“DISTOSIA”
Disusun oleh:
DEVA VIBIOLA AGUSTIN
NIM. 1910025
A. Defenisi
Distosia adalah persalinan yang sulit yang ditandi dengan adanya
hambatan kemajuan dalam persalinan.
Distosia di definisikan sebagai persalinan yang panjang, sulit, atau
abnormal, yang timbul akibat sebagai kondisi yang berhubungan dengan berbagai
macam keadaan.
Distosia adalah kelambatan atau kesulitan persalinan disebabkan kelainan
his, letak dan bentuk janin, serta kelainan jalan lahir.
B. Klasifikasi
1. Distosia kelainan his
a) Inersia uteri
Inersia uteri adalah kelainan his yang kekuatannya tidak adekuat
untuk melakukan pembukaan serviks atau mendorong janin keluar. Inersia
uteri dibagi menjadi 2 :
a. Inersia uteri primer : terjadi pada awal fase laten.
b. Inersia uteri sekunder : terjadi pada fase aktif
(1)Etiologi :
Multipara, kelainan letak janin, disproporsi sefalovelvik,
kehamilan ganda, hidramnion, utrus bikornis unikolis.
(2)Komplikasi
a. Inersia uteri dapat menyebabkan kematian atau kesakitan
b. Kemugkinan infeksi bertambah dan juga meningkatnya kematian
perinatal.
c. Kehabisan tenaga ibu dan dehidrasi : tanda-tandanya denyut nadi
naik, suhu meninggi, asetonuria, napas cepat, meteorismus, dan
turgor berkurang
(3)Faktor predisposisi
Anemia, hidromanion, grande multipara, primipara, pasien
dengan emosi kurang baik.
(4)Penatalaksanaan
Inesri primer, perbaiki KU pasien. Rujuk ke RS jika Kala I aktif
lebih dari 12 jam pada multipara atau prmipara. Berikan sedatif lalu nilai
kembali pembukaan serviks setelah 12 jam. Pecahkan ketuban dan beri
infus oksitosin bila tidak ada his.
Inersi sekunder, pastikan tidak ada disproporsi sefalopelvik,
rujuk ke RS bila persalinan kala I aktif lebih dari 12 jam baik multi
maupun primipara. Pecahkan ketuban dan berikan infus oksitosin 5
satuan dalam larutan glukosa 5% secara infus IV dengan kecepatan 12
tetes per menit. Tetesan dapat dinaikan perlahan-lahan sampai 50 tetes
per menit.
b) Incordinate uterina action
Incoordinate uterina action yaitu kelainan his pada persalinan
berupa perubahan sifat his, yaitu meningkatnya tonus otot uterus, di dalam
dan di luar his, serta tidak ada kordinasi antara kontraksi bagian atas,
tengah, dan bawah, sehingga his tidak efisien mengadakan pembukaan
serviks.
(1)Etiologi :
Pemberian oksitoksin yang berlebihan atau ketuban pecah lama
yang disertai infeksi.
(2)Komplikasi
Hipoksia janin karena gangguan sirkulasi uteroplasenter
(3)Penatalaksanaan
Dilakukan pengobatan simtomatis karena belum ada obat untuk
memperbaiki koordinasi fungsional antara bagian – bagian uterus. Bila
terjadi lingkaran konstriksi pada kala I , lakukan seksio sesar
B. Diagnosa keperawatan
1. Ansietas yang berhubungan dengan kemajuan persalinan yang lambat.
2. Risiko tinggi cedera tehadap janin berhubungan dengan persalinan yang lama,
malpresentasi janin, hipoksia/asidosis jaringan, abnormalitas pelvis ibu, CPD.
3. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi, kerentanan
pribadi, harapan/persepsi tidak realistis, ketidakadekuatan sistem pendukung.
C. Rencana keperawatan
1. Risiko tinggi cedera tehadap janin berhubungan dengan persalinan yang lama,
malpresentasi janin, hipoksia/asidosis jaringan, abnormalitas pelvis ibu, CPD.
Hasil yang diharapkan :
a) Terhindar dari cedera persalinan
b) Persalinan berjalan dengan rentang waktu normal
Intervensi Rasional
Mandiri
Tinjau ulang riwayat Membantu dalam mengidentifikasi
persalinan, awitan dan durasi kemungkinan penyebab, kebutuhan
pemeriksaan diagnostik, dan intervensi
yang tepat. Disfungsi uterus dapat
disebabkan oleh keadaan atonik atau
hipertonik. Atonik uterus diklasifikasikan
primer bila ini terjadi sebelum awitan
persalinan (fase laten) atau sekunder bila ini
terjadi setelah persalinan yang baik (fase
aktif).
Catat waktu/jenis obat. Hindari Pola kontraksi hipertonik dapat terjadi pada
pemberian narkotik atau respons terhadap oksirosin, sedatif yang
anestetik blok epidural sampai diberikan terlalu dini (atau melebihi
serviks dilatasi 4 cm kebutuhan) dapat menghambat atau
menghentikan persalinan
Catat kondisi serviks. Pantau Serviks kaku atau tidak siap tidak akan
tanda amnionitis. Catat dilatasi, menghambat penurunan
peningkatan suhu atau jumlah janin/kemajuan persalinan. Terjadinya
sel darah putih; catat bau dan amnionitis secara langsung dihubungkan
warna rabas vagina dengan lamanya persalinan,sehingga
melahirkan harus terjadi dalam 24 jam
setelah pecah ketuban.
Tetap bersama klien ; berikan Reduksi rangsang dari luar mungkin perlu
lingkungan yang tenang sesuai untuk memungkinkan tidur setelah
indikasi pemberian obat unbtuk klien dalam status
hipertonik. Juga membantu dalam
menurunkan tingkat ansietas, yang dapat
menimbulkan disfungsi uterus baik primer
dan sekunder.
Kolaborasi
Siapkan klien terhadap Pecah ketuban menghilangkan distensi
amniotomi dan bantu dalam uterus berlebihan (penyebab disfungsi baik
prosedur, bila serviks dialatasi primer dan sekunder) dan memungkinkan
3-4 cm. bagian presentasi mendekat dan persalinan
maju pada tidak adanya disproporsi
sefalopelvik (CPD).
Intervensi Rasional
Kaji tingkat ansietas Mengetahui tingkat ansietas klien
Minta suami atau keluarga Untuk menurunkan ansietas pada klien dan
untuk mendampingi selama mengurangi rasa takut
proses persalinan untuk
memberikan keamanan dan
mengurangi rasa takut
Intervensi Rasional
Mandiri
Tentukan kemajuan persalinan. Persalinan yang lama yang berakibat
keletihan dapat menurunkan kemampuan
klien untuk mengatasi/mengatur kontraksi.
Peningkatan nyeri bila serviks tidak
dilatasi/membuka dapat menandakan
terjadinya anoksia sel-sel uterus.
D. Evaluasi
Tahap selanjutnya adalah melakukan evaluasi, berdasarkan tujuan yang
hendak dicapai sesuai dengan kriteria hasil yang telah ditetapkan sebelumnya.
Saat evaluasi perawat hendaknya selalu memberi kesempatan klien dan keluarga
untuk menilai keberhasilannya, kemudian diarahkan sesuai dengan kemampuan
klien dan keluarga dibidang kesehatan.
KEGAWAT DARURATAN OBSTETRIK
c) Terapi
Terapi untuk perdarahan yang tidak mengancam nyawa adalah
dengan Macrodex, Haemaccel, Periston, Plasmagel, Plasmafundin
(pengekspansi plasma pengganti darah) dan perawatan di rumah sakit. Terapi
untuk perdarahan yang mengancam nyawa (syok hemoragik) dan
memerlukan anestesi, harus dilakukan dengan sangat hati-hati jika
kehilangan darah banyak. Pada syok berat, lebih dipilih kuretase tanpa
anestesi kemudian. Methergin. Pada abortus pada demam menggigil,
tindakan utamanya dengan penisilin, ampisilin, sefalotin, rebofasin, dan
pemberian infus.
2. Mola hidatidosa (Kista Vesikular)
Mola Hidatidosa (Hamil Anggur) adalah suatu massa atau pertumbuhan
di dalam rahim yang terjadi pada awal kehamilan. Mola Hidatidosa adalah
kehamilan abnormal, dimana seluruh villi korialisnya mengalami perubahan
hidrofobik. Mola hidatidosa juga dihubungkan dengan edema vesikular dari vili
khorialis plasenta dan biasanya tidak disertai fetus yang intak. Secara
histologist, ditemukan proliferasi trofoblast dengan berbagai tingkatan
hiperplasia dan displasia. Vili khorialis terisi cairan, membengkak, dan hanya
terdapat sedikit pembuluh darah.
a) Etiologi
Penyebab pasti yaitu mola hidatidosa tidak diketahui, tetapi faktor-
faktor yang mungkin dapat menyebabkan dan mendukung terjadinya mola,
antara lain:
(1)Faktor ovum, di mana ovum memang sudah patologik sehingga mati,
tetapi terlambat dikeluarkan
(2)Imunoselektif dari trofoblast
(3)Keadaan sosioekonomi yang rendah
(4)Paritas tinggi
(5)Kekurangan protein
(6)Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas
b) Klasifikasi
(1)Mola Hidatidosa Sempurna
Villi korionik berubah menjadi suatu massa vesikel – vesikel jernih.
Ukuran vesikel bervariasi dari yang sulit dilihat, berdiameter sampai
beberapa sentimeter dan sering berkelompok-kelompok menggantung
pada tangkai kecil. Temuan Histologik ditandai oleh adanya, antara lain:
(a) Degenerasi hidrofobik dan pembengkakan stroma vilus
(b) Tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak
(c) Proliferasi epitel tropoblas dengan derajat bervariasi
(d) Tidak adanya janin dan amnion
(2)Mola Hidatidosa Parsial
Apabila perubahan hidatidosa bersifat fokal dan kurang
berkembang, dan mungkin tampak sebagai jaringan janin. Terjadi
perkembangan hidatidosa yang berlangsung lambat pada sebagian villi
yang biasanya avaskular, sementara villi-villi berpembuluh lainnya
dengan sirkulasi janin plasenta yang masih berfungsi tidak terkena. Pasien
dengan mola parsial tidak memiliki manifestasi klinis yang sama pada
mola sempurna. Pasien ini biasanya datang dengan tanda dan gejala yang
mirip dengan aborsi inkomplit atau missed abortion yakni Perdarahan
vagina dan hilangnya denyut jantung janin, Pada mola parsial, jaringan
fetus biasanya didapatkan, eritrosit dan pembuluh darah fetus pada villi
merupakan penemuan yang seringkali ada. Komplemen kromosomnya
yaitu 69,XXX atau 69,XXY. Ini diakibatkan dari fertilisasi ovum haploid
dan duplikasi kromosom haploid paternal atau akibat pembuahan dua
sperma. Tetraploidi juga biasa didapatkan. Seperti pada mola sempurna,
ditemukan jaringan trofoblastik hyperplasia dan pembengkakan villi
chorionic.
3. Kehamilan Ekstrauteri (Ektopik)
Kehamilan ektopik adalah implantasi dan pertumbuhan hasil konsepsi
diluar endometrium kavum uteri.
a) Penyebab
Gangguan ini adalah terlambatnya transport ovum karena obstruksi
mekanis pada jalan yang melewati tuba uteri. Kehamilan tuba terutama di
ampula, jarang terjadi kehamilan di ovarium.
b) Tanda dan Gejala
Nyeri yang terjadi serupa dengan nyeri melahirkan, sering unilateral
(abortus tuba), hebat dan akut (rupture tuba), ada nyeri tekan abdomen yang
jelas dan menyebar. Kavum douglas menonjol dan sensitive terhadap
tekanan. Jika ada perdarahan intra-abdominal, gejalanya sebagai berikut:
(1) Sensitivitas tekanan pada abdomen bagian bawah, lebih jarang pada
abdomen bagian atas.
(2) Abdomen tegang.
(3) Mual.
(4) Nyeri bahu.
(5) Membran mukosa anemis.
c) Diagnosis
Ditegakkan melalui adanya amenore 3-10 minggu, jarang lebih lama,
perdarahan per vagina tidak teratur (tidak selalu).
d) Penanganan
Penanganan Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
(1)Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi.
(2)Pada laparotomi perdarahan selekas mungkin dihentikan dengan menjepit
bagian dari adneksa yang menjadi sumber perdarahan.
(3)Keadaan umum penderita terus diperbaiki dan darah dalam rongga perut
sebanyak mungkin dikeluarkan.
Dalam tindakan demikian, beberapa hal yang harus dipertimbangkan
yaitu :
(1)Kondisi penderita pada saat itu,
(2)Keinginan penderita akan fungsi reproduksinya,
(3)Lokasi kehamilan ektopik.
(4)Hasil ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi (pemotongan
bagian tuba yang terganggu) pada kehamilan tuba. Dilakukan pemantauan
terhadap kadar HCG (kuantitatif). Peninggian kadar HCG yang
berlangsung terus menandakan masih adanya jaringan ektopik yang belum
terangkat.
c) Diagnosis
(1)Anamnesis.Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu
berlangsung tanpa nyeri terutama pada multigravida, banyaknya
perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari pada
pemeriksaan hematokrit.
(2)Pemeriksaan Luar. Bagian bawah janin biasanya belum masuk pintu atas
panggul presentasi kepala, biasanya kepala masih terapung di atas pintu
atas panggul mengelak ke samping dan sukar didorong ke dalam pintu
atas panggul.
(3)Pemeriksaan In Spekulo. Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui apakah
perdarahan berasal dari osteum uteri eksternum atau dari ostium uteri
eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai.
(4)Penentuan Letak Plasenta Tidak Langsung. Penentuan letak plasenta
secara tidak langsung dapat dilakukan radiografi, radioisotope, dan
ultrasonagrafi. Ultrasonagrafi penentuan letak plasenta dengan cara ini
ternyata sangat tepat, tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan
janinnya dan tidak menimbulkan rasa nyeri.
(5)Pemeriksaan Ultrasonografi. Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan
implantasi plasenta atau jarak tepi plasenta terhadap ostium bila jarak tepi
5 cm disebut plasenta letak rendah.
(6) Diagnosis Plasenta Previa Secara Defenitif.. Dilakukan dengan PDMO
yaitu melakukan perabaan secara langsung melalui pembukaan serviks
pada perdarahan yang sangat banyak dan pada ibu dengan anemia berat,
tidak dianjurkan melakukan PDMO sebagai upaya menetukan diagnosis.
d) Klasifikasi
(1)Plasenta Previa otalis, apabila seluruh pembukaan tertutup oleh jaringan
Plasenta
(2)Plasenta Previa Parsialis, apabila sebahagian pembukaan tertutup oleh
jaringan Plasenta
(3)Plasenta Previa Marginalis, apabila pinggir Plasenta berada tepat pada
pinggir pembukaan.
(4)Plasenta Letak Rendah, Plasenta yang letaknya abnormal pada segmen
bawah uterus tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir
e) Penatalaksanaan
Tindakan pada plasenta previa :
(1)Tindakan dasar umum. Memantau tekanan darah, nadi, dan hemoglobin,
memberi oksigen, memasang infuse, member ekspander plasma atau
serum yang diawetkan. Usahakan pemberian darah lengkap yang telah
diawetkan dalam jumlah mencukupi.
(2)Pada perdarahan yang mengancam nyawa, seksio sesarea segera
dilakukan setelah pengobatan syok dimulai.
(3)Pada perdarahan yang tetap hebat atau meningkat karena plasenta previa
totalis atau parsialis, segera lakukan seksio sesaria; karena plasenta letak
rendah (plasenta tidak terlihat jika lebar mulut serviks sekitar 4-5 cm),
pecahkan selaput ketuban dan berikan infuse oksitosin; jika perdarahan
tidak berhenti, lakukan persalinan pervagina dengan forsep atau ekstraksi
vakum; jika perdarahan tidak berhenti lakukan seksio sesaria.
(4)Tindakan setelah melahirkan.
(a) Cegah syok (syok hemoragik)
(b) Pantau urin dengan kateter menetap
(c) Pantau sistem koagulasi (koagulopati).
(d) Pada bayi, pantau hemoglobin, hitung eritrosit, dan hematokrit.
f) Terapi
Terapi atau tindakan terhadap gangguan ini dilakukan di tempat
praktik. Pada kasus perdarahan yang banyak, pengobatan syok adalah dengan
infuse Macrodex, Periston, Haemaccel, Plasmagel, Plasmafudin. Pada kasus
pasien gelisah, diberikan 10 mg valium (diazepam) IM atau IV secara
perlahan.
5. Solusio (Abrupsio) Plasenta
Solusio plasenta adalah lepasnya sebagian atau seluruh jaringan plasenta
yang berimplantasi normal pada kehamilan di atas 22 minggu dan sebelum anak
lahir .
a) Etiologi
Penyebab utama dari solusio plasenta masih belum diketahui pasti.
Meskipun demikian ada beberapa factor yang diduga mempengaruhi nya,
antara lain :
(1)Penyakit hipertensi menahun
(2)Pre-eklampsia
(3)Tali pusat yang pendek
(4)Trauma
(5)Tekanan oleh rahim yang membesar pada vena cava inferior uterus yang
sangat mengecil ( hidramnion pada waktu ketuban pecah, kehamilan
ganda pada waktu anak pertama lahir.
Di samping hal-hal di atas, ada juga pengaruh dari :
(1)Umur lanjut
(2)Multiparitas
(3)Ketuban pecah sebelum waktunya
(4)Defisiensi asam folat
(5)Merokok, alcohol, kokain
(6) Mioma uteri
b) Klasifikasi
Secara klinis solusio plasenta dibagi dalam :
(1)Solusio placenta ringan
(2)Solusio placenta sedang
(3)Solusio placenta berat
Klasifikasi ini dibuat berdasarkan tanda-tanda klinisnya, sesuai
derajat terlepasnya placenta. Pada solusio placenta, darah dari tempat
pelepasan mencari jalan keluar antara selaput janin dan dinding rahim dan
akhirnya keluar dari serviks dan terjadilah solusio placenta dengan
perdarahan keluar / tampak. Kadang-kadang darah tidak keluar tapi
berkumpul di belakang placenta membentuk hematom retroplasenta.
Perdarahan ini disebut perdarahan ke dalam/tersembunyi. Kadang- kadang
darah masuk ke dalam ruang amnion sehingga perdarahan tetap tersembunyi.
c) Gejala klinis
(1)Perdarahan yang disertai nyeri, juga diluar his.
(2)Anemi dan syok, beratnya anemi dan syok sering tidak sesuai dengan
banyaknya darah yang keluar.
(3)Uterus keras seperti papan dan nyeri dipegang karena isi uterus bertambah
dengan darah yang berkumpul di belakang placenta sehingga uterus
teregang (uterus en bois).
(4)Palpasi sukar karena rahim keras.
(5)Fundus uteri makin lama makin naik
(6) Bunyi jantung biasanya tidak ada
(7)Pada toucher teraba ketuban yang tegang terus menerus (karena isi uterus
bertambah
(8)Sering ada proteinuri karena disertai preeclampsia
d) Diagnosis
Diagnosis solusio plasenta didasarkan adanya perdarahan antepartum
yang bersifat nyeri, uterus yang tegang dan nyeri. Setelah plasenta lahir,
ditemukan adanya impresi (cekungan) pada permukaan maternal plasenta
akibat tekanan dari hematom retroplasenta.
e) Gambaran klinik
(1)Solusio plasenta ringan
Ruptura sinus marginalis sama sekali tidak mempengaruhi keadaan
ibu ataupun janinnya. Apabila terjadi perdarahan pervaginam, warnanya
akan kehitaman dan jumlahnya sedikit sekali. Perut mungkin terasa agak
sakit atau terus menerus agak tegang. Uterus yang agak tegang ini harus
diawasi terus menerus apakah akan menjadi lebih tegang karena
perdarahan terus menerus. Bagian bagian janin masih mudah teraba.
(2)Solusio plasenta sedang
Plasenta telah lepas lebih dari seperempatnya tapi belum sampai
duapertiga luas permukaannya. Tanda dan gejalanya dapat timbul
perlahan-lahan seperti solusio plasenta ringan, atau mendadak dengan
gejala sakit perut terus menerus, yang disusul dengan perdarahan
pervaginam. Walaupun perdarahan pervaginam tampak sedikit, mungkin
perdarahan telah mencapai 1000ml. Dinding uterus teraba tegang terus
menerus dan nyeri tekan sehingga bagian-bagian janin sukar diraba. Bila
janin masih hidup, bunyi jantungnya sukar didengar dengan stetoskop
biasa, harus dengan stetoskop ultrasonic. Tanda-tanda persalinan biasanya
telah ada dan akan selesai dalam waktu 2 jam. Kelainan pembekuan darah
dan kelainan ginjal mungkin telah terjadi, walaupun biasanya terjadi pada
solusio plasenta berat.
(3)Solusio plasenta berat.
Plasenta telah lepas lebih dari duapertiga permukaannya. Terjadi
sangat tiba-tiba. Biasanya ibu telah jatuh dalam syok dan janin telah
meninggal. Uterus sangat tegang seperti papan, sangat nyeri, perdarahan
pervaginam tidak sesuai dengan keadaan syok ibu, malahan mungkin ,
perdarahan pervaginam belum sempat terjadi. Besar kemungkinan telah
terjadi kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal.
f) Penanganan solusio plasenta
(1)Solusio plasenta ringan
Apabila kehamilannya kurang dari 36 minggu, perdarahannya
kemudian berhenti, perutnya tidak menjadi sakit, uterusnya tidak menjadi
tegang maka penderita dapat dirawat secara konservatif di rumah sakit
dengan observasi ketat.
(2)Solusio plasenta sedang dan berat
Apabila perdarahannya berlangsung terus, dan gejala solusio
plasenta bertambah jelas, atau dalam pemantauan USG daerah solusio
plasenta bertambah luas, maka pengakhiran kehamilan tidak dapat
dihindarkan lagi. Apabila janin hidup, dilakukan sectio caesaria. Sectio
caesaria dilakukan bila serviks panjang dan tertutup, setelah pemecahan
ketuban dan pemberian oksitosin dalam 2 jam belum juga ada his. Apabila
janin mati, ketuban segera dipecahkan untuk mengurangi regangan
dinding uterus disusul dengan pemberian infuse oksitosin 5 iu dalam
500cc glukosa 5% untuk mempercepat persalinan.
g) Pengobatan
(1) Umum :
a) Transfusi darah.
Transfusi darah harus segera diberikan tidak peduli bagaimana
keadaan umum penderita waktu itu. Karena jika diagnosis solusio
placenta dapat ditegakkan itu berarti perdarahan telah terjadi
sekurang-kurangnya 1000ml.
b) Pemberian O2
c) Pemberian antibiotik.
d) Pada syok yang berat diberi kortikosteroid dalam dosis tinggi.
(2) Khusus :
Terhadap hipofibrinogenemi : substitusi dengan human
fibrinogen 10 gr atau darah segar dan menghentikan fibrinolisis dengan
trasylol (proteinase inhibitor) 200.000 iu diberikan IV, selanjutnya jika
perlu 100.000 iu / jam dalam infus. Pemberian 1 gram fibrinogen akan
meningkatkan kadar fibrinogen darah 40 mg%. Jadi apabila kadar
fibrinogen sangat rendah atau tidak ada sama sekali, diperlukan
sekurangnya 4 gram fibrinogen untuk menaikkan di atas kadar kritis
fibrinogen darah 150mg%. Biasanya diperlukan 4-6 gram fibrinogen
yang dilarutkan dalam glucosa 10%, diberikan IV perlahan-lahan
selama 15-30 menit. Apabila tidak ada fibrinogen, transfusikan darah
segar yang mengandung kira-kira 2 gram fibrinogen per
1000ml.Sehingga dengan transfusi darah lebih dari 2000ml,
kekurangan fibrinogen dalam darah dapat diatasi. Untuk merangsang
diuresis : manitol, diuresis yang baik lebih dari 30-40cc/jam. Pimpinan
persalinan pada solusio plasenta bertujuan untuk mempercepat
persalinan sedapatdapatnya kelahiran terjadi dalam 6 jam. Apabila
persalinan tidak selesai atau diharapkan tidak akan selesai dalam waktu
6 jam setelah pemecahan selaput ketuban dan infus oksitosin, satu-
satunya cara adalah dengan melakukan sectio caesaria. Histerektomi
dilakukan bila ada atonia uteri yang berat yang tidak dapat diatasi
dengan usaha-usaha yang lazim.
Alasan :
(1)Bagian placenta yang terlepas meluas
(2)Perdarahan bertambah
(3)Hipofibrinogenemi menjelma atau bertambah
6. Retensio Plasenta (Plasenta Inkompletus)
Adalah keadaan dimana plasenta belum lahir dalam waktu 1 jam setelah
bayi lahir. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya plasenta tidak lahir
spontan dan tidak yakin apakah plasenta lengkap.
a) Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta:
(1)Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks;
kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik
dari uterus; serta pembentukan constriction ring.
(2)Kelainan dari placenta dan sifat perlekatan placenta pada uterus.
(3)Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus
yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan
kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktu
dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta
pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi uterus.
b) Sebab-sebab terjadinya retensio plasenta ini adalah:
(1)Plasenta belum terlepas dari dinding uterus karena tumbuh melekat lebih
dalam. Perdarahan tidak akan terjadi jika plasenta belum lepas sama sekali
dan akan terjadi perdarahan jika lepas sebagian. Hal ini merupakan
indikasi untuk mengeluarkannya.
Menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi:
(a)Plasenta adhesiva, melekat pada endometrium, tidak sampai membran
basal.
(b)Plasenta inkreta, vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus
desidua sampai ke miometrium.
(c)Plasenta akreta, menembus lebih dalam ke miometrium tetapi belum
menembus serosa.
(d)Plasenta perkreta, menembus sampai serosa atau peritoneum dinding
rahim.
(2)Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian
bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (plasenta inkarserata).
c) Penanganan
Penanganan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah:
(1)Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter
yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida
isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan).
Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi
darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan
darah.
(2)Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat
atau NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
(3)Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan
dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.
(4)Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi
manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih
400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan
buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan
dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.
(5)Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat
dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta.
Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase.
Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding
rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
(6)Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan
pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
(7)Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk
pencegahan infeksi sekunder.
d) Terapi
Terapi untuk retensio atau inkarserasi adalah 35 unit Syntocinon
(oksitosin) IV yang diikuti oleh usaha pengeluaran secara hati-hati dengan
tekanan pada fundus. Jika plasenta tidak lahir, usahakan pengeluaran secara
manual setelah 15 menit. Jika ada keraguan tentang lengkapnya
plasenta,lakukan palpasi sekunder.
7. Ruptur Uteri
Ruptur uterus adalah robekan pada uterus, dapat meluas ke seluruh
dinding uterus dan isi uterus tumpah ke seluruh rongga abdomen (komplet),
ataU dapat pula ruptur hanya meluas ke endometrium dan miometrium, tetapi
peritoneum di sekitar uterus tetap utuh (inkomplet).
a) Klasifikasi
(1)Menurut waktu terjadinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
(a)Ruptur Uteri Gravidarum
Terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada korpus.
(b)Ruptur Uteri Durante Partum
Terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering pada SBR.
Jenis inilah yang terbanyak.
(2)Menurut lokasinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
(a)Korpus Uteri
Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami
operasi, seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.
(b)Segmen Bawah Rahim
Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju).
SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah
ruptur uteri.
(c)Serviks Uteri
Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau
versi dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.
(d)Kolpoporeksis-Kolporeksis
Robekan – robekan di antara serviks dan vagina.
(3)Menurut robeknya peritoneum, ruptur uteri dapat dibedakan:
(a)Ruptur Uteri Kompleta
Robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya
(perimetrium), sehingga terdapat hubungan langsung antara rongga
perut dan rongga uterus dengan bahaya peritonitis.
(b)Ruptur Uteri Inkompleta
Robekan otot rahim tetapi peritoneum tidak ikut robek.
Perdarahan terjadi subperitoneal dan bisa meluas sampai ke
ligamentum latum.
(4)Menurut etiologinya
(a)Rupture uteri spontanea
Menurut etiologi dibagi menjadi 2:
i. Karena dinding rahim yang lemah dan cacat, misalnya pada bekas
SC, miomektomi, perforasi waktu kuretase, histerorafia, pelepasan
plasenta secara manual
ii. Karena peregangan yang luar biasa pada rahim, misalnya pada
panggul sempit atau kelainan bentuk panggul, janin besar seperti
janin penderita DM, hidrops fetalis, post maturitas dan grande
multipara.
b) Etiologi
Penyebab kejadian ruptur uteri, yakni:
(1)Tindakan obstetri
(2)Ketidakseimbangan fetopelvik
(3)Letak lintang yang diabaikan
(4)Kelebihan dosis obat bagi nyeri persalinan atau induksi persalinan
(5)Jaringan parut pada uterus
(6)Kecelakaan.
8. Perdarahan Pasca persalinan
Pendarahan pasca persalinan (post partum) adalah pendarahan
pervaginam 500 ml atau lebih sesudah anak lahir. Penyebab gangguan ini
adalah kelainan pelepasan dan kontraksi, rupture serviks dan vagina (lebih
jarang laserasi perineum), retensio sisa plasenta, dan koagulopati.
Perdarahan pascapersalinan tidak lebih dari 500 ml selama 24 jam
pertama, kehilangan darah 500 ml atau lebih berarti bahaya syok. Perdarahan
yang terjadi bersifat mendadak sangat parah (jarang), perdarahan sedang (pada
kebanyakan kasus), dan perdarahan sedang menetap (terutama pada ruptur).
Peningkatan anemia akan mengancam terjadinya syok, kegelisahan, mual,
peningkatan frekuensi nadi, dan penurunan tekanan darah.
a) Klasifikasi Klinis
(1)Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrhage, atau
Perdarahan Postpartum Primer, atau Perdarahan Pasca Persalinan Segera).
Perdarahan pasca persalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama.
Penyebab utama perdarahan pasca persalinan primer adalah atonia uteri,
retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri.
Terbanyak dalam 2 jam pertama.
(2)Perdarahan masa nifas (PPH kasep atau Perdarahan Persalinan Sekunder
atau Perdarahan Pasca Persalinan Lambat, atau Late PPH). Perdarahan
pascapersalinan sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan
pasca persalinan sekunder sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan
rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.
b) Gejala Klinis
Gejala klinis berupa pendarahan pervaginam yang terus-menerus
setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-
tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat
dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain.
Penderita tanpa disadari dapat kehilangan banyak darah sebelum ia
tampak pucat bila pendarahan tersebut sedikit dalam waktu yang lama.
c) Diagnosis
Perdarahan yang langsung terjadi setelah anak lahir tetapi plasenta
belum lahir biasanya disebabkan oleh robekan jalan lahir. Perdarahan setelah
plasenta lahir, biasanya disebabkan oleh atonia uteri. Atonia uteri dapat
diketahui dengan palpasi uterus ; fundus uteri tinggi di atas pusat, uterus
lembek, kontraksi uterus tidak baik. Sisa plasenta yang tertinggal dalam
kavum uteri dapat diketahui dengan memeriksa plasenta yang lahir apakah
lengkap atau tidak kemudian eksplorasi kavum uteri terhadap sisa plasenta,
sisa selaput ketuban, atau plasenta suksenturiata (anak plasenta). Eksplorasi
kavum uteri dapat juga berguna untuk mengetahui apakan ada robekan
rahum. Laserasi (robekan) serviks dan vagina dapat diketahui dengan
inspekulo. Diagnosis pendarahan pasca persalinan juga memerlukan
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan Hb, COT (Clot
Observation Test), kadar fibrinogen, dan lain-lain.
d) Faktor-faktor yang mempengaruhi perdarahan pascapersalinan
(1)Perdarahan pascapersalinan dan usia ibu
Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau
lebih dari 35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan
pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini
dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita
belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia diatas 35
tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami penurunan
dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan untuk
terjadinya komplikasi pascapersalinan terutama perdarahan akan lebih
besar. Perdarahan pascapersalinan yang mengakibatkan kematian
maternal pada wanita hamil yang melahirkan pada usia dibawah 20 tahun
2-5 kali lebih tinggi daripada perdarahan pascapersalinan yang terjadi
pada usia 20-29 tahun. Perdarahan pascapersalinan meningkat kembali
setelah usia 30-35tahun.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pemeriksaan klinik lengkap meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan
pemeriksaan obstetri termasuk pemeriksaan panggul secara sistematis meliputi
sebagai berikut :
1. Anamnesis
Diajukan kepada pasien atau keluarganya beberapa hal berikut dan
jawabannya dicatatat dalam catatan medik.
a. Masalah atau keluhan utama yang menjadi alasan pasien datang ke klinik.
b. Riwayat penyakit atau masalah tersebut, termasuk obat-obatan yang sudah
didapat.
c. Tanggal hari pertama haid yang terakhir dan riwayat haid.
d. Riwayat kehamilan sekarang.
e. Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu termasuk kondisi
anaknya.
f. Riwayat penyakit yang pernah diderita dan penyakit dalam keluarga.
g. Riwayat pembedahan.
h. Riwayat alergi terhadap obat.
2. Pemeriksaan fisik umum
a. Penilaian keadaan umum dan kesadaran penderita.
b. Penilaian tanda vital.
c. Pemeriksaan kepala dan leher.
d. Pemeriksaan dada (pemeriksaan jantung dan paru-paru).
e. Pemeriksaan perut ( kembung, nyeri tekan atau nyeri lepas, tanda abdomen
akut, cairan bebas dalam rongga perut).
f. Pemeriksaan anggota gerak (edema tungkai bawah dan kakai)
3. Pemeriksaan obstetri
a. Pemeriksaan vulva dan perineum
b. Pemeriksaan vagina
c. Pemeriksaan servik
d. Pemeriksaan rahim (besarnya, kelainan bentuk, tumor dan sebagainya)
e. Pemeriksaan adneksa
f. Pemeriksaan his (frekuensi, lama, kekuatan, relaksasi, simetri dan dominasi
fundus)
g. Pemeriksaan janin :
1) Didalam atau diluar rahim
2) Jumlah janin
3) Letak janin
4) Presentasi janin dan turunnya presentasi seberapa jauh
5) Posisi janin, moulage dan kaput suksedaneum
6) Bagian kecil janin disamping presentasi (tangan, tali pusat)
7) Anomali kongenital pada janin
8) Tafsiran berat janin
9) Janin mati atau hidup, gawat janin atau tidak
4. Pemeriksaan panggul
a. Penialaian pintu atas panggul :
1) Promontorium teraba atau tidak
2) Ukuran konjugata diagonalis dan konjugata vera
3) Penilaian linea inominata teraba berapa bagian atau seluruhnya
b. Penilaian ruang tengah panggul
1) Penilaian tulang sakrum (cekung atau datar)
2) Penilaian dinding samping (lurus atau konvergen)
3) Penilaian sepina iskiadika (runcing atau tumpul)
4) Ukuran jarak antar spina iskiadika (distansia interspinarum)
c. Penilaian pintu bawah panggul
1) Arkus pubis (lebih besar atau kurang dari 90o)
2) Penilaian tulang kogsigis (kedepan atau tidak)
d. Penilaian adanya tumor jalan lahir yang menghalangi persalian pervagina
e. Penilaian panggul (panggul luas, sedang, patologik)
5. Penilaian imbang feto-pelvik : (imbang feto-pelvik baik atau disproporsi-
sefalo-pelvik)
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan (anemia) b/d perdarahn intra servikal
2. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d penurunan nafsu
makan
3. Gangguan rasa nyama (nyeri) b.d proses desakan pada jaringan intra servikal
4. Cemas b.d terdiagnose c.a serviks sekunder akibat kurangnya pengetahuan
tentang Ca. Serviks dan pengobatannya.
5. Resiko tinggi terhadap gangguan konsep diri b.d perubahan dalam penampilan
terhadap pemberian sitostatika.
C. Intervensi keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan (anemia) b.d perdarahan intra servikal
Tujuan :
Setelah diberikan perawatan selama 1 X 24 jam diharapkan perfusi jaringan
membaik
Kriteria hasil :
a. Perdarahan intra servikal sudah berkurang
b. Konjunctiva tidak pucat
c. Mukosa bibir basah dan kemerahan
d. Ektremitas hangat
e. Hb 11-15 gr %
Intervensi :
a. Observasi tanda-tanda vital
b. Observasi perdarahan ( jumlah, warna, lama )
c. Cek Hb
d. Cek golongan darah
e. Beri O2 jika diperlukan
f. Pemasangan vaginal tampon.
g. Therapi IV
3. Gangguan rasa nyaman (nyeri) b.d proses desakan pada jaringan intra servikal
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan 1 X 24 jam diharapka klien tahu cara-cara
mengatasi nyeri yang timbul akibat kanker yang dialami
Kriteria hasil :
a. Klien dapat menyebutkan cara-cara mengurangi nyeri yang dirasakan
b. Intensitas nyeri berkurangnya
c. Ekpresi muka dan tubuh rileks
Intervensi :
a. Tanyakan lokasi nyeri yang dirasakan klien
b. Tanyakan derajat nyeri yang dirasakan klien dan nilai dengan skala nyeri.
c. Ajarkan teknik relasasi dan distraksi
d. Anjurkan keluarga untuk mendampingi klien
e. Kolaborasi dengan tim paliatif nyeri
5. Resiko tinggi terhadap gangguan konsep diri b.d perubahan dalam penampilan
sekunder terhadap pemberian sitostatika.
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan, konsep diri dan persepsi klien menjadi
stabil
Kriteria hasil :
a. Klien mampu untuk mengeskpresikan perasaan tentang kondisinya
b. Klien mampu membagi perasaan dengan perawat, keluarga dan orang
dekat.
c. Klien mengkomunikasikan perasaan tentang perubahan dirinya secara
konstruktif.
d. Klien mampu berpartisipasi dalam perawatan diri.
Intervensi :
a. Kontak dengan klien sering dan perlakukan klien dengan hangat dan sikap
positif.
b. Berikan dorongan pada klien untuk mengekpresikanbperasaan dan pikian
tentang kondisi, kemajuan, prognose, sisem pendukung dan pengobatan.
c. Berikan informasi yang dapat dipercaya dan klarifikasi setiap mispersepsi
tentang penyakitnya.
d. Bantu klien mengidentifikasi potensial kesempatan untuk hidup mandiri
melewati hidup dengan kanker, meliputi hubungan interpersonal,
peningkatan pengetahuan, kekuatan pribadi dan pengertian serta
perkembangan spiritual dan moral.
e. Kaji respon negatif terhadap perubahan penampilan (menyangkal
perubahan, penurunan kemampuan merawat diri, isolasi sosial, penolakan
untuk mendiskusikan masa depan.
f. Bantu dalam penatalaksanaan alopesia sesuai dengan kebutuhan.
g. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain yang terkait untuk tindakan
konseling secara profesional.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Distosia di definisikan sebagai persalinan yang panjang, sulit, atau
abnormal, yang timbul akibat sebagai kondisi yang berhubungan dengan berbagai
macam keadaan. (editor renata komalasari, 2005)
Klasifikasi :
1. Distosia karena kelainan tenaga/his
2. Distosia karena kelainan letak
3. Kehamilan karena kelainan bentuk
4. Distosia karena kelainan pelvis
DAFTAR PUSTAKA
Manuaba, Ida Bagus Gde., 1998, Ilmu Kebidanan Penyakit dan Keluarga