Anda di halaman 1dari 29

Kode/Nama Rumpun Ilmu : 371/Ilmu Keperawatan

PROPOSAL

PROGRAM PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT MASYARAKAT

Pelatihan Tanggap Bencana Gemba Bumi Pada Komunitas Masyarakat


Di Desa Sri Kuncoro Kecamatan Kabupaten
Pondok KelapaBengkulu Tengah

Oleh :

Yulia, S.Kep, M.Kes (02-1807-8001) (Ketua)


Sulastri, S.Kep, M.Kes (02-2007-8602) (Anggota)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DEHASEN
BENGKULU
2015

i
HALAMAN PENGESAHAN

1. Judul Pengabdian : Pelatihan Tanggap Bencana Gemba


Bumi Pada Komunitas Masyarakat
Di Desa Sri Kuncoro Kecamatan
Pondok Kelapa Bengkulu Tengah
2. Bidang Kajian : Ilmu Keperawatan

3. Nama Mitra Program I : Kantor Desa Sri Kuncoro


Nama Mitra Program II :-
4. Ketua Tim Pengusul :
a. Nama : Yulia, S.Kep, M.Kes
b. NIDN : 02-1807-8001
c. Jabatan/Golongan/Jurusan
/Fakultas/Program : Asisten Ahli
d. Studi : Profesi Ners
e. Bidang Keahlian : Keperawatan
f. Alamat : Jl. Merapi Raya No. 42 Kebun
Tebeng
g. Kantor/Telp./Faks./email : STIKES Dehasen Bengkulu
h. Alamat Rumah/HP/email : Jl. Gelatik No 113 Bengkulu/
085664986410/
yulia-spmi@gmail.com
5. Anggota Tim Pengusul :
a. Jumlah Anggota : 1 Orang
b. Nama AnggotaI/Bidang Keahlian : Sulastri, S.Kep, M.Kes
c. Nama anggota II/Bidang Keahlian :-
d. Mahasiswa yang terlibat : 4 Orang
6. Lokasi Kegiatan /Mitra (1) :

a. Wilayah Mitra (Desa/Kecamatan) : Desa Sri Kuncoro Kecamatan


Pondok Kelapa

ii
b. Kabupaten/Kota : Bengkulu Tengah

c. Provinsi : Bengkulu

d. Jarak PT ke lokasi Mitra (KM) : ± 30 KM

7. Lokasi Kegiatan/Mitra (2) :-

a. Wilayah Mitra (Desa/Kecamatan) :-

b. Kabupaten/Kota :-

c. Provinsi :-

d. Jarak PT ke lokasi Mitra (KM) :-

8. Luaran yang dihasilkan : Sertifikat Pelatihan

9. Jangka Waktu Pelaksanaan : 6 Bulan

10. Biaya Total :


a. Bantuan STIKes Dehasen : Rp. 3.000.000,-
b. Sumber Lain :-

Bengkulu, 20 Desember 2015


Mengetahui, Ketua Pengabdian
Ketua STIKES Dehasen

Dr. Ida Samidah, SKp, M.Kes Yulia, S.Kep, M.Kes


(00-1009-6602) (02-1807-8001)
Menyetujui,
Ketua LP2M

Imma Rachayu, SS, M.TPd


(02-1407-8403)

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
RINGKASAN EKSEKUTIF.......................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
a. Latar Belakang............................................................................. 1
b. Perumusan Masalah..................................................................... 5
c. Tujuan Kegiatan.......................................................................... 6
d. Manfaat Kegiatan........................................................................ 6
e. Khalayak Sasaran........................................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 8
a. Konsep Dasar Penelitian.............................................................. 8
b. Bencana Alam............................................................................. 15
c. Manajemen Bencana................................................................... 19
BAB III METODE PENGABDIAN............................................................ 20
a. Keterkaitan Kegiatan................................................................... 20
b. Rancangan Evaluasi..................................................................... 20
c. Jadwal Pelaksanaan..................................................................... 21
d. Rancangan Anggaran Belanja..................................................... 22
Daftar Pustaka

iv
RINGKASAN EKSEKUTIF

Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang mencoba, untuk terus
berbenah diri guna menyambut persaingan pasar bebas. Namun, dalam usahanya
berbenah diri tersebut, Indonesia yang letak geografisnya diapit oleh dua benua
dan dua samudra ini, sering kali terhambat, bahkan kembali mengalami penurunan
akibat dampak langsung dari pasar bebas, ataupun bencana yang terjadi akibat
fenomena alami, maupun yang disebabkan oleh keteledoran perangkat
pemerintahan dan masyarakatnya sendiri.
Terdapat tiga fase dalam upaya penanggulangan bencana, yaitu: fase pra-
bencana, fase saat bencana terjadi, dan fase pasca-bencana. Hal yang sangat
disayangkan adalah Indonesia lebih memberikan perhatian terhadap fase ketiga,
dan terlihat sedikit meremehkan fase-fase penanggulangan yang lainnya. Sebagai
contoh adalah bencana tsunami yang menimpa Aceh, bantuan terkait dengan
bencana ini mulai muncul, setelah berjatuhan banyak korban dan menimbulkan
kerugian yang besar.
Provinsi Bengkulu dengan jumlah penduduk 1.874,9 Juta jiwa.
Penyalahgunaan Pelatihan tanggap bencana ini tampaknya telah menjadi suatu hal
yang dewasa ini makin sering terdengar. Diselenggarakan oleh instansi-instansi
pemerintahan, LSM, PMI, ataupun komunitas-komunitas pemerhati bangsa yang
lainnya. Namun demikian, pelatihan yang telah ada condong pada keahlian
dengan spesifikasi bidang tertentu saja. Memang hal ini sangatlah penting, namun
pada prakteknya dalam penanggulangan terhadap bencana yang dilakukan adalah
penggabungan dari multi disiplin ilmu yang komprehensif. Terkait dengan hal ini,
yang menjadi sorotan bersama adalah cara koordinasi para praktisi multi disiplin
ilmu, secara horizontal ataupun secara vertikal dengan pemerintah. Dan terlihat
terlalu mengutamakan kemampuan seseorang atau kelompok dalam upaya
memberikan bantuan ketika bencana terjadi, serta mengabaikan potensi penduduk
lokal tempat terjadinya bencana. Padahal dalam berbagai hal, penduduk lokal ini
lebih mampu untuk memprediksi daerah-daerah yang mengalami bencana dengan
tingkat kerusakan yang tinggi, serta akses membuka ruas jalan tercepat menuju ke
daerah tertimpa bencana.

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang mencoba, untuk
terus berbenah diri guna menyambut persaingan pasar bebas. Namun, dalam
usahanya berbenah diri tersebut, Indonesia yang letak geografisnya diapit
oleh dua benua dan dua samudra ini, sering kali terhambat, bahkan kembali
mengalami penurunan akibat dampak langsung dari pasar bebas, ataupun
bencana yang terjadi akibat fenomena alami, maupun yang disebabkan oleh
keteledoran perangkat pemerintahan dan masyarakatnya sendiri.
Ditilik dari letak geografisnya, Indonesia merupakan Negara kepulauan
yang rentan terhadap potensi bencana alam geologi, seperti: gempa bumi,
tanah longsor, banjir, angin topan, dan sebagainya. Hal ini dipertegas dengan
bencana-bencana alam yang sering kita temui sehari-hari. Banjir bandang di
Lamongan dan di bandung atau di banyak daerah saat musim hujan, Gempa
bumi di Padang dan sekitarnya, merupakan gambaran kecil dari kerentanan
Indonesia terhadap potensi terjadinya bencana alam geologi.
Terdapat tiga fase dalam upaya penanggulangan bencana, yaitu: fase
pra-bencana, fase saat bencana terjadi, dan fase pasca-bencana. Hal yang
sangat disayangkan adalah Indonesia lebih memberikan perhatian terhadap
fase ketiga, dan terlihat sedikit meremehkan fase-fase penanggulangan yang
lainnya. Sebagai contoh adalah bencana tsunami yang menimpa Aceh,
bantuan terkait dengan bencana ini mulai muncul, setelah berjatuhan banyak
korban dan menimbulkan kerugian yang besar.
Terjadinya bencana dewasa ini telah sangat lekat dengan masyarakat.
Bahkan, sejak tahun 1988 sampai pertengahan 2003 jumlah bencana di
Indonesia mencapai 647 bencana alam, meliputi: banjir, longsor, gempa
bumi, dan angin topan, dengan jumlah korban jiwa sebanyak 2022 dan
jumlah kerugian mencapai ratusan milyar. Jumlah tersebut belum termasuk
bencana yang terjadi pertengahan tahun 2003 sampai pertengahan 2004 yang
mencapai ratusan bencana dan mengakibatkan hampir 1000 korban jiwa.

1
Dalam tahun 2002, tercatat bencana besar yang terjadi adalah kebakaran
hutan di Pontianak, Jambi, Palembang, banjir di Jakarta, Jawa Tengah,
Semarang, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan beberapa lokasi lainnya.
Selain itu, banjir terjadi di Jawa Tengah bagian selatan, antara lain
Banyumas, Cilacap, Kebumen, dan Purworejo. Tanggal 30 Oktober 2003,
ribuan rumah dan ratusan hektar sawah di 12 desa di Kabupaten Banyumas
dan Cilacap, Jawa Tengah, telah dilanda banjir.
Di Banyumas dan Purworejo, banjir menggenangi ribuan hektar sawah,
dan sekitar 3.000 keluarga di Desa Nusadadi, Kecamatan Tambak, terkurung
air akibat luapan Sungai Ijo dan Sungai Kecepak. Sementara itu, banjir juga
melanda Desa Karangsembung dan Nusawangkal, Kecamatan Nusawungu,
Kabupaten Cilacap di mana air menggenangi 130 rumah dan 1.294 ha sawah.
Sebanyak 360 ha dari 1.294 ha sawah yang tergenang berupa persemaian
dengan kerugian diperkirakan Rp 28.800.000.
Dan terjadi Banjir Bandang di Jawa Tengah, tanggal 1 November 2003,
sedikitnya 119 rumah, satu sekolah, dan jalan di Kabupaten Kebumen,
mengalami kerusakan akibat tanah longsor saat hujan mengguyur kawasan
itu. Tanah longsor yang menimpa rumah penduduk itu terjadi di empat desa,
yakni: Desa Kalibangkang (62 rumah rusak), Desa Watukelir (37), Desa Srati
(11), dan Desa Jintung (5). Kerugian yang dialami diperkirakan tidak kurang
dari Rp265, 3 juta.
Masih banyak lagi bencana yang belum dilansir secara langsung oleh
berbagai pihak terkait. Sebagai catattan, gempa bumi di Yogyakarta dan
Padang, Banjir bandang yang melanda berbagai kawasan di Indonesia
(Lamongan, Sidoarjo, dan sebagainya), serta bencana alam yang lainnya.
Hal ini membuat perhatian pemerintah menjadi tidak fokus. Di satu sisi
harus berbenah diri, mulai dari meningkatkan perekonomian, pemberantasan
korupsi, mafia peradilan, upaya untuk tetap eksis di mata dunia terkait dengan
hubungan diplomatik antar Negara, juga masih diberatkan oleh bencana yang
sering memakan banyak korban dan kerugian. Dan pastinya, pemerintah tidak

2
dapat berpangku tangan melihat warganya terpuruk dalam bencana yang
melanda warganya ini, sesuai dengan amanah yang tertuang dalam UUD’45.
Dalam Environmental Outlook WALHI 2003, diungkapkan bahwa kita
bangsa Indonesia tidak bisa lagi bangga dengan julukan Jamrud Khatulistiwa,
karena pada kenyataannya, negeri kita adalah negeri sejuta bencana. Hal yang
menjadi ironi bagi negeri ini adalah kondisi yang telah dipaparkan secara
singkat di atas, makin diperparah dengan kepadatan penduduk yang tidak
merata, dan banyaknya daerah terpencil yang jarang terjamah ataupun sukar
dimasuki karena infrastruktur yang kurang tertata dengan rapi, dan
sebagainya. Akibatnya, ketika bencana alam menimpa, yang mendapatkan
pertolongan pertama adalah daerah-daerah yang letaknya strategis dan mudah
untuk dijangkau oleh kendaraan, meskipun sebenarnya di daerah tersebut
hanya atau relatif lebih sedikit yang membutuhkan pertolongan serius, jika
dibandingkan dengan daerah yang masih terpencil dan sukar dimasuki.
Terdapat tiga fase dalam langkah-langkah penanggulangan bencana,
yaitu: fase pra-bencana, fase saat bencana terjadi, dan fase pasca-bencana.
Dewasa ini telah banyak pengembangan berkaitan dengan tiga fase tersebut.
Namun, hal yang kembali patut kita sayangkan adalah masih banyak daerah-
daerah terpencil yang hanya memperoleh fase pasca-bencana, ataupun fase
saat bencana terjadi, tanpa melewati fase pra-bencana. Mengapa lebih
memilih mengobati daripada mencegah atau meminimalisir banyaknya
korban yang berjatuhan? Hal ini patut kita cermati lebih seksama lagi. Oleh
karena itu, dirasa penting untuk memberikan pelatihan terkait dengan
penanggulangan bencana yang semakin akrab dan hampir menjadi bagian dari
kehidupan kita.
Kultur timur yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia, yaitu: empati
dan kebersamaan, selalu terlihat ketika bencana alam datang menimpa.
Namun, hal yang sangat disayangkan adalah terjadinya penyelewengan,
ataupun pemberian bantuan yang dirasa kurang tepat pada sasaran, bahkan
terlihat berlebihan atau tidak berguna pada suatu daerah tertentu yang

3
mengalami dampak langsung dari bencana alam yang sedang terjadi
didaerahnya.
Hal yang lebih spesifik terkait dengan pemaparan di atas, adalah
banyaknya bantuan, yang terdiri dari: tenaga volunteer, bantuan logistik,
pakaian, serta sumbangan berupa uang ataupun bahan materiil untuk
pembangunan, tidak mampu disebarkan secara merata dan tepat sasaran.
Koordinasi terlihat acak-acakan dan “semrawut”. Karena berbagai hal inilah,
dewasa ini mulai terlihat sikap antipati dan cenderung bersikap tidak peduli
(apatis) pada masyarakat, yang sebelumnya selalu aktif dalam kegiatan sosial
ini.
Karena perbagai permasalahan maupun keprihatinan yang telah
dipaparkan secara singkat di atas, penulis tergerak untuk memformulasikan
suatu program pelatihan yang nantinya mampu digunakan untuk membekali
paduan kompetensi kepada para sukarelawan, seperti: koordinasi sesama
sukarelawan dan dengan pemerintahan, membuka ruas jalan, kemampuan
beradaptasi dan rasa empati yang mendalam, dan sebagainya. Dan nantinya
hal ini akan dapat digunakan untuk mengantisipasi beralihnya rasa empati dan
kebersamaan masyarakat yang tidak sedang dirundung bencana (volunter),
menjadi antipati dan apatis. Melainkan lebih semangat lagi dalam membantu
sesamanya, terlebih didukung perasaan, bahwa diri seseorang sangatlah
dibutuhkan kehadiran dan bantuannya bagi orang lain yang sedang
mengalami bencana.
Pelatihan tanggap bencana ini tampaknya telah menjadi suatu hal yang
dewasa ini makin sering terdengar. Diselenggarakan oleh instansi-instansi
pemerintahan, LSM, PMI, ataupun komunitas-komunitas pemerhati bangsa
yang lainnya. Namun demikian, pelatihan yang telah ada condong pada
keahlian dengan spesifikasi bidang tertentu saja. Memang hal ini sangatlah
penting, namun pada prakteknya dalam penanggulangan terhadap bencana
yang dilakukan adalah penggabungan dari multi disiplin ilmu yang
komprehensif. Terkait dengan hal ini, yang menjadi sorotan bersama adalah
cara koordinasi para praktisi multi disiplin ilmu, secara horizontal ataupun

4
secara vertikal dengan pemerintah. Dan terlihat terlalu mengutamakan
kemampuan seseorang atau kelompok dalam upaya memberikan bantuan
ketika bencana terjadi, serta mengabaikan potensi penduduk lokal tempat
terjadinya bencana. Padahal dalam berbagai hal, penduduk lokal ini lebih
mampu untuk memprediksi daerah-daerah yang mengalami bencana dengan
tingkat kerusakan yang tinggi, serta akses membuka ruas jalan tercepat
menuju ke daerah tertimpa bencana.
Maka, penulis mencoba menawarkan pelatihan yang diberikan, tidak
hanya mencangkup pemberian skill pada para sukarelawan yang telah
bersedia, guna mampu memberikan penanganan pertama bagi para korban.
Akan tetapi juga harus memiliki keahlian dalam pemetaan ataupun persebaran
luas bencana, terlebih pemberian ketrampilan ini diutamakan merata pada tiap
kecamatan di seluruh Indonesia. Sehingga, ketika bencana alam datang pada
waktu tertentu, penanganan pertama dapat langsung dilakukan, dan
koordinasi antara para sukarelawan dapat terjalin dengan baik, dan akhirnya
mampu meminimalisir jumlah korban dan terhindarnya sikap antipati dan
apatis masyarakat yang lain terhadap kondisi sesamanya yang sedang
mengalami musibah.
Sehubungan dengan hal tersebut, materi-materi yang diberikan dalam
pelatihan ini akan disesuaikan dengan perkembangan pengetahuan dan
teknologi, serta kondisi lapangan dimana tempat pasca bencana terjadi. Pada
umumnya, materi yang diberikan dalam pelatihan ini berupa ceramah dan
media pembelajaran, dialog interaktif, games, role play, diskusi, outbound
training, serta pemberian penugasan pada tiap waktu sesi makan dan sebelum
tidur.

B. Perumusan Masalah
Pelatihan ini menjadi penting guna menanggapi fenomena semakin
banyak beralihnya rasa empati dan kebersamaan masyarakat yang tidak
sedang dirundung bencana (volunter), yang menjadi antipati dan apatis,

5
diakibatkan pemetaan persebaran luas bencana, koordinasi bala bantuan,
maupun penyelewangan yang terjadi dalam upaya pemberian bantuan.
Memang telah banyak program pelatihan terkait dengan program
tanggap bencana ini. Keunikan pada program pelatihan tanggap bencana kali
ini adalah lebih memfokuskan pada persebaran jumlah sukarelawan atau para
simpatisan, dan kemampuan dalam memetakan persebaran luas bencana yang
dapat dilakukan oleh para praktisi yang berada di daerah sekitar terjadinya
bencana secara tepat dan akurat. Dan nantinya mampu meringankan beban
saudara kita yang sangat membutuhkan pertolongan, serta mengeliminasi
bibit-bibit sikap antipasti dan apatis para sukarelawan ataupun penyumbang.
Selain itu, pelatihan kali ini, lebih menekankan pada kemampuan para
simpatisan dalam beradaptasi, bekerja secara tim dengan koordinasi yang
terarah. Berkaitan dengan para sukarelawan, penulis berharap dukungan
pemerintah pusat dalam menyelenggarakan pelatihan ini, serta partisipasi
pemerintah daerah guna mengirimkan setidaknya empat perwakilan
sukarelawan yang nantinya akan memberikan penyuluhan pada sukarelawan
lainnya di daerah tempatnya tinggal.

C. Tujuan Kegiatan
1. Para peserta yang telah mengikuti pelatihan mampu memberikan
penyuluhan berkaitan dengan materi yang telah diperoleh selama proses
pelatihan dilangsungkan.
2. Para peserta mempunyai kemampuan beradaptasi dan survive terhadap
lingkungan pasca bencana terjadi.
3. Para peserta mampu menguasai dan mengimplementasikan dasar-dasar
ataupun langkah utama dalam melakukan need assestment terhadap para
korban.
4. Para peserta memiliki keahlian dalam membuka ruas jalan sebagai akses
masuknya bala bantuan.
5. Para peserta mampu bekerja dengan tim

6
6. Para peserta yang berada di daerah sekitar terjadinya bencana, mampu
memetakan persebaran luas bencana dan mengkoordinasi bala bantuan
yang ada dengan para penyumbang (donatur), maupun dengan
pemerintahan.

D. Manfaat Kegiatan
1. Manfaat secara teoritis, antara lain:
a. Memberikan sumbangan kajian berbagai disiplin ilmu dalam membantu
meringankan beban dan meminimalisir jatuhnya korban yang
diakibatkan bencana alam.
b. Memperkaya kajian psikologi sosial dalam proses pasca bencana alam
dan saat memberikan bantuan kepada para korban.
2. Manfaat secara praktis, antara lain:
a. Tumbuhnya pada para sukarelawan sikap tanggungjawab, dapat
dipercaya dan mentalitas yang bisa diandalkan dalam kehidupan
berorganisasi, bermasyarakat serta bernegara.
b. Para sukarelawan memiliki kecerdasan hati (Heart Intellegence), yang
mampu mensinergikan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi
(EI) dan kecerdasan spiritual (SI) dan kecerdasan fisik (PI).
c. Adanya komitmen dan upaya yang sistematis, terarah, terkoordinasi,
dan efektif dari instansi/lembaga terkait tingkat nasional/daerah dalam
upaya tanggap bencana.
d. Para sukarelawan yang telah mengikuti pelatihan mampu memberikan
penanganan bencana yang komprehensif.

E. Khalayak Sasaran
Khalayak sasaran yang strategis dalam kegiatan ini adalah bagi para
sukarelawan yang bersedia dan mempunyai waktu dalam mengikuti masa
pelatihan.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Pelatihan


1. Pengertian Pelatihan
Sikula dalam Sumantri (2000: 2) mengartikan pelatihan sebagai:
“proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan cara dan prosedur
yang sistematis dan terorganisir. Para peserta pelatihan akan mempelajari
pengetahuan dan keterampilan yang sifatnya praktis untuk tujuan tertentu”.
Veithzal Rivai (2004: 226) menegaskan bahwa “pelatihan adalah proses
sistematis mengubah tingkah laku pekerja untuk mencapai tujuan
organisasi. Pelatihan berkaitan dengan keahlian dan kemampuan pekerja
dalam melaksanakan pekerjaan saat ini. Pelatihan memiliki orientasi saat
ini dan membantu pegawai untuk mencapai keahlian dan kemampuan
tertentu agar berhasil melaksanakan pekerjaan”.
Pengertian-pengertian di atas mengarahkan kepada penulis untuk
menyimpulkan bahwa yang dimaksud pelatihan dalam hal ini adalah
proses pendidikan yang di dalamnya ada proses pembelajaran
dilaksanakan dalam jangka pendek, bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap dan keterampilan, sehingga mampu meningkatkan
kompetensi individu untuk menghadapi tugasnya di dalam organisasi
sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Dengan demikian dapat
simpulkan bahwa “pelatihan sebagai suatu kegiatan untuk meningkatkan
kinerja saat ini dan kinerja mendatang” (Veithzal Rifai: 2004: 226).

2. Dasar Pelatihan
Dalam penyelenggaraan pelatihan, agar dapat bermanfaat bagi
peserta dan dapat mencapai tujuan secara optimal, hendaknya
penyelenggaraannya mengikuti dasar-dasar umum pelatihan. Menurut
Dale Yoder dalam bukunya Personal Principles and Policies,
menyebutkan sembilan dasar yang berlaku umum dalam kegiatan pelatihan
yaitu (1) Individual differences; (2) relation to job analysis; (3) motivation

8
(4) active participation, (5) selection of trainees, (6). Selection of trainers;
(7) trainer’s of training (8) training method’s dan (9) principles of
learning (1962:235).
Adapun demikian terdapat lima persyaratan minimal yang perlu
diperhatikan pelatih dalam memilih metode pelatihan, yaitu: sesuai dengan
keadaan dan jumlah sasaran; cukup dalam jumlah dan mutu materi; tepat
menuju tujuan pada waktunya; amanat hendaknya mudah diterima,
dipahami dan diterapkan; dan biaya ringan (Depdikbud, 1983: 97). Dalam
pemilihan metode juga dapat mempertimbangkan beberapa faktor, sebagai
berikut: tujuan instruksional khusus yang hendak- dicapai dalam proses
penyampaian pesan atau bahan belajar, keadaan warga belajar yang akan
menerima pesan, karakteristik metode yang akan digunakan dan sumber
atau fasilitas yang tersedia untuk menunjang penggunaan metode tertentu
yang hendak kita pilih (Direktorat Dikmas, 1985 : 18).
Pelatihan yang berhasil adalah pelatihan yang menerapkan dasar-
dasar pelatihan di atas dalam formulasi pelatihan yang akan diberikan pada
peserta pelatihan.
3. Manajemen Pelatihan
Manajemen pelatihan memiliki dimensi tentang bagaimana hal
pengelolaan pelatihan. Pengelolaan ini dilakukan agar pelatihan bisa
berjalan dengan baik dan berhasil secara efektif dan efisien. Manajemen
pelatihan secara konsep bisa diartikan “Proses perencanaan,
pengorganisasian, penggerakkan dan pengevaluasian terhadap kegiatan
pelatihan dengan memanfaatkan aspek-aspek pelatihan untuk mencapai
tujuan pelatihan secara efektif dan efisien”. Dalam konteks yang lain,
manajemen pelatihan atau pengelolaan pelatihan identik dengan
manajemen proyek atau pada istilah lain sama dengan mengelola proyek.
Oleh karena itu daur Managing training dapat digambarkan sebagai
berikut:

9
ANALISIS

EVALUASI UMPAN DESAIN


BALIK &
REVISI

IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN

Daur Managing Training

Gambar di atas menjelaskan bahwa proses manajemen pelatihan


dimulai dengan analisis, yaitu analisis kebutuhan (need analysis) terhadap
hal-hal yang akan menjadi objek pelatihan, kemudian dilanjutkan dengan
desain program pelatihan, yaitu langkah mendesain program-program
pelatihan. Tahapan berikutnya adalah pelaksanaan dan penerapan, yaitu
proses pelaksanaan dan Penerapan program-program pelatihan. Kemudian
diakhiri dengan evaluasi yaitu tahap untuk memberikan penilaian dan
analisa pengembangan. Pada setiap tahapan tersebut akan ada proses
umpan balik, yang bertujuan untuk mengontrol efektivitas pelaksanaan dan
proses pelatihan.
Perencanaan pelatihan pada hakekatnya adalah proses menyusun
rancangan program pelatihan, yaitu proses menyiapkan berbagai hal
mengenai persiapan pelatihan. Secara umum menurut Faustino Cardoso
Gomes (2000:204) mengemukakan ada tiga tahap pada pelatihan yaitu
tahap penilaian kebutuhan, tahap pelaksanaan pelatihan dan tahap evaluasi.
Atau dengan istilah lain ada fase perencanaan pelatihan, fase pelaksanaan
pelatihan dan fase pasca pelatihan. Secara umum ada tiga tahap pada
pelatihan yaitu tahap penilaian kebutuhan, tahap pelaksanaan pelatihan dan
tahap evaluasi. Atau dengan istilah lain ada fase perencanaan pelatihan,
fase pelaksanaan pelatihan dan fase pasca pelatihan.

10
Langkah-langkah yang umum digunakan dalam program pelatihan,
seperti dikemukakan oleh Simamora (1997: 360), yang menyebutkan
delapan langkah pelatihan, yaitu:
1) Tahap penilaian kebutuhan dan sumber daya untuk pelatihan;
2) Mengidentifikasi sasaran-sasaran pelatihan;
3) Menyusun kriteria;
4) Pre tes terhadap para peserta
5) Memilih teknik pelatihan dan prinsip-prinsip proses belajar;
6) Melaksanakan pelatihan;
7) Memantau pelatihan;
8) Membandingkan hasil pelatihan terhadap kriteria yang telah ditentukan.
Penilaian kebutuhan (need assessment) pelatihan merupakan langkah
yang paling penting dalam pengembangan program pelatihan. Langkah
penilaian kebutuhan ini merupakan landasan yang sangat menentukan pada
langkah-langkah berikutnya. Dalam penilaian kebutuhan dapat digunakan
tiga tingkat analisis yaitu analisis pada tingkat organisasi, analisis pada
tingkat program atau operasi dan analisis pada tingkat individu. Sedangkan
teknik penilaian kebutuhan dapat digunakan analisis kinerja, analisis
kemampuan, analisis tugas maupun survey kebutuhan (need survey).
Isi program (program content) merupakan perwujudan dari hasil
penilaian kebutuhan dan materi atau bahan guna mencapai tujuan
pelatihan. Isi program ini berisi keahlian (keterampilan), pengetahuan dan
sikap yang merupakan pengalaman belajar pada pelatihan yang diharapkan
dapat menciptakan perubahan tingkah laku. Pengalaman belajar dan atau
materi pada pelatihan harus relevan dengan kebutuhan peserta maupun
lembaga tempat kerja.
Prinsip-prinsip belajar (learning principles) yang efektif adalah yang
memiliki kesesuaian antara metode dengan gaya belajar peserta pelatihan
dan tipe-tipe pekerjaan, yang membutuhkan. Pada dasarnya prinsip belajar
yang layak dipertimbangkan untuk diterapkan berkisar lima hal yaitu

11
partisipasi, reputasi, relevansi, pengalihan, dan umpan balik (Sondang P.
Siagian, 1994 :190).
Pelaksanaan program (actual program) pelatihan pada prinsipnya
sangat situasional sifatnya. Artinya dengan penekanan pada perhitungan
kebutuhan organisasi dan peserta pelatihan, penggunaan prinsip-prinsip
belajar dapat berbeda intensitasnya, sehingga tercermin pada penggunaan
pendekatan, metode dan teknik tertentu dalam pelaksanaan proses
pelatihan.
Dan langkah terakhir dari pengembangan program pelatihan adalah
evaluasi (evaluation) pelatihan. Pelaksanaan program pelatihan dikatakan
berhasil apabila dalam diri peserta pelatihan terjadi suatu proses
transformasi pengalaman belajar pada bidang pekerjaan dengan materi
yang telah diterimanya. Sondang P. Siagian menegaskan proses
transformasi dinyatakan berlangsung dengan baik apabila terjadi paling
sedikit dua hal, yaitu: peningkatan kemampuan dalam melaksanakan tugas
dan perubahan perilaku yang tercermin pada sikap, serta disiplin dan etos
kerja (1994: 202).
4. Mekanisme Pelatihan
Mekanisme pelatihan di sini diartikan sebagai cara atau metode yang
digunakan dalam suatu kegiatan pelatihan. Dalam penyelenggaraan
pelatihan, tidak ada satupun metode dan teknik pelatihan yang paling baik.
Semuanya tergantung pada situasi kondisi kebutuhan.
Dalam memilih metode dan teknik suatu pelatihan ditentukan oleh
banyak hal. Seperti dikemukakan William B. Werther (1989 : 290) sebagai
berikut : that is no simple technique is always best; the best method
depends on : cost effectiveness; desired program content; learning
principles; appropriateness of the facilities; trainee preference and
capabilities; and trainer preferences and capabilities. Artinya tidak ada
satu teknik pelatihan yang paling baik, metode yang paling baik tergantung
pada efektivitas biaya, isi program yang diinginkan, prinsip-prinsip

12
belajar, fasilitas yang layak, kemampuan dan preference peserta serta
kemampuan dan preference pelatih.
Metode pelatihan yang tepat adalah pelatihan yang dilaksanakan
dengan mengkombinasikan metode indoor dan outdoor activity, dengan
dikemas berdasarkan prinsip:
1) Andragogi;
Yakni proses belajar bagi orang dewasa. Dengan metode ini, peserta
tidak dijejali dengan teori-teori yang rumit, tetapi justru teori-teori
tersebut muncul secara tidak disadari.
2) Discovery Approach;
Yakni pendekatan penemuan. Disini narasumber bukan sekedar
bertindak sebagai penyaji materi, melainkan sebagai fasilitator yang
atraktif dan komunikatif. Pesertalah yang akan menemukan sendiri
potensi dan kesimpulannya.
3) Experiental learning;
Peserta mengalami sendiri proses belajar yang melibatkan auditory,
visual, dan kinestetik melalui games, simulasi, tantangan, outbound,
mendengarkan musik, menonton film, dsb. Walaupun bersifat
entertainment, peserta akan mendapatkan pengetahuan dan motivasi
serta langsung dihantarkan pada aplikasi dan hikmahnya dalam aktivitas
pekerjaan.
4) Role Play
Menjelaskan suatu permasalahan dengan mendemontrasikan atau
mendramakan.
5) Study Lapangan
Peserta akan diterjunkan langsung kelapangan untuk mempraktekan
skill yang telah didapatkan selama pelatihan, mengamati, menganalisa
dan menyimpulkan.
5. Penerapan Hasil Pelatihan
Berdasarkan tinjauan teoritis, pembahasan tentang pelatihan dapat
dilihat dari berbagai sudut, pelatihan dilihat dari pengertian, tujuan, asas,

13
efektivitas dan manajemen pelatihan. Pembahasan tersebut masih dalam
tataran teoritis, sehingga baru diperoleh informasi-informasi yang bersifat
umum. Informasi ini merupakan dasar rujukan dan pijakan dalam
membahas dan menganalisis permasalahan pelatihan lebih jelas.
Apabila ditinjau dari segi evaluasinya pelatihan akan memiliki
keberartian yang lebih mendalam. Evaluasi ini akan memperlihatkan
tingkat keberhasilan atau kegagalan suatu program. Beberapa kriteria yang
digunakan dalam evaluasi pelatihan akan berfokus pada outcome (hasil
akhir). Veitzal Rifai (2004) dan Henry Simamora (2004), menunjukkan
bahwa kriteria yang efektif dalam mengevaluasi pelatihan, yaitu: reaksi
dari peserta, pengetahuan atau proses belajar mengajar, perubahan perilaku
akibat pelatihan dan hasil atau perbaikan yang dapat diukur. Kriteria
tersebut dalam konteks yang lebih luas dapat dikembangkan untuk
mengetahui dampak keberhasilan suatu program pelatihan yang sudah
dilaksanakan.
Merujuk pada pendapat Veitzal dan Henry Simamora, dengan
memperhatikan kriteria efektivitas evaluasi maka dalam penelitian ini akan
diperluas pada Penerapan pelatihan. Selanjutnya kriteria efektivitas
evaluasi di atas dijadikan dimensi untuk mengukur tingkat Penerapan hasil
pelatihan pada suatu lembaga. Dimensi-dimensi tersebut adalah: dimensi
pengetahuan, dimensi sikap, dimensi perilaku dan dimensi hasil.
6. Tujuan Pelatihan
Menurut Moekijat (1991:55) tujuan umum dari pada pelatihan adalah:
a) Untuk mengembangkan keahlian sehingga pekerjaan dapat diselesaikan
dengan lebih cepat dan lebih efektif.
b) Untuk mengembangkan pengetahuan sehingga pekerjaan dapat
diselesaikan secara rasional.
c) Untuk mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kerja sama
dengan teman-teman pegawai dan pimpinan.

14
Pada umumnya disepakati paling tidak terdapat tiga bidang
kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan proses manajemen
Hersey dan Blanchart (1992: 5), yaitu:
a) Kemampuan teknis (technical and skill), kemampuan menggunakan
pengetahuan, metode, teknik, dan peralatan yang diperlukan untuk
melaksanakan tugas tertentu yang diperoleh dari pengalaman,
pendidikan dan training.
b) Kemampuan sosial (human atau social skill), kemampuan dalam
bekerja dengan melalui orang lain, yang mencakup pemahaman tentang
motivasi dan penerapan kepemimpinan yang efektif.
c) Kemampuan konseptual (conceptual skill) yaitu: kemampuan untuk
memahami kompleksitas organisasi dan penyesuaian bidang gerak unit
kerja masing-masing ke dalam bidang operasi secara menyeluruh.
Kemampuan ini memungkinkan seseorang bertindak selaras dengan
tujuan organisasi secara menyeluruh dari pada hanya atas dasar obsesi
ataupun tujuan kebutuhan keluarga sendiri.
B. Bencana Alam
1. Definisi Bencana Alam
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia definisi
bencana adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan
kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya
kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan
bantuan luar biasa dari pihak luar.
Sedangkan definisi bencana (disaster) menurut WHO adalah setiap
kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya
nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan
kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar
masyarakat atau wilayah yang terkena.
Bencana adalah situasi dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Tergantung pada cakupannya, bencana ini bisa merubah pola
kehidupan dari kondisi kehidupan masyarakat yang normal menjadi rusak,

15
menghilangkan harta benda dan jiwa manusia, merusak struktur sosial
masyarakat, serta menimbulkan lonjakan kebutuhan dasar (BAKORNAS
PBP).
Bencana adalah gangguan serius dari berfungsinya satu masyarakat,
yang menyebabkan kerugian-kerugian besar terhadap jiwa (manusia),
harta-benda, dan lingkungannya, yang melebihi kemampuan dari
masyarakat yang tertimpa bencana untuk menanggulanginya dengan hanya
menggunakan sumber-sumber daya masyarakat itu sendiri. (Lokakarya
Kepedulian Terhadap Kebencanaan Geologi dan Lingkungan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Goelogi ITB, 2004).
Definisi konvensional dari frasa bencana alam ialah ‘bencana yang
ditimbulkan oleh alam’. Penderitanya manusia, korbannya berupa harta
benda dan nyawa. Sekarang, pengertian bencana alam tidak selalu seperti
itu. Ada definisi tambahan untuk bencana alam, yaitu ‘bencana yang
disebabkan oleh manusia’. Penderitanya (pada tahap pertama) justru alam,
korbannya berupa kerusakan ekosistem alam. Derita yang dialami oleh
alam kemudian, pada gilirannya, dialami pula oleh manusia.
Bencana alam adalah konsekwensi dari kombinasi aktivitas alami
(suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor)
dan aktivitas manusia. Karena ketidakberdayaan manusia, akibat kurang
baiknya manajemen keadaan darurat, sehingga menyebabkan kerugian
dalam bidang keuangan dan struktural, bahkan sampai kematian. Kerugian
yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau
menghindari bencana dan daya tahan mereka. Pemahaman ini
berhubungan dengan pernyataan: "bencana muncul bila ancaman bahaya
bertemu dengan ketidakberdayaan". Dengan demikian, aktivitas alam yang
berbahaya tidak akan menjadi bencana alam di daerah tanpa
ketidakberdayaan manusia, misalnya gempa bumi di wilayah tak
berpenghuni.
Konsekuensinya, pemakaian istilah "alam" juga ditentang karena
peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa keterlibatan

16
manusia. Besarnya potensi kerugian juga tergantung pada bentuk
bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran, yang mengancam bangunan
individual, sampai peristiwa tubrukan meteor besar yang berpotensi
mengakhiri peradaban umat manusia.
Namun demikian pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi
(hazard) serta memiliki kerentanan/kerawanan (vulnerability) yang juga
tinggi tidak akan memberi dampak yang hebat/luas jika manusia yang
berada disana memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster resilience).
Konsep ketahanan bencana merupakan valuasi kemampuan sistem dan
infrastruktur-infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah & menangani
tantangan-tantangan serius yang hadir. Dengan demikian meskipun daerah
tersebut rawan bencana dengan jumlah penduduk yang besar jika
diimbangi dengan ketetahanan terhadap bencana yang cukup.
2. Jenis Bencana
Klasifikasi bencana biasanya didasarkan atas:
a) Penyebab kejadian bencana (secara alami atau karena ulah manusia).
b) Cepat-lambatnya kejadian bencana (perlahan-lahan atau tiba-tiba).
Bencana alam dimana faktor geologi sangat dominan biasa disebut sebagai
bencana alam geologi, diantaranya:
a) Gempa bumi (earthquake) dan tsunami
b) Letusan gunung berapi (vulcano)
c) Longsoran (landslide)
d) Penurunan tanah (land subsidence)
Usep Solehudin (2005) mengelompokkan bencana menjadi dua jenis,
yaitu:
a) Bencana alam (natural disaster) yaitu kejadian-kejadian alami seperti
kejadian-kejadian alami seperti banjir, genangan, gempa bumi, gunung
meletus, badai, kekeringan, wabah, serangga dan lainnya.
b) Bencana ulah manusia (man made disaster) yaitu kejadian-kejadian
karena perbuatan manusia seperti tabrakan pesawat udara atau

17
kendaraan, kebakaran, huru-hara, sabotase, ledakan, gangguan listrik,
ganguan komunikasi, gangguan transportasi dan lainnya.
Sedangkan berdasarkan cakupan wilayah, bencana terdiri dari:
a. Bencana Lokal
Bencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah sekitarnya
yang berdekatan. Bencana terjadi pada sebuah gedung atau bangunan-
bangunan disekitarnya. Biasanya adalah karena akibat faktor manusia
seperti kebakaran, ledakan, terorisme, kebocoran bahan kimia dan
lainnya.
b. Bencana Regional
Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area
geografis yang cukup luas, dan biasanya disebabkan oleh faktor alam,
seperti badai, banjir, letusan gunung, tornado dan lainnya.
3. Fase-fase Bencana
Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu
bencana, yaitu fase preimpact, fase impact dan fase postimpact.
a. Fase preimpact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana.
Informasi didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya
pada fase inilah segala persiapan dilakukan baik oleh pemerintah,
lembaga, dan warga masyarakat.
b. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah
saat-saat dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup
(survive). Fase impact ini terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan
bantuan-bantuan darurat dilakukan.
c. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan
dari fase darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali
pada fungsi komunitas normal. Secara umum dalam fase postimpact ini
para korban akan mengalami tahap respon psikologis mulai penolakan,
marah, tawar-menawar, depresi hingga penerimaan.

18
C. Manajemen Bencana
Sesuai dengan pemaparan terkait dengan bencana di atas, maka dibutuhkan
suatu manajemen yang tepat, dinamis, terpadu, dan berkelanjutan terkait
dengan penanggulangan bencana. Adapun demikian, untuk lebih jelasnya
digambarkan sebagai berikut:

Mitigasi Kesiapan Bencana Bencana Terjadi

Penyelamatan dan
Bencana

Rekonstruksi dan
Penataan Kembali

Rehabilitasi

Alur Manajemen Bencana


Keterangan:
1. Mitigasi adalah proses pengumpulan dan analisa data bencana sebagai
upaya untuk meminimalisir kerentanan dan bahaya terhadap negara.
2. Kesiapan Bencana adalah upaya memprediksi ataupun pemantauan
fenomena alam yang terjadi, guna persiapan tanda bahaya, berkaitan dengan
sistem evakuasi, serta sosialisasi kepada masyarakat.

19
BAB III
METODE PENGABDIAN

A. Keterkaitan Kegiatan
Pelatihan tanggap bencana gempa bumi suatu program pelatihan yang
nantinya mampu digunakan untuk mengantisipasi beralihnya rasa empati dan
kebersamaan masyarakat yang tidak sedang dirundung bencana (volunter),
menjadi antipati dan apatis. Melainkan lebih semangat lagi dalam membantu
sesamanya, terlebih didukung perasaan, bahwa diri seseorang sangatlah
dibutuhkan kehadiran dan bantuannya bagi orang lain yang sedang
mengalami bencana alam.
Pelatihan sebagai suatu kegiatan untuk meningkatkan kinerja saat ini dan
kinerja mendatang. Dalam kegiatan pengabdian masyarakat yang akan
dilakukan para peserta pelatihan di Desa Sri Kuncoro Kecamatan Pondok
Kepala Kabupaten Bengkulu Tengah dipandang sangat penting sehingga para
peserta mampu memberikan penanganan bencana yang komprehensif.
1. Persiapan Kegiatan (1 Bulan)
a. Penjajakan lokasi
b. Identifikasi pengetahuan tangap bencana gemba bumi
c. Persiapan alat dan bahan juga kuesioner
2. Pelaksanaan (2 bulan)
a. Koordinasi dengan pihak Narasumber
b. Mempersiapkan materi pembelajaran
c. Pelaksanaan pelatihan tangap bencana gemba bumi
3. Evaluasi Kegiatan (1 bulan)
a. Monitoring kegiatan para peserta pelatihan
b. Identifikasi mitra kerja sama

B. Rancangan Evaluasi
1. Teridentifikasi kegiatan tangap bencana gempa bumi

20
C. Jadwal Pelaksanaan

No Kegiatan Tempat Waktu


1 Penyunan Proposal STIKES Dehasen Juli
2 Seminar Proposal STIKES Dehasen Agustus

3 Perbaikan proposal STIKES Dehasen Agustus

4 Penjajakan lokasi Kecamatan Sri September


Kuncoro Bengkulu
Tengah
5 Pengurusan izin Linmas Bengkulu September
Tengah
6 Identifikasi Khalayak sasaran Kecamatan Sri
a. Kepengurusan perangkat desa Kuncoro Maret
b. Kegiatan perangkat desa
c. Pengetahuan tentang Gempa
Bumi
7 Pelaksanaan Kegiatan Kecamatan Sri
a. Menjalin Mitra Kuncoro September,
b. Menyusun Materi pelatihan Oktober,
c. Pelaksanaan pelatihan November
8 Evaluasi kegiatan Kecamatan Sri Desember
Kuncoro

9 Penyusunan laporan STIKES Dehasen Desember

10 Publikasi STIKES Dehasen Januari

D. Rancangan Anggaran Belanja

21
Rencana anggaran kegiatan (RAB) pengabdian kepada masyarakat
Pada Kelompok Masyarakat di Desa Sri Kuncoro Kecamatan Pondok
Kelapa Bengkulu Tengah sebagai berikut:

No Rincian Biaya
1 Alat Tulis Kantor Rp. 500.000,-
2 Biaya cetak modul pelatihan Rp. 950.000,-
3 Foto Copy kuesioner Rp 350.000,-
4 Konsumsi Khalayak Sasaran Rp. 350.000,-
5 Konsumsi Rapat Persiapan Rp 350.000,-
6 Transport Kegiatan Rp 500.000,-
Jumlah Rp. 3.000.000,-

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, (2006). Pengembangan Framework Untuk Mengukur Kesiapsiagaan


Masyarakat Terhadap Bencana Alam. LIPI-UNESCO/ISDR.

22
Anonim, (2002). Gempabumi dan Tsunami. Bandung: Direktorat Vulkanologi
Dan Mitigasi Bencana Geologi.
Anonim, Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.21 Tahun 2007 Tentang
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Letusan Gunung
Berapi Dan Gempabumi. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum,
Direktorat Jendral Penataan Ruang.
Anonim, Peraturan Pemerintah No 30 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Tinggi.
Anonim, Undang-Undang No.24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
Anonim, Undang-Undang No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta:Rineka Cipta.
BAKOSURTANAL, (2001). Peta Rupabumi Lembar Cimahi Skala :25.000.
Bogor : BAKOSURTANAL.
BAAK, (2011). Data Mahasiswa UPI Semester Ganjil Tahun Akademik
2010/2011. Bandung.
BMKG, (2010). Data 20Gempa Dirasakan Periode Januari-Maret 2010.
Tersedia:http/www.bmkg.go.id/bmkg_pusat/GempaDirakan.bmkg. .
Carter, W. Nick. (1992). Disaster Managment: a disaster manager’s handbook,
Manila: Asian Development Bank.
Coburn, A. W. Dkk. (1994). Mitigasi Bencana II. Program Pelatihan Manajemen
Bencana. Cambridge-United Kingdom: DHA-UNDP. Direktorat Geologi,
Bandung.
Dam, M.A.C. (1997). The Late Quaternary Evolution of the Bandung Basin,
West-Java, Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Bandung
Depsos RI, (2004). Pedoman Pemberdayaan Tenaga Kesejahteraan Sosial
Masyarakat Dalam Penanganan Korban Bencana. Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Sosial. Jakarta.
Hartono. (2010). Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana
Gempabumi Di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Skripsi Pada
Jurusan Pendidikan Geografi.tidak diterbitkan.

23
Kartono, (Rahmawati 2006). Pengertian
Mahasiswa.Tersedia:http://sutisna.com/artikel/artikel-kesehatan/pengertian-
mahasiswa. April 2011 Kent,
Rundolph. (1994). Kesiapan Bencana II. Program Pelatihan Manajemen Bencana.
DHA-UNDP.
Mistra, (2007). Membangun Rumah Tahan Gempa. Kreasi Membangun Rumah.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Nugroho, C. (2007). Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Mengantisipasi
Bencana Gempabumi Dan Tsunami Di Nias Selatan.
Pdf. Nugroho, Kharisma, (2009). Preparedness Assessment Tools For Indonesia
(PASTI). Jakarta: Humanitarian Forum Indonesia dan MDMC.
Rafi’i, Suryatna. (1995). Ilmu Tanah, Bandung: Angkasa.
Rafi’i, Suryatna. (1995). Meteorologi dan Klimatologi. Bandung : Angkasa
Reed, Sheila. B. (1995). Pengantar Tentang Bahaya III. Program Pelatihan
Manajemen Bencana.
DHA-UNDP Sadisun, Imam, A. (2006). Smart SOP Dalam Mitigasi dan
Penanganan Bencana Alam. Bandung Pusat Mitigasi Bencana-ITB.

24

Anda mungkin juga menyukai

  • Proposal PHBS
    Proposal PHBS
    Dokumen20 halaman
    Proposal PHBS
    YeônIê Yohíê Viërrã
    Belum ada peringkat
  • Soal Ukom Gadar
    Soal Ukom Gadar
    Dokumen10 halaman
    Soal Ukom Gadar
    YeônIê Yohíê Viërrã
    Belum ada peringkat
  • Proposal Jiwa
    Proposal Jiwa
    Dokumen54 halaman
    Proposal Jiwa
    YeônIê Yohíê Viërrã
    Belum ada peringkat
  • Proposal Penyakit Scabies
    Proposal Penyakit Scabies
    Dokumen16 halaman
    Proposal Penyakit Scabies
    YeônIê Yohíê Viërrã
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen57 halaman
    Bab I
    YeônIê Yohíê Viërrã
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen8 halaman
    Kata Pengantar
    YeônIê Yohíê Viërrã
    Belum ada peringkat
  • PROPOSAL
    PROPOSAL
    Dokumen59 halaman
    PROPOSAL
    YeônIê Yohíê Viërrã
    Belum ada peringkat