Anda di halaman 1dari 12

1.

Coronary Artery Bypass Graft (CABG)

a. Pengertian Coronary Artery Bypass Graft (CABG)


Coronary Artery Bypass Graft (CABG) merupakan salah satu
penanganan intervensi dari Penyakit Jantung Koroner (PJK), dengan cara
membuat saluran baru melewati arteri koroner yang mengalami
penyempitan atau penyumbatan. Terdapat beberapa indikasi untuk
dilakukan CABG antara lain asymptomatic/ mild angina dengan
ditemukannya sumbatan pada left main, triple vessel disease; stable angina;
unstable/ non-ST elevation MI; ST elevation MI; fungsi ventrikel kiri yang
buruk; aritmia ventrikel yang mengancam jiwa; Percutaneus Coronary
Intervention (PCI) gagal dan riwayat CABG sebelumnya. Teknik ini
dilakukan dengan menggunakan pembuluh darah dari bagian tubuh lain
untuk pintasan arteri yang menghalangi pesokan darah ke jantung.
Pembuluh darah yang sering digunakan adalah arteri mamaria interna, arteri
radialis, dan vena safena magna (Soeharto, 2011). Rekomendasi untuk
melakukan CABG didasarkan atas beratnya keluhan angina dalam aktifitas
sehari-hari. Respon terhadap intervensi non bedah PCI atau stent dan obat-
obatan serta harapan hidup pasca operasi yang didasarkan atas fungsi
jantung secara umum sebelum operasi (Woods, et all. 2000).

b. Tujuan dilakukannya CABG adalah:


1) Meningkatkan sirkulasi darah ke arteri koroner
2) Mencegah terjadinya iskemia yang luas
3) Meningkatkan kualitas hidup
4) Meningkatkan toleransi aktifitas
5) Memperpanjang masa hidup

c. Indikasi
Indikasi CABG menurut American Heart Association (AHA):
1) Stenosis Left Mean Coronary Artery yang signifikan
2) Angina yang tidak dapat di kontrol dengan terapi medis
3) Angina yang tidak stabil
4) Iskemik yang mengancam dan tidak respon terhadap terapi non bedah
yang maksimal
5) Gagal pompa ventrikel yang progresif dengan stenosis koroner yang
mengancam daerah miokardium
6) Sumbatan yang tidak dapat ditangani dengan PTCA dan trombolitik
7) Sumbatan/stenosis LAD dan LCx pada bagian proksimal > 70 %
8) Satu atau dua vessel disease tanpa stenosis LAD proksimal yang
signifikan
9) Klien dengan komplikasi kegagalan PTCA
10) Pasien dengan sumbatan 3 pembuluh darah arteri (three vessel disease)
dengan angina stabil atau tidak stabil dan pada klien dengan 2 sumbatan
pembuluh darah dengan angina stabil atau tidak stabil dan pada klien
dengan 2 sumbatan pembuluh darah dengan angina stabil atau tidak
stabil dan lesi proksimal LAD yang berat
11) Pasien dengan stenosis (penyempitan lumen > 70% pada 3 arteri,arteri
koronaria komunis sinistra, bagian proksimal dari arteri desenden
anterior sinistra

d. Kontra Indikasi
1) Sumbatan pada arteri < 70% sebab jika sumbatan pada arteri koroner
kurang dari 70% maka aliran darah tersebut masih cukup banyak
sehingga mencegah aliran darah yang adekuat pada pintasan. Akibatnya,
akan terjadi bekuan pada graft sehingga hasil operasi akan menjadi sia-
sia.(Muttaqin,2009).
2) Usia lanjut.
3) Tidak ada gejala angina.
4) Struktur arteri koroner yang tidak memungkinkan untuk disambung.
5) Fungsi ventrikel kiri jelek ( kurang dari 30 % )

e. Teknik Coronary Artery Bypass Graft (CABG)


Ada 2 teknik yang digunakan pada operasi CABG yaitu tindakan
CABG yang menggunakan mesin Cardio Pulmonary Bypass (CPB) sering
disebut On-Pump Coroanary Artery Bypass atau tanpa menggunakan mesin
CPB yang sering disebut Off-Pump Coronary Artery Bypass (OPCAB) (Asai
et all. 2016).
Ada beberapa parameter dalam memilih tehnik operasi off-pump atau
on-pump antara lain yaitu, status hemodinamik harus stabil, karena status
hemodinamik yang tidak stabil, memerlukan pemberian obat, dan apabila
pemberian obat tidak memberikan hasil yang baik, maka menggunakan
tehnik operasi on-pump lebih dipilih. Kemudian evaluasi pembuluh darah
yang akan dioperasi, karena pada pasien obesitas dengan lapisan lemak
epikardium yang tebal atau pembuluh darah target yang terlalu dalam di
lapisan miokardium atau pembuluh darah yang terlalu kecil. Keadaan ini
akan mempersulit penggunaan tehnik operasi off-pump (Asai et all. 2016).
Teknik operasi Off-Pump Coronary Bypass Graft belum banyak
digunakan karena teknik ini merupakan teknik baru, tanpa menggunakan
mesin CPB. Tehnik in mempunyai tingkat mortalitas dan morbiditas yang
rendah. Namun bukan berarti teknik ini lebih baik. Penggunaan teknik On-
pump Coronary Artery Bypass Graft lebih banyak dari pada teknik Off-Pump
Coronary Bypass Graft. Pada operasi On-pump Coronary Artery Bypass
Graft, prosedur dilakukan dengan alat mekanis mesin jantung paru atau CPB.
Mesin ini meminimalkan perdarahan saat operasi berlangsung, dan perfusi
jantung dapat dipertahankan untuk jaringan dan organ lain di tubuh (Asai et
all. 2016).

f. Komplikasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG)


Komplikasi yang mungkin terjadi segera sesudah operasi maupun
dalam waktu yang lebih lama antara lain (Asai et all. 2016):
1) Komplikasi kardiovaskuler meliputi disritmia, penurunan curah jantung
dan hipotensi persisten.
2) Komplikasi hematologi meliputi perdarahan dan pembekuan.
3) Komplikasi ginjal dapat terjadi gagal ginjal ketika terjadi
penurunan curah jantung.

4) Komplikasi paru termasuk atelektasis, pneumoni, edem pulmo,


hemothorax/ pneumothorax .
5) Komplikasi neurologi dapat muncul sangat jelas termasuk stroke dan
encephalopathy, delirium, cerebrovascular accident.
6) Disfungsi gastrointestinal seperti stress ulcer, ileus paralitik.
7) Rapid Restenosis Graft (dalam waktu 6 bulan) atau vena graft colap.

g. Tindakan pasca operasi Coronary Artery Bypass Graft


Hal yang sangat penting pada tindakan CABG adalah penanganan
kondisi pasien pascabedah. Sesudah operasi, pasien biasanya ditempatkan
pada ruang ICU agar dapat dipantau dengan ketat fungsi jantung dan tanda-
tanda vitalnya selama 1-2 hari. Hampir 25% pasien dapat mengalami
gangguan ritme jantung dalam 3 atau 4 hari sesudah operasi bypass jantung.
Hal ini diakibatkan oleh trauma operasi pada jantung. Sebagian besar
gangguan ritme ini dapat respon baik dengan terapi obat-obatan yang dapat
mencapai satu bulan. Sekitar 5% pasien membutuhkan perhatian ketat dalam
24 jam karena risiko perdarahan sesudah operasi. Ketika pemantauan ketat
tidak diperlukan lagi, biasanya dalam waktu 2-4 hari sesudah operasi, pasien
dipindahkan ke unit perawatan transisi. Rata-rata waktu rawat inap pasien
yang menjalani operasi bypass jantung sekitar 3-8 hari. Jahitan dilepaskan
dari dada atau dari tungkai bawah (jika menggunakan vena saphena) sekitar
7-10 hari sesudah keluar dari rumah sakit.

Pasien dapat sembuh total sekitar 4-6 minggu. Pasien dapat kembali
bekerja sekitar 1-2 bulan sesudah operasi. Usia berkaitan erat dengan hasil
rawat ICU. Kejadian infeksi saat masuk ICU secara signifikan meningkat
sebanding dengan umur. Pasien operasi CABG rata-rata dilakukan oleh
pasien usia tua. Hal ini mempengaruhi lama rawat ICU pasca operasi, karena
pasien usia tua memiliki cadangan fisiologis yang lebih rendah daripada usia
muda. Sesudah kondisi stabil di Ruang ICU pasien dipindahkan ke Ruang
HCU (High Care Unit) untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
https://dspace.umkt.ac.id/bitstream/handle/463.2017/1011/KIAN.pdf?sequence=1

http://repository.unimus.ac.id/1694/4/BAB%202.pdf

https://www.academia.edu/31867129/Tinjauan_Pustaka_CABG

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/21347/f.%20BAB%20II.pdf?
sequence=6&isAllowed=y

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/31132/chapter
%20ii.pdf;jsessionid=38023B0604C299F98ADC6FAAD699A539?sequence=4
2. Intervensi Koroner Perkutan (IKP)/ Percutaneous Coronary Intervention (PCI)

a. Definisi Intervensi Koroner Perkutan (IKP)/ Percutaneous Coronary Intervention


(PCI)

IKP merupakan teknik untuk melebarkan pembuluh darah koroner yang


menyempit dengan memakai kateter balon dan/atau dilakukan pemasangan stent
(Majid, 2007). Indikasi dilakukannya tindakan IKP yaitu adanya sindroma
koroner akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) atau sindroma koroner akut
tanpa peningkatan segmen ST (NSTEMI). Dikatakan STEMI jika ditemukan
angina akut yang disertai elevasi segmen ST. Dikatakan NSTEMI jika terdapat
angina dan tidak disertai dengan elevasi segmen ST yang persisten (< 20 menit).
Pada NSTEMI dan angina pectoris stabil tindakan IKP bertujuan untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas koroner (PERKI, 2016).

b. Indikasi IKP

ACC/AHA mengklasifikasikan indikasi untuk dilakukannya tindakan PCI


sebagai berikut :

Kelas I : kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang mengatakan
bahwa tindakan tersebut bermanfaat dan efektif dilakukan.

Kelas II : kondisi dimana terdapat perbedaan pendapat tentang kegunaan dan


efikasi tindakan tersebut.

Kelas IIa: bukti atau pendapat mengatakan bahwa penelitian ini bermanfaat

Kelas IIb: manfaat tersebut kurang didukung oleh bukti ataupun pendapat.

Kelas III: kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang mengatakan
bahwa prosedur tersebut tidak bermanfaat dan tidak efektif, serta pada beberapa
kasus bias menjadi sangat berbahaya (AHA, 2001).

Adapun indikasi dlakukannya IKP adalah sebagai berikut

1) Sindroma koroner akut tanpa peningkatan segmen ST (NSTEMI)

Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai
dengan elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non
STEMI beragam, bisa berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T,
gelombang T yang datar atau pseudo-normalization, atau tanpa perubahan
EKG saat presentasi. Untuk menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu
dijumpai depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di V1-V3 dan ≥ 1 mm di sandapan
lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten
(<20 menit), dengan amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada
STEMI. Inversi gelombang T yang simetris ≥ 2 mm semakin memperkuat
dugaan Non STEMI ( Jeremiah,2009)

Pada NSTEMI dan angina pectoris stabil tindakan PCI bertujuan untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas coroner.

Kriteria pasien berisiko tinggi adalah :

a. Angina atau nyeri dada berulang pada keadaan istirahat

b. Perubahan segmen ST yang dinamis ( depresi segmen > 0,1mv atau


elevasi segmen ST sementara <30 <0,1 mv)

c. Peningkatan nilai troponin I, troponin II atau CKMB

d. Pada observasi hemodinamis pasien tidak stabil

e. Adanya takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel

f. Angina tidak stabil pada pasca infark dini

g. Diabetes mellitus

Pasien yang tergolong pada kelompok berisiko tinggi mempunyai manfaat


yang lebih besar bila dilakukan IKP daripada kelompok risiko rendah
(Hassan,2007)

2) Sindroma koroner akut dengan elevai segmen ST (STEMI)

Pada infark miokard dengan elevasi segmen ST, lokasi infark dapat
ditentukan dari perubahan EKG. Penentuan lokasi infark berdasarkan
perubahan EKG. Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut
disertai elevasi segmen ST. Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung
kepada usia, jenis kelamin, dan lokasi miokard yang terkena. Bagi pria usi
a≥40 tahun, STEMI ditegakkan jika diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 ≥
2 mm dan ≥ 2,5 mm bagi pasien berusia < 40 tahun (Tedjasukmana, 2010).
ST elevasi terjadi dalam beberapa menit dan dapat berlangsung hingga lebih
dari 2 minggu. IKP yang berpengalaman yang terdiri dari kardiologis
intervensi yang terampil. Stategi reperfusi IKP telah menjadi modalitas
pengobatan yang sangat penting dari STEMI dengan banyak mengalami pada
tahun-tahun terakhir ini. Sedangkan terapi trombolitik dimana dapat
digunakan secara luas, mudah diberikan, dan tidak mahal tetap merupakan
pilihan alernatif. IKP telah terbukti lebih superior disbanding trombolitik
dalam pencapaian TIMI 3 flow (perfusi komplit), iskemik berlang sistemik,
mortalitas 30 hari lebih baik dan insiden stroke pendarahan lebih rendah
(AHA, 2001)
Sedangkan menurut AHA indikasi IKP adalah sebagai berikut

1. Asimptomatik dan angina ringan

2. Angina kelas II hingga IV atau angina tidak stabil. Banyak pasien dengan
angina stable yang moderate dan severe atau unstable angina tidak memberi
respon yang adekuat terhadap pemberian terapi obat-obatan dan lebh sering
memberikan efek yang signifikan dengan revaskularisasi Percutaneus
Coronary Intervention.

3. Infark miokardiak Percutaneus Coronary Intervention merupakan tindakan


yang efektif untuk memperbaiki perfusi coroner dan cocok dilakukan untuk
lebih dari 90% pasien.
4. Percutaneus Coronary Intervention pada pasien dengan prior coronary bypass
surgery

5. Penggunaan teknologi (AHA, 2001)

Indikasi primer PCI dilakukan pada pasien dengan STEMI kurang dari 12 jam,
dengan Left Bundle Branch Block (LBBB), dan juga STEMI dengan komplikasi
gagal jantung yang severe (Griff, 2008). Meskipun intervensi perkutan dengan
disfungsi ventrikel kiri yang berat dapat meningkatkan risiko, revaskulerisasi dapat
mengurangi iskemik dan meningkatkan prognosis jangka panjang (Ellis, 2006).
Pasien dengan penyakit arteri koroner yang luas dengan fungsi ventrikel kiri yang
lebih buruk mempunyai survival yang lebih lama setelah operasi pintas koroner
meskipun pasien asimptomatis. Pada pasien PJK stabil tindakan intervensi koroner
perkutan dilakukan hanya pada pasien dengan adanya keluhan dan tanda-tanda
iskemik akibat penyempitan pembuluh darah. Pada penelitian awal dijumpai manfaat
yang lebih kecil terhadap survival pasien yang dilakukan IKP tanpa stent
dibandingkan dengan operasi pintas koroner. Tetapi dengan adanya stent dan stent
bersalut obat dan tersedianya obat-obat ajuvan, tindakan IKP ini menghasilkan
manfaat yang lebih besar dibandingkan operasi pintas koroner ( Hasan, 2007)

Prosedur IKP

Adapun prosedur melakukan tindakan IKP terdiri dari beberapa langkah.

Pertama melakukan akses perkutan. Dalam proses ini arteri femoralis harus
diidentifikasi lebih dahulu (atau yang lebih jarang bisa menggunakan arteri radialis
atau arteri brachialis pada lengan) dengan menggunakan suatu alat yang disebut
jarum pembuka. (Eileen, 2007) Setelah jarum sudah masuk, sheath introducer
diletakkan pada jalan pembuka untuk mempertahankan arteri tetap terbuka dan
mengontrol perdarahan. Melalui sheath introducer ini, guiding catheter dimasukkan.
Ujung guiding catheter ditempatkan pada ujung arteri koroner. Dengan guiding
catheter, penanda radiopak diinjeksikan ke arteri koroner, hingga kondisi dan lokasi
kelainan dapat diketahui. Selama visualisasi sinar X , ahli jantung memperkirakan
ukuran arteri koroner dan memilih ukuran balon kateter serta guide wire coronary
yang sesuai. Guiding wire coronary adalah sebuah selang yang sangat tipis dengan
ujung radio opak yang fleksibel yang kemudian dimasukkan melalui guiding
cathether mencapai arteri koroner. Dengan visualisasi langsung, ahli jantung
memandu kabel mencapai tempat terjadinya blokade . Ujung kabel kemudian
dilewatkan menembus blokade. Setelah kabel berhasil melewati stenosis, balon
kateter dilekatkan dibelakang kabel. Angioplasti kateter kemudian didorong kedepan
sampai balon berada di dalam blokade. Kemudian baru balon balon dikembangkan
dan balon akan mengkompresi atheromatous plak dan menekan arteri sehingga
mengembang. Jika stent ada pada balon, maka stent diimplantkan atau ditinggalkan
pada tubuh untuk mendukung arteri dari dalam agar tetap mengembang. IKP
seharusnya dilakukan oleh orang berpengalaman, dari operator dan institusi tinggi.
Dalam melaksanakan tindakan ini tidak diperlukan anastesi, walaupun pasien dikasi
obat pereda nyeri/sedatif. Pasien biasanya boleh bergerak beberapa jam selepas
tindakan, dan pulang pada hari yang sama atau besoknya. (AHA, 2001). Setelah
tindakan IKP dilakukan, pasien diberi obat antitrombolisis. Semua pasien harus
mengambil aspirin tanpa batas waktu (sebagai pencegahan sekunder dari CVD).
Dual terapi antitrombosis diperlukan untuk pasien dengan stent koroner untuk
mengurangi risiko trombosis stent: Hal ini biasanya terjadi aspirin dan clopidogrel.
Lamanya pengobatan clopidogrel tergantung pada penetapan klinik
(Grossman,2008). Jika operasi diperlukan, maka harus dipertimbangkan apakah
antitrombolisis boleh diteruskan. Setelah itu diperlukan konsul dengan ahli
kardiologi berhubungan dengan risiko penghentian obat-obatan dan segala yang
diperlukan. Penggunaan proton-pump inhibitor bersamaan dengan clopidogrel
(untuk mencegah pendarahan gastrik) adalah kontroversial, setelah bukti-bukti
menunjukkan bahwa PPI dapat memperburuk hasil dan bahwa dua obat dapat
berinteraksi. Dalam melakukan tindakan IKP dapat dilakukan pemasangan stent
bersalut obat atau sering disebut Drug-Eluting Stent (DES).

Anda mungkin juga menyukai