Anda di halaman 1dari 3

Isu Cetak Uang Ditengah Pandemi COVID-19

Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dinilai bisa bekerja sama dalam mencetak uang
demi memenuhi kebutuhan anggaran penanggulangan virus Corona alias COVID-19
di dalam negeri. Cetak uang juga bisa memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bentuk
penyaluran bantuan langsung tunai (BLT).

Pengamat ekonom Piter Abdullah menilai ada risiko yang harus dihadapi pemerintah
usai melakukan hal itu. Risiko yang dimaksud adalah lonjakan inflasi. Namun dia
menilai risiko tersebut masih bisa diatasi oleh pemerintah.

Badan Anggaran DPR mengusulkan kepada Bank Indonesia (BI) untuk mencetak
uang Rp 400 triliun sampai Rp 600 triliun untuk mendorong perekonomian nasional
di tengah pandemi corona.

Badan Anggaran DPR beralasan diperlukan uang banyak untuk dorong sektor UMKM
bertahan di tengah krisis pandemi. Kebanyakan rakyat juga butuh uang cash untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Defisit APBN di atas 5 persen dari sebelumnya
hanya 1,75 persen menjadi pondasi utama ide cetak uang ini muncul. Alasannya,
untuk kebutuhan UMKM saja mencapai Rp 1.600 triliun sehingga anggaran
pemerintah saat ini Rp 400 triliun jauh dari cukup.

Ide mencetak uang baru ini sebetulnya bukan sesuatu yang baru dan mengejutkan.
Dalam teori ekonomi dikenal teori moneter modern (modern Monetary theory) yang
berasumsi suatu negara tidak perlu khawatir dengan defisit yang tinggi. Negara bisa
mencetak uang sebanyak-banyaknya untuk mengelola dan menjalankan ekonomi di
saat krisis datang seperti saat ini. Negara jangan khawatir bangkrut karena secara teori
negara tidak bisa bangkrut kecuali ada keputusan politik.

Teori moneter modern menegaskan bahwa negara tidak usah khawatir inflasi tinggi
bahkan hiperinflasi jika mencetak uang baru. Bagi mereka, inflasi dan hiperinflasi
bisa dikendalikan dan itu bisa dijalankan dengan pendekatan fiskal.

Namun, bagi kaum ekonom konvensional kebijakan cetak uang ini sama saja dengan
menggali kuburan sendiri.kebijakan cetak uang saat situasi seperti ini dan melihat
catatan fundamental ekonomi nasional, sangat berisiko. Inflasi bukan satu-satunya
ancaman, Dengan tingginya inflasi, secara otomatis nilai tukar rupiah terancam mata
uang asing terutama dolar AS.

Gubernur BI Perry Warjiyo memberi indikasi tidak akan mencetak uang tambahan
baik untuk menutup defisit anggaran pemerintah, menambah likuiditas perbankan,
ataupun menaikkan dana perbankan. bank sentral tidak ingin mengulang kasus
Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) saat 1998. Hal ini menyebabkan inflasi
tinggi hingga 67 persen

BI tetap memilih jalannya sendiri untuk mengelola ekonomi dengan defisit tinggi dan
sektor riil kedodoran. kebijakan dengan instrumen kuantitatif (quantitative easing)
sudah cukup di atas normal untuk mengatasi ekonomi.
 BI telah menggelontorkan Rp 503,8 triliun melalui QE. Dana ini untuk mencukup
ketersediaan likuiditas perbankan di tengah penyebaran virus corona. QE BI dari
Januari hingga April 2020 jumlahnya Rp 386 triliun. Sumbernya BI beli SBN dari
pasar sekunder yang dijual asing.

 BI juga membuka jalan dengan memberikan tambahan pelonggaran Giro Wajib


Minimum (GWM) rupiah 50 basis poin. Dana Rp 117,8 triliun juga diberikan
melalui kebijakan Rapat Dewan Gubernur (RDG) 13-14 April salah satunya
untuk pelonggaran GWM sebesar 200 basis poin.

 Perry menambahkan pasokan likuiditas juga bertambah dari term repo perbankan


yaitu underlying yang dimiliki bank untuk digunakan Bank Indonesia, sehingga
menambah likuiditas Rp 137,1 triliun.

Perry berpendapat bahwa dalam mengedarkan uang, BI melakukan kegiatan tersebut


sesuai dengan Undang-undang mata uang. Mulai dari perencanaan, pencetakan,
pemusnahan uang dan selalu dikoordinasikan dengan Kementerian Keuangan. Selain
itu proses tersebut selalu menggunakan tata kelola yang baik dan selalu diaudit oleh
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pengedaran selalu dilakukan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Dan selalu ada dalam sistem keuangan baik penarikan maupun
penyetoran. Misalnya jika masyarakat membutuhkan uang maka dilakukan penarikan
dari rekening bank, jika berlebih disetorkan ke bank. Jika bank berlebih maka akan
disetor ke BI. Inilah yang disebut proses pengedaran uang. Dan tidak ada praktik peng
edaran uang yang dilakukan BI selain ini.

Ekonom peraih Nobel asal Amerika Serikat, Paul Krugman, menyebut jika teori
moneter modern dipraktikkan tetap akan menyebabkan inflasi tinggi atau hiperinflasi.
Jika uang dicetak secara agresif dan investor tidak mau membeli, ekonomi mendapat
ancaman serius. Krugman menilai asumsi-asumsi teori moneter modern sengaja
dibuat tidak jelas karena memang ini hanya "omong kosong moneter modern".
Krugman menyatakan bisa saja beberapa asumsi teori ekonomi modern ini benar
tetapi hanya berlaku dalam keadaan ekstrem.

Menurut pendapat kami, Mencetak uang baru berarti menambah jumlah uang beredar
yang ada saat ini. Ketika uang beredar kelebihan suplai, harga barang-barang pun
menjadi mahal.

Ketika banyak orang memegang uang banyak, keinginan membeli barang pun tinggi,
namun tidak disertai dengan kemampuan produksi. Sisi permintaan yang tak bisa
dipenuhi sisi suplai berdampak buruk bagi industri yang ujung-ujungnya menurunkan
pendapatan, membuka peluang PHK, dan menaikkan pengangguran, Risiko nilai tukar
pun terbuka tinggi.

Uang ada karena dicetak. Namun, pencetakan uang tidak dilakukan serampangan.
Bank sentral di setiap negara melakukan perhitungan cermat untuk menambah jumlah
uang beredar. Uang beredar selalu dijaga ketat agar senantiasa mencerminkan
kekuatan ekonomi negaranya. Jumlah uang beredar yang terlalu banyak berdampak
inflatoar.
Inflasi tinggi adalah musuh ekonomi. Inflasi tinggi tidak saja merugikan masyarakat
berpenghasilan tetap, tetapi juga memperlemah nilai tukar dan mendongkrak naik
suka bunga. Karena itu, semua kebijakan bank sentral sangat memperhatikan dampak
inflatoar. Apalagi tugas utama bank sentral adalah menjaga inflasi.

Dan diperlukan pemikiran yang cermat dan tidak tergesa-gesa karena Krisis ekonomi
tahun 2020 jauh melebihi krisis ekonomi tahun 1998. Waktu itu, yang terpukul hanya
sektor keuangan dan korporasi besar yang terjerat utang dan bangkrut. Sedang tahun
ini, yang terpukul adalah semua sektor, termasuk sektor informal dan usaha mikro,
kecil, dan menengah (UMKM). Sisi supply dan demand sama-sama terpukul dan jatuh
terjengkang.

Skenario berat ini dibuat dengan asumsi puncak Covid-19 akhir Mei. Namun, jika
penanganan Covid-19 tidak sungguh-sungguh dan puncaknya bergeser, skenario
sangat berat yang akan terjadi. Berbagai studi menyebutkan, puncak Covid terjadi
akhir Juni bahkan Juli. Ini berarti, dana stimulus harus ditambah. Bisa jadi dana
stimulus nantinya mencapai Rp 1.600 triliun atau 10% dari PDB. Dalam situasi daya
beli menurun, inflasi tak mungkin melonjak seperti tahun 1998. Tahun ini, inflasi
tidak akan menembus 5% meski stimulus ekonomi ditambah hingga Rp 1.600 triliun

Namun, itu masih menjadi perkiraan yang mana perlu pemantauan lebih lanjut tentang
keadaan ekonomi pada bulan juni dan juli. Sehingga, menurut pendapat saya DPR terl
alu terburu-buru dalam memberikan pandangan dan tidak melihat dampak dari kebija
kan moneternya, DPR hanya memperhitungkan dampak pada kebijakan fiskal nya saj
a, dan seharusnya hal ini perlu pertimbangan dan diskusi dengan badan keuangan ;lain
seperti BI, OJK, Kemenkeu dan BPK sehingga tidak terjadi penyampaian berita yang
simpang siur kepada masyarkat dan akan semakin membuat masyarakat resah dan bin
gung sehingga akan menimbulkan ekspektasi masyarkat yang bergam

Referensi :

https://finance.detik.com/moneter/d-5005387/bi-tolak-keras-usul-dpr-
cetak-uang-rp-600-t/1

https://finance.detik.com/moneter/d-4989891/ri-bisa-cetak-uang-lalu-
bagi-bagi-ke-rakyat-tapi-ada-risikonya

https://www.beritasatu.com/opini/6747/cetak-uang-untuk-stimulus-
ekonomi

Anda mungkin juga menyukai