Anda di halaman 1dari 31

BAB IX

SEJARAH KESULTANAN MELAYU DI JAWA BARAT DAN JAWA


TENGAH

A. Islam di Jawa
Kapan tepatnya Islam datang ke Jawa, masih menjadi perdebatan di
kalangan peneliti. De Graaf dan Pigeau meyakini bahwa besar sekali
kemungkinan pada abad ke-13 di Jawa sudah ada orang Islam yang menetap.
Sebab, menurutnya, jalan perdagangan di laut yang menyusuri pantai timur
Sumatera melalui laut Jawa ke Indonesia bagian timur, sudah ditempuh sejak
zaman dahulu. Para pelaut itu, baik yang beragama Islam maupun yang tidak,
dalam perjalanan singgah di banyak tempat. Pusat-pusat pemukiman di pantai
utara Jawa menurutnya ternyata sangat cocok untuk itu. Pendapat ini masih
meragukan karena hipotesis tersebut terlalu umum dan masih dapat
diperdebatkan. 1
Pendapat lain mengatakan bahwa Islam datang ke Jawa pada abad ke-15
M. Hal ini diindikasikan oleh adanya pemukiman Islam di daerah ini. Ma
Huan, misalnya melaporkan bahwa antara tahun 1415-1432 M terdapat
komunitas Muslimdi Jawa bagian Timur. Selain itu di Jawa juga ditemukan
sejumlah batu nisan pada abad yang sama seperti pada makam Malik Ibrahim
yang berangka tahun 1419, dan Putri Campa berangka 1370 Caka (1448 M).
Menurut babad jawa, Malik Ibrahim adalah ulama dari tanah Arab, keturunan
Zainal Abidin, cicit Nabi Muhammad. 2 Pendapat senada dikemukakan oleh
Hamka, bahwa Maulana Malik Ibrahim adalah seorang bangsa Arab yang
datang dari Kasyan, Persia, yang datang ke Jawa sebagai penyebar agama
Islam. 3

1
H. J. de Graaf & Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, (Jakarta : PT Pustaka Utama
Grafiti, 2003), hlm.21
2
Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Sejarah Banten, (Jakarta: Djambatan, 1983), hlm. 274.
3
Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm. 135.

251
Islam berkembang di Jawa bersamaan dengan melemahnya kekuasaan
Raja Majapahit. Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara
praktis wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Hal ini
memberi peluang kepada penguasa-penguasa Islam di pesisir untuk
membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Salah satu sistem
pemerintahan yang kemudian berkembang menjadi kerajaan tersendiri adalah
Demak, berikutnya Pajang, Mataram, Cirebon, Banten, dsb.

B. Kesultanan di Jawa Barat


1. Kesultanan Cirebon
a. Cirebon Pada Masa Pemerintahan Sunan Gunung Jati
Cirebon pada awalnya merupakan pemukiman kecil dibawah
kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Pangeran Cakrabuana atau Pangeran
Walangsungsang sebagai kuwu. Cirebon membangun Keraton
Pakungwati sekitar tahun 1452. Pembangunan keraton ini mengandung
arti bahwa di Cirebon berlangsung pemerintahan lokal yang bercorak
Islam. 4 Hal ini dikarenakan Pangeran Cakrabuana telah memeluk
agama Islam sehingga pangeran ingin lepas dari kekuasaan Kerajaan
Hindu Pajajaran.
Pangeran Cakrabuana menjadi kuwu Cirebon selama 32 tahun
yaitu mulai dari tahun 1447 sampai dengan tahun 1479. Pada awal
kedudukannya, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Sri Mangana
karena dianggap sebagai raja kecil ketika Cirebon masih berada di
bawah kekuasan Kerajaan Pajajaran. 5 Pemberian gelar oleh raja
Pajajaran dikarenakan Pangeran Cakrabuana masih berada di garis
keturunan keluarga kerajaan serta sikap Pangeran Cakrabuana yang
cukup loyal dan setia kepada Kerajaan Pajajaran.

4
Sobana Hardjasaputra dkk, Cirebon dalam Lima Zaman (Abad ke-15 Hingga Pertengahan Abad
ke-20), (Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2011), hlm. 51
5
Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fak. Sastra UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas,
(Bandung: Pemda Tk. I Provinsi Jawa Barat, 1991), hlm. 69.

252
Pangeran Cakrabuana merupakan perintis Kerajaan Islam
Cirebon, akan tetapi belum berhasil menyebarkan agama Islam ke
daerah pedalaman. 6 Hal ini dikarenakan kekuatan Kerajaan Pajajaran
masih cukup kuat sehingga Cirebon belum bisa melepaskan diri dari
Kerajaan Pajajaran dan menjadi kerajaan yang merdeka. Pangeran
Cakrabuana juga merupakan putra dari Raja Pajajaran yaitu Prabu
Siliwangi sehingga dia tetap menghormati ayahnya. Hal inilah yang
membuat Pangeran Cakrabuana tetap bertahan untuk setia menjadi
bagian dari Kerajaan Pajajaran.
Pangeran Cakrabuana mempunyai putri bernama Nyi Mas
Pakungwati dari pernikahannya dengan Nyai Mas Endang Gelis. Pada
tahun 1479 Nyi Mas Pakungwati menikah dengan Sunan Gunung Jati
yang merupakan saudaranya sendiri. 7 Sunan Gunung Jati adalah
keponakan dari Pangeran Cakrabuana atau anak dari adiknya yaitu Ratu
Mas Rara Santang. Nyi Mas Pakungwati merupakan istri ketiga karena
sebelumnya Sunan Gunung Jati telah menikah dengan Nyai Babadan
dan Nyai Lara Bagdad alias Syarifah Bagdad.
Pangeran Cakrabuana menyerahkan kedudukannya sebagai kuwu
Cirebon kepada Sunan Gunung Jati pada tahun 1479 dan Sunan
Gunung Jati mendapatkan gelar Susuhunan Jati atau Susuhunan
Cirebon. Langkah pertama yang diambil oleh Sunan Gunung Jati
setelah menjadi penguasa Cirebon adalah melepaskan diri dari Kerajaan
Pajajaran dengan menghentikan pemberian upeti atau pajak berupa
garam dan terasi kepada Kerajaan Pajajaran. Peristiwa ini terjadi sekitar
12 Safar 887 Hijriah atau 2 April 1482. 8 Sejak berhentinya pemberian

6
Sobana Hardjasaputra dkk, Cirebon dalam Lima Zaman (Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad
ke-20,. (Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2011), hlm. 51.

7
P.S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1978), hlm, 74.
8
Sobana Hardjasaputra dkk, Cirebon dalam Lima Zaman (Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad
ke-20 Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2011), hlm. 57.

253
upeti inilah yang menjadikan Cirebon sebagai Kerajaan Islam yang
merdeka dan otonom, tidak lagi berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Hindu Pajajaran.
Tindakan Sunan Gunung Jati mendapatkan reaksi dari Raja
Pajajaran dengan mengirimkan 60 prajurit yang dipimpin oleh
Tumenggung Jagabaya untuk mendesak penguasa Cirebon
menyerahkan upeti.9 Akan tetapi usaha ini tidak berhasil, justru
Tumenggung Jagabaya dan para prajurit menjadi pemeluk agama Islam
dan menetap di Cirebon untuk mengabdi kepada Sunan Gunung Jati.
Tumenggung Jagabaya dan para prajurit menetap di Cirebon tanpa
kembali lagi ke Pajajaran untuk menghadap raja. Mereka belajar agama
Islam dan menjadi pasukan keamanan di Cirebon.
Sebagai Kerajaan Islam yang besar, Sunan Gunung Jati berhasil
membangun aliansi dengan Kesultanan Demak untuk menaklukan
penguasa Banten yang waktu itu masih berada dibawah kekuasaan
Kerajaan Pajajaran. Kekalahan Banten menandakan bahwa wilayah
Banten beserta pelabuhannya menjadi daerah bawahan Cirebon. Pada
tahun 1526 Sunan Gunung Jati membangun daerah protektorat
Kesultanan Banten dan mengangkat putranya, yaitu Pangeran
Sebakingkin yang bergelar Sultan Hasanudin sebagai Kepala Negara
Banten.10 Pembentukan Kesultanan Banten sangat menguntungkan
Cirebon karena Banten mempunyai pelabuhan yang cukup strategis
menghubungkan pulau Jawa dan pulau Sumatra.
Pada tahun 1568, rakyat Cirebon berduka karena pimpinan
tertinggi sekaligus orang besar di Cirebon yaitu Sunan Gunung Jati
meninggal dunia. Sunan Gunung Jati dimakamkan di Gunung Sembung

9
Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiyah, Sejarah Kerajaan Tradisonal Cirebon, (Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, 2001), hlm. 26.
10
P.S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, (Jakarta: Balai Pustaka,1985), hlm. 19

254
atau yang sekarang dikenal menjadi Gunung Jati.11 Sunan Gunung Jati
meninggal setelah berhasil membangun Kesultanan Cirebon yang
berdaulat dan berwibawa selama delapan puluh sembilan tahun. Dalam
kitab Purwaka Caruban Nagari dijelaskan bahwa Sunan Gunung Jati
lahir pada tahun 1448 M dan meninggal pada dalam usia 120 tahun. 12
Setelah Sunan Gunung Jati meninggal, Cirebon kehilangan sosok
pemuka agama sekaligus raja yang sangat bijaksana. tahun 1568 M.
Menurut Tome Pires, Islam sudah ada di Cirebon sekitar 1470-
1475 M. Seperti halnya di tempat lain, institusi politik baru terbentuk
kemudian. Cirebon mulai membebaskan dirinya dari ikatan pertuanan
dengan Demak sejak meninggalnya Sultan Trenggono. Mulai sejak itu
dirintis keterpisahan Cirebon dari situasi politik yang tak satbil di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, sehingga terbentuklah Kesultanan Cirebon.
Kesultanan ini adalah kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Ia
didirikan oleh Sunan Gunung Jati, sesuai dengan nama bukit di dekat
Cirebon tempat ia dimakamkan. Menurut Djayadiningrat, seperti juga
halnya de Graaf dan Pigeaud dan beberapa sarjana lain, nama asal
Sunan Gunung Jati adalah Nurullah; kemudian terkenal dengan sebutan
Syekh Ibnu Maulana. Nama lainnya adalah Falatehan, Tagarildan
Syarif Hidayatullah. Semua itu menurut mereka adalah sebutan untuk
satu orang, yaitu Sunan Gunung Jati. 13 Dialah pendiri dinasti raja-raja
Cirebon dan kemudian juga Banten.
Sunan Gunung Jati disebutkan lahir tahun 1448 M dan wafat pada
1568 dalam usia 120 tahun. Ia memperlihatkan peran ganda: sebagai

11
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III
Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2008), hlm. 60.
12
Prodjokusumo, Taufik Abdullah, dkk., Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta: PP MUI, 1991),
hlm, 78.

13
H. J. de Graaf & Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, (Jakarta : PT Pustaka Utama
Grafiti, 2003), hlm 131.

255
penguasa sekaligus ulama. Sebagai penguasa, dialah yang mengatur
roda pemerintahan dan memiliki otoritas politik terhadap Cirebon. Di
bawah pemerintahannya, Cirebon mampu menahan badai perluasan
kekuasaan yang dilancarkan oleh kerajaan Mataram. Ia sebaliknya
berhasil menaklukkan Sunda Kelapa. Sambil melanjutkan perannya
sebagai kota pelabuhan yang sejak dulu sering didatangi oleh para
pedagang asing, terutama dari Tiongkok, Cirebon untuk beberapa lama
menjadi pelindung spiritual Banten. Putra Sunan Gunung Jati yang
bernama Hasanuddin kemudian ditunjuk menjadi penguasa Banten.
Sebagai ulama, disamping belajar dan mengajar, Sunan Gunung Jati
juga berkelana menyebarkan ajaran agama Islam. Bahkan sejak tahun
1528, ia menyerahkan pemerintahan kepada anaknya dan kemudian
menantunya. Ia sendiriselanjutnya lebih memusatkan perhatian pada
agama dan mengabdikan diri untuk penyiaran agama. Wibawa
keagamaan yang dipunyainya jauh melampaui kekuasaan politiknya. 14
Karena kedudukannya sebagai salah seorang Walisongo, ia mendapat
penghormatan dari raja-raja lain di Jawa, seperti Demak, dan Pajang.
Sebagai daerah pesisir, Cirebon sejak sebelum dan sesudah
masuknya pengaruh Islam merupakan pelabuhan yang penting di pesisir
Utara Jawa. Kota ini menjadi sangat terbuka bagi interaksi budaya yang
meluas dan mendalam. Di awal abad ke-16, Cirebon masih merupakan
sebuah daerah kecil di bawah kekuasaan Pajajaran. Setelah Cirebon
resmi berdiri sebagai kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan
Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha meruntuhkan kerajaan Pajajaran
yang masih belum menganut Islam. Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati
mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti
Kawali (Galuh), Majalengka, Kuningan, Sunda Kelapa, dan Banten.
Tahun 1524 M atau 1525 M, Sunan Gunung Jati meletakkan dasar bagi

14
Taufiq Abdullah, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: IP3ES 1996),
hlm 131.

256
pengembangan Islam dan perdagangan kaum Muslimdi Banten. 15
Ketika ia kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya,
Sultan Hasanuddin. Keturunan sultan inilah yang menjadi raja-raja di
Banten. Di tangan mereka, kerajaan Pajajaran berhasil dikalahkan.

2. Kesultanan Banten
a. Berdirinya Kesultanan Banten
Sebagai bandar dagang di pesisir utara Jawa bagian barat,
Banten diperkirakan muncul pada masa Kerajaan Sunda. Dalam buku
kisah perjalanan Ceng Ho yang ditulis oleh Ma Huan yang terbit pada
tahun 1416, yaitu Ying-Yai-Sheng-Lan (Catatan Umum Pantai-Pantai
Samudera), Banten disebut dengan nama Shun-t’a (Sunda). Demikian
pula halnya dalam berbagai sumber Cina yang dihimpun oleh
Groeneveldt, salah satu daerah di Nusantara yang mereka kenal pada
masa Dinasti Ming adalah Sun-la, yang dianggap lafal Cina untuk
Sunda.16
Letak Banten yang berada di dekat Selat Sunda menjadikan
kedudukannya sangat strategis, mengingat kegiatan perdagangan di
Nusantara dan Asia serta kedudukan barang dengan rempah-rempah di
pasar internasional makin meningkat, seiring dengan berdatanganya
para pedagang Eropa ke wilayah ini. setelah jatuhnya Malaka ke tangan
Portugis tahun 1511, Selat Sunda menjadi pintu masuk utama ke
Nusantara bagian timur lewat Pantai Barat Sumatera bagi
pedagangpedagang muslim, dan kemudian bagi para pedagang Eropa
yang datang dari arah ujung selatan Afrika dan Samudera Hindia. 17

15
Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, jilid 1, (Jakarta: Gramedia,
1987), hlm. 114.
16
Rahardjo Supratikno, dkk. Kota Banten Lama: Mengelola Warisan Untuk Masa Depan,
(Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2011), hlm 32.

17
Sri Sutjianingsih, (Ed.), Sejarah Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudyaan, 1994), hlm 18.

257
Masuknya pedagang-pedagang asing, terutama para pedagang
muslim ke wilayah Banten telah mengakibatkan perubahan dalam
pemerintahan. Dalam naskah cerita Carita Purwaka Caruban Nagari,
dikisahkan tentang usaha Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati
dari Cirebon bersama sembilan puluh delapan orang muridnya
mengislamkan penduduk Banten.
Sunan Gunung Jati disebut-sebut sebagai orang yang telah
menyebarkan Islam ke Banten. Menurut sumber tradisional, penguasa
Pajajaran di Banten menerima Sunan Gunung Jati dengan ramah tamah
dan tertarik untuk masuk Islam. Dengan segera ia menjadi orang yang
berkuasa atas kota itu dengan bantuan tentara Jawa yang memang
dimintanya. Namun menurut Barros, penyebaran Islam di Jawa Barat
tidak melalui jalan damai, sebagaimana disebutkan oleh sumber
tradisional. Beberapa proses konversi ke Islam mungkin terjadi secara
sukarela, tetapi kekuasaan tidak diperoleh kecuali dengan menggunakan
kekerasan.18
Setelah kembali ke Cirebon, kekuasaannya atas Banten
diserahkan kepada anaknya, Sultan Hasanuddin Hasanuddin menikah
dengan putri Demak dan diresmikan menjadi Panembahan Banten pada
tahun 1552. Ia meneruskan usaha-usaha ayahnya dalam meluaskan
daerah Islam, yaitu ke Lampung dan sekitarnya di Sumatera Selatan.
Pada tahun 1568, di saat kekuasaan Demak beralih ke Pajang,
Hasanuddin memerdekakan Banten. Itulah sebabnya oleh tradisi ia
dianggap sebagai raja Islam yang pertama di Banten, yang semula
memang menjadi daerah vasal dari Demak. Maulana Hasanuddin
melanjutkan Islamisasi, setelah Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon.
Ia berdakwah dari satu daerah ke daerah lain yang merupakan tempat-
tempat keramat dimana para ajar bersemayam, mulai dari Gunung
Pulosari, Gunung Karang, Gunung Aseupan, sampai ke Pulau Panaitan
18
H. J. de Graaf & Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, (Jakarta : PT Pustaka Utama
Grafiti, 2003), hlm 128

258
di Ujung Kulon. Usaha-usaha yang dilakukan Maulana Hasanuddin
bertujuan untuk melukiskan penguasaan rohani atas wilayah politik
Banten Girang, yang nantinya akan direbut secara militer. 19
Hasanuddin berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umun yang
merupakan penguasa lokal di Wahanten Girang (Banten Girang) pada
tahun 1525. Kemudian atas petunjuk Sunan Gunung Jati, Hasanuddin
memindahkan pusat pemerintahan Banten yang tadinya berada di
pedalaman Banten Girang (tiga kilometer dari Kota Serang) ke dekat
pelabuhan Banten.20

b. Perpindahan Ibukota dari Banten Girang ke Banten Lama


Maulana Hasanuddin sebagai raja pertama di Kesultanan
Banten, memimpin Banten setelah berhasil mengalahkan Prabu Pucuk
Umun di Banten Girang. Kebijakan pertama dalam pemerintahannya
adalah memindahkan pusat kerajaan dari Banten Girang ke Banten
Lama. Pemindahan pusat pemerintahan Banten dari pedalaman ke
pesisir merupakan petunjuk dari Sunan Gunung Jati kepada Maulana
Hasanuddin. Pusat pemerintahan, yang tadinya berada di pedalaman
Banten yakni Banten Girang, dipindahkan ke dekat Pelabuhan Banten.
Sunan Gunung Jati menentukan posisi dalem (istana), benteng, pasar,
dan alunalun yang harus dibangun.1 Tempat ini kemudian diberi nama
Surosowan dan menjadi Ibu kota Kerajaan Islam Banten, setelah
penaklukan Banten Girang oleh orang-orang Islam.
Penaklukan Ibukota oleh Maulana Hasanuddin diceritakan
dengan singkat dalam Sajarah Banten (SB), dan tahunnya terungkap
dalam candrasengkalabrastha gempung warna tunggal, yang oleh
Hoesein Djajadiningrat ditafsirkan sebagai tahun 1400 Saka, atau 1478

19
Taufiq Abdullah , Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: IP3ES 1996),
hlm 131
20
H. Lubis Nina, Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Jawara, Ulama, (Jakarta: LP3ES,
2003), hlm 27

259
M. tenyata tahun 1400 Saka disebut juga dalam babad-babad Jawa
sebagai tahun keruntuhan Majapahit, yaitu saat awal zaman Islam di
Jawa. Menurut sumber Portugis, Banten Girang jatuh ke tangan kaum
Muslim pada akhir tahun 1526 atau awal tahun 1527. Namun, tradisi
lokal banyak yang menyebutkan bahwa pemindahan ibukota terjadi
pada tahun 1526 M.

c. Dampak Perpindahan Ibukota Terhadap Tata Kota Kesultanan


Banten
Perkembangan Banten sebagai kota pelabuhan dan perdagangan
mungkin hanya dapat dikenali dengan merunut kembali peristiwa
sejarah transformasi pusat administratif politik dari Banten Girangdi
pedalamanyang berada di bawah subordinasi Pakuan-Pajajaran yang
Hinduistik- ke daerah pantai yang dikenal dengan Banten Lama.
Peristiwa transformasi tersebut berlangsung pada tahun 1526 oleh
Syarif Hidayatullah dan Maulana Hasanuddin. Sejak itu, embrio dan
fondasi masyarakat dan budaya Banten diletakkan dan ditetapkan dalam
format yang bercirikan keIslaman.21
Daerah pesisir pantai menjadi tempat strategis bagi terciptanya
hubungan dengan dunia internasional. Perdagangan-perdagangan yang
dilakukan di sekitar pelabuhan utama, memunculkan kebudayaan
pesisir yang heterogen. Lewat daerah pesisir, awalnya Islam di
Kesultanan Banten berkembang dan memegang peranan penting dalam
proses penyebaran agama Islam ke wilayah pedalaman. Maka tidak
heran, jika faktor penyebab perpindahan ibu kota kesultanan Banten,
selain faktor ekonomis dan magis, dilakukan untuk memudahkan proses
penyebaran agama Islam ke daerah-daerah pedalaman. Terlebih
kerajaan-kerajaan Islam banyak berkembang di wilayah sepanjang

21
Oni Hanif Triana, Proses Islamisasi Di Banten (Cuplikan Buku Catatan Masa Lalu Banten
Halwany Michrob & Mudjahid Chudari), (Serang: Dinas Pendidikan Provinsi Banten,
2003), hlm 507

260
pesisir Pantai Utara Jawa, seperti Demak, Cirebon, Gresik, Tuban,
Jepara dan Surabaya.
Peristiwa perpindahan administratif politik di atas, tidak dapat
dipungkiri membawa dampak yang sangat berarti pada pengembangan
kota di Kesultanan Banten selanjutnya. Perpindahan ibukota Banten
pada awal Kesultanan Banten mendorong terjadinya perubahan tata
kota di Kesultanan Banten, terutama pada perubahan ekologi juga
sosiokultural kota dan sosial ekonomis masyarakat.
Menurut sadjarah banten pendiri kesultanan banten ialah
Maulana Hasanuddin, sedangkan menurut tradisi Cirebon, pendiri
kesultanan banten ialah Syarif Hidayatullah yang juga mendirikan
kesultanan Cirebon kemudian menurut beberapa sejarah setelah banten
direbut oleh pasukan gabungan Cirebon dandemak, daerah itu menjadi
bagian dari Cirebon dan dibawah penguasaan Sunan Gunung Djati.
Sunan Gunung Jati atau Syaikh Hidayatullah yang menjadi penguasa
utama di banten tidak mentasbihkan diri menjadi raja pertama tetapi
menyerahkan kekuasaan kepada putranya Sultan Maulana Hasanudin.
meskipun Hasanudin sebagai penguasa banten tetapi keputasan-
keputusannya harus atas persetujuan ayahnya yakni Sunan Gunung
Djati, pada awal kekuasaannya Maulana Hasanudin memproklamirkan
bahwa kerajaan islam banten merupakan vassal dari demak karna
banten dapat direbutdan dari kerajaan sunda pajajaran dan dapat
diislamkan dengan bantuan Raja demak.
Kemudian pada tahun 1528-1529 M, Sultan Trenggana
menghadiakan sebuah Mariam besar buatan demak yang di bubuhi
tahun tersebut kepada penguasa baru dibanten sebagai tanda
penghargaan atas hasil yang telah dicapai, selain membuat keraton
Surosowan, Hasanudin juga telah membangun dua buah masjid di
sekitar banten lama, masjid pertama ialah masjid kerajaan yang terletak
disebelah barat alun-alun, Maulana Hasanudin juga memerdekakan
banten pada tahun 1568 dan pada waktu itu mulai melemahnya

261
kekuasaan demak dan dianggap sebagai raja atau sultan pertama banten.
pada tahun 1570 Sultan Maulana Hasanudin meninggal pada tahun ini
pula bersamaan dengan wafat ayahnya beliau yakni Sunan Gunung
Jati.22
Setelah Maulana Hasanudin wafat kemudian Hasanudin
digantikan oleh Sultan Maulana Yusuf sebagai Raja banten kedua pada
tahun (1570-1580) ia telah memperluas wilayah kekuasaan banten
sampai jauh ke pedalaman yang semula masih dikuasai kerajaan sunda
pajajaran dan berhasil menduduki ibu kota kerajaan dipakuan. pada
masa kesultanan Maulans Yusuf perdagangan dibanten mengalami
kemajuan yang pesat, perkembangan perdagangan dibanten menarik
minat banyak pendatang dari negri lain untuk datang dan berdagang
dibanten. hadirnya Sultan Maulana Yusuf memberikan arti penting bagi
kemajuan kesultanan banten yang periode pemerintahannya selama
kurun waktu 10 tahun dari (1570-1580) yang dapat dianggap sebagai
fase awal bagi pembangunan kesultanan banten sebagai
kotacosmopolitan yang maju pesat disegala bidang. perkembangan
kesultanan Banten menunjukkan signifikansinya ketika pemerintahan
dikendalikan oleh Maulana Yusuf.
Riwayat Singkat Sultan Maulana Yusuf Maulana Yusuf
merupakan putra pertama Maulana Hasanuddin.Beliau mempunyai fisik
yang sangat kuat (SB, Pupuh XXII). Beliau lahir dari rahim keluarga
bangsawan dan pemuka agama Islam yang sangat dihormati. Anak
salah seorang yang mendeklarasikan diri sebagai sultan pertama di
Kesultanan Banten, kelak menjadi daerah yang maju pesat di bidang
perdagangan dan pelayaran nusantara, yaitu Sultan Maulana
Hasanuddin. Kakek beliau merupakan ulama terkemuka yang
mendakwahkan agama Islam di wilayah Jawa Barat (termasuk Banten)
dan menjadi salah satu tokoh walisongo sekaligus pendiri Kesultanan
22
Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Historis Sajarah Banten, (jakarta: Djambatan, 1983), hlm
213-214

262
Cirebon dan Kesultanan Banten, yaitu Sunan Gunung Jati.Bak singa
yang melahirkan singa, bukan singa yang melahirkan anak kambing,
prasasti pemikiran dan pendidikan Maulana Yusuf sangat terefleksi dari
kedua tokoh di atas. Latar keluarga yang berasal dari kalangan ulama
dan paham betul mengenai agama, mendorong Maulana Yusuf untuk
mendalami pendidikan keagamaan Islam semenjak belia. Apalagi untuk
anak sultan atau pangeran yang akan menjadi penerus kerajaan, maka
pendidikan agama adalah syarat utama yang harus dimiliki. Ajaran
Islam membentuk kepribadian Maulana Yusuf yang taat akan perintah
agama. Pemimpin politik sekaligus pemimpin agama yang
menyebarkan agama Islam di Banten. Seorang sultan dalam perspektif
Islam adalah dia yang menjadi pemimpin dan pengayom
masyarakatnya. Terminologi sultan bukan sekadar menjadi pemimpin
politik tetapi juga menjadi pemimpin agama. Seorang Sultan bisa
dipilih melalui pemilihan atau keturunan, dengan satu syarat dia adalah
pemimpin terbaik. Khususnya, terbaik dalam segi akhlak atau
karakternya.
Anak kandung Maulana Hasanudin ini memiliki kepribadian
jasmani yang kuat, maulana yusuf merupakan manusia multidimensi
yang selalu memimpin pasukannya digarda terdepan. dalam peperangan
merebut pajajaran (1579), Maulana Yusuf menjadi pemimpin cum
ulama yang menyebarkan yang menyebarkan agama islam keberbagai
pelosok banten, dan dalam perkembangan kesultanan banten Maulana
Yusuf menjadi teknokrat yang mengembangkan kesultanan banten
sebagai salah satu Bandar utama di Nusantara. sesudah kemenangan
tercapai, pada perkembangan kesultanan banten oleh Sultan Maulana
Yusuf dilakukan dengan membangun berbagai infrastruktur primer
kota, dengan mengunakan bahan baku bangunan utama berupabatu-batu
dan karang.
Ia lebih giat melakukan pembangunan di ibu kota yang baru
banten-surosowan. berdasarkan tradisi Yusuf Maulana telah

263
memperluas bangunan Masjid Agung dengan membuat serambi dan
juga telah membangun masjid lain dikasunyatan (selatan banten lama),
adapun pengembangan pemukiman masyarakat yang beraneka latar
belakang oleh Sultan Maulana Yusuf yang difasilitasi dengan
penyediaan pemukiman berdasarkan pengelomppokan lapisan
masyarakat di kesultanan banten. pengembangan permukiman terdiri
atas empat kriteria pengelompokan yaitu pengelompokan pemukiman
berdasar ras dan suku seperti pecinan dan pekojan, pengelompokan
pemukiman berdasarkan sosial ekonomi seperti pabean, pawilahan dan
pamarican, pengelompokan pemukiman berdasarkan status dalam
pemerintahan dan masyarakat, diantaranya: keraton, kesatrian dan
kewiragunandan dua pemukiman yang dikenal adalah kasunyatan dan
kefakihan. dalam tradisi ini Maulana Yusuf di pandang sebagai pendiri
masjid besar di banten dan sebagai orang yang memulai penanaman
padi sawah disana23 tradisi ini menyebutkan bahwa masjid kasunyatan
didirikan oleh Maulana Yusuf bersama dengan seorang ulama terkenal
yang bernama Syekh Abdul Syukur yang makamnya berada disebelah
timur masjid, dan masjid ini berfungsi sebagai pusat pengembangan
ilmu agama islam. Maulana Yusuf ini bergelar’’Pangeran Panembahan
Pekalangan Gede’’ yang mentitik beratkan pada pengembangan kota,
keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian, juga menaklukkan
kerajaan sunda pakuan, menetapkan batas wilayah dengan Cirebon,
yaitu sungai citarum, pembangunan kraton surosowan, pembuatan
tasikardi, pelabuhan banten menjadi daerah emporium perdagangan,
dan pembagian wilayah pemukiman bagi pedagang asing.
Kemudian pada tahun 1580 Sultan Maulana Yusuf wafat dan
yang berhak naik tahta adalah Maulana Muhammad kanjeng ratu banten
surosowan yang memerintah sejak tahun 1580 hingga tahun 1596,

23
Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Historis Sajarah Banten, (Jakarta: Djambatan,1983), hlm 214.

264
Maulana Muhammad ini merupakan sultan banten yang ketiga. karna
pada waktu itu Pangeran Muhammad masih kecil makamaka
pemerintahan dijalankan oleh mangkubuni sebgai walinya dan yang
bertindak sebagai wali raja ialah: Pangeran Aria Jepara, Maulana
Muhammad dikenal sebagai orang yang amat taat kepada agama, ia
juga bnayak mengarang kitab-kitab agama. sultan Muhammad juga
diketahui sangat menghormati gurunya yang bernama Kyai Dukuh yang
bergelar pangeran kasunyatan dan tinggal dikampung kasunyatan
masjid agung banten diperindah olehnya dengan melapisi tembok
masjid dengan menggunakan porselen dan tiangnya dibuat dari kayu
cendana, ia juga membuat satu tempat khusus untuk tempat sholat kaum
perempuan yang disebut dengan pawastren atau pawadonan dalam
masa pemerintahan Maulana Muhammad mulai lah kedatangan kapal-
kapal belanda pada tahun 1596 yang berlabuh dipelabuhan banten yang
di pimpin oleh Cornelis de Houtman. Maulana Yusuf ini
bergelar’’Kanjeng Ratu Banten Surosowan’’ yang merupakan penulis
kitab-kitabislam, membangun masjid hingga kepeloso-pelosok,
memperbaiki dan meperindah masjid agung, membangun pawestren
atau pawadonan yaitu tempat khusus untuk shalat jamaa’ah kaum
perempuan, dan yang terakhir melakukan ekspansi ke wilayah
Palembang.
A.C Milner mengatakan bahwa pada abad 17, Banten dan Aceh
adalah kerajaan Islam di nusantara yang paling ketat melaksanakan
hukum Islam sebagai hukum Negara. Sementara kerajaan Mataram
tidak ketat melaksanakannya karena masih dipengaruhi oleh adat,
Budha atau Hindu. Demikian pula di Banten, hukuman terhadap
pencuri dengan memotong tangan kanan, kaki kiri, tangan kiri dan
seterusnya berturut-turut bagi pencurian senilai 1 gram emas, pada
tahun 1651-1680 M di bawah sultan Ageng Tirtayasa. Sejarah Banten
menyebut syaikh tertinggi dengan sebutan kyai Ali atau ki Ali yang
kemudian disebut dengan kali (Qadhi yang dijawakan). Orang yang

265
memegang jabatan ini sekitar tahun 1650 diberi gelar Fakih Najmuddin.
Gelar inilah yang dikenal selama dua abad selanjutnya. Qadhi pada
permulaan dijabat oleh seorang ulama dari Mekah, tetapi belakangan
setelah tahun 1651 qadhi yang diangkat berasal dari keturunan
bangsawan Banten. Qadhi di Banten mempunyai peranan yang besar
dalam bidang politik misalnya penentuan pengganti maulana Yusuf. 24

A. Kesultanan di Jawa Tengah


1. Kesultanan Demak
Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa. Sebelumnya, Demak
merupakan daerah vasal Majapahit yang dipercayakan Raja Majapahit
kepada anaknya, Raden Patah. Raden Patah sendiri kemudian menjadi raja
pertama Kesultanan Demak.25 Kesultanan Demak lambat laun menjadi
pusat perkembangan agama Islam yang diramaikan oleh para wali.
Merekalah yang memimpin penyebaran agama Islam di seluruh Jawa,
yang dikenal dengan istilah “Walisongo”.26 Yang terakhir ini menjadi
simbol penyebaran Islam di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga
berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan
kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para
Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain. Di Era
Walisongolah berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya
Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Walisongo tinggal
di tiga wilayah penting utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-
Lamongan di Jawa Timur, DemakKudus-Muria di Jawa Tengah dan

24
H. J. De Graaf & Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, (Jakarta : PT Pustaka Utama
Grafiti,2003), hlm. 147
25
Taufiq Abdullah, Sejarah Umat Islam Indonesia, hlm, 69.
26
M.Hum Purwadi, Gerakan Spiritual Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Media Abadi, 2004), hlm,
19-41.

266
Cirebon di Jawa Barat. Walisongo memiliki andil yang besar dalam
penyebaran Islam di tanah Jawa. Unsur-unsur dalam Islam berusaha
ditanamkan dalam budaya Jawa. Sebaliknya, mereka mengajarkan Islam
dengan sikap toleran pada budaya lokal.
Menurut Moedjanto, sepanjang periode Demak, ulama Jawa
merupakan tokoh-tokoh politik dan keagamaan yang utama sehingga
mereka bisa menguasai raja dan bangsawan lokal.27 Seperti disebutkan
oleh babad Jawa dan sumber-sumber Belanda awal, bahwa kerajaan-
kerajaan ini didominasi oleh para ulama. Para ulamalah yang membantu
raja dalam melaksanaan roda pemerintahan, terutama terkait persoalan-
persoalan agama. Ketika Kesultanan Demak hendak didirikan, Sunan
Ampel (Raden Rahmat) turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama
di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari
Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak. Di
Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja
Majapahit, ia membangun dan mengembangkan pondok pesantren. Mula-
mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15,
pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di
wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah
Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya
untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura. 28 Kepada
santrinya, Sunan Ampel memberikan pengajaran sederhana yang
menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang
mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling,
moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum
minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak
berzina."

27
G. Moedjanto, The Concept of Power in Javanese Culture, (Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press, 1986), hlm, 15-16.
28
Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia, (Jakarta: Lentera, 1999), hlm,
42-43.

267
Selain Sunan Ampeli , putranya, Sunan Bonang juga turut menjadi
penyokong penyebaran Islam di Kesultanan Demak. Ia terlibat dalam
pembangunan mesjid Agung Demak, bersama dengan wali-wali lainnya.
Menurut cerita tradisional yang terekam dalam sejumlah naskah, Mesjid
Demak menjadi pusat kegiatan keagamaan, pendidikan, dan sosial
kemasyarakatan. Di sinilah para wali sering berjumpa dan melakukan
musyawarah, termasuk Sunan Bonang. 29 Sunan Bonang alias Ibrahim
Makhdum adalah wali sufi yang dikenal sangat produktif dalam dunia
penulisan. Menurut Abdul Hadi W.M, karyanya benar-benar
mencerminkan zaman peralihan dari Hindu ke Islam yang berlaku di
Nusantara kala itu. Karya-karyanya pada umumnya berupa suluk, yaitu
puisi-puisi dalam bentuk tembang Jawa yang memaparkan jalan
keruhanian dalam ilmu tasawuf, dengan menggunakan
perlambangperlambang atau tamsil. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk
Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wujil,
Suluk Wasiyat, Gita Suluk Latri dan lain-lain. Dia juga menulis risalah
Tasawuf dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya.
Salah satu versi dari risalah tasawufnya itu telah ditransliterasi dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Drewes dengan judul The
Admonitions of She Bari (Pitutur Syekh Bari).30 Dari sini terlihat betapa
para wali berusaha untuk melakukan pribumisasi terhadap ajaran agama
Islam.
Peran para ulama / wali sangat besar terhadap jalannya pemerintahan
di Kesultanan Demak. Hal ini terlihat sejak pertama kali proses Islamisasi
di Jawa Tengah dengan memposisikan Sultan Fatah pemuka di
Glagahwangi Bintari Demak sekitar tahun 1468 M, sampai pengangkatan
Sultan Fatah sebagai Sultan Demak pertama dan sultan-sultan

29
H.J. deGraaf dan Th.G. Th. Pigeud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (Jakarta: Grafiti Press,
1985), hlm, 33-34.
30
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: CV. Nuansa Jaya Mandiri pekanbaru,
2014), hlm, 59.

268
penggantinya. Para ulama juga mengambil bagian dalam menentukan
kebijakan pemerintah dan ikut bertanggung jawab atas keamanan dan
kesejahteraan negara. Bahkan disebutkan bahwa para ulama juga ikut
berperang sebagai panglima, pengatur siasat, dan penggerak massa. Hal ini
dapat dimengerti mengingat Sultan Fatah seusia dan seangkatan dengan
Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, dan Sunan Kalijaga. Sikap
toleransi yang dimiliki masyarakat Demak, memiliki arti dan pengaruh
besar terhadap perkembangan dakwah Islam. Dakwah Islam dengan
terbuka dan tanpa paksaan menyebabkan Islam dapat berkembang dengan
pesat. Mereka bersedia menerima apa yang datang dari luar dengan tidak
membuang sama sekali apa yang sudah dimiliki. Sehingga dalam waktu
tidak terlalu lama, Sultan Fatah beserta Walisongo sebagai cermin
kolaborasi ulama-umara memperoleh kesuksesan yang besar dan berhasil
mengislamkan masyarakat Demak bahkan masyarakat Jawa pada
umumnya yang pada masa itu masih memeluk kepercayaan lama seperti
Hindu, Buddha, Animisme, dan lain-lain. 31
Dukungan ulama lainnya terhadap Kesultanan Demak diperlihatkan
oleh Sunan Giri. Misalnya, ketika Raden Patah melepaskan diri dari
Majapahit dan mendirikan Kesultanan demak, Sunan Giri bertindak
sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan itu. Hal tersebut
tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh
Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan
se-Tanah Jawa. Pada saat yang sama, ia tetap aktif menjadi pimpinan
pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam
bahasa Jawa, bukit adalah "giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya berpungsi sebagai tempat pendidikan dalam arti
sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Para santri
pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai
pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa
31
Ridin Sofwan, Wasit dan Mundir. Islam di Jawa: Wali Songo Penyebar Islam di Jawa Menurut
Penuturan Babad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),

269
Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua
sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Sunan Giri dikenal mempunyai pengetahuannya yang luas dalam ilmu
fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga
pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan,
Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri.
Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa
namun syarat dengan ajaran Islam. Giri Kedaton bertahan hingga 200
tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai
tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad
18.32
Kesultanan Demak berada di bawah pemerintahan Raden Patah sejak
akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Dikatakan, Raden Patah adalah
hasil perkawinan salah seorang raja Majapahit dengan seorang Muslimah
keturunan Campa. Kepemimpinannya digantikan oleh anaknya, Pati Unus.
Menurut Tome Pires, Pati Unus baru berusia 17 tahun ketika ia naik ke
singgasana menggantikan ayahnya sekitar tahun 1507. Demak di bawah
pemerintahan Pati Unus adalah Demak yang berwawasan Nusantara. Visi
besarnya adalah menjadikan Demak sebagai kesultanan maritim yang
besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan
pendudukan Portugis di Malaka. Dengan adanya Portugis di Malaka,
kehancuran pelabuhanpelabuhan Nusantara tinggal menunggu waktu.
Karena itu, tidak lama setelah naik tahta, Pati Unus menyerang Malaka
yang ketika itu telah dikuasai Portugis. Akan tetapi, tahun 1512-1513,
tentaranya mengalami kekalahan besar.33
Pati Unus digantikan oleh Trenggono yang bergelar Sultan Ahmad
Abdul Arifin. Ia berjasa atas penyebaran Islam di Jawa. Di bawah

32
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara (Pekanbaru: CV. Nuansa Jaya Mandiri pekanbaru,
2014), hlm, 59.
33
H.J. DeGraaf dan Th.G. Th. Pigeud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (Jakarta: Grafiti Press,
1985), hlm, 49.

270
pemerintahan sultan Demak ketiga ini (tahun 1524-1546), Islam tersebar
sangat cepat ke seluruh tanah Jawa bahkan sampai ke Palembang dan
Kalimantan. Pengakuan kekuasaan Demak oleh Banjarmasin dan
Palembang semakin memperluas penyebaran Islam. Selain itu, Ia juga
berhasil merebut Sunda Kelapa dari Pajararan serta menghalau tentara
Portugis yang akan mendarat di sana, menguasai Majapahit, dan Tuban
sekitar tahun 1527. Selanjutnya Demak juga berhasil menaklukkan
Madiun tahun 1529 dan Blora pada tahun 1530, Surabaya pada tahun
1531, Pasuruan tahun 1535, Lamongan, Blitar, dan Wirasaba tahun 1541,
serta Kediri tahun 1544.34 Sultan Trenggono meninggal pada tahun 1546
dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian
digantikan oleh Sunan Prawoto.
Suksesi ke tangan Prawoto tidak berjalan mulus, Ia ditentang oleh
adik Sultan Trenggono, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Pangeran ini
akhirnya terbunuh. Pada tahun 1549 Sunan Prawoto beserta keluarganya
“dihabisi” oleh suruhan Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda
Lepen. Ia juga berhasil membunuh Pangeran Hadiri, adipati Jepara. Arya
Penangsang kemudian menjadi penguasa tahta Demak, namun akhirnya
berhasil dibunuh dalam peperangan oleh pasukan Joko Tingkir, menantu
Sunan Prawoto. Meninggalnya Sunan Prawoto pada tahun 1549 menandai
berakhirnya kerajaan Demak. Joko Tingkir memindahkan istana Demak ke
Pajang, dan di sana ia mendirikan Kesultanan Pajang. 35
Salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak adalah Mesjid
Agung Demak, yang diduga didirikan oleh para Walisongo. Lokasi
ibukota Kesultanan Demak, yang pada masa itu masih dapat dilayari dari
laut dan dinamakan Bintara, saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa
Tengah.

34
Ibid.
35
Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: CV. Nuansa Jaya Mandiri pekanbaru,
2014), hlm, 62.

271
2. Kesultanan Pajang
Seperti disebutkan di atas, Kesultanan Pajang adalah pelanjut
Kesultanan Demak, yang didirikan oleh Jaka Tingkir, yang berikutnya
lebih dikenal dengan gelar Sultan Adiwijaya. Kesultanan ini merupakan
kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah pedalaman pulau Jawa.
Dengan berdirinya Kesultanan Pajang, sejarah Islam di Jawa
memperlihatkan babak baru. Kekuasaan politik yang semula berpusat di
pesisir sekarang berpindah ke daerah pedalaman. Peralihan pusat politik
itu, membawa akibat yang sangat besar bagi perkembangan peradaban
Islam di Jawa. Kesusasteraan dan kesenian keraton yang sudah maju di
Demak dan Jepara lambat laun dikenal di pedalaman Jawa. Pengaruh
agama Islam yang kuat di Pesisir menjalar dan tersebar di daerah
pedalaman.
Pada awal berdirinya tahun 1549, wilayah Kesultanan Pajang hanya
meliputi sebagian Jawa Tengah saja, karena negeri-negeri Jawa Timur
banyak yang melepaskan diri sejak kematian Sultan Trenggono. Di bawah
pemerintahan Sultan Adiwijaya, kekuasaan Kesultanan Pajang berhasil
meluas ke berbagai daerah pedalaman sampai ke Madiun (1554), Blora
dan Kediri. Ia juga berhasil menjalin hubungan yang baik dengan raja-raja
di Jawa Timur. Pada tahun 1581, Sultan Adiwijaya dan para adipati Jawa
Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Pertemuan itu
dihadiri oleh para adipati dari Japan, Wirasaba, Kediri, Surabaya,
Pasuruan, Madiun, Sidayu, Lasem, Tuban, dan Pati. Dalam kesempatan
itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas negerinegeri
Jawa Timur. Ia mendapatkan pengakuan kekuasaan sebagai raja Islam dan
sultan dari raja-raja terpenting di Jawa Timur. 36
Pada tahun 1568 Sultan Adiwijaya dan para adipati Jawa Timur
dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prepen. Dalam kesempatan itu,
para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri
36
H.J. deGraaf dan Th.G. Th. Pigeud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (Jakarta: Grafiti Press,
1985),, hlm, 241

272
Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama Surabaya
(pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur) dinikahkan dengan putri
Sultan Adiwijaya. Negeri kuat lainnya, yaitu Madura juga berhasil
ditundukkan Pajang. Pemimpinnya yang bernama Raden Pratanu alias
Panembahan Lemah Duwur juga diambil sebagai menantu Sultan
Adiwijaya. Pelaut Inggris, Sir Francis Drake, saat singgah di Jawa pada
tahun 1580 melaporkan bahwa jumlah raja di Pulau Jawa sangat besar;
tetapi hanya seorang raja yang mereka akui sebagai penguasa tertinggi. De
Graaf dan Pigeaud menduga bahwa yang dimaksud oleh Francis Drake itu
adalah Sultan Pajang, yaitu Sultan Adiwijaya. 37
Pada tahun 1582 Mataram yang dipimpin oleh Sutawijaya
melakukan pemberontakan, karena adik iparnya, Tumenggung Mayang,
dihukum buang oleh Sultan Adiwijaya ke Semarang. Pemberontakan ini
berakhir menjadi perang antara Kesultanan Pajang dan Mataram, yang
dimenangkan oleh pihak Mataram meskipun pasukan Pajang berjumlah
lebih besar. Sepulang dari perang, Sultan Adiwijaya jatuh sakit dan
meninggal dunia pada tahun 1587.
Sepeninggal Sultan, terjadi persaingan antara putra dan menantunya,
yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya
Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.
Pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam
terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat
Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin. Pada
tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu
Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Sultan
Adiwijaya, namun Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai
saudara tua. Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir
dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu
Demak, sementara Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang

37
Ibid; hlm. 242

273
ketiga. Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada
putra mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan
sebagai negeri bawahan Mataram. Yang menjadi bupati di sana ialah
Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya. Sutawijaya sendiri mendirikan
Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja pertama bergelar
Panembahan Senopati. 38 Senopati memboyong semua benda pusaka
kraton Pajang ke Mataram.

3. Kesultanan Mataran
Setelah pamor Kasultanan Pajang redup, Mataram muncul sebagai
sebuah kerajaan Islam pada paruh kedua abad XVI M. Kesultanan yang
diproklamasikan oleh Panembahan Senopati itu pun menandai jejak
terIslamkannya tanah yang sejak ratusan tahun sebelumnya juga bernama
Mataram yang kental dengan warna Hindu - Buddha-nya. Pusat
pemerintahannya berada di Mentaok,39 wilayah yang terletak kira-kira di
timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang.
Istana raja semula terletak di Banguntapan, dan sempat berpindah
beberapa kali setelah itu, dari Kotagede ke Plered dan kemudian
Kartasura.
Semula wilayah kekuasaan Mataram terbatas pada daerah Jawa
Tengah sekarang, mewarisi bekas wilayah kekuasaan Pajang. Tahun 1619
ketika Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung, praktis seluruh
tanah Jawa berada di bawah pemerintahan Kesultanan ini, termasuk
Madura. Pada masa ini pula di kesultanan Mataram pertama kali dilakukan
perubahan tata hukum dibawah pengaruh hukum Islam. Peradilan pradata
(Hindu) dirobah menjadi peradilan surambi karena peradilan ini bertempat
di serambi Mesjid Agung. Perkara kejahatan yang menjadi urusan
peradilan ini ditetapkan menurut kitab Kisas yaitu kitab undang-undang
hukum Islam pada masa Sultan Agung. Penghulu pada masa itu selain

38
Ibid.
39
Ibid.

274
bertugas sebagai mufti, yaitu penasehat hukum Islam dalam sidang-sidang
pengadilan negeri, juga berperan sebagai qadi atau hakim, sebagai imam
masjid raya, sebagai wali hakim dan sebagai amil zakat.
Di masa pemerintahan Sultan Agung, konflik dan kontak bersenjata
dengan VOC mulai terjadi. Sultan Agung menetapkan Amangkurat I
sebagai putera Mahkota. Sultan Agung wafat tahun 1646 dan digantikan
oleh putera mahkota. Masa pemerintahan Amangkurat I hampir tidak
pernah reda dari konflik. Dalam setiap konflik, yang tampil sebagai lawan
adalah mereka yang didukung oleh para ulama yang didasari oleh
keprihatinan agama dan perdagangan. Sampai suatu ketika Amangkurat I
yakin bahwa santri dan ulama menjadi ancaman bagi tahtanya. Tahun
1647, sekitar 5000 sampai 6000 ulama beserta keluarga mereka dibunuh.
Hal ini menggambarkan ketidakharmonisan antara penguasa dan ulama.
Keduanya malah berada dalam dua ufuk yang makin berjauhan. Hal ini
semakin menggejala ketika kekuasaan asing hadir, yang kadang-kadang
memberi pengaruh terhadap gaya hidup kraton, yang menyebabkan ulama
dan santri makin menjauhkan diri. 40
Pada tahun 1677 M dan 1678 pemberontakan para ulama muncul
kembali dengan tokoh spiritual Raden Kajoran. Pemberontakan-
pemberontakan seperti inilah yang mengakibatkan lemahnya kekuasaan
Mataram,115 disamping konflik yang selalu terjadi antara bangsawan
kraton, dimana VOC selalu siap mencari keuntungan dari setiap kemelut
yang terjadi.
Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari
1755 (Kemis Kliwon, 12 Rabingulakir 1680 TJ) menyatakan bahwa
Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta
Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Surakarta
dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono III, sementara Ngayogyakarta –

40
Taufiq Abdullah, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: IP3ES,
1996), hlm, 142-143.

275
atau lazim disebut Yogyakarta- dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi
yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I.
Tanggal 13 Maret 1755 (Kemis Pon, 29 Jumadilawal 1680 TJ)
adalah tanggal bersejarah untuk Kasultanan Yogyakarta. Pada tanggal
inilah proklamasi atau Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat
dikumandangkan. Selanjutnya, Sultan Hamengku Buwono I memulai
pembangunan Keraton Yogyakarta pada tanggal 9 Oktober 1755.
Setelah musyawarah penentuan daerah baru selesai maka
disampaikanlah kepada Paku Buwana II bahwa Desa Sala sangat cocok
untuk didirikan keraton baru sebagai pengganti Keraton Kartasura dan
kemudian dibangunlah keraton baru tersebut dan pada tanggal 17 Februari
1745 Keraton baru di Desa Sala resmi di tempati sebagai pengganti
keraton lama, kemudian diberi nama Keraton Surakarta, yang memiliki
makna ”Berani Karena Kebenaran dan Kejayaan”, kehidupan di Keraton
Surakarta Hadiningrat sangat tentram sesuai dengan ramalan yang
dilakukan oleh Tumenggung Hanggwangsa karena daerah Keraton
Surakarta sangat subur dan pasokan air untuk pertanian sangat berlimbah
karena dekat dengan sumber air dan para rakyatnya pun makmur sehingga
menjamin kehidupan rakyat Surakarta pada masa itu.41
Sebelum era konsolidasi Mataram, tokoh-tokoh suci muslim atau
wali, membentuk beberapa kerajaan independen yang berpusat di sekitar
makammakam suci seperti halnya yang terdapat di Giri, Cirebon,
Kadilangu, dan Semarang. Para tokoh-tokoh muslim tersebut mendirikan
masjid, sekolahan, dan berdakwah di kalangan masyarakat Jawa. 42
Sedangkan Kerajaan Mataram Islam mewarisi agama dan peradabannya
sebagian besar dari kerajaan-kerajaan sebelumnya.43 Kerajaan ini
membawa pengaruh besar dalam penyebaran Agama Islam di Jawa,

41
Ricklefs, M.C, A History of Modern Indonesi, hlm, 311.
42
Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian satu & dua, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1999), hlm, 736.
43
De Graaf dan Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, hlm, 262.

276
dengan metode dakwah yang digunakan mampu menarik simpati
masyarakat yang waktu itu mayoritas beragama HinduBudha.
Panembahan Senapati sebagai pendiri pertama Kerajaan Mataram
berhasil menguasai daerah pedalaman dan daerah-daerah pesisir. Senapati
menjadikan Agama Islam sebagai agama resmi kerajaan. Agama Islam
yang mulanya tumbuh dari orang-orang pesisir kemudian meluas ke
daerah-daerah pedalaman. Mataram yang terletak di daerah pedalaman dan
juga menguasai daerah-daerah pesisir membuat kondisi sosial yang
berbeda antara keduanya membentuk dua model keberagamaan yaitu
Islam Kejawen (sinkretis) dan Islam Santri.
a. Islam Kejawen (Budaya Istana)
Sebagian besar orang-orang pedalaman yang dekat dengan pusat
kebudayaan Hindu, mereka menerima Agama Islam dan
mencampuradukkan dengan adat istiadatnya, sehingga perkembangan
Islam di daerah pedalaman Jawa membentuk corak tersendiri, yaitu
Islam yang disesuaikan dengan adat istiadat Hindu, yang dikenal
dengan Islam Sinkretis atau Kejawen.44 Bentuk Sinkretis atau Kejawen
yaitu suatu keyakinan dan konsep-konsep Hindhu Budha yang
cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui
sebagai Agama Islam, 45 Golongan Islam Kejawen, walaupun tidak
menjalankan salat, atau puasa, serta tidak bercita-cita naik haji, tetapi
mereka percaya kepada ajaran keimanan Agama Islam, yaitu dengan
mengakui Allah SWT sebagai Tuhanya dan Nabi Muhammad SAW
sebagai Kanjeng Nabi.46
Orang-orang kejawen juga menggangap Al-Qur’an sebagai
sumber utama dari segala pengetahuan, tetapi orang-orang Islam Jawi
dalam melakukan berbagai aktifitas keagamaan sehari-hari dipengaruhi

44
Bodiono Herusatoto. Simbolisme Jawa,(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), hlm, 26
45
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm, 312.
46
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Djambatan,
1980), hlm, 340.

277
oleh keyakinan, konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai
budaya dan norma-norma yang kebanyakan berada di dalam alam
pikiranya. Peralihan kekuasaan dari Demak sampai Mataram
memperlihatkan pemetaan kekuasaan yang berbeda. Kesultanan
Demak berada di daerah pesisiran dengan Islam Pesantren, sedangkan
Kerajaan Mataram berada di daerah pedalaman dengan Islam
kejawennya.47 Secara umum, Islam kejawen dianut oleh raja dan para
bangsawan yang berada di daerah pedalaman. Seperti, negara agung di
Jawa Tengah, di Bagelen dan di daerah Mancanegara.
Pola budaya Islam Kejawen pada masa Mataram sama seperti
pola budaya kejawen pada zaman Hindu-Budha, hanya agamanya yang
beralih dari Hindu-Budha Kejawen manjadi Islam Kejawen. Islam
Jawa mengakar di daerah pedalaman Jawa, terutama daerah yang
masuk ke dalam kekuasaan Kerajaan Mataram, setelah kesultanan
Demak mengalami kemunduran dan berlanjut sampai kerajaan
Surakarta dan Yogyakarta.48 Mataram tetap mempertahankan Falsafah
“raja titisan dewa” (God King) dengan mitologi kuno warisan zaman
Syiwa-Budha tentang mitologi Nyai Roro kidul, pusaka yang
dikeramatkan dan upacara tradisional masa lalu merupakan alat politik
yang amat efektif unutk melanggengkan wibawa Kerajaan Jawa
Tradisional. Inilah yang menyebabkan lingkungan budaya kejawen
Kerajaan Jawa sesudah zaman Islam pun masih tetap melestarikan
mitologi dan upacara kerajaan yang dikeramatkan warisan zaman
Hindu-Budha Kejawen. 49

47
Saifullah, Sejarah & Kebudayaan Islam di Asia Tenggara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
hlm. 32
48
Bodiono Herusatoto. Simbolisme Jawa, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), hlm, 95.
49
Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Jakarta: Teraju, 2003), hml, 94.

278
b. Islam Santri
Kebudayaan pesisir yaitu kebudayaan yang terdapat di Pantai
Utara Pulau Jawa, masyarakat pesisir menjalankan Agama Islam
puritan (Islam Santri) yang mempengaruhi kehidupan sosial budaya
mereka. Pada masa Panembahan Senapati di Kerajaan Mataram daerah
pesisir di bagian tengah meliputi daerah Kudus, Demak dan daerah
sekitarnya. 50 Mengenai Islam santri mereka adalah penganut Agama
Islam di Jawa yang secara utuh patuh dan teratur menjalankan ajaran-
ajaran dari agamanya. 51 Sistem keyakinan mereka terhadap Allah,
Nabi Muhammad, mengenai penciptaan dunia, perilaku yang baik dan
buruk, kematian dan kehidupan dalam akhirat, yang kesemuanya telah
dipastikan adanya. Keyakinan terhadap Allah, Islam santri
mengantungkan dirinya kepada “Kehendak Tuhan”, sedangkan
keyakinan Islam santri terhadap Nabi Muhammad dan nabi lainnya,
mereka mengakui adanya semua nabi dan yakin bahwa Allah telah
berkehendak kepada berbagai ras di dunia melalui beberapa utusanya
dan menyakini bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir. 52
Sejak berdirinya Kesultanan Demak, sebagai Kerajaan Islam
pertama di Jawa abad ke-16 merupakan bukti usaha penyiaran Islam
yang dipelopori oleh wali songo dengan membangun kekuatan politik,
menyebabkan Islam secara langsung menjangkau lapisan masyarakat
bangsawan/priyayi maupun abangan. Penyebaran Agama Islam ini
mendapat dukungan oleh kerajaan Pesisir lainya, seperti, Surabaya,
Tuban, Madura, Cirebon, dan Banten. Secara tidak langsung
Kesultanan Demak merupakan simbol Kerajaan Islam pesisiran yang
bertentangan dengan Kerajaan Majapahit yang menjadi benteng
terakhir kerajaan Pedalaman. Demikian pula yang terjadi pada masa

50
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hml, 26.
51
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,(Yogyakarta: Penerbit Djambatan,
1980), hlm, 340.
52
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hml, 381.

279
berikutnya, Kerajaan Pesisiran tidak mau tunduk kepada kerajaan
pedalaman Pajang dan juga Mataram. Kerajaan Pesisir itu menganggap
lebih santri daripada Pajang dan Mataram yang menonjolkan
kejawenya.53
Benturan peradaban antara Kerajaan Demak dan Kerajaan
Mataram, di mana Kerajaan Demak lebih berorientasi di daerah pesisir
dan Kerajaan Mataram di daerah pedalaman. Telah disinggung di atas,
Mataram sebagai pewaris Kerajaan Demak dan Pajang mempunyai
wilayah pesisir dan pedalaman mengakibatkan pemetaan keberadaan
Islam Santri dan Islam Jawa. Pada masa Panembahan Senapati masih
ada perselisihan keagamaan. Baru pada masa Sultan Agung berusaha
membendung perselisihan tersebut dengan mengurangi pengaruh Islam
dari dalam, dengan tujuan untuk mempertahankan warisan budaya dan
peradaban kejawen lama. 54
Kerajaan Mataram yang berpusat di daerah pedalaman Jawa
memang menjadi tarik ulur antara Islam Pesantren yang ortodoks dan
paham Islam Jawa, sehingga terjadi Islamisasi Jawa dan Jawanisasi
Islam semakin kuat. Setelah Mataram berhasil menaklukkan pusat-
pusat pengajaran Islam di pesisir utara Jawa, seperti Pasuruan, Tuban,
Surabaya, 55 Pati, dan Giri. Islam Jawa lebih menguat dengan
mempertahankan warisan budaya dan peradaban kejawen. Berdirinya
Kerajaan Mataram menjadi sejarah yang berarti di Jawa terutama
dalam bidang keagamaan, kerajaan ini berhasil membangun perpaduan
yang harmonis antara Hindu-Islam melalui Islamisasi. 56

53
Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Jakarta: Teraju, 2003), hml, 89.
54
Ibid; hlm, 93.
55
Ibid; hml, 68.
56
Chairul Akhmad, Sinkretisme Jawa-Islam dan kerajaan Mataram, (Jakarta: Republika, 2013),
hlm, 14.

280
Kerajaan Mataram sebagai Kerajaan Islam, melindungi dan
mendorong kepatuhan terhadap agama merupakan cara yang penting di
dalam kerajaan untuk mempertahankan keseimbangan ketentraman dan
ketertiban negara, karena itu agama harus dijadikan salah satu tata
pemerintahan. 57 Masa Kesultanan Demak himpunan undang-undang Jawa
mulai dibuat, di mana beberapa isinya dipadukan dengan yurisprudensi
Islam. Hal demikian mungkin ditujukan untuk memperkenalkan hukum
Islam secara keseluruhan. Sedangkan masa Kerajaan Mataram, Kitab
undang-undang Suria Alem merupakan acuan tata hukum kerajaan yang
dipengaruhi oleh hukum Islam. Kitab ini merupakan paduan dari hukum
Islam dan hukum Adat dari zaman terdahulu. Sebagai seorang raja, baik
dirinya sendiri maupun pegawainya diharuskan untuk bijaksana dalam
menerapkan hukum Islam pada masyarakat dan menerapkan hak istimewa
yang bebas. Kekuasaan tersebut yang mendukung setiap penyimpangan
dari pernyataan hukum kaum Islam, hukum Jawa, juga diekspresikan
dengan istilah yudha negara.58
Selain itu unsur keagamaan dalam kehidupan Kerajaan Mataram
terlihat dengan adanya jawatan pemerintahan yang disebut Reh Pengulon
(Lembaga Kepenghuluan), dimana bertanggung jawab atas urusan-urusan
agama, ternasuk melaksanakan keadilan dan pertikaian-pertikaian dalam
yurisdiksi hukum Islam. Sebenarnya lembaga kepenghuluan sudah ada
pada zaman sebelumnya, karena penghulu adalah kepala alim ulama di
masjid di ibukota raja dan berangsur-angsur masuk ke dalam sistem
pemerintahan sebagai kepala suatu bagian pemerintahan yang khusus. 59

57
Moertono Soemarsaid, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Pada Massa L, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm, 97.
58
Thomas Stamford Raffles, History of Java, terj. Eko Prasetyaningrum dkk (Yogyakarta: Narasi,
2008), hlm, 179.
59
Moertono Soemarsaid, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Pada Massa Lalu, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1985), hm, .97.

281

Anda mungkin juga menyukai