Anda di halaman 1dari 2

A.

Trend dan Isu Penatalakasanaan di Ruang ICU

B. Penanganan Krisis Hipertensi

Tujuan utama dari penanganan krisis hipertensi adalah mencegah progresifitas kerusakan
organ target. Obat – obatan yang ideal digunakan pada kondisi pasien dengan hipertensi
emergensi bersifat: memberikan efek penurunan tekanan darah yang cepat, reversible dan
mudah dititrasi tanpa menimbulkan efek samping. Pengendalian penurunan tekanan darah
tersebut harus benar – benar terkontrol dengan baik dengan mempertimbangkan manfaat
yang dicapai dan efek hipoperfusi yang mungkin terjadi.Target penurunan tekanan darah
sistolik dalam satu jam pertama sebesar 10 – 15% dari takanan darah sistolik awal dan tidak
melebihi 25 %. Jika kondisi pasien cukup stabil maka target tekanan darah dalam 2 sampai 6
jam selanjutnya sekitar 160 /100 – 110 mmHg. Selanjutnya hingga 24 jam kedepan tekanan
darah dapat diturunkan hingga tekanan sistoliknya 140 mmHg (Chobanian, et all, 2003).
Perlu diingat bahwa pada pasien dengan hipertensi emergensi dapat mengalami natriuresis
spontan sehingga dapat menyebabkan terjadinya penurunan volume intravascular, sehingga
pemberian cairan kristaloid akan memperbaiki perfusi organ dan mencegah menurunan
tekanan darah yang drastic akibat efek obat antihipertensi yang diberikan. Namun pemberian
cairan tersebut harus berhati – hati karena pada sebagian pasien hipertensi emergensi
disertai / mengancam terjadinya edema paru. Peningkatan tekanan darah yang mendadak
tentunya juga akan meningkatkan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri yang selanjutnya juga
akan meningkatkan pula tekanan di atrium kiri dan vena pulmonal sehingga terjadi
bendungan dan kongesti di paru. Pemberian cairan sebaiknya diberikan setelah target
penurunan tekanan darah dalam 1 jam telah tercapai dan perlu pemantauan yang ketat.

C. Discharge Planning.

Discharge Planning adalah suatu proses yang bertujuan untuk membantu pasien dan keluarga
dalam meningkatkan atau mempertahankan derajat kesehatannya. Shepperd, et.al (2004)
menyatakan bahwa discharge planning memberikan efek berarti dalam menurunkan
komplikasi penyakit, pencegahan kekambuhan dan menurunkan angka mortalitas dan
morbiditas. Saat ini, pelaksanaan discharge planning pada pasien di rumah sakit umumnya
hanya berupa catatan resume pasien pulang serta pemberian informasi singkat mengenai
jadwal kontrol pasien ke poliklinik, obat-obatan yang harus di minum, serta diet yang harus
dipenuhi dan dihindari setelah pasien pulang dari rumah sakit (Slevin, 1996; Spath, 2003).
Informasi hanya diberikan pada saat pasien dinyatakan boleh pulang, padahal discharge
planning di mulai pada hari pertama pasien mulai di rawat di rumah sakit. Hal ini belum bisa
dikatakan discharge planning, karena diberikan dalam waktu singkat dan informasi yang
sangat terbatas sehingga tidak menjamin tercapainya suatu perubahan perilaku pasien dan
keluarga. Pelaksanaan discharge planning yang tidak efektif akan menyebabkan tidak terjadi
kontinuitas perawatan ketika pasien di rumah. Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya
perburukan kondisi pasien sehingga pasien kembali ke rumah sakit dengan penyakit yang
sama ataupun munculnya komplikasi penyakit yang lebih berat. Rankin dan Stallings (2001)
mengemukakan bahwa pemberian pendidikan kesehatan (penkes) bukan hanya sekedar
pemberian informasi tetapi merupakan suatu proses yang mempengaruhi perilaku individu,
karena kesuksesan suatu pendidikan bisa diperlihatkan dengan adanya perubahan perilaku.
Terbentuknya pola perilaku baru dan berkembangnya kemampuan seseorang dapat terjadi
melalui tahapan yang diawali dari pembentukan pengetahuan, sikap dan dimilikinya suatu
ketrampilan baru. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam
mengenai discharge planning oleh setiap perawat.

Anda mungkin juga menyukai