Anda di halaman 1dari 15

1.

Penyakit Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus adalah penyakit yang disebabkan oleh tingginya kadar gula dalam darah
akibat gangguan sekresi insulin. Diabetes mellitus di sebut juga penyakit kencing manis. 
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, definisi kencing manis adalah penyakit yang
menyebabkan air kencing yang di produksi bercampur zat gula. Adanya kadar gula yang
tinggi dalam air kencing dapat menjadi tanda-tanda gejala awal penyakit Diabetes melitus.

Insulin adalah sejenis hormon yang di produksi oleh pankreas dan berfungsi untuk
mengendalikan kadar gula dalam darah. Penurunan sekresi insulin biasanya di sebabkan oleh
resistensi insulin dan kerusakan sel beta pankreas. Pada penderita penyakit Diabetes mellitus,
tubuh pasien tidak dapat memproduksi atau tidak dapat merespon hormon insulin yang
dihasilkan oleh organ pankreas.

Kekurangan insulin membuat tubuh tidak mampu mengubah glukosa menjadi sumber energi
bagi sel. Sehingga respon yang diterima tubuh adalah rasa lapar dan haus. Namun semakin
banyak karbohidrat yang dimakan, maka akan semakin tinggi penumpukan glukosa dalam
darah. Kondisi inilah yang kemudian di sebut sebagai penyakit gula atau penyakit kencing
manis atau Diabetes mellitus.

Tipe-Tipe Penyakit Diabetes Melitus

Secara umum, tipe penyakit diabetes melitus dibedakan menurut penyebab, berbagai macam
jenis masalahnya, dan juga metode penanganannya. Ada 3 macam tipe penyakit diabetes
melitus yang sebaiknya diwaspadai. Ketiga jenis penyakit DM tersebut adalah DM tipe 1,
DM tipe 2, dan juga DM gestasional. Berikut inilah penjelasan mengenai tipe diabetes
melitus :

Penjelasan Mengenai DM Tipe 1

Tipe diabetes melitus yang umum dikenal oleh banyak orang adalah diabetes melitus tipe 1.
Penyakit DM tipe 1 ini muncul sebagai akibat adanya kerusakan organ pankreas. Akibat dari
kerusakan organ pankreas, maka tubuh tidak memiliki cukup hormon insulin untuk
menyalurkan glukosa di dalam darah ke seluruh sel di dalam tubuh.
Ketika glukosa tidak dapat disalurkan untuk dirubah menjadi energi, maka glukosa hanya
dibiarkan mengendap di dalam darah. Akibatnya, dalam waktu yang cukup lama, kadar
glukosa di dalam darah meningkat dan menyebabkan munculnya penyakit diabetes melitus.

Penderita DM tipe 1 ini harus bergantung pada insulin buatan untuk menjaga agar kadar gula
darah tetap stabil. Siapa saja bisa menderita penyakit DM tipe 1 ini baik tua, muda, pria,
maupun wanita. Namun demikian, kebanyakan penderita DM tipe 1 ini masih berusia sangat
muda hingga remaja.

Ada beberapa faktor yang dapat memicu kemunculan penyakit DM tipe 1 ini. Inilah beberapa
faktor yang sebaiknya diwaspadai:

 Memiliki faktor genetik penderita diabetes melitus.


 Mengalami gangguan pada sistem imun di dalam tubuh.
 Kekurangan nutrisi.
 Serangan virus tertentu yang merusak organ pankreas.
Penjelasan Mengenai DM Tipe 2

Jika DM tipe 1 muncul akibat kerusakan pada organ pankreas, DM tipe 2 adalah tipe penyakit
diabetes melitus yang muncul akibat gaya hidup yang tidak sehat. Penderita DM tipe 2 ini
tidak memiliki masalah apapun pada organ pankreas. Sehingga hormon insulin dapat
diproduksi sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh.

Namun masalahnya adalah karena sel di dalam tubuh mengalami masalah resistensi atau
tidak peka dengan hormon insulin lagi. Karena masalah tersebut, maka hormon insulinpun
tidak dapat menyalurkan glukosa ke sel-sel di dalam tubuh. Penderita DM tipe 2 pun
sebenarnya bisa saja mengalami kerusakan organ pankreas.

Hal tersebut bisa terjadi jika masalah kepekaan sel di dalam tubuh untuk menerima insulin
tidak segera diatasi. Tubuh akan terus memproduksi lebih banyak insulin untuk dapat
menyalurkan glukosa. Secara tidak langsung, organ pankreas akan dipaksa bekerja lebih berat
dari biasanya.

Hal itulah yang menyebabkan ada kemungkinan besar bagi penderita DM tipe 2 untuk
mengalami kerusakan organ pankreas. Sama halnya seperti DM tipe 2, tipe penyakit diabetes
inipun memiliki beberapa faktor pemicu. Berikut adalah beberapa faktor pemicu dari DM tipe
2 ini:
 Obesitas
 Sangat jarang berolahraga
 Tidak mengatur pola makan
 Sering mengalami stres akibat pekerjaan
Sebenarnya, tipe penyakit diabetes melitus inilah yang sangat perlu anda waspadai. Karena
mayoritas orang bisa menderita penyakit DM tipe 2 ini.

Penjelasan Mengenai DM Gestasional

Jika DM tipe 1 dan DM tipe 2 bisa menyerang pria maupun wanita, DM Gestasional adalah
satu-satunya tipe diabetes melitus yang hanya menyerang wanita khususnya wanita hamil.
Memang benar bahwa penyakit DM gestasional ini pada umumnya lenyap setelah
penderitanya melahirkan.

Namun demikian, jika seorang wanita sudah pernah menderita DM gestasional, maka wanita
tersebut akan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita penyakit DM tipe 2 jika
tidak bisa mengatur pola hidupnya.

Oleh sebab itu, sebaiknya selama mengandung, wanita disarankan untuk terus melakukan
pengontrolan kadar gula darah. Karena memang cukup sulit bagi wanita yang sedang hamil
untuk mengontrol nutrisi yang dibutuhkan di dalam tubuh.

OBAT – OBAT DIABETES MELLITUS


1. Obat antidiabetik oral 

a. Sulfonilurea
Kerja utama sulfonilurea adalah meningkatkan sekresi insulin sehingga efektif hanya jika
masih ada aktivitas sel β-pankreas; pada pemberian jangka lama sulfonilurea juga memiliki
kerja diluar pangkreas.

Dikenal dua generasi sulfonilurea. Generasi pertama terdiri dari tolbutamid, tolazamid,


aseoheksamid, dan klorpropamid. Generasi kedua memiliki potensi hipoglikemik yang
lebih besar, yaitu glibenklamid, glikizid, gliklazid, dan glimepirit.

b. Biguanid 
Efek utamanya adalah menurunkan glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa
dijaringan. Berbeda dengan sulfonilurea, obat ini tidak menstimulasi pelepasan insulin dan
tidak menurunkan gula darah pada orang sehat, dapat menekan nafsu makan sehingga tidak
meningkatkan berat badan sampai saat ini mekanisme kerjanya belum diketahui secara
ilmiah. Golongan ini terdiri dari fenformin, buformin, dan metformin.

c. Penghambat α-glukosidase 
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja α-glukosidase didalam saluran cerna
sehingga menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postpandrial.
Contoh obat golongan ini adalah : Akarbosa dan nateglinid. 

d. Tiazolidindion
Senyawa ini memperbaiki sensitifitas insulin diantaranya jaringan lemak, otot, dan hepar.
Efek protektif terhadap sel beta ini kemungkinan dapat menghindarkan komplikasi
makrovaskular diabetes jangka panjang (retinopati, nefropati, dan neuropati). Zat ini
merupakan agonis PPAR-gamma sehingga meningkatkan sensitifitas adiposit bagi insulin.
Preparat yang termasuk ke dalam golongan ini adalah pioglitazon, troglitazon, dan
ciglitazon.

2. Gigantisme

Gigantisme adalah kondisi seseorang yang kelebihan pertumbuhan, dengan tinggi dan besar
yang diatas normal.Gigantisme disebabkan oleh sekresi GH yang berlebihan. Keadaan ini
dapat diakibatkan tumor hipofisis yang menyekresi GH atau karena kelainan hipotalamus
yang mengarah pada pelepasan GH secara berlebihan. Gigantisme dapat terjadi bila keadaan
kelebihan hormone pertumbuhan terjadi sebelum lempeng epifisis tulang menutup atau masih
dalam masa pertumbuhan. Penyebab kelebihan produksi hormone pertumbuhan terutama
adalah tumor pada sel-sel somatrotop yang menghasilkan hormon pertumbuhan. Growth
Hormon dilepaskan dari kelenjar hipofisis anterior dalam jumlah besar selama tidur. Hormon
ini bekerja terhadap semua jaringan. Pelepasannya diatur oleh human growth
hormone inhibiting factor (HGF-IF). Faktor penghambat ini disebut juga somatostatin.
Somatostatin merupakan peptida dengan 14 asam amino. Pada masa kanak-kanak HGH
merangsang pertumbuhan tulang dan jaringan otot. Selain itu aktivitas yang berlebihan
mengakibatkan pertumbuhan yang berlebihan (gigantisme). Sedangkan lawan dari penyakit
ini adalah dwarfisme. Gigantisme dapat disertai gangguan penglihatan bila tumor membesar
hingga menekan kiasma optikum yang merupakan jalur saraf mata. Diagnosa penyakit ini
berdasarkan gejala-gejala yang ditunjukkan dan diperkuat oleh tingginya kadar GH/ IGF-1.

OBAT – OBAT GIGANTISME

 Jenis obat Agonis dopamin yang mencakup Cabergolinen, Quinagolide dan jenis Bromo
kriptin. namun ada efek sampingnya setelah mengkonsumsi obat obatan ini biasnya 
seseorang akan dapat mengalami Perut merasa mual mual, terserang sakit kepal sebelah.
nafsu makan menjadi hilang dan muntah muntah
 Jenis suntikan yang didalamnya terdiri dari obat peluruh tumor Analog Somatostatin yang
mencakup Octreotide dan jenis lanreotide. jenis obat ini dapat menyebabkan kulit pasien
mengalaami ruam merah, gatal, pedih atau iritasi, mengalami kram perut, perut yang melilit
dan mengalami diare ringan.
 Obat jenis Agonis dopamin dan Analog Somatostatin yang diberikan pada penderita
gigantisme dapat mengurangi kadar hormon pertumbuhan bahkan bisa mencapai 2,5 mcg
perliternya. Kondisi ini dapat mencegah munculnya keluhan penyakit lain, memberi peluang
pasien untuk hidup lebih nyaman, normal dan terhindar dari kasus kematian cepat akibat
komplikasi.

3. Addison

Penyakit Addison adalah kelainan endokrin atau hormon yang terjadi pada semua kelompok
umur dan menimpa pria-pria dan wanita-wanita sama rata. Penyakit dikarakteristikan oleh
kehilangan berat badan, kelemahan otot, kelelahan, tekanan darah rendah, dan adakalanya
penggelapan kulit pada kedua-duanya yaitu bagian-bagian tubuh yang terbuka dan tidak
terbuka.

Penyakit Addison terjadi ketika kelenjar-kelenjar adrenal tidak menghasilkan cukup hormon
kortisol (cortisol) dan, pada beberapa kasus-kasus, hormon aldosterone. Penyakit juga disebut
ketidakcukupan adrenal (adrenal insufficiency), atau hypocortisolism.
Cortisol secara normal diproduksi oleh kelenjar-kelenjar adrenal, yang berlokasi tepat diatas
ginjal-ginjal. Ia termasuk suatu kelompok hormon-hormon yang disebut glucocorticoids,
yang mempengaruhi hampir setiap organ dan jaringan dalam tubuh. Ilmuwan-ilmuwan
berpikir bahwa cortisol kemungkinan mempunyai ratusan efek-efek dalam tubuh. Pekerjaan
Cortisol yang paling penting adalah membantu tubuh merespon pada stress.

Diantara tugas-tugas penting lainnya, cortisol:

* membantu mempertahankan tekanan darah dan fungsi jantung


* membantu memperlambat respon peradangan sistim imun
* membantu menyeimbangkan efek-efek dari insulin dalam mengurai gula untuk energi
* membantu mengatur metabolisme protein-protein, karbohidrat-karbohidrat, dan lemak-
lemak
* membantu mempertahankan penimbulan dan perasaan kesejahteraan yang pantas

OBAT – OBAT Penyakit Addison

Penyakit Addison diterapi menggunakan terapi hormon untuk menggantikan jumlah hormon
yang berkurang, sekaligus mendapatkan manfaat serupa dari hormon yang hilang tersebut.
Beberapa pilihan terapi hormon pengganti yang mungkin dilakukan, yaitu:
 Pemberian kortikosteroid secara oral. Beberapa hormon yang digunakan untuk
menggantikan kortisol, adalah cortisone acetate, prednisone, atau hydrocortisone.
Hormon fludrocortisone mungkin digunakan untuk menggantikan aldosterone.
 Pemberian kortikosteroid melalui suntikan untuk penderita yang mengalami gejala muntah-
muntah.

Dokter dapat menambahkan sodium ke dalam daftar obat pasien untuk pasien yang
mengalami diare atau jika cuaca sedang panas, atau sedang melakukan latihan fisik yang
berat. Dosis obat juga mungkin ditingkatkan bagi pasien yang berada dalam kondisi stres
fisik, seperti sakit akibat infeksi, kecelakaan, atau harus melalui prosedur operasi terlebih
dulu.
Pengobatan Addison juga dilakukan pada krisis Addisonian yang menyebabkan rendahnya
kadar gula darah dan tekanan darah, namun tinggi kadar potasium. Kondisi yang
membahayakan ini membutuhkan penanganan secepatnya dengan menggunakan metode
infus atau suntikan obat melalui pembuluh darah. Obat yang umumnya digunakan, adalah
gula (dextrone), larutan garam (saline), dan hydrocortisone. Dosis dapat berubah sewaktu-
waktu sehingga komunikasi dengan dokter akan sering terjadi.

4. Sindrom Cushing

Klasifikasi dan etiologi

Berdasarkan pengaruh hormon adrenokortikotropik (Adrenocorticotropic hormone–ACTH)


terhadap terjadinya hipersekresi glukokortikoid, maka sindrom Cushing dapat dibagi menjadi
dua
kelompok yaitu tergantung ACTH (ACTH-dependent) dan tidak tergantung ACTH (ACTH-
independent).

1. Sindrom Cushing tergantung ACTH


Pada tipe ini hipersekresi glukokortikoid dipengaruhi oleh hipersekresi ACTH. Hipersekresi
kronik ACTH akan menyebabkan hiperplasia zona fasikulata dan zona retikularis korteks
adrenal. Hiperplasia ini mengakibatkan hipersekresi adrenokortikal seperti glukokortikoid
dan androgen. Pada tipe ini ditemukan peninggian kadar hormon adrenokortikotropik dan
kadar glukokortikoid dalam darah. Yang termasuk dalam sindrom ini adalah adenoma
hipofisis dan sindrom ACTH ektopik.
2. Sindrom Cushing tidak tergantung ACTH
Pada tipe ini tidak ditemukan adanya pengaruh sekresi ACTH terhadap hipersekresi
glukokortikoid, atau hipersekresi glukokortikoid tidak berada di bawah pengaruh jaras
hipotalamus-hipofisis. Pada tipe ini ditemukan peningkatan kadar glukokortikoid dalam
darah, sedangkan kadar ACTH menurun karena mengalami penekanan. Yang termasuk dalam
sindrom ini adalah tumor adrenokortikal, hiperplasia adrenal nodular, dan iatrogenik.

Patofisiologi

Keadaan hiperglukokortikoid pada sindrom Cushing menyebabkan katabolisme protein yang


berlebihan sehingga tubuh kekurangan protein. Kulit dan jaringan subkutan menjadi tipis,
pembuluh-pembuluh darah menjadi rapuh sehingga tampak sebagai stria berwarna ungu di
daerah abdomen, paha, bokong, dan lengan atas. Otot-otot menjadi lemah dan sukar
berkembang, mudah memar, luka sukar sembuh, serta rambut tipis dan kering.

Keadaan hiperglukokortikoid di dalam hati akan meningkatkan enzim glukoneogenesis dan


aminotransferase. Asam-asam amino yang dihasilkan dari katabolisme protein diubah
menjadi glukosa dan menyebabkan hiperglikemia serta penurunan pemakaian glukosa perifer,
sehingga bisa menyebabkan diabetes yang resisten terhadap insulin.

Pengaruh hiperglukokortikoid terhadap sel-sel lemak adalah meningkatkan enzim lipolisis


sehingga terjadi hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia. Pada sindrom Cushing ini terjadi
redistribusi lemak yang khas. Gejala yang bisa dijumpai adalah obesitas dengan redistribusi
lemak sentripetal. Lemak terkumpul di dalam dinding abdomen, punggung bagian atas yang
membentuk buffalo hump, dan wajah sehingga tampak bulat seperti bulan dengan dagu
ganda.

Pengaruh hiperglukokortikoid terhadap tulang menyebabkan peningkatan resorpsi matriks


protein, penurunan absorbsi kalsium dari usus, dan peningkatan ekskresi kalsium dari ginjal.
Akibat hal tersebut terjadi hipokalsemia, osteomalasia, dan retardasi pertumbuhan.
Peningkatan ekskresi kalsium dari ginjal bisa menyebabkan urolitiasis.

Pada keadaan hiperglukokortikoid bisa timbul hipertensi, namun penyebabnya belum


diketahui dengan jelas. Hipertensi dapat disebabkan oleh peningkatan sekresi
angiotensinogen akibat kerja langsung glukokortikoid pada arteriol atau akibat kerja
glukokortikoid yang mirip mineralokortikoid sehingga menyebabkan peningkatan retensi air
dan natrium, serta ekskresi kalium. Retensi air ini juga akan menyebabkan wajah yang bulat
menjadi tampak pletorik.

Keadaan hiperglukokortikoid juga dapat menimbulkan gangguan emosi, insomnia, dan


euforia. Pada sindrom Cushing, hipersekresi glukokortikoid sering disertai oleh peningkatan
sekresi androgen adrenal sehingga bisa ditemukan gejala dan tanda klinis hipersekresi
androgen seperti hirsutisme, pubertas prekoks, dan timbulnya jerawat.

OBAT – OBAT Sindrom Cushing


Pengobatan sindrom Cushing dilakukan dengan cara menangani faktor yang mendasarinya.
Apabila lonjakan jumlah hormon kortisol secara tidak wajar di dalam tubuh disebabkan oleh
efek samping penggunaan kortikosteroid, maka dokter dapat menurunkan dosis atau bahkan
menghentikan penggunaan dan menggantinya dengan obat lain.

5. Penyakit Gondok

Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid : (Djokomoeljanto, 2001)

1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)

Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi TSH (thyroid
stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi hiperplasi dan
hiperfungsi

2. TSH (thyroid stimulating hormone)

Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi akan
meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi efek
hormonal yaitu produksi hormon meningkat

3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).

Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis. Khususnya
hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus.
Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap rangsangan TSH.

4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.

Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid

Efek metabolisme Hormon Tyroid : (Djokomoeljanto, 2001)

1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi dalam
dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal meningkat,
cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis pada dosis
farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi
kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada hiperfungsi
tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol
ester dan fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon
tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus traktus
gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare, gangguan faal hati, anemia
defesiensi besi dan hipotiroidisme.

Klasifikasi Struma

Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan)

Menurut American society for Study of Goiter membagi :

1. Struma Non Toxic Diffusa


2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Stuma Toxic Diffusa
4. Struma Toxic Nodusa

Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi fisiologis
kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan diffusa lebih
kepada perubahan bentuk anatomi.

1. Struma non toxic nodusa

Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid.
Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium. Akan
tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum
diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang


yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari 25
mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting
penyakit tiroid autoimun
3. Goitrogen :
 Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang
mengandung yodium
 Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol berasal dari
tambang batu dan batubara.
 Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina, brussels kecambah),
padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.
4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid
5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak
mengakibatkan nodul benigna dan maligna (Lee, 2004)

2. Struma Non Toxic Diffusa

Etiologi : (Mulinda, 2005)

1. Defisiensi Iodium
2. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis
3. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan
penurunan pelepasan hormon tiroid.
4. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis
terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating immunoglobulin
5. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis
hormon tiroid.
6. Terpapar radiasi
7. Penyakit deposisi
8. Resistensi hormon tiroid
9. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis)
10. Silent thyroiditis
11. Agen-agen infeksi
12. Suppuratif Akut : bacterial
13. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit
14. Keganasan Tiroid
2. Struma Toxic Nodusa

Etiologi : (Davis, 2005)

1. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4


2. Aktivasi reseptor TSH
3. Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G
4. Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1), insulin like growth
factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor.

4. Struma Toxic Diffusa

Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang merupakan penyakit
autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya (Adediji,2004)

Patofisiologi :

Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan dalam struktur
dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH reseptor tiroid oleh TSH, TSH-Resepor
Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic gonadotropin, akan menyebabkan
struma diffusa. Jika suatu kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna metastase
ke kelenjar tiroid, akan menyebabkan struma nodusa (Mulinda, 2005)

Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan peningkatan produksi
TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah dan hiperplasi sel kelenjar tyroid
untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika proses ini terus menerus, akan terbentuk struma.
Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi
iodida dan goitrogen (Mulinda, 2005)
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang termasuk
stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise yang resisten
terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan tumor yang
memproduksi human chorionic gonadotropin (Mulinda, 2005)

STRUMA NON TOKSIK

Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak berhubungan
dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau nodular.

Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut
struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme disebut struma
nodosa non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa terutama ditemukan di daerah
pegunungan karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mlai membesar pada usia muda
dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Struma multinodosa terjadi pada
wanita usia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasi sampai
bentuk involusi. Kebanyakan penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak
ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan
berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan
kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi
besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Walaupun sebagian struma nodosa tidak
mengganggu pernapasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan
penyempitan trakea jika pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat
dicitrakan dengan foto Roentgen polos (trakea pedang). Penyempitan yang berarti
menyebabkan gangguan pernapasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspirator
(Noer, 1996) .

PENGOBATAN HIPERTITOIDISME

Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon tiroid yang


berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau merusak jaringan tiroid
(yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).

1. Obat antitiroid
Indikasi :

1. terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang menetap,


pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan tirotoksikosis.
2. Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau
sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif.
3. Persiapan tiroidektomi
4. Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia
5. Pasien dengan krisis tiroid

Obat antitiroid yang sering digunakan :

Obat Dosis awal (mg/hari) Pemeliharaan (mg/hari)

Karbimazol 30-60 5-20

Metimazol 30-60 5-20

Propiltourasil 300-600 5-200

2. Pengobatan dengan yodium radioaktif

Indikasi :

1. pasien umur 35 tahun atau lebih


2. hipertiroidisme yang kambuh sesudah penberian dioperasi
3. gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid
4. adenoma toksik, goiter multinodular toksik

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1994., Struma Nodusa Non Toksik., Pedoman Diagnosis dan Terapi., Lab/UPF Ilmu
Bedah., RSUD Dokter Sutomo., Surabaya

Adediji., Oluyinka S.,2004., Goiter, Diffuse Toxic., eMedicine.,

http://www.emedicine.com/med/topic917.htm
Davis, Anu Bhalla., 2005, Goiter, Toxic Nodular., eMedicine.,

http://www.emedicine.com/med/topic920.htm

De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 1998., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi., EGC., Jakarta

Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya., Dalam : Suyono,
Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.,FKUI., Jakarta

Lee, Stephanie L., 2004., Goiter, Non Toxic., eMedicine.,

http://www.emedicine.com/med/topic919.htm

Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita Selekta Kedokteran.,
Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta

Mulinda, James R., 2005., Goiter., eMedicine.,

http://www.emedicine.com/MED/topic916.htm

Sadler GP., Clark OH., van Heerden JA., Farley DR., 1999., Thyroid and Parathyroid., In :
Schwartz. SI., et al., 1999., Principles of Surgery. Vol 2., 7th Ed., McGraw-Hill., Newyork.

Anda mungkin juga menyukai