Anda di halaman 1dari 31

BAB V

SEJARAH KESULTANAN MELAYU DI ACEH, RIAU


A. Kerajaan Aceh
Aceh yang secara geografis terletak di utara pulau Sumatera,
dipandang sebagai daerah pertama yang menerima Islam di Nusantara.
Konon kerajaan Islam Perlak telah berdiri sejak abad ke-9 M. Kerajaan
Islam berikutnya adalah Samudera Pasai yang berdiri sejak akhir abad
ke13M. H.J. deGraaf dan Denys Lombard dengan mengutip Tome Pires
menyebutkan bahwa sultan pertama kerajaan Aceh adalah Ali Mughayat
Syah . Tidak diketahui kapan ia naik tahta kerajaan ini. Ia digambarkan
oleh Tome Pires sebagai seorang raja Muslim yang gagah perkasa yang
berhasil menggabungkan beberapa pelabuhan dagang di bawah
kekuasaannya. Pada masa pemerintahannya, Ali Mughayat Syah
meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang bekerjasama
dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan
kemenangannya terhadap dua kerajaan tersebut, ia dengan mudah dapat
melebarkan sayap kekuasaannya ke Sumatera Timur. 1 Keberhasilannya
dalam menguasai beberapa wilyah dan menggabungkannya menjadi
kesultanan Aceh Darussalam itulah menyebabkan ia dianggap sebagai
pendiri kekuasaan Aceh sesungguhnya.
1. Kedatangan dan Penetrasi Islam
Dalam sejarah dan tradisi Aceh, pusat kekuasaan didirikan dan
diyakini sebagai diberi dasar oleh Islam. Dengan kata lain, Islamlah
yang memberi dasar bagi adanya pusat kekuasaan itu; Islam
berkembang seiring dengan berdirinya kerajaan itu. Ini berbeda dengan
Malaka, Makasar dan kota-kota pantai lainnya, dimana proses
islamisasi di pusat kerajaan terjadi ketika pedagang Islam yang
menguasai kehidupan kota berhasil menarik “raja yang kafir” untuk
masuk Islam.

1
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607- 1636), (Jakarta: Balai
Pustaka, 1986), hlm. 49-50. Lihat juga Badri Yatim, Op.cit., hlm. 208-209.
Kesultanan Aceh Darussalam didirikan atas dasar Islam; Islamlah
yang menjadi dasar bagi adanya kekuasaan kesultanan itu. Dengan
demikian penguasa kesultanan Aceh tidaklah terjerat oleh keharusan
untuk melanjutkan sistem dan tradisi lama, melainkan mendapatkan
kesempatan untuk merumuskan tradisi baru yang relatif terlepas dari
keharusan doktrin dan kenyataan sosial yang ada sebelumnya.
Demikinlah, sementara definisi keIslaman diperteguh, dengan mencapai
puncaknya pada abad ke-17, pengaturan sistem kekuasaan yang
relevanpun dirintis pula. 2 Kesultanan Aceh Darussalam merupakan
sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia.
KesultananAceh terletak di utara pulau Sumateradengan ibu kota
Bandar Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali
Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau
pada tanggal 8 September 1507 (Ashsubli, 2018)
Sultan yang terkenal dari Kerajaan Islam Lamuri adalah Sultan
Munawwar Syah. Sultan inilah yang kemudian dianggap sebagai
moyangnya Sultan Aceh Darussalam yang terhebat, yakni Sultan
Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15, dengan terjalinnya suatu
hubungan baik dengan kerajaan tetangganya, maka pusat singgasana
Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Mahkota Alam, yang dalam
perkembangannya menjadi Kesultanan Aceh Darussalam. (Sufi dan
Rusdi Wibowo, 2006). Di masa pemerintahan sultan iskandar muda,
terjadi penaklukan kerajaan dikawasan tanah semenanjung melayu yang
di mulai dari pahang untuk menguasai sumber timah. Pada 1629, aceh
menyerang portugis di malaka dengan armada terdiri dari 500 buah
kapal perang dan 60.000 orang tentara laut. Pada tahun yang sama aceh
merebut kedah dan membawa banyah orang melayu kedah ke aceh.
Kerajaan perak juga mereka kuasai, (Sufi. Rusdi Wibowo, 2006).

2
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, Edisi pertama, cetakan ke-1. (Pekanbaru, Riau:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau, 2014). Hlm 38
Kedatangan Islam membawa pengaruh besar di Aceh, terutama
dalam bidang bahasa maupun kesasasteraan, hal ini dikarena
sumbangan agama Islam dalam pembentukan dan perkembangan
bahasa Melayu sangat besar, yaitu dengan meningkatnya taraf sebagai
alat pengucapan intelektual dan sekaligus sebagai “Lingua Franca”
untuk berhubungan dengan berbagai-bagai suku bangsa di Aceh.
Bahasa Melayu muncul sebagai bahasa pengantar bahkan sebagai
bahasa sarjana dan para cendekiawan yang terkemuka. Sejajar dengan
pengangkatan taraf bahasa Melayu itu ialah pengenalan abjad Arab
Jawoe (Jawi), dan melalui abjad Arab barulah bahasa Melayu menjadi
sebagai bahasa sastra yang populer (Abdullah, 1990).
2. Interkulturalisme Bahasa Melayu Dalam Hikayat Raja- Raja Pasai
Bahasa merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan, dan
dianggap sebagai salah satu unsur yang paling mudah dikenali sebagai
penanda suatu kebudayaan, karena dalam kehidupan sehari-hari unsur
budaya inilah yang biasanya akan langsung diketahui ketika seseorang
akan masuk dalam lingkungan sosial yang baru, dalam suatu
masyarakat baru. Begitu halnya dengan bahasa melayu, Bahasa Melayu
merupakan Lingua Pranca di wilayah Nusantara yang digunakan oleh
masyarakat sebagai bahasa perantara untuk berkomunikasi antar
berbagai suku dan bangsa-bangsa asing lainnya.
Sastra sebagai salah satu penanda kebudayaan juga relatif mudah
diketahui karena sastra menggunakan media bahasa yang kemudian
dituliskan, misalnya seperti naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa
melayu, naskah sebagai sumber penelitian bahasa dan sastra yang
terkandung di dalamnya sumber berbagai bahasa daerah, Arab, Melayu,
Parsi dan lainnya. Karya sastra adalah refleksi pengarang tentang hidup
dan kehidupan yang dipadu dengan gaya imajinasi dan kreasi yang
didukung oleh pengalaman dan pengamatannya atas kehidupan tersebut
(Djojosuroto,2006).
Hakikat karya sastra adalah bercerita yang merupakan bentuk dari
hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan
kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya
(Djojosuroto,2006). Karya sastra merupakan refleksi dari fenomena-
fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu,
keberadaannya merupakan suatu hal yang penting dan sudah menjadi
keseharian dalam masyarakat, baik itu sebagai kebutuhan maupun
hanya sekedar sebagai hiburan. Bahasa Melayu juga dijadikan sebagai
bahasa resmi atau bahasa ilmu pengetahuan di Aceh dan mengalami
perkembangan yang sangat pesat sehingga pada saat itu bahasa Melayu
dijadikan sebagai bahasa tulisan. Perkembangan bahasa Melayu di
Aceh bermula dari bahasa Melayu-Pasai (Jawi-Pasai/Jawoe) ke bahasa
Melayu Aceh Darussalam sedangkan pengenalan dengan bahasa dan
huruf Arab sejak Islam masuk ke Aceh, yaitu sekitar abad ketujuh
Masehi. Ketika kerajaan Samudra Pasai ditaklukkan oleh kerajaan Aceh
pada tahun 1524, kerajaan Melayu Pasai berpindah ke Bandar Aceh
Darussalam Ibukota kerajaan Aceh, dan semakin memperkuat
kedudukan bahasa Jawi dalam kerajaan (Lestari, 2002).
Dalam sejarah sastra Aceh, konstribusi bahasa melayu tak dapat
dipungkiri telah membawa pengaruhnya besar terhadap kemunculan
sastra di di Aceh. Hampir semua karya sastra dipengaruhi dan ditulis
dengan bahasa melayu. Di sini dapat kita lihat bahwa terjadinya proses
interkulturalisme pada bahasa melayu di mana bahasa melayu dapat
diterima dengan baik di dalam masyarakat Aceh, bahkan Bahasa
Melayu dipergunakan oleh kerajan-kerajan Pasai dan Aceh Darussalam
untuk kepentingan penyebaran agama dan kebudayaan Islam. Hal ini
dapat dibuktikan dengan berkembangnya karya sastra pada masa
kerajaan Aceh Darussalam, dan bahasa Melayu menjadi bahasa resmi
kerajaan Aceh Darussalam pada masa itu, sehingga segala peraturan
negara seperti undang-undang yang terkenal dengan “Adat Bak
Potemoreuhom” ditulis dalam bahasa Melayu (Hanafiah,1993).
Tulisan jawi yang banyak digunakan dalam naskah-naskah kuno
adalah tulisan Arab yang dalam penggunaanya digunakan untuk
menulis bahasa Melayu. Karya sastra Melayu baik hikayat maupun
naskah-naskah ditulis dalam bahasa Melayu, bahkan surat- surat raja,
dan tulisan-tulisan lain pada masa itu ditulis dalam bahasa Melayu
(Kaoy, 1988).
a. Proses Interkulturalisme Bahasa Melayu
Interkulturalisme berbeda dengan multikulturalisme dalam
konteks hubungan antar budaya. Interkulturalisme mengacu pada
bagaimana budaya yang satu mereaksi budaya yang lain, yaitu
bagaimana berbagai budaya yang berbeda dapat dipahami, dinilai,
diterima atau ditolak dalam satu perpekstif dan tindakan budaya
tertentu (penulisan sastra), sedangkan multikulturalisme mengarah
pada politik kebudayaan untuk saling menghormati dan
menghargai perbedaan baik secara individu maupun
kemasyarakatan (Salam, 2010).
Salam (2010) menyebutkan ada beberapa sudut pandang
tentang interkulturasi dan interkulturalisme,yaitu sebagai berikut :
1) Memandang karya sastra sebagai produk interkultur dari proses
interkultur yang dialami oleh pengarang.
2) Melihat teks sastra sebagai medan tekstual bagaimana secara
intrinsik budaya-budaya yang berbeda diposisikan, dikelola,
dinilai dan kemudian dinarasikan yang hal ini terjadi jika dalam
karya tersebut terdapat berbagai karakter (tokoh-tokoh) yang
berasal dari budaya ataupun setting yang berbeda.
3) Menempatkan karya sebagai satu karya etnografis tertentu
sebagai satu tulisan persentuhan antar budaya, antara
pengarang dan budaya tertentu, misal penulis batak yang
menulis tentang masyarakat sumbawa.
4) Memandang mekanisme sastra dan interkultur sebagai upaya
mengkaji dan menafsirkan karya sastra dalam perspektif
budaya penafsir, misalnya bagaimana orang Jawa membaca
karya sastra Bugis atau Sunda dan sebagainya.
Bahasa merupakan salah satu situs penting interkulturasi,
termasuk tidak mengeluarkan seseorang dari basis kulturalnya
(Salam, 2010). Menurut Aprinus Salam ada tujuh katagori
mekanisme interkulturasi yaitu mekanisme
1) Nasehat Dan Ideologisasi,
2) Migrasi, Akulturasi, Dan Asimilasi,
3) Pelatihan Dan Pendisiplinan,
4) Teknologisasi Dan Industialisasi,
5) Bertambahnya Pengalaman,
6) Konflik Dan Kekerasan, Dan
7) Persuasi Kesenian Munculnya Bahasa Melayu Di Aceh
Merupakan Sebuah Proses Interkulturalisasi.
Sejarah munculnya bahasa melayu di Aceh bersamaan
dengan munculnya kebudayaan Islam yang masuk ke Aceh,
sehingga mengalami akulturasi dengan budaya lokal. Bahasa
Melayu dibawa oleh orang-orang Melayu yang setelah masuknya
Islam ke Nusantara dijadikan sebagai “Lingua Franca”, bahasa
Melayu sebelum kedatangan Islam tidak mempunyai huruf yang
khusus, akan tetapi setelah datangnya Islam bahasa Melayu
mempunyai huruf / tulisannya sendiri yang ditulis dengan tulisan
Jawi atau huruf Arab Melayu.3 Disebut dengan Huruf Jawi, karena
orang Arab menamakan gugusan kepulauan nusantara ini dengan
“Kepulauan Jawa” akhirnya huruf Arab yang telah menjadi huruf
bangsa-bangsa yang mendiami pulau Nusantara/ Melayu
dinamakan dengan “Tulisan Jawi” atau “Huruf Arab Melayu”
(Said, 1985)

3
Tabrani. ZA. (2014). Islamic Studies dalam Pendekatan Multidisipliner. Jurnal Ilmiah
Peuradeun, 2(2), 211-234.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
interkulturalisasi bahasa melayu terhadap relasi-relasi antara
budaya tersebut diantaranya :
1) Faktor agama, yaitu untuk penyebaran agama dan kebudayaan
Islam. Islam disebarkan dengan menggunakan bahasa melayu,
karena untuk mudah memahami bahasa lokal yaitu bahasa Aceh
itu sendiri.
2) Faktor ekonomi, Bahasa Melayu merupakan bahasa yang
digunakan sebagai perantara untuk berdagang.
3) Faktor politik, yaitu untuk berkomunikasi dan untuk menjalin
kerja sama dengan pemerintah-pemerintah atau kerajaan Aceh,
dan melalui bahasa melayu bisa mengetahui bagaimana
masyarakat, bangsa atau Negara tertentu.
Bahasa Melayu bukan saja sudah berkembang sejak lama di
Aceh, tetapi peranannya cukup besar dalam pengembangan budaya
Melayu di dunia Melayu di Aceh terutama pada abad ke-17 bahasa
Melayu dipergunakan sebagai bahasa resmi istana, bahasa ilmu
pengetahuan, bahasa pengantar pengajaran, bahasa pengucapan
perasaan, bahasa perhubungan antar wilayah kerajaan, bahasa surat
menyurat dan bahasa Diplomasi. 4 Bahasa Melayu juga
dipergunakan oleh kerajaan-kerajaan Pasai dan kerajaan Aceh
untuk kepentingan penyebaran agama dan kebudayaan Islam,
(Djajaninggrat, 1981)
b. Pengaruh Bahasa Melayu Dalam Sastra Aceh
Bahasa Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawo itu tetap
digunakan sebagaimana halnya dikerajaan Samudera Pasai sehingga
mampu menterjemahkan kitab-kitab tasawuf dan juga digunakan
dalam penulisan surat-menyurat, buku-buku kesasasteraan yang ada
sekarang dan juga dijadikan sebagai bahasa pengantar antara

4
Tabrani. ZA. (2014). Islamic Studies dalam Pendekatan Multidisipliner. Jurnal Ilmiah
Peuradeun, 2(2), 211-234.
berbagai daerah Indonesia dengan kerajaan Aceh dan bahasa
pengantar di pesantren-pesantren bahasa jawilah yang dipergunakan
terutama di pesantrenpesantren besar yang dikunjungi oleh murid-
murid dari berbagai daerah Indonesia. 5 Bahasa Melayu sudah dipakai
oleh rakyat Aceh sejak zaman dulu dan merupakan bahasa tulisan di
Aceh. Berbagai buku-buku penting ditulis dengan aksara Jawi
berbahasa Melayu tinggi seperti HRP. Di dalam bahasa Aceh sendiri
banyak sekali pengaruh bahasa Melayu meskipun diucapkan dengan
logat Aceh. Banyak peninggalan orang Aceh dulu ditulis dalam
bahasa Melayu dan sangat sedikit yang ditulis dalam bahasa Aceh.
HRP merupakan karya besar pertama di Aceh yang ditulis dalam
bahasa melayu merupakan karya sastra bersifat sejarah tertua
(Ahmad, 1972).
Bahasa Melayu mempunyai peranan penting yang digunakan
sebagai bahasa resmi kerajaan Aceh pada masa dulu dan juga
dijadikan sebagai bahasa penghubung, bahasa sastra dan bahasa ilmu
pengetahuan. Tak hanya itu bahasa melayu dapat dijadikan sebagai
sarana berkomunikasi untuk mengatasi masalah dalam masyarakat
dankebudayaa kebudayaan secara lebih universal. Oleh karena itu
HRP bukan lagi menjadi maksud itu sendiri, melainkan dapat
melahirkan persoalan kebudayaan yang dapat menjadi sebagai isu
strategis dalam proses-proses pengembangan kebudayaan.6
3. Runtuhnya Kesultanan Aceh Darussalam
Aceh mulai mengalami kemunduran setelah Sultan Iskandar Tsani
berpulang ke rahmatullah. Sebagai penggantinya, beberapa orang
sultanah (pemimpin wanita) menduduki singgasana pada tahun 1641-
1699. Mereka adalah Sultanah Safiat Al-din, Sultanah Nakiyat Al-Din,
Sultanah Zakiyat al-Din, dan Sultanah Kamala al-Din. Kepemimpinan

5
Tabrani. ZA. (2014). Islamic Studies dalam Pendekatan Multidisipliner. Jurnal Ilmiah
Peuradeun, 2(2), 211-234.
6
Yulsafli, Y. (2016). Reduplication in The Local Language Pak-Pak Boang Subulussalam
City, Aceh Province, Indonesia. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 4(1), 77-88.
para sultanah ini mendapat perlawanan dari kaum ulama yang berujung
dengan datangnya fatwa dari Mufti Besar Mekah yang menyatakan
keberatannya akan kepemimpinan wanita. Kemunduran kesultanan
Aceh selain disebabkan oleh faktor internal juga sangat dipengaruhi
oleh faktor eksternal. Sejak awal abad ke-16, kesultanan Aceh
terlibatperebutan kekuasaan yang berkepanjangan, pertama dengan
Portugis, lalu sejak abad ke-18 dengan Inggris dan Belanda.
Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di
Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Inggris.
Melalui Anglo-Dutch Treaty pada tahun 1824, Inggris dan Belanda
menetapkan demarkasi bagi wilayah pengaruh mereka di kepulauan
Melayu. Inggris mengklaim bahwa Aceh adalah wilayah jajahan
mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Inggris
membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh. Aceh kemudian terlibat
perang berkepanjangan, namun demikian Aceh tidak pernah dapat
ditaklukkan secara total oleh Belanda. Sehingga saat Indonesia merdeka
tahun 1945, Aceh masih tetap menjadi sebuah negara yang berdaulat.7
4. Kejayaan Ekonomi, Politik, dan Agama
Pendapat senada juga dikemukakan oleh A.H. Johns bahwa Aceh
adalah negara kota Islam terpenting di dunia Melayu antara abad ke-15
dan 17 di samping Malaka. Kemajuan kesultanan Aceh mencapai
puncak kejayaannya pada abad ke-17. Hal ini agaknya sangat
terpengaruh oleh kemunduran kerajaan Malaka yang mengalami
pendudukan orang-orang Portugis. Antara lain karena , karena
saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya berdagang dengan Malaka
memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai
Portugis (1511 M).
Ketika Malaka jatuh tahun 1511, daerah pengaruhnya di Sumatera
mulai melepaskan diri. Di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah

7
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, Edisi pertama, cetakan ke-1. (Pekanbaru, Riau:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau, 2014). Hlm 53-54
(1511-1530), Aceh mulai melebarkan kekuasaannya ke daerah
sekitarnya. Pada puncak kemegahannya, hegemoni politik kesultanan
ini mencapai pesisir barat Minangkabau dan mencakup Pedir, Pasai,
Perlak, Deli, Johor, Kedah, Pahang, dan lain-lain. Aceh menjadi pusat
perkembangan sebuah kerajaan maritim yang perkasa yang sangat
Islami dan mandiri dalam perdagangan. 8
Posisi Aceh pada abad ke-16 diakui di dunia Islam secara
internasional, Dengan jalinan persahabatan itu, Turki Usmani
membantu Aceh tidak hanya di bidang militer tetapi juga di bidang
politik yang diindikasikan melalui pengakuan terhadap Aceh sebagai
bagian dari khilafah Islam. Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan
makmur pada masa itu. Aceh dikenal memiliki sumber daya alam yang
kaya. Aceh juga menempati letak strategis dengan posisinya sebagai
pusat pelabuhan dagang dan jalur transportasi dengan negaranegara
lain. Letak strategis pusat pemerintahan kesultanan Aceh Darussalam
ditambah lagi oleh kekayaan sumber daya alamnya telah pula
menghantarkannya menjadi negara kota yang makmur dan sejahtera. 9
Dari aspek pengembangan agama Islam, peran Aceh tak dapat
diabaikan. Seiring dengan kemajuan dan kemakmurannya dalam bidang
ekonomi, politik dan budaya, maka perkembangan pemikiran
keagamaan serta penyebaran dakwah Islampun semakin meningkat.
Kemajuan kerajaan Aceh dalam bidang agama ditandai dengan
munculnya Aceh sebagai kiblat pengajaran Islam. Selain itu, Aceh
berperan pula sebagai pintu gerbang ke tanah suci bagi para penziarah
dan pelajar jawiyang menuju ke Mekah, Madinah dan pusat-pusat
pengetahuan di Mesir serta bagian-bagian lain dari kesultanan Turki,
Sehingga tak heran bila Aceh dijuluki sebagai ‘Serambi Mekah’. Peran

8
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1983), hlm. 32.
9
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, Edisi pertama, cetakan ke-1. (Pekanbaru, Riau:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau, 2014). Hlm 42
ini membuat Aceh berhubungan erat dengan kota-kota pelabuhan
Muslim yang lain di Nusantara. Selain itu peran Aceh yaitu sebagai
tempat pertemuan ulama dan intelektual Muslim dari berbagai Dunia
Melayu dan Muslim dari Timur Tengah.
Dilihat dari pelaksanaan doktrin hukum Islam, serta pengaruh
politik agama ini dalam sistem dan struktur kesultanan, dapat
disimpulkan bahwa kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah
bentuk “negara Islam” ( Islamic State). Dalam sistem pemerintahan,
terdapat jabatan Kadhi Malikul Adil yang harus dijabat oleh ahli hukum
agama. Selain itu, kedudukan ulama walau tidak menjadi bagian dari
struktur kekuasaan yang utama-tetapi mempunyai peran yang dominan
dalam menentukan kebijakan-kebijakan pemerintah karena perannya
sebagai penasehat sultan. Di masa sultan Iskandar Tsani, para ulama
besar mulai meletakkan dasar bagi corak pengaturan sosial. 10
Jika di kampung, kepala desa dianggap ayah, sementara imam
meunasah harus dianggap ibu, maka pada tingkat kesultanan dikenal
aturan “adat bok poteu meureuhom; hukom bok Syiah Kuala”–
kekuasaan adat ada di tangan sultan, ketentuan hukum (keagamaan) ada
di tangan Syiah Kuala. Dengan demikian dapat dipertimbangkan
apakah suatu putusan sah atau tidak menurut pandangan agama,
sehingga pengaruh Islam sangat besar sekali pada adat istiadat Aceh.
Keduanya bahkan telah menyatu sedemikian rupa sehingga ada pepatah
yang berbunyi “Hukom ngo Adat lagee Zat ngo sipheuet” (Hukum
dengan adat seperti benda dengan zatnya, tidak terpisah).11 Di zaman ini
terutama, ulama-ulama besar Aceh menghasilkan karya-karya besar
yang mondial yang selanjutnya mempengaruhi pemikiran Islam di
seluruh nusantara.

10
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, Edisi pertama, cetakan ke-1. (Pekanbaru, Riau:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau, 2014). Hlm 45-46
11
Hamdalah. Mattulada dkk., Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm. 6.
5. Ulama Besar Aceh
Dalam sejarahnya Aceh pernah menjadi center ilmu pengetahun di
Asia Tenggara yang melahirkan nama-nama para intelektual Muslim
atau ulama-ulama terkenal yaitu
a. Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri adalah seorang sufi terkemuka, sastrawan
besar, pengembara dan ahli agama. Dia dilahirkan di tanah Fansuri
atau Barus, dan diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16
dan 17M. Hamzah Fansuri mempelajari tasawuf setelah menjadi
anggota tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir
Jailani dan di dalam tarekat ini pula ia dibai’at.
Ada tiga risalah tasawuf karangan Al-Fansuri yang dijumpai,
yaitu Syarab al-‘Asyiqin, (Minuman orang Birahi), Asrar al-Arifin
(Rahasia ahli Ma’rifat) dan al-Muntahi. Selain itu juga dijumpai
tidak kurang dari 32 ikatan-ikatan atau untaian syair yang
digubahnya. Syair-syairnya dianggap sebagai ‘syair Melayu’
pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu. Begitu pula karyanya
Syarb al-Asyiqin, oleh al-Attas dianggap sebagai risalah keilmuan
pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu baru. Kedudukan Al-
Fansuri sebagai Syekh al-Islam di Kesultanan Aceh, memungkinkan
mereka untuk menguasai kehidupan religio-intelektual kaum Muslim
kesultanan Aceh dan menyebar-luaskan faham ‘wujudiyah’ ini
sebelum kedatangan ar-Raniri. 12
b. Syamsuddin Al-Sumatrani
Syamsuddin al-Sumatrani ia juga memegang jabatan sebagai
penasehat agama di kesultanan Aceh. Syamsudin termasuk dalam
aliran pemikiran keagamaan yang sama dengan Hamzah, yaitu sama-
sama pendukung faham wahdat al-wujud. Seperti Hamzah,
Syamsudin adalah penulis produktif dan menguasai beberapa bahasa.

12
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII, hlm. 167
Dia menulis dalam bahasa Melayu dan Arab, dan sebagian besar
karya-karyanya berkaitan dengan kalam dan tasawuf.
c. Naruddin Ar-Raniri
Sebelum kedatangan ar-Raniri merupakan masa di mana Islam
mistik, terutama dari aliran Wujudiyah berjaya, bukan hanya di Aceh
tetapi juga di banyak bagian wilayah Nusantara. Setelah kedatangan
Nuruddin ar-Raniri, muncul gerakan-gerakan pembaharuan tasawuf
yang hasilnya adalah munculnya suatu bentuk tasawuf yang
diistilahkan dengan neo-sufisme, yaitu suatu bentuk tasawuf yang
merekonsiliasi (memadukan) dan mengharmoniskan antara syariat
dan tasawuf.
Ar-Raniri hidup selama tujuh tahun di Aceh sebagai seorang
alim, mufti dan penulis produktif. Menurut berbagai sumber, dia
menulis tidak kurang dari 29 karya. Di antara karyanya yang paling
banyak ditelaah adalah Al-Shirat Al-Mustaqim. Karya-karyanya
banyak membicarakan tentang tasawuf, kalam, hadis, fiqih, hadis,
sejarah, dan perbandingan agama. kedudukan Ar-Raniri dalam
sejarah pembaharuan Islam Indonesia tidaklah dapat dipandang
remeh, setidak-tidaknya ia yang hanya beberapa tahun menetap di
Aceh berhasil menyalakan sumbu pembaharuan, yang dalam
beberapa dasawarsa selanjutnya telah membakar dan merangsang
dinamika pemikiran Islam bukan hanya di kawasan Nusantara, tetapi
juga di Timur Tengah, tatkala al-Singkili membawa persoalan
radikalisme pembaharuan ar-Raniri kepada gurunya, Ahmad al-
Qushasi dan Ibrahim al-Kurani di Haramayn (Mekah & Madinah).13
d. Abdurrauf Al-singkili
Al-Singkili hidup dalam enam periode kesultanan Aceh:
Sultan Iskandar Muda, Iskandar Tsani, Sultanah Safiat al-din,
Sultanah Nakiyat al-Din, Sultanah Zakiyat al-Din, dan Sultanah

13
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, Edisi pertama, cetakan ke-1. (Pekanbaru, Riau:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau, 2014). Hlm 49-50
Kamala al-Din. Pada masa 4 Sultanah inilah alSingkili menjabat
sebagai mufti, (syekh Islam). Posisi Al-Singkili sebagai seorang alim
dan mufti dari sebuah kesultanan yang besar seperti Aceh, yang
pernah belajar di Mekah dan Madinah, mempunyai hubungan
dengan beberapa ulama dari berbagai negara, serta menjadi khalifah
tarekat Syattariyah.
Pengaruh Al-Singkili melampaui negeri asalnya (Aceh). Hal
ini dikarenakan Aceh menjadi tempat pemukiman sementara bagi
para jamaah haji maupun pelajar yang belajar ke Haramayn ketika
mereka menuju atau kembali dari Arab. Dengan demikian mereka
menjadi akrab dengan pemikiran yang berkembang di Aceh saat itu
yaitu pemikiran Islam yang menekanakan ortodoksi. Dan ini dapat
menolak pengaruh ekses-ekses liar mistisisme heterodoks ( bid’ah).
Al-Singkili juga seorang penulis yang produktif. Dialah orang
pertama yang menulis tafsir lengkap al-Quran dalam bahasa Melayu
dengan judul Tarjuman al-Mustafid. Dia jugalah orang pertama di
wilayah Melayu-Indonesia yang menulis mengenai fiqh Muamalah.
Melalui karyanya, Mirat al-Thullab, dia menunjukkan kepada kaum
Muslim Melayu bahwa doktrin-doktrin hukum Islam tidak terbatas
pada ibadah saja tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan
sehari-hari mereka.
Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar
menjadi perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga
negarayang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan
yaitu:
a. Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan,
tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan
untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
b. Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang
bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan
pengajaran.
c. Balai Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi
tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran
membahas persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang
datang ke Aceh, serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat
dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi Islam. Karena
faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya.
Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam,
(Ashsubli, 2018)
Proses belajar di Aceh diawali dengan jenjang pendidikan
enjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali
pendidikan terendah Meunasah (Madrasah), yang berarti tempat
belajar atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai
multi fungsi antara lain:
a. Sebagai tempat belajar Al-Qur’an
b. Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu
menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu,
akhlak dan sejarah Islam.
c. Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampong
d. Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca Al-Qur’an di
bulan puasa.
e. Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
f. Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri
atau bulan puasa
g. Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara
anggota kampung.
h. Tempat bermusyawarah dalam segala urusan
i. Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya
orang segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah
dan mengetahui arah kiblat sholat.
B. Kesultanan Riau
Riau adalah salah satu propinsi yang ada di Indonesia dengan pusat
pemerintahannya kota Pekanbaru. Riau terletak di bagian tengah pulau
Sumatera dan dan dibagian tengah pantai timur Pulau Sumatera. Secara
etimologis terdapat bermacam-macam pendapat tentang asal kata Riau.
Pertama diprediksikata Riau berasal dari penamaan orang Portugis dari
kata rio yang berarti sungai misalnya Rio de Janairo artinya Sungai
Januari. Di Pulau Bintan ada sebuah sungai yang bernama Sungai Rio
yang lama kelamaan berubah sebutan masyarakat menjadi Sungai Riau.
Menurut Hussein, Bahasa Melayu pada masa kejayaan Kerajaan
Melayu di Malaka, Pasai dan Aceh, digunakan untuk menyusun dan
menggubah karya sastra. Karya sastra yang dihasilkan di istana umumnya
berupa sastra tulis dan yang tergolong sastra rakyat berupa sastra lisan.14
Penduduk Riau sebagian besarnya adalah masyarakat Melayu karena
Kerajaan Melayu Riau-Lingga yang berpusat di wilayah Riau sangat
mendominasi pada masa lalu.
1. Sejarah Berdirinya Kerajaan Melayu Riau-Lingga
Di abad ke-16 dan 17 terdapat dua Kerajaan yang berpengaruh di
Riau, yaitu Aceh dan Bugis. Pergaduhan dengan Aceh terlalu banyak
untuk disebut satu persatu. Sedangkan campur tangan Bugis pertama
terjadi pada tahun 1679 atas undangan Sultan Ibrahim yang diusir dari
Johor dan lari ke Riau.Berdirinya kerajaan Riau Lingga tidak terlepas
dari peranan Belanda dan Inggris yang ikut campur dalam konflik
internal keluarga kerajaan Riau Johor. Pada tahun 1811, Sultan Johor,
Mahmud Syah III wafat, dan putranya Husin sedang tidak berada di
Johor. Maka naiklah Abdul Rahman Muadzam Syah, adik tiri Husin
sebagai sultan dengan dukungan Belanda, dan sempat berkuasa selama
hampir tujuh tahun, yakni hingga 1819.

14
Hussein (penyelenggara), Tamadun Melayu, Jilid 2. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1989, hlm.10
Kesultanan Melayu Riau-Lingga pada awalnya menjadi satu
dengan Kesultanan Johor di Malaka. Namun, setelah terjadi perjanjian
antara Belanda dan Inggris yang disebut juga Traktat London, dalam
perjanjian ini wilayah kekuasaan dari Kesultanan Melayu Johor-Riau-
Lingga-Pahang terbagi menjadi dua wilayah, yaitu sebagian wilayah
masuk ke dalam pemerintahan Inggris di Semenanjung Malaka sampai
Temasek atau yang sekarang disebut Singapura dan sebagian wilayah
lainnya masuk ke dalam pemerintahan Belanda. Perjanjian Inggris-
Belanda tahun 1824 itu, secara politis menyebabkan kedudukan
Kerajaan Riau Lingga semakin merosot, karena lepasnya beberapa
wilayah kekuasaannya. Kemudian berubah menjadi Kawasan yang
masuk ke wilayah pendudukan pemerintahan Belanda ini disebut
dengan nama Kesultanan Melayu Riau-Lingga.15
Pada tanggal 3 Pebruari 1911, sultan diberhentikan secara in
absentia oleh Belanda dengan alasan telah melanggar Politiek Contract
tahun 1905, kesultanan Riau-Lingga masih berada di bawah wilayah
kekuasaan Kesultanan Johor. Oleh sebab itu, Kesultanan ini masih
menghadapi masalah perebutan tahta di Kerajaan Melayu Riau-Lingga.
Perebutan kekuasaan terjadi seletah wafatnya Sultan Mahmud Syah III
di tahun 1812, pukulan selanjutnya terhadap prestise pemerintahan
Riau-Lingga tepatnya tahun 1913, ketika Kerajaan Riau Lingga secara
resmi dibubarkan oleh Belanda. Peristiwa yang terakhir inilah yang
menamatkan cerita tentang kerajaan Riau-Lingga. 16
2. Perkembangan Kesultanan Riau-Lingga
Pada awal terbentuknya Kesultanan Riau-Lingga, sultan masih
berusaha untuk menghadapi pihak pemerintahan Hindia-Belanda.
Berbagai perlawanan dilakukan agar Belanda tidak dapat menguasai

15
Hikmat Ishak, Warisan Riau:Tanah Melayu Indonesia yang Legendaris (Pekanbaru:
Yayasan Warisan Budaya, 2001), 52-53.
16
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, Edisi pertama, cetakan ke-1. (Pekanbaru, Riau:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau, 2014). Hlm 83
wilayah Kesultanan Riau-Lingga. Tahun 1761, Mahmud Syah III
diangkat menjadi sultan. Pada masanya, Kesultanan Riau-Lingga
masih mendapat tekanan dari pihak Belanda. 17 Tahun 1782-1784
terjadi perang antara pihak Kesultanan RiauLingga dan pihak Belanda.
Dalam taktik menghadapi Belanda, Sultan Mahmud Syah III
menggunakan dua prinsip.
a. Menyerang terlebih dahulu yang menurutnya, hal ini adalah cara
terbaik untuk pertahanan
b. Pertempuran harus dipindahkan ke wilayah musuh untuk
mempertahankan diri. Selain memiliki strategi perlawanan
menghadapi belanda, pada masa ini armada maritim kerajaan
melayu riau-lingga sangat lengkap.
Dalam peperangan ini Sultan Mahmud Syah III menyerahkan
kepada yang Dipertuan Muda Raja Haji untuk memimpin. Sultan
Mahmud Syah III beserta para pembesarnya tidak dapat melawan
Belanda secara terang-terangan karena terikat oleh perjanjian “Kapal
Utrecth” yang terjadi pada tanggal 10 November 1784. Perjanjian
tanggal 10 November 1784 yang mengikat Kesultanan Riau-Lingga
kepada pihak Belanda itu ialah:
1. Sultan Mahmud Syah III dan orang-orang Besar Melayu mengakui
bahwa kemaharajaan Melayu dan pelabuhannya telah menjadi hak
kompeni Belanda melalui peperangan.
2. Sultan Mahmud Syah III dan para pembesar Melayu masih
diperkenankan memerintah dalam kerajaan dengan memenuhi
beberapa syarat yang ditentukan Belanda dan mematuhinya.
3. Dengan lahirnya perjanjian tertanggal 10 November 1784 semua
perjanjian dengan pihak keturunan Bugis turun temurun menjadi
batal,

17
Ahmad Yusuf, dkk., Dari Kesultanan Melayu Johor-Riau ke Kesultanan Melayu Lingga-
Riau (Pekanbaru: Pemerintah Daerah Provinsi Riau, 1993), 95-96.
4. Karena Sultan Mahmud Syah III masih muda, pemerintahan
didampingi oleh dewan pemerintahan yang ditunjuk Belanda dan
mereka terdiri dari orang-orang besar Melayu
5. Untuk menjaga keamanan, Belanda akan menempatkan pasukan-
pasukannya di beberapa tempat dalam wilayah Riau dan biaya
pemeliharaan pasukan tersebut (gaji dan makannya) ditanggung
oleh pihak kemaharajaan Melayu.
6. Kemaharajaan Melayu tidak diperkenankan lagi mengangkat Yang
Dipertuan Muda (Raja Muda) dari keturunan Bugis dan juga tidak
diperkenankan memakai pegawai keturunan Bugis, kecuali orang-
orang Bugis yang telah lahir dan dibesarkan di Riau.
7. Kompeni Belanda bebas berdagang di seluruh wilayah Riau dan
orang-orang Riau diperkenankan pula berdagang hingga sampai ke
Malaka dengan mematuhi ketentuan-ketentuan perdagangan yang
telah diatur oleh Belanda.
8. Semua kapal yang berlayar ke Malaka atau melalui pelabuhan
Bandar Malaka hendaknya mempunyai surat izin atau pelayaran
yang dikeluarkan oleh pihak Belanda.
9. Bangsa Eropa lain kecuali Belanda dilarang berdagang dalam
wilayah Kerajaan Melayu Riau dan juga memasuki perairan Riau.
Kecuali ditimpa kemalangan.
10. Suku bangsa dari Nusantara diperkenankan berdagang dan
memasuki perairan Riau kecuali suku bangsa yang berasal dari
Kalimantan dan Bugis. Orang-orang Cina diperkenankan
berdagang dan memasuki perairan Riau.
11. Tawanan kedua pihak dapat ditukar kembali dengan tebusan setiap
kepala sepuluh
12. Para pedagang lainnya kecuali Belanda tidak diperkenankan dan
membawa dan memperdagangkan rempah-rempah dan timah dari
Bangka dan Palembang. Jika masih juga larangan itu dilanggar dan
didapati masih ada pedagang membawa barangbarang terlarang
tersebut, sultan berhak merampas dan menyitanya dan kemudian
menjual barang-barang sitaan atau rampasan tersebut kepada pihak
Belanda dengan harga yang telah ditentukan yaitu 36 ringgit
Spanyol, tiap-tiap satu bahara atau 30 hati.
13. Jika sultan wafat, yang menggantikannya hendaklah keturunan
langsung atau adik-kakaknya dan yang ditunjuk sebagai
penggantinya itu hendaklah disetujui oleh pihak Belanda.
14. Sultan Mahmud Syah III dibebankan dan harus membayar ganti
rugi perang sebesar 60.000 ringgit Spanyol kepada pihak Belanda,
Sultan Mahmud Syah III diperkenankan memerintah dan
menjalankan pemerintahan dalam Kerajaan Melayu Riau kembali
di bawah pengawasan pihak kompeni Belanda.18
Pada prinsipnya Belanda masih mengakui eksistensi Kesultanan
Riau-Lingga, namun kekuasaan itu serba dibatasi. Dengan adannya
perjanjian ini sultan tidak merasa nyaman karena seluruh gerak-gerik
sultan dipantau oleh Belanda. Sultan merasa tidak aman karena Sultan
takut terjadi serangan balik dari pihak Belanda ke Riau. Oleh karena
itu, untuk mengantisipasi hal tersebut sultan dan para pembesarnya
bermusyawarah untuk mencari daerah persembunyian yang aman dari
kejaran Belanda. Akhirnya mereka memutuskan untuk pindah ke
wilayah Daik Lingga. Wilayah tersebut terletak di pulau Lingga dan
disana kemudian dibangun istana baru. 19
Daerah yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan
RiauLingga, diperintah oleh Orang Kaya yang merupakan orang-
orang yang dipilih karena memiliki keberanian dan kekuatan yang
lebih daripada orang lain, berbagai pertempuran terjadi di wilayah
Kesultanan Riau-Lingga. Hal ini menyebabkan perkembangan
Kesultanan Riau-Lingga terhambat. Akan tetapi secara hakikatnya

18
Daud Kadir, dkk. Sejarah Kebesaran Kesultanan Riau-Lingga (Kepulauan Riau:
Pemerintah Kabupaten Lingga, 2008), 149-151
19
Ahmad Yusuf, dkk. Dari Kesultanan Melayu Johor-Riau ke Kesultanan Melayu Lingga-
Riau, hlm.97
kesultanan Riau-Lingga memiliki dua kepala pemerintahan, yaitu
sultan yang dipertuan besar yang berkedudukan di daik (lingga)
kemudian pindah ke pulau penyengat dan yang dipertuan muda di
riau yang berkedudukan di pulau penyengat.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Melayu Riau-Lingga meliputi
seluruh Kabupaten Kepulauan Riau sebelum terjadi pemekaran
daerah ditambah dengan beberapa emirat (pemerintahan yang
dikepalai oleh seorang emir atau kepala pemerintahan) seperti
Mandah yang terdiri dari Igal, Gaul, Reteh dan Mandah yang pada
mulanya termasuk ke dalam daerah Inderagiri, tetapi kemudian
dibagi lagi menjadi Inderagiri Hilir. 20 Wilayah Kerajaan Melayu
Riau-Lingga merupakan daerah yang sangat potensial sebagai bandar
perdagangan. Paling tidak ada dua komoditi yang berasal dari
Kerajaan Melayu Riau-Lingga yaitu rempah-rempah (terutama lada)
dan timah.
3. Periode Pemerintahan dan Wilayah Kekuasaan
Rentang masa berdiri kerajaan Riau Lingga relatif pendek,
hanya satu abad. Didirikan karena peran kolonial Belanda, kemudian
runtuh karena dibubarkan Belanda. Selama rentang satu abad
tersebut, telah berkuasa lima orang sultan sebagai berikut:
No Nama Masa
Pemerintahan
1. Sultan Abdul Rahman 1819-1832
Muadzam Syah
2. Sultan Muhammad II 1832-1835
Muadzam Syah
3. Sultan Mahmud IV Mudzafar 1835-1857
Syah
4. Sultan Sulaiman II Badarul 1857-1883
Alam Syah
5. Sultan Abdul Rahman II 1885-1911
Muadzam Syah

20
Hasan Junus, Engku Puteri Raja Hamidah: Pemegang Regalia Kerajaan Riau (Riau: Unri
Press, 2002), hlm. 9.
Sultan Abdul Rahman Memerintah di Kesultanan Riau-
Lingga pada tahun 1818-1832 mengadakan perjanjian dengan
Belanda pada tanggal 23 Oktober 1830 untuk merealisir Traktat
London 1824.21 Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II. Sultan
berusaha untuk meningkatkan penghasilan rakyat. Dalam rangka
inilah pada tahun 1860 sultan menggalakkan penanaman “sagu
rumbie” karena tanaman ini sangat sesuai dengan kondisi tanah di
Daik Lingga. Bibit sagu diambil dari Serawak. Selain itu, sultan juga
memajukan penambangan bijih timah di Singkep.
Wilayah kekuasaan kerajaan Riau Lingga mencakup kawasan
yang cukup luas, di antaranya Johor, Pahang, Riau dan Lingga. Pusat
kerajaan pada awalnya terletak di Daik, kemudian menjelang akhir
keruntuhan, pusat kerajaan pindah ke Pulau Penyengat. Ada dua
pusat kendali pemerintahan : pertama di istana Yang Dipertuan
Besar (YDB/Sultan), dan kedua di istana Yang Dipertuan Muda
(YDM) Istana YDM berada di Kota Piring, sehingga dikenal juga
dengan nama Istana Kota Piring, terletak di Pulau Biram Dewa
(Malim Dewa) Bintan), sedangkan istanan YDB berada di Daik
Lingga, kemudian pindah ke Pulau Penyengat pada tahun 1900.
Kedudukan istana di Kota Piring yang masih berfungsi di masa
kerajaan Riau Lingga sesungguhnya masih diperdebatkan sebab ada
yang mengatakan bahwa istana ini telah hancur pada tahun 1784,
seperempat abad sebelum Riau Lingga berdiri. Namun, sumber lain
ada yang mengatakan bahwa istana ini masih berdiri hingga 1884.
Artinya, istana ini masih berfungsi pada masa Riau Lingga.
4. Keruntuhan Kesultanan Riau-Lingga
Persengketaan antara Inggris dan Belanda dalam upaya
memperebutkan pengaruh di Kesultanan Melayu Lingga-Riau
diselesaikan dengan perjanjian yang dikenal dengan Traktat London

21
Daud Kadir, dkk., Sejarah Kebesaran Kesultanan Riau-Lingga (Kepulauan Riau:
Pemerintah Kabupaten Lingga, 2008), 184.
pada tanggal 17 Maret 1824 yang isinya antara lain adalah, Belanda
tak mencampuri segala urusan Inggris di Semenanjung Melayu.
Berdasarkan Traktat London 1824, Kesultanan Riau-Lingga berada
di bawah kekuasaan Belanda, sedangkan Johor dan Pahang berada di
bawah kekuasaan Inggris. 22
Berikut isi Traktat London yang membagi dua daerah
kesultanan tersebut:
a. Bagian utara yang sebelumnya adalah bagian Kesultanan Melayu
Lingga-Riau menjadi wilayah Kesultanan Melayu Johor.
b. Bagian Selatan yaitu pulau-pulau Lingga-Singkep dan Riau serta
beberapa daerah lainnya tetap berada dalam Kesultanan Melayu
Lingga-Riau. Daerah-daerah inilah yang terus dikembangkan dan
dijaga sebagai upaya mempertahankan keberadaan suku bangsa
Melayu – Riau.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Rahman terjadi
penandatanganan perjanjian yang berisi pengakuan tentang
kekuasaan tertinggi di bawah pemerintah Belanda. Sultan
selanjutnya, Muzzaffar Syah, mengacuhkan perjanjian tersebut,
maka Muzzaffar Syah kemudian dimakzulkan dari jabatannya.
Gubernur Jenderal Belanda menggantinya dengan Tengku Sulaiman
yang dilantik pada tanggal 10 Oktober 1857 dengan gelar Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah. 23
Pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga berakhir pada tahun
1913. G.P. de Bruin Kops seorang Residen Riau dari Belanda
membacakan surat penurunan tahta Sultan Abdul Rahman II
Muadzam Syah dan Tengku Umar di Gedung Rusydiah Klub.
Alasan belanda bahwa kesultanan Riau telah melanggar suatu

22
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, Edisi pertama, cetakan ke-1. (Pekanbaru, Riau:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau, 2014). Hlm 84
23
Daud Kadir, dkk., Sejarah Kebesaran Kesultanan Riau-Lingga (Kepulauan Riau:
Pemerintah Kabupaten Lingga, 2008), 186.
perjanjian hal ini disebabkan karena wilayah tersebut menurut
perjanjian terdahulu yaitu Traktat London merupakan daerah
kekuasaan Inggris, bukan Belanda. Pada tahun 1913 Pemerintah
Hindia Belanda secara resmi menghapuskan Kesultanan Riau-
Lingga.
5. Struktur dan Pusat Pemerintahan
Kekuasaan dan struktur tertinggi di Kerajaan Riau Lingga berada
di tangan sultan ( YDB). Namun, dalam prakteknya, kekuasaan
tersebut banyak dipengaruhi dan mengalami intervensi dari kolonial
Belanda. Selain itu, tidak berbeda dengan Kesultanan Johor Riau,
meskipun secara teoritis kekuasaan tertinggi berada di tangan sultan,
namun secara operasional kekuasaan pemerintahan berada di tangan
Yang Dipertuan Muda. Yang terakhir inilah yang mengatur dan
menjalankan roda pemerintahan kerajaan. 24
Sultan dan yang dipertuan muda kerajaan Melayu Riau-
Lingga Sultan yang menjabat dalam Kerajaan Melayu Riau-Lingga:
1) Sultan Mahmud Syah III (1756-1812)
2) Sultan Abdul Rahman (1824–1832)
3) Sultan Muhammad II Muazzam Shah (1832–1835)
4) Sultan Mahmud IV Muzaffar Shah (1835–1857)
5) Sultan Sulaiman II Badrul Alam Shah (1857–1883)
6) Sultan Abdul Rahman II Muazzam Shah (1883–1911)
Berikut ini nama-nama yang memerintah Yang Dipertuan
Muda yang menjabat dalam Kerajaan Melayu Riau-Lingga yang
dipegang oleh keturunan Bugis secara turun temurun,:
1) Yang Dipertuan Muda Raja Ali (1784-1805)
2) Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar (1805-1831)
3) Yang Dipertuan Muda Raja Abdul Rahman (1831-1844)
4) Yang Dipertuan Muda Raja Aki bin Ja’far (1844-1857)

24
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, Edisi pertama, cetakan ke-1. (Pekanbaru, Riau:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau, 2014). Hlm 87
5) Yang Dipertuan Muda Raja Haji Abdullah (1857-1859)
6) Yang Dipertuan Muda Raja Muhammad Yusuf (1859-1899)
Sejak masa pemerintahan YDM Raja Ja’far (1805), pusat
pemerintahan berpindah ke Pulau Penyengat, sebuah pulau dengan
luas sekitar 5 km² di seberang Tanjung Pinang, sementara Sultan
tetap tinggal di Lingga.134 Pulau Penyengat, menurut kisah adalah
mas kawin yang diberikan oleh Sulthan Mahmud kepada Raja
Hamidah (Engku Putri binti Raja Haji) pada tahun 1804. Sejak tahun
1805, Pulau Penyengat menjadi pusat pemerintahan Yang dipertuan
Muda secara turun-temurun. Setelah lembaga Yang Dipertuan Muda
dihapuskan, sultan yang memerintah, Sultan Abdurrahman Muazzam
Syah, pindah pula ke pulau ini sampai kerajaan Riau-Lingga
dibubarkan oleh Belanda tahun 1913.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, sultan juga dibantu
oleh para penasehat, juru tulis, qadhi, syah bandar, dan beberapa
pembantu lainnya. Dalam kehidupan keagamaan muncul beberapa
orang ulama di Riau Lingga, diantaranya Haji Ja’far bin Encik Abu
Bakar. Ia belajar agama di Mekah seangkatan dengan K.H. Hasyim
Asyari, ulama dari Jawa yang mendirikan organisasi Nahdhatul
Ulama. Menurut catatan dari sebuah sumber, ada yang menyebutkan
bahwa Haji Ja’far pernah menjabat sebagai sekretaris Rusydiah
Club. 25
Di awal tahun 1816 Belanda langsung kembali menuju Riau
dan mendapati situasi telah berubah dengan Sultan Abdul Rahman
telah dilantik oleh Yang Dipertuan Muda Raja Djakfar yang
merupakan keturunan Bugis. Belanda tidak mengakui pemerintahan
Sultan Abdul Rahman dan Yang Dipertuan Muda Raja Djakfar pada
saat itu. Namun, tak sampai dua tahun Belanda mengalah dan mau
mengakui pemerintahan itu dengan syarat:

25
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, Edisi pertama, cetakan ke-1. (Pekanbaru, Riau:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau, 2014). Hlm 88
1. Sultan mengakui Belanda sebagai penguasa tertinggi
2. Sultan memberikan izin kepada Belanda untuk memperbolehkan
menambah dan memperkuat angkatan perangnya di wilayah Riau
3. Hanya Belanda yang boleh berdagang dengan Riau
Tengku Embung dan Wan Abdullah di dampingi Encik Abu
dijemputlah Tengku Husein ke Riau yang saat itu ia sedang
bermukim di Pulau Bulang dibawa berlayar menuju Singapura.
Tengku Husein dilantik menjadi Sultan Singapura dan Johor serta
daerah taklukkannya pada tahun 1819 bergelar Sultan Husein Syah.
Sedangkan Temenggung Abdul Rahman tetap menjabat sebagai
Datuk Temenggung tetapi peranannya sama seperti Yang Dipertuan
Muda. Sejak saat itu Kemaharajaan Melayu memiliki dua orang
Sultan di Lingga dan Singapura. 26
Sultan Abdul Rahman dalam menjalankan pemerintahan
harus tunduk di bawah kekuasaan Belanda. Sebagai tanda
persahabatan, Belanda mengakui bahwa Sultan dan keturunanya
berhak atas Riau, Lingga dan daerah taklukannya. Selanjutnya dalam
perjanjian itudisebutkan pula bahwa Belanda menempatkan
wakilnya di Riau selaku Residen Riau dan berkedudukan di Tanjung
Pinang. Belum lama sebelum diangkat menjadi Sultan beliau terkena
penyakit yang tidak menentu sehingga badan beliau kurus kering dan
jatuh sakit sehingga menyebabkan kematian beliau di tahun 1832
Sultan Abdul Rahman merupakan Sultan terakhir dalam
Kerajaan Melayu Johor – Pahang – Riau - Lingga dan daerah
taklukkannya dan merupakan sultan pertama dalam Kerajaan Melayu
Riau-Lingga saja. Dan Sultan Husein menjadi sultan pertama dalam
Kerajaan Melayu Johor yang memerintah di Singapura.
6. Budaya Dan Tradisi Masyarakat Riau
Di antara kesultanan yang pernah berdiri di kawasan Riau,
mungkin Kesultanan Riau Lingga yang menyumbangkan peran besar

26
Mahdini, Raja dan Kerajaan dalam Kepustakaan Melayu. (Yayasan Pusaka Riau: 2003), 46
dalam perkembangan Bahasa Melayu terutama sebagai bahasa tulis.
Peran tersebut sangat tampak pada periode paruh kedua abad ke-19,
di saat kesultanan ini sedang mencapai masa kejayaannya. Disaat itu
kehidupan intelektual berkembang pesat, hal ini didukung oleh
perkembangan perdagangan yang begitu semarak, sehingga
pemasukan dari sektor ini mampu menggerakkan sektor lainnya.
Relasi dagang saat itu terjalin erat dengan India, Cina, Siam, Jawa
dan Bugis.
Untuk memulihkan tali persaudaraan antara Melayu dan Bugis
yang sempat retak, menikahlah Sultan Mahmud Syah III dengan
Engku Puteri Raja Hamidah seorang keturunan bugis. Sultan
memiliki dua anak yaitu Tengku Husein dan Tengku Abdul Rahman,
setelah wafatnya sultan terjadilah perpecahan dalam pengangkatan
sultan, penabalan sultan baru dilakukan tanpa Regalia Kerajaan
karna yang diangkat bukan lah Tengku Husein anak sulung
melainkan Tengku Abdul Rahman walau mendapat tentangan yang
keras namun Yang Dipertuan Muda Raja Djakfar tetap bersikeras
melantik Tengku Abdul Rahman.Salah satu karakter peradaban yang
dipengaruhi ajaran Islam adalah menyebarnya kemampuan dan
tradisi tulis baca pada semua kalangan, bukan hanya di kalangan
kerajaan.
Kehidupan tulis menulis semakin semarak di Riau Lingga,
khususnya di Pulau Penyengat seiring dengan pindahnya Sultan
Abdul Rahman Mudzaffar Syah ke pulau tersebut pada tahun 1900.
Sebelas tahun kemudian (1911), keadaan berubah. Antara sultan dan
Belanda terjadi konflik, Sultan tidak mau menandatangani kontrak
ketundukan kepada Belanda. Peninggalan sejarah produk budaya
yaitu penulisan bahasa arab sebagai peninggalan budaya.27 Melayu
makin besar di masa Kerajaan Riau-Lingga (1722-1912), penerus

27
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, Edisi pertama, cetakan ke-1. (Pekanbaru, Riau:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau, 2014). Hlm 89
Kerajaan Johor, di era persebatian Melayu-Bugis. Terlebih setelah
Sultan Riau Lingga, Mahmud Riayat Syah (1671-1812), pada 1787,
memindahkan ibukota Kerajaan Riau Lingga ini ke Pulau Lingga. Di
masa inilah perkembangan Tamadun Melayu menjadi semarak. Dari
Lingga lah berbagai tradisi literasi.
Sultan Mahmud juga menggesa lahirnya tradisi menulis,
sehingga lahirlah penulis-penulis handal seperti Raja Ahmad dengan
karya Tuhfat Al Nafis yang kemudian diteruskan oleh anak beliau,
Raja Ali Haji. Tradisi menulis sangat berkembang di pulau
Penyengat. Pembangunan pusat tamadun Melayu oleh Sultan
Mahmud sangat visioner ini menghasilkan karya-karya besar setelah
beliau wafat diataranya lahir seorang sastrawan dan budayawan
besar sepanjang abad yakni Raja Ali Haji yang melahirkan karya-
karya besar di antara Tuhfat Al Nafis, Bustanul Katibin, Kitab
Pengetahuan Bahasa, Gurindam 12 dan lain-lainnya. Adat Istiadat
Melayu yang bersendikan Islam dibina dan dikembangkan serta
dipelihara sehingga menjadi sikap orang Melayu keseharian yang
lembut berbudi pekerti, sederhana, tidak suka konflik dan terbuka.
Sudah tentu dimulai dengan ajaran Islam yang sebati dan contoh dari
Nabi Muhammad SAW. Seni Melayu yang berdasarkan Islam seperti
pantun, syair, dan gurindam berkembang pesat sehingga ikut
membentuk sikap orang Melayu yang halus Bahasa dan budi
pekertinya.( Hamidy, 1983)
Sejarah panjang perkembangan kebudayaan Melayu tersebut
berhubungan pula dengan letak Riau sebagai frontier area
perdagangan dunia Selat Melaka. Interaksi dengan para pendatang
berpengaruh juga terhadap perkembangan kebudayaan. Sedangkan
dalam konteks karya budaya telah menghasilkan perubahan-
perubahan penting dalam tradisi kesenian, pengunaan percetakan
untuk penyebaran syair-syair dan hikayat. Semua nilai-nilai budaya
Melayu tersebut sesungguhnya merupakan kearifan lokal dan
menjadi modal dasar yang sangat kokoh dalam membangun,
memupuk, mempertahankan, dan melestarikan kerukunan khususnya
kerukunan umat beragama dan kerukunana masyarakat di Propinsi
Riau dan Indonesia.

7. Riau sebagai Rumpun Melayu


Masyarakat Melayu di masa lampau bahkan sampai saat ini
adalah masyarakat yang bersifat akomodatif, bersahabat, wellcome
terhadap kaum perantau yang datang membawa budaya dan agama
baru, baik dari dalam maupun luar negeri. Penyiaran Islam di negeri
Riau adalah semasa Nabi Muhammad SAW masih hidup dan semasa
Khalifah lain berpusat di kota Lindung Bulan dalam Kerajaan Pulau
Gadan dikepalai oleh seorang Kadhi Besar Dari Arab yang bernama
Qubaisyiah bin Waqas yang bergelar Abu Asyidah al- Ghadani.
Sepanjang catatan sejarah, hampir tidak pernah dijumpai
konflik di dalam masyarakat, baik yang bernuansa etnis maupun
agama. Meskipun orang Melayu tidak lagi merupakan satu-satunya
penduduk mayoritas masyarakat Riau, namun karena Propinsi Riau
berada di bawah naungan budaya Melayu, maka para pendatang
diharapkan menyesuaikan diri dengan budaya Melayu.
Secara garis besarnya suku-suku yang terdapat di Propinsi
Riau dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Riau merupakan penduduk asli dan mayoritas, terdapat di seluruh
daerah Riau.
b. Suku Bugis dan Makassar; mereka datang dari Sulawesi Selatan.
Banyak terdapat di Indragiri Hilir, seperti di Tembilahan, Enok,
Tempuling Gaung anak Serka dan Reteh.
c. Suku Banjar; Suku Banjar ini datang dari Kalimantan Selatan,
mereka kebanyakan menetap di Tembilahan dan Sapat.
d. Suku Mandahiling; mereka tinggal dengan daerah berbatasan
dengan Sumatera Utara seperti di Pasir Pengaraian.
e. Suku Batak; mereka tinggal dikota-kota yang agak besar. Banyak
diantara mereka yang bekerja sebagai Pegawai Negeri, anggota
TNI dan buruh.
f. Suku Jawa; pada umumnya ada di daerah Riau, terutama daerah
transmigrasi dan daerah perkotaan. Mereka ada yang bekerja
sebagai petani yang rajin, pegawai negeri, anggota TNI, buruh
dan sebagainya.
g. Suku Minangkabau; pada umumnya tinggal di kota-kota dan
daerah pasar dan mereka hidup sebagai pedagang, namun banyak
juga yang menjadi pegawai negeri, anggota TNI, dan lain
sebagainya
h. Suku-suku lainnya adalah Cina; Suku Cina pada umumnya
tinggal di daerah kepulauan seperti di Bagansiapi-api dan
Bengkalis. Namun sekarang ini banyak juga yang tinggal di
daerah perkotaan
Sumpah Setia Melayu Bugis yang diikrarkan di Ulu Riau
antara Sulaiman Badrul Alamsyah I, Yang Dipertuan Besar (Sultan)
Riau Lingga Johor dan Pahang dengan Daeng Marewa, Yang
Dipertuan Muda (Raja Muda),Tahun 1722, pada mulanya hanya
merupakan peristiwa kesepakatan pembahagian kekuasaan politik
(kontrak politik) antara pihak keturunan Melayu yang
direpresentasikan oleh Sulaiman Badrul Alam Syah dengan Daeng
Marewa yang mewakili pihak Bugis, ternyata kemudian telah
menjadi jejak awal dari lahirnya Persebatian Melayu Bugis dalam
semua aspek. Sejarah panjang kerajaan Riau Lingga Johor dan
Pahang ini (1722-1912) adalah sejarah panjang persebatian Melayu
Bugis yang dipertahankan dengan segala upaya dalam menghadapi
berbagai halang rintangnya, jatuh bangun dan penuh konflik dan
intrik.
Wilayah Kesultanan Melayu di Rumpun Melayu menjadi
penerus Empayar Kesultanan Melayu Melaka yang berasal dari
Bukit Siguntang.Umumnya, wilayah Rumpun Melayu (sebahagian
besar wilayah ASEAN) mengamalkan sistem Monarki berdasarkan
warisan Kesultanan Melayu.Sejak dari abad ke-13, pemerintahan
yang dipimpin oleh Sultan/ Raja Melayu diwarisi sehingga
sekarang.Riau-Lingga merupakan wilayah yang mempunyai sistem
pemerintahan berteraskan dan mewarisi sistem pemerintahan beraja
yang berasal dari Empayar Kesultanan Melayu Melaka. (Firdaus,
2018)

Anda mungkin juga menyukai