Anda di halaman 1dari 14

Therapeutic Interventions

a. Management Inkontinensia Urine


Penatalaksanaan inkontinensia urine sangat tergantung dari jenis dan
penyebab inkontinensia yang dialami. Tata laksana etiologi merupakan hal
yang pertama kali harus dilakukan karena dalam beberapa kasus,
inkontinensia urine dapat reversibel ketika etiologi telah teratasi. Apabila
inkontinensia urine tetap terjadi, pilihan terapi mencakup modalitas
nonfarmakologi, farmakologi, dan pembedahan sesuai dengan jenis
inkontinensia urine. Tata laksana yang dapat dilakukan berdasarkan jenis
inkontinensia antara lain :

 Inkontinensia stress: latihan otot pelvis, farmakoterapi, atau pembedahan


 Inkontinensia urgensi: modifikasi diet dan gaya hidup, menurunkan berat
badan, terapi perilaku, farmakoterapi, atau pembedahan
 Inkontinensia luapan: kateterisasi intermiten, tata laksana sesuai etiologi,
latihan otot pelvis
 Inkontinensia campuran: latihan otot pelvis, farmakoterapi, atau
pembedahan, bladder training
 Inkontinensia fungsional: tata laksana faktor etiologi yang mendasari.

Perlu diingat bahwa tujuan utama tata laksana inkontinensia urine adalah
mengurangi gejala dan memperbaiki kualitas hidup pasien. Merujuk pasien
inkontinensia urine ke dokter spesialis urologi atau bidang lain yang
diperlukan juga merupakan komponen penting dalam tata laksana.

1) Terapi Nonfarmakologi

Terapi nonfarmakologi, seperti latihan otot kandung kemih, modifikasi


gaya hidup, dan modifikasi diet merupakan tata laksana yang
direkomendasikan untuk pasien inkontinensia urine. Selain itu,
penggunaan produk-produk kebersihan, seperti popok dewasa ataupun
absorben lain juga dapat membantu pasien inkontinensia dalam perawatan.

2) Modifikasi Gaya Hidup

Mengurangi berat badan dapat bermanfaat pada pasien inkontinensia


urine. Indeks massa tubuh > 30 kg/m2 merupakan faktor risiko
inkontinensia stress dan urgensi. Pasien inkontinensia juga sebaiknya
berhenti merokok. Merokok > 20 batang per hari dapat memperburuk
gejala inkontinensia urine.

3) Modifikasi Diet

Peran mengurangi konsumsi kafein, seperti kopi, teh, cokelat, dan soda,
dalam tata laksana inkontinensia urine masih inkonklusif. Tetapi, beberapa
ahli merekomendasikan untuk mengurangi konsumsi kafein untuk
memperbaiki gejala urgensi dan frekuensi.

Konsumsi diet tinggi serat dapat memperbaiki gejala konstipasi.


Konstipasi juga bisa menjadi penyebab inkontinensia urine. Bentuk
intervensi lain untuk mengatasi konstipasi juga dapat disarankan pada
pasien inkontinensia urine.

4) Latihan Otot Pelvis Latihan otot pelvis dengan senam kegel dapat melatih
kekuatan otot detrusor, sehingga dapat memperbaiki fungsi kontrol miksi
dan mengurangi mobilitas uretra, khususnya pada pasien kandung kemih
overaktif.

5) Latihan Kandung Kemih / Bladder Training

Pasien dilatih untuk ke toilet pada waktu yang telah ditentukan, misalnya
setiap 1 atau 2 jam. Hal ini tetap dilakukan meskipun pasien belum
merasakan rasa ingin berkemih. Pasien juga harus tetap menunggu hingga
jadwal yang ditentukan meskipun telah merasakan ingin berkemih lebih
cepat. Jadwal ke toilet kemudian dapat dijarangkan menjadi setiap 3 atau 4
jam jika klinis sudah mulai membaik.

6) Stimulasi Saraf

Metode terapi stimulasi saraf juga dapat dilakukan pada inkontinensia


urine, tetapi harus dikombinasikan dengan terapi lainnya. Modalitas terapi
ini dilaporkan efektif untuk inkontinensia campuran dan inkontinensia
stress, namun aksesnya masih terbatas di Indonesia, membutuhkan durasi
terapi yang panjang, dan biaya medis tinggi. Stimulasi saraf dilakukan
dengan menargetkan saraf aferen yang mengatur otot pelvis dan detrusor.

Stimulasi saraf kebanyakan dilakukan pada saraf tibialis posterior dengan


stimulasi elektrik (Posterior Tibial Nerve Stimulation / PTNS) atau secara
transkutaneus (T-PTNS). Stimulasi PTNS akan memberikan rangsang
elektrik pada pusat miksi sakral melalui pleksus S2-S4, dilakukan dengan
jarum 34-G. Rata-rata terapi PTNS harus dilakukan selama 24 bulan agar
efek terapi lebih maksimal.

7) Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi yang dapat diberikan adalah obat antikolinergik,


antidepresan, dan agonis reseptor beta 3. Selain memberikan obat-obatan
untuk inkontinensia urine, riwayat konsumsi obat pasien juga harus
diperhatikan, terutama bila terdapat obat yang dapat memperburuk gejala
inkontinensia.

8) Antikolinergik
Obat-obatan antikolinergik adalah terapi farmakologi pilihan pada
inkontinensia urine. Antikolinergik dapat mengurangi kontraksi otot
detrusor yang dimediasi asetilkolin, khususnya pada inkontinensia
urgensi.

Beberapa obat yang sering kali digunakan untuk terapi inkontinensia


adalah fesoterodine, oksibutinin, propiverine, solifenacin, tolterodine,
darifenacin, dan trospium. Namun demikian, pemberian obat-obat ini
harus dilakukan dengan hati-hati pada pasien geriatrik karena sering
menimbulkan efek samping dan dapat mengganggu fungsi kognitif.

9) Antidepresan

Kombinasi obat antikolinergik dengan antidepresan serotonin-


norepinefrin reuptake inhibitor (SNRI) dilaporkan memberi efek terapi
yang baik. Akan tetapi, SNRI tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal
pada inkontinensia. Duloksetin efektif dalam memperbaiki gejala
inkontinensia stress dan urgensi pada pasien inkontinensia campuran.

10) Agonis Beta 3

Reseptor beta 3 ditemukan pada sel otot halus detrusor. Mirabegron dapat
berfungsi sebagai relaksan otot detrusor, sehingga dapat memperbaiki
inkontinensia urgensi. Obat ini masih tergolong baru, sehingga
penggunaannya masih terus dipelajari. Beberapa studi menunjukkan
bahwa kepatuhan obat terhadap mirabegron cukup rendah karena efek
samping mulut kering yang ditimbulkan cukup berat.

11) Terapi Hormonal

Estrogen memegang peranan dalam inkontinensia urine, khususnya pada


wanita post menopause. Studi menunjukkan bahwa terapi hormonal
dengan estrogen ataupun kombinasi estrogen/progesterone dapat
memperburuk inkontinensia yang dialami, sehingga tidak
direkomendasikan. Namun demikian, terdapat studi bahwa pemberian
estrogen topikal dapat memperbaiki inkontinensia urgensi dan stress
akibat atrofi vagina dan jaringan penyokong uretra pada wanita post
menopause. Pemberian hormon antidiuretik desmopressin dapat
memperbaiki nokturia pada pasien inkontinensia urine, tetapi tidak
direkomendasikan untuk digunakan dalam jangka panjang. Hal ini karena
desmopressin dilaporkan sering menimbulkan efek samping seperti
hiponatreamia, terutama pada pasien geriatrik.

12) Tindakan Pembedahan

Tindakan pembedahan pada inkontinensia urine dilakukan apabila terapi


nonfarmakologi dan terapi farmakologi gagal memberikan perbaikan, atau
bila penyebab inkontinensia urine memerlukan tindakan bedah. Beberapa
metode operasi yang dapat dilakukan adalah:

 Augmentasi kandung kemih: untuk mengurangi kontraksi otot detrusor


 Miomektomi detrusor: memotong otot detrusor, sehingga mengurangi
kontraksi detrusor
 Kolposuspensi: dapat dilakukan secara terbuka ataupun laparoskopi.
Merupakan modalitas pembedahan inkontinensia urine yang paling
efektif dengan rata-rata perbaikan 75-90%.
 Pemasangan sling pubovaginal: mengurangi mobilitas uretra

b. Management Retensi Urine


Penatalaksanaan yang dapat dilakaukan pada retensi urine dibagi menjadi dua
yaitu :
1) Mengeluarakan urine yang tertahan.
A. Kateterisasi
Pada retensi urin akut, pengobatannya dimulai dengan memasukkan
kateter melewati uretra untuk mengosongkan kandung kemih. Pengobatan
awal ini untuk mengurangi kesakitan dari kandung kemih yang penuh dan
mencegah kerusakan kandung kemih yang permanen. Namun
pemasangan kateter harus steril untuk mencegah terjadinya infeksi.
Pengobatan jangka panjang untuk retensi urin akut tergantung dari
penyebabnya (lewis,2011).
B. Sistostomi Suprapubik
Sistostomi adalah suatu tindakan pembedahan untuk mengalirkan kencing
melalui lubang yang dibuat di supra pubik untuk mengeluarkan urine dari
buli-buli serta mangatasi retensi urine dan menghindari komplikasi
(schwartz,2002).
1. Sistostomi Trokar
Tindakan ini dikerjakan dengan anestasi lokal dan menggunakan alat
trokar.Indikasi sistostomi trocar adalah untuk kateterisasi gagal :
Striktur, batu uretra yang menancap(impacted)katerisasi tidak
dibenarkan : adanya robekan uretra karena trauma.
2. Sistostomi terbuka
Sistostomi terbuka dikerjakan bila terdapat kontra indikasi pada
tindakan sistostomi trokar atau tidak terdapat alat trokor.dianjurkan
untuk melakukan sistostomi terbuka jika terdapt sikatriks/ bekas
operasi pada daerah suprasimfisis ,sehabis mengalami trauma didaerah
panggul yang mencederai buli-buli dan adanya bekuan darah pada
buli-buli yang tidak mungkin dilakukan tindakan per uretram.
C. Pungsi buli-buli
Merupakan tindakan darurat sementara bila katerisasi tidak berhasil dan
fasilitas atau sarana untuk sistostomi baik trokar maupun terbuka tidak
tersedia. Pada tindakan pungsi buli digunakan jarum pungsi dan penderita
segera dirujuk ke pusat pelayanan dimana dapat dilakukan sistostomi.
D. Uretrolitotomy
Ureterolitotomi adalah suatu tindakan operasi yang bertujuan untuk
mengambil batu ureter baik ureter proksimal (atas) ataupun distal (bawah).
Operasi ini dengan menggunakan sayatan di kulit. Letak irisan sangat
bergantung letak batu. Untuk batu di ureter atas, irisan berada di pinggang
berbentuk garis lurus yang oblik. Untuk batu di ureter bawah maka irisan
di perut bawah garis lurus yang sejajar tubuh (Mary, 2008). Tindakan ini
jika retensi urine disebabkan oleh batu yang terdapat pada ureter.

2) Berdasarkan penyebab retensi urine


A. Pengobatan retensi urin karena karsinoma prostat
Saat ini penentuan pengobatan untuk karsinoma prostat didasarkan atas
derajat dan fase daripada tumor, harapan hidup pasien dan kemampuan
tiap terapi untuk menjamin kelangsungan hidup dengan bebas penyakit.
Beberapa pilihan terapi untuk karsinoma prostat ialah :
1) Tanpa terapi / watchfull waiting
Walaupun kemajuan kanker lokal dapat terjadi, dengan menunggu dan
berjaga-jaga pada fase awal kanker prostat, tingkat kematian setelah 10
tahun sangat rendah antara 4 – 15 %. Akan tetapi pada penelitian lebih
lanjut antara 15 – 20 tahun, peningkatan signifikan pada resiko lokal
atau perkembangan sistemik dan kematian dari kanker prostat dapat
terjadi. Peningkatan resiko tersebut sangat berhubungan dengan derajat
kanker.
2) Prostatektomi radikal.
Pasien yang berada dalam stadium T1-2 N0 M0 adalah cocok untuk
dilakukan prostatektomi radikal, yaitu berupa pengangkatan kelenjar
prostat bersama dengan vesika seminalis. Hanya saja operasi ini dapat
menimbulkan penyulit, antara lain perdarahan, disfungsi ereksi, dan
inkontinensia. Tetapi dengan teknik nervesparring yang baik
terjadinya kerusakan pembuluh darah dan saraf yang memelihara penis
dapat dihindari sehingga timbulnya penyulit berupa disfungsi ereksi
dapat diperkecil.
3) Radioterapi.
Ditujukan untuk pasien tua atau pasien dengan tumor loko-invasif dan
tumor yang telah mengadakan metastasis. Pemberian radiasi eksterna
biasanya didahului dengan limfadenektomi. Diseksi kelenjar limfe saat
ini dapat dikerjakan melalui bedah laparoskopi disamping operasi
terbuka.
B. Pengobatan retensi urin karena Beningn Prostat Hiperplasia
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah untuk mengembalikan kualitas
hidup pasien. Terapi yang diberikan tergantung pada derajat keluhan,
keadaan pasien maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang
diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah mulai dari :
1) Tanpa terapi / watchfull waiting
Watchfull waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun
tetapi perkembangan penyakit dan keadaannya tetap diawasi oleh
dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan kepada pasien dengan IPSS
skor dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas
sehari-hari. Setiap enam bulan sekali pasien diminta untuk kontrol
kembali.
2) Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau
mengurangi volume prostat sebagai komponen statik.
C. Pengobatan retensi urin karena striktura uretra.(David, 1994)
Jika pasien datang karena retensi urin secepatnya dilakukan sistostomi
suprapubik untuk mengeluarkan urin. Jika dijumpai abses periuretra
dilakukan insisi dan pemberian antibiotik. Tindakan khusus yang
dilakukan terhadap striktura uretra adalah :
1) Businasi (dilatasi) dengan cara memasukkan pipa dengan busi logam
kedalam uretra dan dilakukan secara hati-hati. Metode alternative lain
ialah dengan memasukkan balon kecil diujung kateter didalam uretra.
2) Uretrotomi internal yaitu memotong jaringan sikatriks uretra dengan
pisau Otis atau dengan pisau Sachse. Otis dikerjakan jika belum
terjadi striktura total, sedangkan pada striktura yang lebih berat,
pemotongan striktura dikerjakan secara visual dengan pisau sachse.
3) Uretrotomi eksterna adalah tindakan operasi terbuka berupa
pemotongan jaringan fibrosis, kemudian dilakukan anastomosis
diantara jaringan uretra yang masih sehat.
D. Pengobatan retensi urin karena batu uretra
Tindakan untuk mengeluarkan batu tergantung dari posisi, ukuran, dan
bentuk batu. Seringkali batu yang ukurannya tidak terlalu besar dapat
keluar spontan asalkan tidak ada kelainan atau penyempitan uretra. Batu
pada meatus uretra eksternum atau fossa navikularis dapat diambil dengan
forcep setelah terlebih dahulu dilakukan pelebaran meatus uretra
(meatotomi), sedangkan batu kecil di uretra anterior dapat dicoba
dikeluarkan dengan melakukan lubrikasi terlebih dahulu dengan
memasukkan campuran jelli dan lidokain 2% intrauterine dengan harapan
batu dapat keluar spontan. Batu yang cukup besar dan berada di uretra
posterior didorong terlebih dahulu ke buli-buli kemudian dilakukan
litotripsi. Untuk batu yang besar dan menempel di uretra sehingga sulit
berpindah tempat meskipun telah dilubrikasi, mungkin perlu dilakukan
uretrolitotomi atau dihancurkan dengan pemecah batu transuretra.
E. Pengobatan retensi urin karena fimosis
Infeksi awal dapat dirawat dengan obat antimicrobial spektrum luas.kulit
depan bagian dorsal dapat dipotong jika drainase dibutuhkan. Sirkumsisi
jika terdapat indikasi dapat dilakukan setelah infeksi tersebut dapat
dikontrol.
F. Pengobatan retensi urin karena parafimosis
Parafimosis biasanya dapat diobati dengan memijit dengan kuat glans
selama lima menit untuk mengurangi edema jaringan dan mengurangi
ukuran dari glans. Kulit tersebut dapat ditarik kedepan melewati glans.
Kadang-kadang lingkaran konstriksinya memerlukan insisi dengan local
anastesi. Antibiotik dapat diaplikasikan dan sirkumsisi dapat dilakukan
setelah inflamasi reda.
G. Pengobatan retensi urin karena sistokel dan rektokel
Wanita memerlukan pembedahan untuk mengangkat jatuhnya kandung
kemih atau rectum. Prosedur yang paling umum untuk cystocele dan
rectocele adalah membuat suatu insisi di dinding liang vagina untuk
menemukan kelainan atau lubang pada membran. kemudian menjahit
fascia untuk menutup kelainan atau lubang tersebut, kemudian menutup
insisi di dinding vagina dengan jahitan yang lebih. Langkah ini
mempererat lapisan jaringan yang memisahkan organ, menciptakan
penahan yang lebih kuat untuk organ panggul.

c. Kateter Urine
1) Pengertian Kateter Urine
Kateter urine adalah selang yang dimasukkan kedalam kandung
kemih untuk mengalirkan urine. Kateter ini dimasukkan melalui uretra ke
dalam kandung kemih, namum metode lain yang disebut pendekatan
suprapubik dapat digunakan (Marelli, 2007).
Katerisasi urine adalah tindakan memasukkan alat berupa
selang karet atau plastik melalui uretra ke dalam kandung kemih untuk
mengeluarkan urine ( Hooton et al, 2010). Tindakan asepsis ketat
diperlukan saat memasang kateter kateter dan perawatan kateter. Asepsis
adalah hilangnya mikroorganisme patogen penyebab penyakit. Tindakan
asepsis adalah prosedur yang membantu mengurangi resiko terkena infeksi
(Potter&Perry, 2009.)
2) Jenis Kateter Urine
Menurut Hooton et al (2010), jenis - jenis kateter urine terdiri dari
a) Kateter indwelling
Kateter indwelling disebut juga retensi kateter atau folley kateter
indwelling yang dibuat sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas
dari kandung kemih. Kateter indwelling adalah alat medis yang
biasanya disertai penampungan urine yang berkelanjutan pada pasien
yang mengalami disfungsi bladder. Kateter jenis ini lebih banyak di
gunakan pada perawatan pasien akut di banding jenis lainnya
(Newman, 2010).
b) Kateter intermitten
Kateter intermitten digunakan dalam jangka waktu pendek (5 – 10
menit) dan klien dapat diajarkan untuk memasang dan melepas sendiri.
c) Kateter suprapubik
Kateter suprapubik kadang - kadang di gunakan untuk pemakaian
secara permanen. Cara memasukan kateter dengan jenis ini dengan
membuat sayatan kecil diatas suprapubik.
3) Tujuan Kateter Indwelling
Penggunaan kateter urine indwelling dengan tujuan untuk menentukan
perubahan jumlah urine sisa dalam kandung kemih setelah pasien buang
air kecil, memutus suatu obstruksi yang menyumbat aliran urine,
menghasilkan drainase pasca operatif pada kandung kemih, daerah vagina
atau prostat, dan membantu pengeluaran urine setiap jam pada pasien
yang sakit berat (Hooton et al, 2010)
4) Indikasi dan Kontra indikasi
Menurut Doughty Kisanga, 2010; Gould et al, 2009; hart, 2008;
Hooton et al, 2010 kateter urine indwelling dilakukan dengan indikasi
berupa :
a. Retensi atau obstruksi urine
b. Pengukuran input dan output cairan yang akurat pada pasien yang
tidak dapat menggunakan urineal atau bedpan
c. Emergensi bedah
d. Trauma mayor
e. Prosedur urologi
f. Irigasi bladder
g. Manajemen pressure ulcer derajat III atau lebih
h. Perawatan yang nyaman pada pasien terminal
Sedangkan menurut Kozier, (2010) menyebutkan kontraindikasi
pemasangan kateter urine yaitu adanya penyakit infeksi didalam vulva
seperti uretritis gonorhoe dan perdarahan pada uretra
5) Resiko Kateter Urine
Chateter Assosiated Urinary Tract Infection (CAUTI) sering dianggap
sebagai efek samping yang harus diterima dari proses klinis, namun ada
berbagai hasil buruk yang terkait dengan penggunaan kateter urine (APIC,
2008 ).
a. Infeksi yang berhubungan dengan kateter urine meliputi:
a) Infeksi saluran kemih
b) Bakteremia sekunder / sepsis
c) Pielonefritis akut
d) Akhir sequellae onset, misalnya osteomyelitis metastasis dan
meningitis
b. Hasil yang merugikan terkait dengan kateter urine meliputi:
a) Bakteremia sekunder / sepsis
b) Peningkatan mortalitas
c) Akhir sequellae onset, misalnya osteomyelitis metastasis dan
meningitis
d) Seleksi untuk organisme resisten (MDROs)
e) Striktur uretra, prostatitis dan orchitis
f) Reservoir untuk MDROs
6) Teknik Pemasangan Kateter
a. Kateterisasi pada pria
Umumnya, pemasangan kateter urine dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang sudah terlatih. Sebelum kateter dipasang, dokter akan
menjelaskan manfaat dan risiko terkait.
Prosedur pemasangan kateter urine pada pria

1. Petugas membuka dan membersihkan alat kateterisasi dan kelamin


pasien.
2. Selang diberikan pelumas agar lebih mudah dimasukkan.
3. Penis ditutupi dengan kain steril yang telah dilubangi di bagian
tengahnya.
4. Penis akan dibersihkan terlebih dahulu dengan antiseptik.
5. Vulva pada penis akan dibuka.
6. Jelly dan pelumas disemprotkan ke dalam uretra.
7. Selang kateter dimasukkan sedalam 15 – 22,5 cm sembari
dipegang penisnya.
8. Kantung akan diisi dengan air steril sebanyak yang tertera pada
kateter.
9. Selalu kosongkan kantong urine yang terhubung pada kateter
setiap 6 – 8 jam.

b. Kateterisasi pada wanita


Sebenarnya, proses pemasangan kateter urine pada wanita dan pria
sedikit mirip. Hanya saja, prosedur awalnya tidak akan sama
mengingat bentuk kelamin yang dimiliki berbeda.
Proses kateterisasi pada wanita

1. Petugas atau perawat akan mencuci tangan dan membuka alat


kateter.
2. Perlak di bawah anus pasien akan diletakkan setelah pakaian
bawah dibuka.
3. Daerah vulva akan dibersihkan dengan kapas dan cairan antiseptik.
4. Selang kateter diberikan pelumas agar mudah dimasukkan ke
saluran uretra.
5. Selang kateter dimasukkan hingga mencapai leher kandung kemih
sekitar 5 cm.
6. Bernapas hingga urine keluar.
7. Kosongkan kantung urine yang terhubung dengan kateter setiap 6
– 8 jam sekali.

Normalnya, penggunaan kateter dibutuhkan sampai Anda mampu


kembali buang air kecil tanpa bantuan alat. Artinya, kateter tidak
diperlukan dalam waktu yang lama. Meski begitu, kebanyakan lansia
yang mengalami cedera atau mengalami penyakit serius mungkin
memerlukan kateter urine untuk waktu yang lebih lama. Bahkan,
beberapa dari mereka menggunakannya secara permanen.

Anda mungkin juga menyukai