nama berlempung
dipakai bilamana bagian-bagian yang halus dari tanah mempunyai indeks plastis
sebesar 11 atau lebih
c. Apabila ditemukan di dalam contoh tanah batuan (ukuran lebih besar dari 75 mm),
maka batuan-batuan tersebut harus dikeluarkan terlebih dahulu. Tetapi, persentase
dari batuan yang dikeluarkan tersebut harus dicatat.
Tabel 2.4. American Association Of State Highway andTransportation Official
(AASHTO)
13

Sumber: Das (1995)

Gambar 2.2. Rentang (range) dari batas cair (LL) dan indeks plastisitas (PI) untuk
tanah dalam kelompok A-2, A-4, A-5, A-6, dan A-7.
Sumber: Das (1995)

2.4. Identifikasi Lempung Berpotensi Enspansif


Identifikasi tanah ekspansif dapat dilakukan dengan 3 cara (Chen, 1975), yaitu:
1. Identifikasi Mineralogi
2. Cara Langsung
3. Cara Tidak Langsung (single index method)
2.4.1. Identifikasi Mineralogi
Analisa mineralogi sangat berguna untuk mengidentifikasi potensi kembang
susut lempung. Identifikasi mineralogi dapat dilakukan dengan cara:
1. Difraksi Sinar X (X-Ray Diffraction).
2. Penurunan Panas (Differensial Thermal Analysis).
3. Analisa Kimia (Chemical Analysis).
4. Penyerapan terbilas (Dye Absorbsion).
14

5. Electron Microscope Resolution.

2.4.2. Cara Tidak langsung (single index method)


Hasil sejumlah indeks dasar tanah dapat digunakan untuk evaluasi tanah yang
berpotensi ekspansif. Uji indeks dasar adalah uji batas-batas Atteberg, Linier
shrinkage test (uji susut linier), uji pengembanan (swelling test).

2.4.2.1. Atteberg Limit


Menurut Holtz dan Gibbs (1956) sebagaimana yang dikutip Chen
(1975), secara empiris menunjukkan hubungan nilai potensial mengembang
dengan indeks plastisitas dari hasil uji Atteberg. Indeks plastisitas
mempunyai hubungan yang erat dengan potensi pengembangan tanah
ekspansif sehingga potensi pengembangan tanah dapat diklasifikasikan
berdasarkan indeks plastisitas (Chen, 1975), seperti pada tabel berikut:
Tabel 2.5. Hubungan potensial mengembang dengan indeks plastisitas
Potensi Mengembang Indeks Plastisitas (IP)
Rendah 0 - 15
Sedang 15 - 35
Tinggi 35 - 55
Sangat Tinggi 55<
Sumber: Chen (1975)
Menurut Atteberg tanah dapat dipisahkan dalam empat keadaan
dasar yaitu padat, semi padat, plastis dan cair seperti yang ditunjukkan
gambar berikut:

Gambar 2.3. Batas-batas Atterberg


Sumber: Das (1995)

1. Batas Cair (Liquid Limit)


15

Batas cair (Liquid Limit) didefinisikan sebagai kadar air tanah pada batas
antara keadaan cair dan keadaan plastis, yaitu batas atas dari daerah
plastis. Batas cair ditentukan dari pengujian Casagrande (1948).
2. Batas Plastis (Plastic Limit)
Batas Plastis (Plastic Limit) didefinisikan sebagai kadar air pada
kedudukan antara daerah plastis dan semi padat, yaitu persentase kadar air
dimana tanah dengan silinder sekitar 3 mm mulai retak-retak ketika
dipilin-pilin.

3. Batas Susut (Shrinkage Limit)


Batas susut (Shrinkage Limit) didefinisikan sebagai kadar air pada
kedudukan antara daerah semi padat dan padat, yaitu persentase kadar air
dimana pengurangan kadar air selanjutnya tidak mengakibatkan perubahan
volume tanah.
Tabel 2.6. Kriteria Tanah Ekspansif Berdasarkan IP dan SI
Degree of
Plasticity Index (%) Shringkage Index (%)
Expansion
<12 <15 Low
12 – 30 15 – 30 Medium
23 – 30 30 – 40 High
>30 > 40 Very High
Sumber: Raman (1967)

2.4.2.2. Linier Shrinkage


Susut linier (linier shrinkage) didefinisikan sebagai pengurangan
massa tanah pada satu ukuran yang dinyatakan dalam persentase terhadap
keadaan sebelum terjadi pengurangan. Altmeyer (1955) dalam Chen (1975),
membuat acuan mengenai hubungan derajat mengembang tanah lempung
dengan nilai presentasi susut linier dan persentase batas susut Atteberg,
seperti yang ditunjukkan tabel berikut:
Tabel 2.7. Klasifikasi potensi mengembang didasarkan pada Atteberg Limit

Derajat
Batas susut Atteberg (%) Susut linier (%)
mengembang

<10 >8 Kritis


10 – 12 5–8 Sedang
16

> 12 0–8 Tidak kritis


Sumber: Altmeyer (1955) dalam hartosukma (2005)

2.4.2.3. Uji Swelling


Swelling adalah bertambahnya volume tanah secara perlahan-lahan
akibat tekanan air pori berlebih negatif. Tanah lempung ekspansif mempunyai
kembang susut yang besar apabila terjadi perubahan kadar air. Perubahan
kadar air dapat membahayakan struktur bangunan diatas nya. Faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat pengembangan secara umum yaitu:
1. Tipe dan jumlah mineral di dalam tanah
2. Kadar air
3. Susunan tanah
4. Konsentrasi garam dalam air pori
5. Sementasi
6. Adanya bahan organik, dll.
Uji swelling bertujuan untuk menentukan nilai swell akibat adanya
beban vertikal. Tekanan vertikal yang bekerja pada tanah disebabkan air yang
masuk ke pori-pori tanah sehingga menyebabkan perubahan isi pori tanah.
Tekanan pengembangan (swelling pressure) adalah tekanan yang
mencegah tanah tersebut untuk mengembang. Chen (1998), menyatakan
bahwa tekanan pengembangan tidak tergantung pada kadar air awal, derajat
kejenuhan awal, tingkat ketebalan tanah, dan variasi berat volume kering, dan
oleh karena ini merupakan fundamental sifat-sifat tanah ekspansif.
Tekanan pengembangan sebagai tekanan yang dibutuhkan untuk
mencegah tanah untuk mengembang pada berat volume kering di tempat, hal
ini berlaku untuk tanah asli (undisturbed) (Chen, 1988). Sedangkan untuk
tanah yang dibentuk kembali (remolded) pada tanah 100% kepadatan relatif,
tekanan pengembangan adalah tekanan yang diperlukan untuk menjaga berat
volume kering tersebut (Hardiyatmo, 2010).
Tabel 2.8. Hubungan potensi mengembang dengan tekanan mengembang
Swelling potential Swelling pressure
Low <2
Medium 02 – 4
High 04 - 7
Very high >7
17

Sumber: Garcia-Iturbe dalam Tobing (2014)

Untuk nilai swelling pressure kurang dari 2 memiliki swelling


potential yang rendah sedangkan untuk swelling pressure yang memiliki nilai
lebih dari 7 memiliki swelling potential yang sangat tinggi.

2.4.2.4. Activity Method


Menurut Skempton (1953) yang disebut aktivitas dapat diketahui
berdasarkan rumus berikut:
PI
Activity ( A )= (2-1)
C
Keterangan: PI= Indeks Plastisitas
C= Presentase lempung lolos saringan 0,002 mm
Dari rumus tersebut kategori tanah terbagi dalam tiga golongan yaitu:
 A< 0,75 (Tidak Aktif)
 0,75< A < 1,25 (Normal)
 A> 1,25 (Aktif)

Gambar 2.4. Grafik klasifikasi potensi mengembang


Sumber: Seed dkk. (1962)

2.4.3. Cara Langsung


Metode pengukuran langsung untuk menentukan potensi pengembangan dan
tekanan pengembangan dari tanah ekspansif dengan menggunakan Oedometer
Terzaghi. Ada dua cara yang digunakan dalam mengukur tekanan pengembangan
secara langsung. Cara pertama dengan menggunakan beban tetap untuk mendapatkan
18

persentase pengembangan tertinggi kemudian contoh tanah dikembalikan seperti


semula dengan diberi tekanan. Cara yang kedua yaitu dengan constan volume method.
Tanah direndam dalam air dengan mempertahankan volume atau mencegah
terjadinya pengembangan dengan cara menambah beban diatasnya setiap saat.

2.5. Stabilisasi Tanah Menggunakan Bahan Kapur


Tujuan dari stabilisasi tanah adalah meningkatkan daya dukung tanah dalam menahan
beban serta meningkatkan kestabilan tanah. Stabilisasi tanah dapat terdiri dari salah satu
dari kombinasi pekerjaan-pekerjaan berikut (Bowles, 1986):
a) Mekanis: pemadatan secara mekanis dilakukan dengan berbagai jenis peralatan
mekanis seperti mesin gilas (roller), benda berat yang dijatuhkan, ledakan, tekanan
statis, tekstur, pembekuan, pemanasan dan sebagainya.
b) Bahan campuran (addiver): tanah yang buruk dapat diperbaiki dengan cara
ditambahkan campuran seperti kerikil untuk tanah kohesif, lempung untuk tanah
berbutir, dan pencampuran secara kimia seperti semen, gamping, kapur, dsb.
Pada penelitian ini digunakan kapur sebagai bahan additive stabilisasi tanah. Kapur
(lime) dapat digunakan sebagai bahan campuran untuk stabilisasi mengacu pada kapur
yang terdiri dari kalsium karbonat (CaCO 3) yang sering digunakan untuk keperluan
pertanian. Secara kimiawi kapur diperoleh dari hasil pembakaran kalsium karbonat (batu
kapur alami) sampai semua karbon dioksida terbakar.
CaCO3 + 4300 kal CaO + CO2 (2-2)
Pada saat proses hidrasi berlangsung, terjadi reduksi berat jenis, hal inilah yang
menjadi dasar dari teknik stabilisasi yang menggunakan kapur sebagai bahan campuran.
Jika bahan kapur dicampur dengan tanah tanpa bahan tambahan fly ash, maka secara
umum kekuatan tekan bebasnya akan semakin besar sejalan dengan bertambahnya
prosentase kapur yang digunakan.
Kapur yang dicampur dengan mineral lempung kemudian bereaksi membentuk gel
yang keras yaitu kalsium silikat yang mengikat partikel tanah. Gel silika bereaksi dengan
melapisi dan mengikat partikel lempung dan menutup pori-pori tanah sehingga
memperkecil indeks plastisitas tanah yang disebabkan karena naiknya nilai batas plastis
dan disertai dengan penurunan batas cair.
19

Menurut peraturan SK SNI S-01-1994-03 yang dikeluarkan oleh Departemen


Pekerjaan Umum mensyaratkan bahan kapur untuk stabilisasi adalah sebagai berikut:
1. Kapur berbentuk butiran halus
2. Jenis Kapur yang digunakan sebagai bahan stabilisasi adalah kapur padam dan kapur
tohor
3. Spesifikasi ini mencakup persyaratan kapur tipe I dan II, yang masing-masing tipe
terdiri dari kelas A, B, C. Kapur tipe I adalah kapur yang mengandung kalsium hidrat
tinggi, dengan kadar magnesium oksida (MgO) paling tinggi 4% berat. Kapur tipe II
adalah kapur magnesium atau dolonit yang mengandung magnesium oksida lebih dari
4% dan paling tinggi 36% berat. Sedangkan ukuran butiran maksimum kelas A, B, C
dan persyaratan kimia kapur tipe I dan II dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.9. Persyaratan Kimia Kapur Tipe I dan Tipe II

Istilah kapur juga mengandung tiga pengertian yaitu kalsium karbonat (CaCO 3) untuk
keperluan pertanian, kalsium hidroksida (Ca(OH)2) yang terhidrasi atau kapur mati (slack
lime), dan kalsium oksida (CaO) yang disebut kapur hidup (quick lime). Kapur dapat
digunakan untuk stabilisasi tanah dengan memasukkan kapur tersebut ke dalam kolom
stabilisasi, sehingga didapatkan reaksi kimia sebagai berikut:

terhidrasi
CaO + H2O Ca(OH)2 + Panas (2-3)
Dari reaksi kimia diatas dapat disimpulkan bahwa kapur akan mengikat kadar air tanah
yang berada didalam tanah, sehingga tanah lempung ekspansif akan mengalami
penyusutan yang dapat meningkatkan daya dukung tanah lempung tersebut.
20

Penggunaan kapur sebagai bahan stabilisasi tanah didasarkan pada sumber-sumber


penelitian yang sudah dilakukan diantara lain:
1. Ninik Ariyani dan Ana Yuni M (2009) dengan judul “Pengaruh Penambahan Kapur
pada Tanah Lempung Ekspansif dari Dusun Bodrorejo Klaten”. Pada Penelitian
tersebut digunakan kadar kapur sebesar 0%, 5%, 8%, dan 10% dengan waktu curing 3
hari, 7 hari dan 14 hari. Hasil penelitian Ninik Ariyani dan Ana Yuni M menunjukkan
bahwa penambahan kapur dengan waktu curing 14 hari dapat menurunkan specific
gravity dan menurunkan Indeks Plastisitas (IP) sebesar 128% dari tanah aslinya.
Tabel 2.10. Hasil Uji Spesific Gravity (Gs)

Sumber: Ninik, dkk (2009)


Tabel 2.11. Hasil Uji Batas Konsistensi Tanah (Atterberg Limit)

Sumber: Ninik, dkk (2009)

2. Warsiti (2009) dengan judul “Meningkatkan CBR dan Memperkecil Swelling Tanah
Sub Grade dengan Metode Stabilisasi Tanah dan Kapur”. Kapur yang digunakan
21

dalam penelitian tersebut sebesar 0%, 5%, 8%, 10%, 12%. Hasil pengujian CBR
dengan metode standar terhadap tanah yang dicampur dengan kapur peningkatan CBR
yang cukup tinggi. Hasil pengujian CBR dalam kondisi unsoaked akan mengalami
perbaikan dari 11.88% menjadi 22,1 % pada persentase kapur 10%. Begitu pula hasil
CBR dalam kondisi soaked mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu dari 2,45
% menjadi 7,6 % pada persentase kapur 10 %. Selain itu hasil pengujian swelling
menghasilkan penurunan swelling yang cukup tinggi. Dari penelitian tersebut juga
disimpulkan bahwa yang paling baik untuk stabilisasi tanah lempung adalah dengan
penambahan kapur 10%.

Gambar 2.5. Grafik hubungan prosentase kapur dengan CBR


Sumber: Warsiti (2009)

Gambar 2.6. Grafik hubungan prosentase kapur dengan swelling


Sumber: Warsiti (2009)
22

2.6. Deep Soil Mix (DSM)


Deep Soil Mix (DSM) merupakan metode pencampuran tanah dengan bahan additive
yang efektif digunakan untuk kedalaman yang lebih dari 1,5 m. Metode DSM
menggunakan bantuan crane yang dilengkapi auger hidrolik yang dapat menyemprotkan
bahan additive pada ujung dan sisi auger. Proses pencampuran diawali dengan pengeboran
pada titik yang telah direncanakan pada panjang yang telah ditentukan. Kemudian
dilanjutkan dengan proses penyampuran bahan additive dengan cara menyemprotkan
bahan additive pada auger dengan putaran terbalik dengan kecepatan yang lebih tinggi
sambil menarik auger ke atas yang kemudian dilanjutkan dengan proses pemadatan pada
titik tanah daerah yang diperbaiki kondisi tanahnya. Pada perbaikan tanah menggunakan
Deep Soil Mix (DSM) biaya pekerjaan dapat dikurangi karena tanah diperbaiki sifat
mekanisnya hanya pada titik-titik pengeboran.
Terdapat dua metode dalam pelaksanaan Deep Soil Mix (DSM) yaitu metode kering
(Deep dry mixing) dan metode basah (Deep wet mixing) . Pelaksanaan pada metode kering
harus diperhatikan kondisi kadar air tanah asli yaitu minimal 20% karena tidak
ditambahkan air pada bahan additive untuk reaksi hidrasi. Pada metode kering tanah
dicampur dengan bahan additive dalam kondisi kering dan berbentuk bubuk dengan
menggunakan tekanan udara. Teknik pencampuran kering digunakan untuk meningkatkan
kekuatan tanah dan mengurangi kompresibilitas tanah lempung yang sangat lembut.
Pencampuran metode kering menggunakan tekanan udara ini hanya memiliki kedalaman
terbatas yaitu 33 m karena rentan mengalami masalah khususnya pada lubang kawat akibat
proses dispersi yang rumit dan kurang efektifnya pengikat .
Metode basah (Deep wet mixing) merupakan metode yang paling umumnya paling
digunakan untuk pencampuran tanah dalam (Deep Soil Mix). Pada metode ini, bahan
additive dicampurkan dalam keadaan basah seperti bubur kemudian diinjeksikan pada
tanah untuk dicampur. Pada metode basah kondisi muka air tanah tidak berpengaruh
sehingga metode ini cocok untuk berbagai kondisi tanah. Agar tanah tidak melekat pada
pisau poros berputar (auger) maka alat pencampurnya biasanya dilengkapi dengan baling-
baling anti-rotasi (Fiorotto, 2014).
23

(a) (b)
Gambar 2.7. Alat Deep Soil mix (DSM), (a) Deep dry mixing, (b) Wet dry mixing
Sumber: Bruce, dkk (2013)

Dalam metode pelaksanaan Deep soil mix (DSM) terdapat beberapa pola yang sering
diterapkan. Pola-pola tersebut diantaranya pola triangular pattern, pola square pola
pattern, pola panels, pola blocks, dan pola grid. Gambar pola deep soil mix dapat dilihat
pada Gambar 2.8 ( Kosche, 2004).

Gambar 2.8. Pola deep soil mix (DSM)


Sumber: Kosche (2004)

Dalam beberapa kasus di lapangan, variasi konfigurasi dan jarak antar kolom
dilakukan guna mengetahui seberapa besar pengaruhnya terhadap peningkatan stabilitas
tanah. Variasi ini pernah dilakukan pada proyek Tomei Freeway di Jepang, seperti yang
terlihat pada Gambar 2.9.
24

Gambar 2.9. Variasi Konfigurasi dan Jarak Kolom DSM


Sumber: Bruce (2000)

Ada beberapa penelitian Deep Soil Mix (DSM) yang pernal dilakukan sebelumnya,
diantaranya:
1. Agus Setyo M. (2009) telah melakukan penelitian mengenai perkuatan kolom kapur
pada tanah lunak Bantul-Yogyakarta di laboratorium. Dalam penelitian Setyo M.
(2009) kolom kapur yang digunakan merupakan kolom tunggal dengan diameter 50
mm dengan kedalaman 200 mm dan diletakkan dalam kotak baja berukuran 1,2 m x
1,2 m dan tinggi 1 m. Hasil dari penelitian tersebut yaitu seiring dengan penambahan
kadar kapur, daya dukung tanah meningkat sebesar 0,23 kN tanpa menggunakan
kolom kapur menjadi 5,2 kN dengan kolom kapur. Penambahan kolom kapur
meningkatkan daya dukung tanah baik pada arah vertikal maupun arah radial hingga
mencapai 3 kali ukuran diameter dari pusat kolom kapur. Berikut ini adalah grafik
hasil pengujian pembebanan kolom kapur dan kurva tegangan-regangan tanah dapat:
2. Malekpoor (2014) melakukan penelitian tentang “ Behavior of compacted lime-soil
column”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kolom kapur menaikkan
kapasitas beban yang diterima dan mengurangi penurunan tanah pada rasio luas
tertentu.
3. Ichvan dkk (2015) melakukan penelitian tentang pengaruh variasi jarak dan panjang
Deep Soil Mix dengan persentase bahan additive fly ash sebesar 15%. Dalam
penelitian Ichvan dkk. (2009) digunakan pola panels dengan diameter 3 cm. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa jarak dan panjang DSM memiliki pengaruh
terhadap daya dukung tanah Kabupaten Bojonegoro. Pada analisis variasi jarak dan
panjang, nilai daya dukung tertinggi terjadi pada jarak DSM 3 cm dan panjang DSM
15 cm sebesar 1060 kN/m2 dengan penurunan 4,5 cm.
25

2.7. Daya Dukung Tanah


Daya dukung tanah (bearing capacity) adalah kemampuan tanah untuk memikul suatu
beban yang bekerja yang disalurkan melalui pondasi Daya dukung tanah batas (q u = qult =
ultimate bearing capacity) adalah tekanan maksimum yang dapat diterima oleh tanah
akibat beban yang bekerja tanpa menimbulkan kelongsoran geser pada tanah pendukung
tepat di bawah dan sekeliling pondasi. Konsep perhitungan daya dukung batas tanah dan
bentuk keruntuhan geser dalam tanah dapat dilihat dalam model pondasi menerus dengan
lebar (B) yang diletakkan pada permukaan lapisan tanah pasir padat. Penurunan akan
bertambah bila beban terbagi rata (q) ditambah. Keruntuhan daya dukung akan terjadi
saat beban terbagi rata q = qu (qu = daya dukung tanah batas) yang mengakibatkan pondasi
akan mengalami penurunan yang sangat besar tanpa penambahan beban q. Hubungan
antara beban dan penurunan ditunjukkan pada kurva I pada Gambar 2.10b. Untuk
keadaan ini, qu didefinisikan sebagai daya dukung batas dari tanah ( Das, 1995 )

Gambar 2.10. Daya dukung batas tanah untuk kondisi dangkal


(a) Model pondasi
(b) Grafik hubungan antara beban dan penurunan

Terzaghi mempersiapkan rumus daya dukung tanah yang diperhitungkan dalam


keadaan ultimate, artinya suatu batas nilai apabila dilampaui akan menimbulkan
keruntuhan. Oleh sebab itu daya dukung ijin harus lebih kecil atau sama dengan daya
dukung ultimate . Daya dukung batas suatu tanah yang berada di bawah beban pondasi
akan bergantung kepada kekuatan geser (shear strength). Nilai daya dukung tanah ijim
untuk suatu rancangan pondasi ikut melibatkan faktor karakteristik kekuatan dan
deformasi. Daya dukung ijin tergantung pada nilai Faktor Keamanan (SF) yang dipilih.
Pada umumnya nilai SF yang dipilih adalah 3, sehingga nilai daya dukung yang diijinkan
adalah sebagai berikut:
26

qult
q a= (2-3)
SF
Berikut adalah cara menentukan kapasitas daya dukung tanah untuk beberapa jenis
pondasi menurut cara Terzaghi.

Tabel 2.6 Kapasitas daya dukung tanah berbagai jenis pondasi menurut cara Terzaghi
Jenis Pondasi Kapasitas Daya Dukung (Terzaghi)
Lajur/Menerus q ult =c . Nc+ q . Nq+ 0,5. γ . B . Nγ
Persegi q ult =1,3. c . Nc+q . Nq+0,4. γ . B . Nγ
Lingkaran q ult =1,3. c . Nc+q . Nq+0,3. γ . B . Nγ
Sumber: Zakaria (2006)
Keterangan:
qult = ultimate soil bearing capacity
c = kohesi tanah
q = γ x D (bobot satuan isi tanah x kedalaman)
B = dimensi lebar atau diameter pondasi
ф = sudut geser dalam
Nc, Nq, Nγ adalah faktor daya dukung tanah yang bergantung kepada ф
Faktor daya dukung tanah bergantung kepada sudut geser dalam. Nc, Nq dan Nɣ
merupakan konstanta Terzaghi dengan mencari nilai faktor dayadukung tanah berdasarkan
nilai sudut geser dalam yang didapat.
Tanah berbutir halus yaitu lanau (silt), lanau lempungan (clayey-silt) ataupun
lempung lanauan (silty-clay) berplastisitas tinggi, mempunyai konsistensi berubah-ubah
menurut kadar air yang dikandungnya (Bowles, 1986). Kohesi (c) menurun mengikuti
kenaikan kadar air tanah (w). Di samping itu sudut geser dalam (ф) juga menurun bila
kadar air tanah meningkat. Dengan demikian kekuatan tanah juga akan menurun. Daya
dukung tanah untuk pondasi dangkal bergantung dari kohesi dan sudut geser dalam. Nilai
kohesi dan sudut geser dalam tinggi pada massa tanah yang berkondisi kering atau kondisi
kadar air tanah tak berpengaruh pada fondasi. Pada musim hujan, peningkatan kadar air di
dalam tanah akan meningkatkan tekanan air pori yang arahnya berlawanan dengan
kekuatan ikatan antar butir . Di samping itu jarak antar butir relatif menjadi lebih berjauhan
sehingga baik kohesi maupun sudut geser dalam menurun.
Hubungan kuat geser dengan variasi kadar air dan persentase stabilisasi telah
dijelaskan Firdaus (2016) kadar air pada tanah lempung ekspansif dengan campuran 10%
kapur berpengaruh terhadap kuat geser tanah. Semakin kecil kadar air grafik tegangan-
27

regangan tanah akan semakin kaku dan kohesi (cu) semakin besar. Sedangankan semakin
besar rasio volume stabilisasi, nilai kohesi akan semakin besar apabila dibandingkan
dengan tanah kondisi asli dan remolded (tanpa perbaikan).

Menurut Vesic (1963) dalam Hardiyatmo (2011), terdapat 3 macam jenis


keruntuhan, yaitu:

1. Keruntuhan geser umum (general shear failure),


2. Keruntuhan geser lokal (local shear failure), dan
3. Keruntuhan penetrasi (penetration failure atau punching shear failure).
Keruntuhan geser umum terjadi menurut bidang runtuh dapat ditandai dengan
penggembungan tanah di sekitar pondasi. Bidang longsor terbentuk berupa lengkung dan
garis lurus yang mengembang hingga permukaan tanah.
Keruntuhan geser lokal hampir sama dengan keruntuhan geser umum namun bidang
runtuh yang terjadi tidak sampai ke permukaan tanah. Pondasi tenggelam menyebabkan
tanah disekitarnya mampat dan membuat tanah sekitarnya sedikit mengembang.
Keruntuhan penetrasi terjadi akibat beban yang bekerja pada tanah lunak dimana
pondasi hanya menembus dan menekan tanah ke samping yang menyebabkan pemampatan
tanah di dekat pondasi. Penurunan pondasi bertambah hampir secara linier dengan
penambahan beban. Penurunan yang terjadi tidak mengakibatkan gerakan arah lateral
yang menuju kedudukan kritis keruntuhan tanah, sehingga kuat geser ultimit tanah tidak
dapat berkembang. Saat keruntuhan, bidang runtuh tidak terlihat sama sekali.
Jika tanah tidak mudah mampat dan kuat gesernya tinggi, maka keruntuhan geser
umum akan terjadi. Tipe keruntuhan penetrasi biasanya terjadi terutama pada tanah-tanah
yang mudah mampat, seperti pasir tidak padat dan lempung lunak, dan banyak terjadi pula
jika panjang pondasi (Df) sangat besar bila dibandingkan dengan lebarnya (B). Akan
tetapi, model keruntuhan pondasi hanya akan terjadi pada tipe pondasi tertentu tergantung
dari banyak faktor, seperti pada tipe tanah tertentu tidak dapat menunjukkan tipe model
keruntuhan pondasi.
28

Gambar 2.11. Macam Keruntuhan Pondasi;


(a) Keruntuhan geser umum (b) Keruntuhan geser lokal; (c) Keruntuhan penetrasi
Sumber: Vesic (1963) dalam Hardiyatmo (2011)

Daya dukung merupakan tegangan maksimum yang mampu ditahan oleh tanah.
Boussines membuat permodelan distribusi tegangan pada tanah, sesuai dengan panjang
tanah, menjadi garis-garis isobar. Menurut Boussinesq kenaikan tegangan (ΔP)
disebabkan beban garis (q) akan semakin kecil pada panjang tanah yang semakin dalam.
29

Gambar 2.12. Isobar tegangan untuk beban terbagi rata berbetuk bujur sangkar teori
Boussinesq

Anda mungkin juga menyukai