Anda di halaman 1dari 24

ANALISIS ARTIKEL JURNAL IPE

(INTERPROFESSIONAL EDUCATION)
BANGSAL MELATI RSUP DR. SARDJITO

Tugas Kelompok

Stase Keperawatan Anak

Disusun oleh:

Andri Cipta 20/458053/KU/22327

Fajar Pawestri 20/458070/KU/22344

Sulistina Alifah Purbaningrum 20/458106/KU/22380

Evi Ratnasari 20/458067/KU/22341

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT DAN
KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
I. Abstract
Latar belakang: Asma merupakan penyakit saluran pernapasan kronis yang paling
umum dijumpai pada anak-anak dan menjadi penyebab utama kematian di dunia
dengan penderita sebanyak 235 juta orang. Tingkat kekambuhan pasien asma pada
anak-anak di Indonesia masih tinggi yaitu berada diatas >50%. Dalam
penatalaksanaannya masih terbatas pada pendekatan dokter kelurga dengan KIE pada
keluarga. Oleh karena itu pendekatan multidisiplin pada tatalaksana asma dapat
dilakukan untuk mencegah kekambuhan pasien asma pada anak.
Tujuan: Mengetahui efek perawatan asma dengan pendekatan multidisiplin dan tindak
lanjut petugas kesehatan pada pemanfaatan perawatan, frekuensi kunjungan tidak
diharapkan, dan kondisi asma anak-anak.
Metode: Membandingkan dua artikel dengan kriteria inklusi dan eksklusi serta topik
yang sama.
Hasil: Pendekatan multidisiplin perawatan asma dapat menurunkan angka kunjungan
perawatan pasien post intervensi sebesar 40% pada satu tahun pertama, dan 50% pada
tahun kedua, angka kunjungan UGD turun 70% dan rawat inap turun sebesar 54% pada
dua tahun setelah intervensi. Sebanyak 4 pasien mampu lepas pengobatan
kortikosteroid pada tahun pertama, 17 pasien pada tindak lanjut tahun kedua.
Pendekatan ini juga mampu menurunkan perburukan kondisi asma yang berat
Kesimpulan: Tatalaksana perawatan asma yang terkoordinasi dalam menangani pasien
telah terbukti efektif sehingga perawatan multidisiplin sangat dibutuhkan dalam
penanganan asma
Keyword: asma, anak-anak, multidisiplin, manajemen, pencegahan perburukan

II. Introduction
Asma merupakan penyakit saluran pernapasan kronis yang paling umum
dijumpai pada anak-anak. (Liu et al., 2011). Asma merupakan suatu kondisi terjadinya
peradangan pada saluran pernapasan yang terjadi di paru-paru dan mempengaruhi
sensitivitas ujung saraf di saluran napas sehingga mudah teriritasi. Dalam serangan
asma, lapisan saluran membengkak menyebabkan saluran udara menyempit dan
mengurangi aliran udara masuk dan keluar dari paru-paru (WHO, 2020). Sedangkan
menurut P2PTM Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018, asma
merupakan suatu kelainan berupa peradangan kronik saluran napas yang menyebabkan
penyempitan saluran napas (hiperaktivitas bronkus) sehingga menyebabkan gejala
episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk terutama
pada malam atau dini hari. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
tahun 2008, asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala
tidak mengganggu aktivitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat
bahkan dapat menimbulkan kematian.
Asma menjadi penyebab utama kematian di dunia dengan penderita sebanyak
235 juta orang (WHO, 2017). Pada tahun 2015 sebanyak 338.000 kematian dilaporkan
yang sebagian besar terjadi pada orang dewasa. Berdasarkan data WHO, prevalensi
penderita asma berdasarkan umur sebesar 7,4% pada dewasa dan 8,6% pada anak-anak
(WHO, 2017). Di Indonesia, prevalensi penderita asma berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2018 adalah sebesar 2,4% atau sebanyak 1.017.290 orang,
kemudian penderita asma pada kelompok usia anak anak (< 1 tahun hingga 14 tahun)
adalah sebesar 3,9%.
Selain adanya prevalensi asma, terdapat prevalensi kekambuhan asma di
Indonesia menurut data Riskesdas tahun 2018 yang dikelompokkan sesuai kelompok
umur. Pada anak-anak, kelompok umur < 1 tahun memiliki proporsi kekambuhan asma
sebesar 66,8%, kelompok umur 1-4 tahun sebesar 68,2%, dan kelompok umur 5-14
tahun sebesar 53,9%.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Yuliana & Karyus (2020) yang
menerapkan pendekatan dokter keluarga, terjadi penurunan frekuensi serangan asma
dan batuk yang dirasakan pasien asma persisten sedang setelah dilakukan edukasi
terkait asma, faktor internal dan eksternal, serta adanya peresepan obat. Liansyah
(2014) menyatakan bahwa di Indonesia pendekatan kedokteran keluarga dalam
penatalaksanaan asma anak melalui aspek komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE)
perlu ditekankan bahwa keberhasilan terapi atau tatalaksana sangat bergantung pada
kerjasama yang baik antara keluarga (penderita) dan dokter keluarga yang
menanganinya.
Manajemen asma perlu dilakukan secara komprehensif. Tidak hanya
penatalaksanaan secara farmakologi, namun juga diperlukan kompetensi tenaga
kesehatan yang baik. Terdapat pedoman tatalaksana untuk mendukung pemantauan dan
pengendalian asma. Tetapi terdapat kesenjangan antara literatur dengan pendekatan
intervensi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan multidisiplin ketika merawat anak
dengan asma. Selain itu masih sedikit tenaga kesehatan yang mengetahui tentang asma
berat pada anak, seperti risiko penyerta, efek samping dan kualitas hidup. Oleh karena
itu, pemahaman dan keterampilan yang lebih baik diperlukan dalam perawatan tim
multidisiplin dalam merawat anak dengan asma (Kertz, 2020).
Tujuan dari analisis jurnal ini adalah untuk mengetahui intervensi atau
implementasi yang dilakukan dengan pendekatan multidisiplin tenaga kesehatan pada
kasus anak dengan asma.

III. Material and Methods


Kasus
An. A berumur 12 tahun, masih mengeluhkan sedikit batuk, mengalami sesak
nafas sejak kelas 1 SD, tidak memiliki riwayat keturunan asma, tidak memiliki riwayat
alergi namun akan kambuh jika kelelahan dan masuk angin, Ibu An. A akan
memberikan terapi inhalasi dan dikeroki jika An. A mengalami sesak napas, serta Ibu
An. A masih bingung cara penanganan asma yang benar. Hasil pemeriksaan fisik An.
A menunjukkan pergerakan paru simetris, tidak ada nyeri tekan, suara paru vesikuler,
respiratory rate 20x/menit, dan nadi 78x/menit.

1. Search Strategy
Proses pencarian artikel dilakukan berdasarkan PICO yang disesuaikan dengan
tema yang dipilih yaitu intervensi pada pasien anak dengan asma dengan pendekatan
multidisiplin. Pencarian artikel dilakukan pada 3 database yaitu PubMed, SAGE
Journal dan ClinicalKey. Limiter yang digunakan pada database yaitu publikasi 10
tahun terakhir, Bahasa Inggris, full text, open access dan artikel research, kuantitatif
dan/atau kualitatif. Keyword yang digunakan untuk mewakili PICO disetiap database
adalah ("Children with asthma"[Title/Abstract]) AND ("multidisciplinary
approach"[Title/Abstract] OR "Interprofessional Collaboration"[Title/Abstract])
AND ("prevention of deterioration"[Title/Abstract] OR "prevention of
worsening"[Title/Abstract]).
PICO Pencarian Alternatif Hasil Pencarian
Item
Patient/ Children with Children with asthma or
asthma Peediatric with asthma
Population

Intervention multidisciplinary Interprofessional multidisciplinary approach OR


approach Collaboration Interprofessional Collaboration

Comparison - - -

Outcome prevention of prevention of prevention of worsening OR


worsening deterioration prevention of deterioration

Setelah dilakukan pencarian, artikel dikaji dengan tahapan diagram PRISMA


(Moher et al, 2009). sebagai berikut:
a. Skrining duplikasi, melakukan identifikasi dan mengeliminasi artikel yang
terduplikasi atau sama.
b. Skrining judul dan abstrak, menyaring penelitian yang membahas topik sesuai
dengan keywords dan dapat dimasukkan pada tahapan selanjutnya.
c. Skrining full text, artikel yang didapat setelah skrining abstrak akan dilakukan
skrining full text. Hanya artikel yang membahas sesuai dengan topik yang akan
masuk dalam analisis.
d. Critical appraisal dengan menggunakan JBI atau The Joanna Briggs Institute
checklist for Randomized Controlled Trial
2. Inclusion Criteria

Coordinated Asthma Program Improves Paediatric asthma outpatient care by


Asthma Outcomes in High-Risk Children asthma nurse, paediatrician or general
practitioner: randomised controlled trial
with two-year follow-up

- Pasien harus aktif (terlihat dalam setiap - Pasien di rumah sakit dirawat oleh
jenis kunjungan) di praktik pada tahun dua ahli paru anak.
sebelum dan setelah penerapan The - Berusia 6-16 tahun
Asthma Action Team (AAT) selama - Menderita asma sedang menurut
empat periode waktu yang telah Pedoman Nasional Pediatrik
ditentukan. Pediatrik Belanda, yang
- Pasien berusia antara 4 - 15 tahun pada menggunakan ICS setidaknya selama
saat kunjungan. 9 bulan sebelum penelitian.
- Pasien yang melakukan kunjungan
pertama dengan AAT antara 1 Oktober
2007 dan 1 Oktober 2009.

3. Exclusion Criteria

Coordinated Asthma Program Improves Paediatric asthma outpatient care by


Asthma Outcomes in High-Risk asthma nurse, paediatrician or general
Children practitioner: randomised controlled trial
with two-year follow-up

- Pasien dengan penyakit penyerta, - Anak-anak dengan asma berat


seperti penyakit jantung bawaan, didefinisikan menurut Pedoman Asma
displasia bronkopulmonalis, fibrosis dari Asosiasi Pediatrik Belanda
kistik, atau penyakit paru kronis (langkah 4, asma tidak stabil meskipun
lainnya. pengobatan dengan ICS dosis tinggi dan
penambahan β2-agonis kerja panjang
(LABA / ICS) dan / atau montelukast).
- Tidak dapat melakukan tes fungsi paru-
paru
- Menderita penyakit kronis lainnya
- Memiliki masalah psikiatri
4. Search Outcome
Hasil pencarian pada tiap database akan disaring dengan tahapan sesuai
dengan diagram PRISMA (Moher, Liberati, Tetzlaff, & Altman, 2009). Setelah
dilakukan penyaringan dengan menggunakan keyword yang sudah ditetapkan
didapatkan total 93 artikel dari 54 PubMed, 13 SAGE Journal dan 26 ClinicalKey.
Skrining duplikasi judul didapatkan 27 artikel. Skrining dengan kesesuaian judul dan
abstrak didapatkan 14 artikel sesuai dengan PICO lalu dilakukan setelah itu dilakukan
skrining terakhir yakni full text dan open access didapatkan 2 artikel sesuai dengan
PICO yang telah dibuat. Tahap terakhir adalah critical appraisal menggunakan The
Joanna Briggs Institute (JBI) checklist for Randomized Controlled Trial sesuai dengan
jenis penelitian dari artikel yang diperoleh dan didapat 2 artikel tersebut dapat
dianalisis dan dibahas. Hasil pencarian dan skrining dapat dijelaskan dalam gambar
diagram PRISMA berikut:
5. Quality Appraisal
Sebanyak 2 teks lengkap yang dipilih dilakukan critical appraisal menggunakan
The Joanna Briggs Institute checklist for Randomized Controlled Trial yang terdiri
dari 13 pertanyaan. Setelah dilakukan critical appraisal didapatkan hasil bahwa
terdapat 2 artikel yang memenuhi appraisal untuk dilakukan analisis. Identitas artikel
tersebut adalah sebagai berikut:
Identitas Jurnal 1
Judul : Coordinated Asthma Program Improves Asthma Outcomes in High-
Risk Children
Penulis : Faye Holder-Niles, Linda Haynes, Helen D’Couto, Rebecca S. Hehn,
Dionne A. Graham, Ann Chen Wu, and Joanne E. Cox
Tahun : 2017
Penerbit : SAGE Journal (Clinical Pediatrics)
Volume : 56
Nomor : 10

Identitas Jurnal 2
Judul : Paediatric asthma outpatient care by asthma nurse, paediatrician or
general practitioner: randomised controlled trial with two-year follow-up
Penulis : Maarten Kuethe, Anja Vaessen-Verberne, Paul Mulder, Patrick
Bindels, Wim van Aalderen
Tahun : 2011
Penerbit : Primary Care Respiratory Journal
Volume : 20
Nomor :1

6. Data Extraction and Analysis


Ekstraksi artikel dimasukkan ke dalam bentuk tabel agar mempermudah proses
analisis. Tabel berisi nama peneliti dan tahun publikasi, tujuan penelitian, populasi
atau sampel penelitian, metode atau desain penelitian, intervensi, dan hasil penelitian.
IV. Result

Paediatric asthma outpatient care by asthma nurse,


Judul Coordinated Asthma Program Improves Asthma Outcomes in paediatrician or general practitioner: randomised
High-Risk Children controlled trial with two-year follow-up

Maarten Kuethe, Anja Vaessen-Verberne, Paul Mulder,


Penulis Faye Holder-Niles, Linda Haynes, Helen D’Couto, Rebecca S. Patrick Bindels, Wim van Aalderen
Hehn, Dionne A. Graham, Ann Chen Wu, and Joanne E. Cox

2011
Tahun 2017

Menguji non-inferioritas perawatan yang diberikan


Tujuan Mengevaluasi dampak dari integrasi pendidikan pasien secara
individual, identifikasi hambatan kepatuhan pengobatan, dan oleh perawat asma khusus berbasis rumah sakit
dukungan sumber daya masyarakat terkoordinasi melalui versus dokter umum atau dokter anak.
model perawatan asma rumah medis yang terkoordinasi.
Responden/ Partisipan adalah anak-anak yang masuk ke Rumah Sakit Anak Partisipan adalah anak-anak dengan asma sedang dan
Boston dengan diagnosa utama asma. Sebagian besar pasien stabil yang berasal dari rawat jalan Rumah Sakit Umum
sampel berasal dari komunitas Greater Boston dan didominasi oleh dan dari 18 dokter umum yang berjumlah 107 anak.
rumah tangga berpenghasilan rendah yang diasuransikan oleh
Medicaid.
Artikel ini menggunakan desain randomized
Metode/ Artikel ini merupakan randomized clinical trial yang controlled trial dengan mengevaluasi perawatan standar
dilaksanakan untuk mengevaluasi dampak dari integrasi oleh dokter umum, dokter anak atau perawat asma, dengan
desain pendidikan pasien secara individual, identifikasi hambatan masa tindak lanjut partisipan selama dua tahun.
kepatuhan pengobatan, dan dukungan sumber daya masyarakat. Subjek penelitian terdiri dari dua setting (45
anak) yaitu General Practice dan Hospital Practice (62
Program yang dilaksanakan adalah berbasis rumah sakit
anak). Pada setting general subjek diseleksi menggunakan
dengan praktek dokter anak rawat jalan, perawat, staf, dan
rekam medis elektronik, diagnosis asma dari dokter,
residen yang memberikan perawatan pada pasien asma.
batasan usia, dan/atau peresepan ICS (Inhaled
Program ini mengembangkan Asthma Action Team Corticosteroid) serta wawancara melalui telepon. Pada
(AAT) yang terdiri dari praktisi dokter dan perawat, pendidik setting rumah sakit partisipan terdiri dari pasien dengan
perawat asma bersertifikat, pekerja sosial, spesialis sumber usia 6 - 12 tahun dan dengan asma sedang menurut
daya komunitas, dan asisten penelitian/administrasi. AAT Guidelines of Dutch Paed.
memiliki empat sesi klinik yang ditawarkan setiap minggu, Subjek penelitian ditindaklanjuti selama dua
yaitu 3 di malam hari dan 1 di siang hari. Untuk dilihat oleh tahun dengan perawatan biasa. Setelah satu dan dua tahun,
AAT, pasien harus menerima perawatan primer. maka dilakukan pengukuran fungsi paru-paru. Data
tambahan seperti eksaserbasi, ketidakhadiran di sekolah,
Pertemuan tim AAT dengan pasien diawali dengan ketidakhadiran orang tua dari pekerjaan, status
kunjungan selama 1 jam. Selama kunjungan ini, pasien pengendalian asma dan penggunaan obat-obatan
menerima evaluasi asma mendalam yang meliputi: dikumpulkan.
pemeriksaan kesehatan, tinjauan gejala dan pemicu asma, serta Selama kunjungan, pengendalian asma dinilai
penyesuaian obat sesuai kebutuhan. Kunjungan ini juga menggunakan kuesioner asli Asthma Control
meliputi edukasi mengenai patofisiologi asma dasar, Questionnaire berbahasa Belanda. Pasien mengingat
identifikasi pemicu asma, review penggunaan obat asma, dan pengalaman terkait asma selama minggu sebelumnya dan
pelatihan perangkat obat. Selain itu, tim bekerja sama dengan menanggapi 6 pertanyaan dari kuesioner.
keluarga untuk mengidentifikasi hambatan dalam mengakses
perawatan, meningkatkan kepatuhan pengobatan, serta
mendorong tindak lanjut medis.

Selama kunjungan, penyedia dari AAT melakukan


penilaian risiko yang ketat untuk mengidentifikasi
kemungkinan pemicu asma lingkungan di rumah keluarga
dan/atau lingkungan sekolah. Keluarga dengan kebutuhan yang
teridentifikasi menerima bantuan melalui dana hibah atau
rujukan ke lembaga mitra masyarakat untuk mengatasi pemicu
lingkungan tersebut. AAT memberikan advokasi kepada
keluarga yang memiliki kepedulian terhadap pemicu
lingkungan. AAT juga memberikan anak-anak dengan "asma
persisten parah" dan "asma persisten sedang yang tidak
terkontrol" dengan terkoordinasi ke spesialis paru dan alergi
untuk manajemen komorbiditas yang berdampak pada stabilitas
dan kontrol asma.

AAT memberikan pendidikan ke seluruh klinik untuk


memfasilitasi peningkatan kesadaran dan perubahan praktik
sehubungan dengan manajemen asma. Pendidikan tentang
protokol asma di seluruh perawatan primer dilaksanakan sejak
dini melalui konferensi dan lokakarya di rumah. Pengajaran
pendidikan asma dan dukungan kepada keluarga tidak hanya
selama kunjungan AAT, tetapi juga selama kunjungan
perawatan rutin dan mendesak yang dijadwalkan dengan
penyedia perawatan primer mereka.
Hasil Artikel ini menilai program Asthma Action Team (AAT) Artikel penelitian ini menilai tatalaksana yang dilakukan
dalam 4 periode waktu yang terdiri periode pre intervensi 1 oleh dokter umum, dokter anak, dan perawat asma pada
tahun, periode intervensi, periode 1 tahun post-intervensi 1 beberapa aspek seperti fungsi paru-paru, kontrol asma,
tahun, dan periode tindak lanjut 2 tahun. Kunjungan yang pengobatan, dan konsultasi perawat asma kepada dokter
dinilai merupakan kunjungan preventif, kunjungan perawatan anak dalam basis praktik rumah sakit.
darurat, kunjungan gawat darurat, dan rawat inap.
Setelah dilakukan follow up selama satu dan dua tahun
Kunjungan preventif adalah kunjungan yang dilakukan sebagai tidak ada perbedaan yang signifikan baseline data pada
pemeriksaan anak sehat dengan penyedia perawatan kelompok yang ditangani oleh dokter umum, dokter anak,
primer/Primary Care Providers (PCP) atau kunjungan dan perawat asma.
perawatan non-darurat terkait asma dengan anggota AAT atau
penyedia perawatan primer. Kemudian, kunjungan perawatan Tes Fungsi Paru-paru
segera terkait asma didefinisikan sebagai kunjungan perawatan
darurat dengan diagnosis eksaserbasi asma atau gejala akut
terkait asma termasuk mengi atau kesulitan bernapas.
Kunjungan UGD terkait asma dan rawat inap rawat inap
ditentukan berdasarkan diagnosis utama untuk asma atau
penyakit saluran napas reaktif/Reactive Airway Disease (RAD)
berdasarkan kode ICD-9.
Pada tes fungsi paru tidak ada perbedaan yang signifikan
pada FEV1, hiporespon jalan nafas atau FENO
dihembuskan diantara tiga kelompok follow-up

Kontrol Asma

Skor ACQ menunjukkan efek pengobatan keseluruhan


yang hampir signifikan (p = 0,060) pada kunjungan satu
tahun. Namun, mengingat perbandingan berpasangan
tampak bahwa hanya antara kelompok GP dan kelompok
PP ditemukan perbedaan yang signifikan (p = 0,018)
sedangkan kelompok GP dan kelompok PP tidak berbeda
Tingkat kunjungan preventif awalnya meningkat sebesar 40% secara signifikan dari kelompok AN (nilai p masing-masing
selama periode intervensi, tetapi pada periode post-intervensi 0,18 dan 0,28). Mempertimbangkan perubahan dari
tingkat kunjungan kembali menurun ke tingkat yang sama baseline menggunakan model campuran yang serupa,
seperti saat periode pra-intervensi. penurunan skor ACQ yang signifikan hanya terlihat pada
kelompok PP pada kedua kunjungan (nilai p masing-masing
Sedangkan tingkat kunjungan perawatan segera, kunjungan
0,032 dan 0,048).
gawat darurat, dan rawat inap mengalami penurunan pada
periode post-intervensi apabila dibandingkan dengan periode
Tidak ada perbedaan antara kelompok mengenai jumlah
pre-intervensi. Tingkat kunjungan perawatan segera
eksaserbasi parah seperti yang diungkapkan oleh jumlah
mengalami penurunan sebesar 40% pada periode post-
program prednisolon. Dalam grup secara keseluruhan,
intervensi 1 tahun dan 50% pada periode tindak lanjut 2 tahun.
beberapa eksaserbasi terjadi: lima (satu di grup GP, satu di
Kemudian, tingkat kunjungan gawat darurat mengalami
grup PP dan tiga di grup AN) dan dua (satu di grup GP dan
penurunan sebesar 70% dan tingkat rawat inap menurun 54%
satu di grup PP) pada tahun pertama dan kedua,
pada periode tindak lanjut 2 tahun.
dibandingkan dengan sembilan dalam enam bulan sebelum
dimulainya penelitian. Tidak ada penerimaan rumah sakit
selama studi berlangsung.

Perbedaan yang mencolok ditemukan pada persentase


anak-anak yang melakukan kunjungan tindak lanjut rutin
pada satu tahun: 45,7% anak-anak secara teratur
ditindaklanjuti dalam praktik umum versus 87,9% dalam
praktik pediatrik dan 94,3% pada kelompok AN (p≤0.0005
). Setelah dua tahun masa tindak lanjut, persentase ini
masing-masing adalah 26,5%, 87,9% dan 75,8%
(p≤0.0005). Tidak ada perbedaan signifikan yang
ditemukan dalam persentase kunjungan yang tidak
direncanakan. Ketidakhadiran di sekolah selama satu hari
atau lebih, serta ketidakhadiran orang tua dari pekerjaan
tidak berbeda secara signifikan antara kelompok selama
semua kunjungan berturut-turut (Tabel 3).

Pengobatan
Dosis harian yang dikoreksi (kesetaraan busesonide) dari
ICS serta persentase anak yang diresepkan LABA / ICS
tidak berbeda secara signifikan antara kelompok pada
kedua kunjungan tindak lanjut. Setelah satu tahun masa
tindak lanjut, dua anak dalam kelompok PP dan dua anak
dalam kelompok AN berhenti menggunakan ICS secara
teratur. Setelah dua tahun masa tindak lanjut, tujuh anak
dalam kelompok GP, lima anak dalam kelompok PP dan
lima anak kelompok AN, telah berhenti menggunakan ICS
Pada pengelompokkan usia, tidak ada perbedaan yang secara teratur.
signifikan dari waktu ke waktu untuk tingkat kunjungan
preventif, kunjungan perawatan segera, maupun rawat inap. Konsultasi dengan dokter anak oleh perawat asma
Namun, pada tingkat kunjungan gawat darurat terdapat berbasis rumah sakit
perbedaan yang signifikan terkait pengelompokkan usia. Pada
kelompok usia yang lebih muda, tingkat kunjungan gawat
darurat menurun secara signifikan sebesar 54% pada periode
intervensi dan tetap lebih rendah pada kedua periode post-
intervensi. Sedangkan pada kelompok usia yang lebih tua,
tingkat kunjungan gawat darurat tetap stabil pada periode
intervensi, tetapi menurun sebesar 62% pada periode post-
intervensi 1 tahun dan 69% pada periode tindak lanjut 2 tahun.
Pada 58% (n = 21) subjek kelompok AN, perawat
asma percaya diri untuk memberikan penanganan asma
tanpa dukungan dari dokter anak. Di 34% (n = 12), satu atau
dua komunikasi lisan singkat terjadi untuk membantu
perawat dengan manajemen. Hanya tiga subjek (8% dari
anak-anak dalam kelompok AN) memiliki masalah yang
membutuhkan masukan lebih sering dari dokter anak.
V. Discussion
Artikel 1
Penelitian ini menunjukkan bahwa pengembangan dan penggunaan perawatan
asma yang terkoordinasi berkaitan dengan penurunan signifikan pada kunjungan
perawatan segera, kunjungan gawat darurat, dan rawat inap. Sebelumnya telah terjadi
peningkatan dalam kunjungan perawatan dan pencegahan asma, kemudian peneliti
mengamati penurunan yang signifikan dalam kunjungan perawatan darurat, kunjungan
UGD, dan penerimaan rawat inap dalam periode pasca-intervensi segera dan jangka
panjang.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan perawatan dan
pencegahan asma mungkin diperlukan untuk memfasilitasi pasien agar terjadi
penurunan perawatan yang berkelanjutan dan perawatan jangka panjang, tidak terjadi
perawatan mendesak yang tidak direncanakan yang biasanya membutuhkan biaya yang
lebih mahal, serta penurunan kunjungan UGD dan rawat inap. Penjelasan dari temuan
pada penelitian ini bahwa pendekatan terpadu untuk perawatan asma yang dilakukan
dalam populasi berisiko tinggi dan rentan dapat membantu mengurangi kunjungan
perawatan kesehatan yang mahal dengan mengalihkan fokus perawatan ke kunjungan
pencegahan.
Penelitian sebelumnya oleh Krieger et al (2005) telah terjadi peningkatan
variabel dalam kualitas perawatan asma dan kualitas hidup pada anak-anak dengan
intervensi pendidikan dan lingkungan rumah yang sukses. Namun, hanya sedikit yang
secara khusus meneliti dampak sinergis pada hasil pasien ketika intervensi ini
digabungkan dalam pendekatan tim medis multidisiplin dalam perawatan primer.
Penelitian ini mendukung temuan sebelumnya (Zickafoose et al, 2011) bahwa anak-
anak dari keluarga dengan kemampuan penghasilan rendah dan minoritas dapat
memperoleh manfaat dari program asma terintegrasi. Peneliti secara aktif berupaya
untuk membangun kesinambungan perawatan melalui klinik asma yang baik dan
kunjungan tambahan rutin dengan dokter asma.
Salah satu alasan yang menyebabkan angka asma meningkat selama penelitian
ini mungkin karena fokus penelitian ini ada pada peningkatan kontinuitas perawatan
asma pada pasien yang rentan dan berisiko. Hasil ini konsisten dengan penelitian
sebelumnya (Cree et al, 2006) yang menunjukkan bahwa kesinambungan perawatan
dengan penyedia yang sama berkorelasi terbalik dengan kunjungan gawat darurat.
Lebih lanjut, program penelitian ini mengandalkan kontribusi penting dari pekerja
sosial dan kemitraan dengan organisasi komunitas dan kunjungan petugas kesehatan
komunitas untuk pasien “berisiko tertinggi” yang diperbolehkan untuk pemeriksaan
rumah intensif, identifikasi pemicu, dan penyediaan sumber daya. Hal ini sesuai dengan
penelitian Krieger et al (2005) yang juga menyarankan bahwa faktor rumah dan
lingkungan merupakan kontributor yang signifikan terhadap hasil asma. Kemudian
adanya petugas kesehatan komunitas untuk pemeriksaan di rumah dapat mengurangi
lamanya hari gejala asma dan mendorong pemanfaatan pelayanan kesehatan. Selain itu,
model penelitian ini mengintegrasikan pelayanan asma ke dalam pelayanan kesehatan
primer yang ada dan lebih lanjut mendukung bahwa mengintegrasikan tim yang
berfokus pada penyakit khusus dalam pelayanan medis yang lebih luas dapat secara
signifikan meningkatkan manfaat bagi pasien.
Kesimpulannya, perawatan terpadu dan multidisiplin yang menangani sifat
asma yang multifaset menunjukkan harapan dalam meningkatkan hasil asma dan
mengurangi pemanfaatan perawatan kesehatan. Penurunan dalam pemanfaatan
perawatan asma dan hasil yang lebih baik ini mungkin terjadi akibat peningkatan
kunjungan asma preventif. Penyedia yang merancang intervensi masa depan untuk
meningkatkan perawatan asma untuk anak-anak minoritas dengan asma dapat
mempertimbangkan perawatan asma berbasis tim yang terkoordinasi.

Artikel 2
Dalam artikel ini menunjukkan bahwa perawatan asma pada anak yang
dilakukan oleh perawat asma khusus berbasis rumah sakit tidak kalah dengan yang
disediakan oleh dokter umum atau dokter anak pada anak-anak dengan asma stabil
berusia 6 sampai 16 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan parameter fungsi paru-
paru dan parameter kontrol asma seperti ACQ, eksaserbasi, dan ketidakhadiran sekolah,
tidak berbeda pada kelompok yang ditangani oleh dokter umum, dokter anak, atau
perawat asma.
Perbedaan yang diperoleh dari dua kelompok adalah kelompok praktik umum
secara signifikan memiliki kunjungan dan tindak lanjut yang lebih sedikit dibanding
kelompok dokter anak dan perawat asma. Hasil ini menunjukkan bahwa frekuensi
tindak lanjut yang rendah tidak menyebabkan perburukan kondisi asma. Selain itu
dokter umum dan perawat asma dapat menangani anak dengan asma stabil, sedangkan
dokter anak bisa berfokus pada anak dengan asma yang tidak stabil atau parah.
Pada penelitian ini telah diketahui bahwa perawatan yang dilakukan oleh
perawat asma khusus di rumah sakit memiliki kualitas yang baik. Sejalan dengan
penelitian Kamps et al (2003) bahwa hal ini bisa dikembangkan pada perawatan rawat
jalan pediatri dengan beberapa keunggulan, antara lain manajemen rawat jalan yang
dipimpin perawat dapat disediakan oleh fasilitas kesehatan dengan biaya yang lebih
rendah daripada perawatan medis oleh dokter anak. Kedua, kasus kronis biasanya lebih
dikesampingkan daripada kasus akut dan mendesak sehingga penangan asma kronis
kurang maksimal (Kamps et al, 2003). Ketiga, fasilitas kesehatan dapat memisahkan
penanganan penyakit kronis dengan penanganan penyakit mendesak, dan hal ini
merupakan langkah besar dalam pengelolaan asma kronis (Bodenheimer et al, 2002).
Selanjutnya perawat asma dapat mengelola pasien dengan asma kronis di pelayanan
rawat jalan pediatri
Tatalaksana asma yang boleh dilakukan oleh perawat asma harus memiliki
beberapa syarat, diantaranya pasien harus memiliki asma yang stabil dan terkontrol
dengan baik, perawat harus bekerja secara ketat sesuai dengan pedoman, harus ada
ambang batas rendah untuk konsultasi kepada dokter umum atau dokter anak ketika
pasien menunjukkan gejala dan terjadi perburukan kondisi, dan ada supervisi atau revisi
dari dokter anak atau dokter umum kepada perawat asma jika terjadi keraguan tentang
penatalaksanaan anak asma.
Pada akhirnya, tanggung jawab akhir tetap di tangan dokter pengawas. Dalam
pengaturan penelitian ini, peneliti memenuhi kondisi ini dan menunjukkan bahwa
perawat asma dapat bekerja secara mandiri dan hanya membutuhkan bantuan dari
dokter anak pengawas dalam sebagian kecil kasus. Selain itu, pendelegasian perawatan
mengurangi beban kerja dokter - yang penting, karena hal ini sering kali menjadi
penghalang untuk penyediaan perawatan yang optimal untuk penyakit kronis (Tsai et
al, 2005).

VI. Conclusion
Pendekatan multidisiplin yang dapat dilakukan pada pasien asma antara lain
dengan membentuk sebuah tim yang terdiri dari dokter, perawat, hingga pekerja sosial.
Tim tersebut dapat melakukan pemeriksaan kesehatan, identifikasi pemicu asma,
identifikasi hambatan, advokasi, serta edukasi kepada keluarga hingga pelatihan kepada
tenaga kesehatan maupun klinik dengan tujuan meningkatkan kualitas manajemen
asma.
Berdasarkan analisis pada kedua artikel diatas dapat disimpulkan bahwa
pendekatan multidisiplin pada pasien anak dengan asma mampu meningkatkan kualitas
perawatan untuk asma kronis maupun akut, kemudian dapat menurunkan angka
kunjungan ke unit gawat darurat dan mampu meningkatkan angka kunjungan preventif
oleh pasien.
Selain itu, tatalaksana perawat asma dalam menangani pasien telah terbukti
efektif jika dibandingkan dengan tindakan dokter umum dan dokter anak pada kasus
asma yang stabil. Perawat asma bersertifikat dapat melakukan penanganan asma
dengan tetap berkonsultasi kepada dokter umum atau dokter anak apabila terjadi
perburukan kondisi pada pasien. Selain itu, dilakukan supervisi ketat oleh dokter umum
maupun dokter anak kepada perawat apabila perawat mengalami keraguan dalam
menangani kasus asma.

VII. Limitation
Pada artikel pertama terdapat keterbatasan penelitian yaitu tidak memiliki
kelompok kontrol karena intervensi dilaksanakan dan diintegrasikan di seluruh praktik
perawatan primer sebagai bagian dari inisiatif peningkatan kualitas perawatan. Populasi
pasien diambil dari pendaftaran dan terdapat pembatasan ukuran serta komposisi
demografis. Oleh karena itu penelitian tidak dapat digeneralisasikan sepenuhnya untuk
populasi dengan demografi dan etnis yang berbeda, sehingga perlu memperhatikan
intervensi yang diberikan. Selain itu penelitian ini tidak membedakan faktor lingkungan
atau perawatan kesehatan mana yang memiliki dampak paling signifikan pada asma.
Keterbatasan penelitian pada artikel kedua yaitu perekrutan dan tindak lanjut
dari subjek penelitian pada kelompok praktik umum harus bergantung pada dokter yang
antusias mengikuti penelitian perawatan pernapasan anak. Pencatatan skor gejala dalam
buku harian untuk mengukur status kontrol asma tidak dapat dilakukan selama dua
tahun, sehingga peneliti menggunakan kuesioner ACQ.
VIII. References
Bodenheimer T, Wagner EH, Grumbach K. Improving primary care for patients with
chronic illness. JAMA 2002;288(14):1775-9
Cree M, Bell NR, Johnson D, Carriere KC. Increased continuity of care associated with
decreased hospital care and emergency department visits for patients with asthma.
Dis Manag. 2006;9:63-71. doi:10.1089/dis.2006.9.63.
Kamps AW, Brand PL, Kimpen JL, et al. Outpatient management of childhood asthma
by paediatrician or asthma nurse: randomised controlled study with one year follow
up. Thorax 2003;58(11):968-73. http://dx.doi.org/ 10.1136/thorax.58.11.968
Kamps AW, Roorda RJ, Kimpen JL, et al. Impact of nurse-led outpatient management
of children with asthma on healthcare resource utilisation and costs. Eur Respir J
2004;23(2):304-09. http://dx.doi.org/10.1183/09031936.03.00052203
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Laporan Nasional Riskesdas 2018.
Jakarta: Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Perkembangan Kesehatan (LPB).
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1023/Menkes/SK/XI/2008
Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.
Kertz, L. 2020. Multidisciplinar Multidisciplinary Team Approach Effect On Pediatric
Severe Asthma.University of Missouri-St. Louis.
Krieger JW, Takaro TK, Song L, Weaver M. The Seattle-King County Healthy Homes
Project: a randomized, controlled trial of a community health worker intervention
to decrease exposure to indoor asthma triggers. Am J Public Health. 2005;95:652-
659. doi:10.2105/AJPH.2004.042994.
Liansyah, Tita M. 2014. Pendekatan Kedokteran Keluarga Dalam Penatalaksanaan
Terkini Serangan Asma Pada Anak. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, , 14(3) : 175-
180.
P2PTM Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Definisi Asma. Available
from http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/paru-obstruktif-kronik-dan-
gangguan-imunologi/definisi-asma
Tsai AC, Morton SC, Mangione CM, et al. A meta-analysis of interventions to improve
care for chronic illnesses. Am J Manag Care 2005;11(8):478-88
WHO. 2017. 10 Facts on Asthma. World Health Organization.
http://www.who.int/features/factfiles/asthma/en/
WHO. 2020. Asthma: Definition. Available from
https://www.who.int/respiratory/asthma/definition/en/
Yuliasari A, Karyus A. 2020. Penatalaksanaan Holistik Pasien dengan Asma Persisten
Sedang di Wilayah Puskesmas Hanura. Medula 2020;10(3):551-59
Zickafoose JS, Gebremariam A, Clark SJ, Davis MM. Medical home disparities
between children with public and private insurance. Acad Pediatr. 2011;11:305-
310.doi:10.1016/j.acap.2011.03.006.

Anda mungkin juga menyukai