Anda di halaman 1dari 18

18/03/2021 2.

Rinitis Alergi + VIDEO

2. Rinitis Alergi + VIDEO


Site: E-Learning Kolegium THT-KL Printed by: UNHAS dr. Fauzan Rochman
Course: Program Pendidikan Dokter Spesialis THT-KL Date: Thursday, 18 March 2021, 3 54 PM
Book: 2. Rinitis Alergi + VIDEO

https://elearning.kolegiumthtkl.com/mod/book/tool/print/index.php?id=27 1/18
18/03/2021 2. Rinitis Alergi + VIDEO

Table of contents
1. Pendahuluan
2. Definisi
3. Klasifikasi Rinitis Alergi
4. Diagnosis dan identifikasi alergi
4.1. Pemeriksaan Fisik
4.2. Pemeriksaan Penunjang
4.3. Diferensial diagnosis
4.4. Patogenesis Rinitis Alergi
4.5. Eliminasi Alergen
4.6. Tatalaksana Rinitis Alergi

https://elearning.kolegiumthtkl.com/mod/book/tool/print/index.php?id=27 2/18
18/03/2021 2. Rinitis Alergi + VIDEO

1. Pendahuluan
 

Diskusi
 

Rinitis alergi merupakan penyakit  inflamasi yang  banyak dijumpai, tetapi  karena tidak bersifat fatal maka sementara ini belum mendapat
perhatian  yang serius baik dari penderita maupun  petugas kesehatan. Prevalensi rinitis alergi terus meningkat pada dekade terakhir, dan menjadi
masalah kesehatan dunia yang harus mendapat perhatian, terutama di negara-negara berkembang. Prevalensinya antara 10-30% dari populasi
dunia atau terjadi pada lebih dari 400 juta orang di seluruh dunia, angka kejadian rinitis alergi bervariasi di berbagai negara, di Eropa prevalensinya
sekitar 4-32% sedangkan di Amerika Serikat prevalensinya antara 3-19%. Asia Pasifik lebih dari 150 juta orang, India, Pakistan dan negara
sekitarnya lebih dari 100 juta orang, Amerika Tengah dan Selatan  lebih dari 75 juta orang. Di kawasan Asia-Pasifik yaitu di negara Australia, China,
Hongkong, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam, prevalensi rinitis alergi rerata berkisar antara 4,2-13,2%.
Data epidemiologik secara nasional  belum didapatkan di Indonesia. Angka yang ada biasanya  di dasarkan  pada kejadian di Rumah sakit atau 
dari survey yang  tidak cukup menggambarkan kejadian di seluruh masyarakat. Pedoman ini penatalaksanaan RA sebagian besar didasarkan pada
konsep  dokumen ARIA ( Allergic Rhinitis  and its Impact on Asthma) yang disusun berdasarkan atas inisiatif kelompok kerja  WHO.    Konsep 
semacam guidelines untuk penatalaksanaan rinitis alergi ini disesuaikan dengan kemungkinan fasilitas yang ada di berbagai RS di Indonesia.

https://elearning.kolegiumthtkl.com/mod/book/tool/print/index.php?id=27 3/18
18/03/2021 2. Rinitis Alergi + VIDEO

2. Definisi
Rinitis alergi adalah reaksi inflamasi dari muosa hidung yang diperantai oleh IgE yang ditandai kongesti/obstruksi hidung, rinorea, gatal hidung dan
atau gatal mata dan atau bersin.

https://elearning.kolegiumthtkl.com/mod/book/tool/print/index.php?id=27 4/18
18/03/2021 2. Rinitis Alergi + VIDEO

3. Klasifikasi Rinitis Alergi


Berdasarkan konsensus ARIA-WHO 2008 (Allergic Rhinitis and Its impact on Asthma- World Health Organization), rinitis alergi diklasifikasikan
menurut adanya gangguan kualitas hidup menjadi ringan, dan sedang-berat, sedangkan berdasar waktu  dibagi menjadi intermiten dan persisten.

Intermiten
Persisten
Gejala:
Gejala:
< 4 hari per minggu
4 hari per minggu
Atau < 4 minggu
Dan > 4 minggu
Ringan Sedang-Berat
Satu atau lebih gejala
Tidur normal Tidur terganggu
Aktifitas sehari-hari saat olahraga dan saat santai normal Aktifitas sehari-hari, saat olahraga dan saat santai terganggu
Saat bekerja dan sekolah terganggu
Bekerja dan sekolah normal Ada keluhan yang mengganggu
Tidak ada keluhan yang mengganggu

https://elearning.kolegiumthtkl.com/mod/book/tool/print/index.php?id=27 5/18
18/03/2021 2. Rinitis Alergi + VIDEO

4. Diagnosis dan identifikasi alergi


3.1. Anamnesis
Anamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan dengan pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di
hidung termasuk keterangan mengenai tempat tinggal / kerja dan pekerjaan penderita.
Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah :
-          Bersin (lebih dari 5 kali setiap kali serangan), rinore (ingus bening encer)
-          Hidung tersumbat (menetap/ berganti-ganti),  gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau telinga. 
-          Kadang disertai : Mata gatal, berair atau kemerahan, hiposmia / anosmia, posterior nasal drip atau batuk kronik
Frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit, intermiten atau persisten.
Pengaruh terhadap kualitas hidup seperti adakah gangguan terhadap pekerjaan, sekolah, tidur dan aktifitas sehari-hari.
Komorbid di organ lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis alergi 
Rinosinusitis, asma bronkhial, eosinofilik otitis media, hipertrofi tonsil adenoid, dermatitis atopik, urtikaria, alergi makanan
Riwayat atopi di keluarga
Apakah ada anggota keluarga (ayah, ibu, saudara sekandung) yang pernah menderita salah satu penyakit alergi tersebut diatas (Riwayat atopik
keluarga).
Faktor pemicu timbulnya gejala rinitis alergi
Lingkungan misalnya polutan, asap rokok, udara dingin,  polutan, bau kimia seperti parfum, bau deodoran dan olah raga. Selain itu terdapat juga
hipersensitifitas dan hiperesponsif.
Riwayat pengobatan dan hasilnya
    Efektifitas obat yang dipergunakan sebelumnya dan macam pengobatan yang sudah
    diterima dan kepatuhan berobat

https://elearning.kolegiumthtkl.com/mod/book/tool/print/index.php?id=27 6/18
18/03/2021 2. Rinitis Alergi + VIDEO

4.1. Pemeriksaan Fisik


-          Rinoskopi anterior menggunakan  cahaya yang cukup dan spekulum hidung
Perhatikan adanya edem dari konka inferior / media yang diliputi sekret encer bening, mukosa pucat. Keadaan anatomi hidung lainnya seperti
septum nasi.  Perhatikan pula kemungkinan adanya polip nasi.
-          Nasoendoskopi (bila fasilitas tersedia)
Pemeriksaan ini dapat menilai patologi hidung dan sinus paranasalis yang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Dapat menggunakan
endoskopi tipe rigid atau flexible. Gambaran konka inferior livid/ pucat dan dapat juga ditemukan konka yang hipertrofi.
-          Terdapat tanda khas penderita rinitis alergi:
-          Allergic shinner: warna kehitaman pada orbita dan palpebral
-          Nasal crease/linea nasalis: Penebalan serta timbulnya skar pada hidung     
-          Allergic shalutte: biasanya terdapat pada anak, hal ini karena anak mencoba mengurangi rasa gatal di hidung.

https://elearning.kolegiumthtkl.com/mod/book/tool/print/index.php?id=27 7/18
18/03/2021 2. Rinitis Alergi + VIDEO

4.2. Pemeriksaan Penunjang


Pertimbangkan keadaan / kondisi di seluruh R.S
Tes Kulit Tusuk (Prick test)
-          Intradermal skin test / Skin End Point Titration Test (bila tersedia)
-          IgE serum spesifik ( mahal )
-          IgE serum total (kurang bermanfaat), nilai normal dewasa 100 – 150 IU/ml
-          Pemeriksaan sitologis hidung, bila diperlukan untuk :
a. Menentukan antara alergi / non alergi dan rinitis akibat infeksi
b. Menindak lanjuti respons terhadap terapi
c. Melihat sel eosinofil, basofil dan sel mast
Pemeriksaan ini lebih sering dilakukan untuk keperluan penelitian.
-          Test provokasi hidung/ nasal challenge test (bila tersedia), dilakukan bila ada keraguan dan kesulitan dalam mendiagnosis rinitis alergi,
dimana riwayat rinitis alergi positif, tetapi hasil tes alergi selalu negatif.
Pemeriksaan ini bermanfaat  untuk hal-hal sebagai berikut :
- Untuk mendiagnosis rinitis okupasi
- Untuk mendiagnosis rinitis alergi lokal
- Untuk penelitian.
-          Foto polos sinus paranasal : bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal
-          CT Scan / MRI sinus paranasal : atas indikasi, dilakukan bila :
a. Untuk menentukan adakah komplikasi seperti rinosinusitis
b. Tidak ada respons terhadap terapi
c. Direncanakan tindakan operatif
 
Teknik  melakukan tes alergi/ tes kulit.
Persiapan tes kulit :
. Jelaskan apa yang akan dilakukan pada penderita dan tujuannya.
. Istirahat cukup, tidak boleh olah raga sebelum dan sesudah hari pemeriksaan tes kulit tusuk
. Waktu bebas obat :
-          Antihsitamin minimal 2-7 hari tergantung dari macam antihistamin
-          Steroid topikal kulit minimal 7 hari, steroid oral tidak mempengaruhi tes kulit
. Periksa tekanan darah  sebelum tes alergi untuk membandingkan  jika sewaktu-waktu terjadi  reaksi sistemik
. Pastikan tidak mengalami serangan alergi  berat 24 jam sebelumnya ( asma  bronkhial ).
. Sediakan jarum suntik 1 cc dan  epineprin ampul
. Jelaskan kemungkinan timbul  tanda dan gejala reaski alergi sistemik dari ringan sampai berat selama tes alergi
. Tanda tangan informed consent.
. Desinfeksi daerah  lokasi tes kulit ( bagian volar lengan bawah)
 

https://elearning.kolegiumthtkl.com/mod/book/tool/print/index.php?id=27 8/18
18/03/2021 2. Rinitis Alergi + VIDEO

1.      Desinfeksi bagian volar lengan bawah yang akan dilakukan tes dengan kapas alcohol 70%.
2.      Gambar kotak-kotak dengan spidol yang jumlahnya sesuai dengan jumlah ekstrak alergen yang akan di tes, dengan jarak 2 cm.
3.      tambahkan kotak untuk kontrol negatif dan kontrol positif pada setiap tes.
4.      Tiap kotak diberi nomor sesuai dengan penomoran jenis ekstrak alergen, selanjutnya kotak tersebut ditetesi dengan ekstrak alergen masing-
masing.
5.      Kemudian dilakukan cukit pada masing-masing kotak dengan menggunakan jarum steril no.26 dengan sudut kemiringan ± 45° pada
epidermis.
6.      Lakukan pembacaan hasil setelah 15-20 menit dengan mengukur diameter horizontal dan vertikal dari bintul (wheal) yang terjadi.
7.      Setelah itu penderita tetap dipantau selama 30 menit setelah dilakukan prosedur  untuk melihat ada tidaknya efek samping.
Pembacaan tes kulit
Dengan mengukur diameter bintul vertikal dan horizontal
a. Negatif :<3 
mm
  Positif :3  
 atau
>
mm
       
       
       
 
Perhatikan selama tes kulit :  kemungkinan terjadi reaksi alergi sistemik.
Gejala : Nadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun, pasien mendadak mengeluh lemes, mual, seperti mau pingsan, penderita tampak pucat. 
Bila terdapat gejala tersebut  penderita lakukan tatalaksana anafilaktik. Jika terdapat gejala tersebut : segera  tidurkan penderita  tanpa bantal,
periksa tensi dan nadi .Bila ada gejala shock : suntikan epineprin 0.2 cc subkutan/ intramuskular. Amati nadi, tensi dan pernapasan dalam 5 menit. 
Jika belum ada perbaikan dapat  ulangi epineprin  setelah 10 menit diikuti pemberian  steroid im, pasang infus dan konsul spesialis anestesi.

https://elearning.kolegiumthtkl.com/mod/book/tool/print/index.php?id=27 9/18
18/03/2021 2. Rinitis Alergi + VIDEO

4.3. Diferensial diagnosis


Penyakit yang perlu dibedakan dengan rinitis alergi adalah :
. Rinitis vasomotor
. Rinitis gustatorik
. Rinitis Hormonal
. Rinitis medikamentosa
. Rinitis karena okupasi / pekerjaan
. Rinitis akibat kelainan anatomi
. NARES
. Rinitis atropi
 

https://elearning.kolegiumthtkl.com/mod/book/tool/print/index.php?id=27 10/18
18/03/2021 2. Rinitis Alergi + VIDEO

4.4. Patogenesis Rinitis Alergi


 
Alergen memiliki peranan penting dalam reaksi alergi. Alergen  merupakan protein yang berasal dari partikel udara termasuk serbuk sari, tungau
debu ,partikel kotoran, residu kecoa, dan bulu binatang.
 Tahap sensitisasi merupakan tahap pertamakali kontak dengan alergen. Terjadinya reaksi alergi diawali dengan pengenalan antigen atau alergen
oleh sel makrofag, monosit atau sel dendritik, yang ketiganya berperan sebagai sel penyaji (APC/ antigen presenting cells) yang berada di mukosa
saluran nafas (antara lain dalam mukosa hidung).  Alergen yang terhirup oleh hidung, akan menempel pada  permukaan mukosa hidung.  Alergen
pertama kali akan ditangkap oleh sel dendritik yang berfungsi sebagai penyaji antigen, secara bersamaan mukosa hidung sebagai barier  fisik akan
mengeluarkan sitokin sebagai mekanisme nonspesifik, yaitu IL-25, IL-33, TSLP (thymic Stromal lymphopoietin ) yang akan mengaktifkan sel
dendritik , ILC 2 ( Innate Lymphoid Cell 2) dan basofil.  ILC-2 memproduksi IL-13, yang berperan dalam pematangan dan migrasi sel dendititk ke
jaringan limfoid. Basofil akan menghasilkan IL-4 yang akan mengaktifkan TH0 menjadi TH2.
Alergen yang ditangkap oleh sel dendritik ( APC ) akan dipecah menjadi alergenik peptida  ( peptida antigen )  di dalam sel APC oleh lisosim, APC
akan membawa alergen menuju nodus limfe ,dimana dalam nodus limfe fragmen peptida  tersebut akan dipresentasikan ke permukaan sel APC
lewat MHC kelas 2 sehingga dapat dikenali oleh Limfosit T naif ( T Helper 0 ) .  Limfosit T  naif ( T Helper 0 ) akan berikatan dengan MHC kelas 2 
lewat reseptor sel-T spesifik pada permukaan sel T dan ligasi reseptor kostimulatori dari CD28  pada sel T dengan  kostimulator molekul CD80
dan CD86 pada APC  yang akan mengaktifkan Th1 atau Th 2. Respon basofil menghasilkan sitokin IL-4 mengakibatkan aktifasi Th2. Aktifasi  Th 2
meghasilkan sitokin IL 4 dan IL 13. Sinyal IL 4 dan IL 13 dapat diikat pada reseptor permukanan limfosit B , sehingga limfosit B menjadi aktif dan
menghasilkan IgE dengan menginduksi e-germline gen transkripsi. Sinyal kedua adalah interaksi kostimulator antara ligan  CD40 pada permukaan
sel T dengan CD40 pada permukaan limfosit B, sinyal ini dapat merstimulus limfosit B menghasilkan IgE. IgE yang dihasilkan akan berikatan
dengan FCR pada permukaan mastosit dan basofil yang mengakibatkan degranulasi dari mastosit dan basofil sehinga dilepaskannya mediator
inflamasi.
Fase cepat merupakan reaksi alergi  yang terjadi beberapa menit setelah kontak dengan alergen sampai 1 jam setelah kontak dengan alergen.
Alergen akan berikatan dengan IgE spesifik , IgE tersebut akan berikatan dengan reseptor pada permukaan sel mast dan basofil mengakibatkan
degranulasi mast sel dan basofil mengeluarkan mediator seperti histamin, tyrptase, cyctein leukotriene ( LTC4, LTD 4, LTE 4 ) dan prostaglandin.
Pada Fase lambat  terjadi  4-6 jam setelah terpapar dengan alergen sampai 18-24 jam . Pada    fase lambat ditandai  dengan aktifasi dan
masuknya   berbagai sel inflamasi  di mukosa hidung yaitu limfosit T, eosinofil, basofil , netrofil dan monosit . Setelah terpapar alergen, mastosit
banyak ditemukan di epitel , limfosit T banyak ditemukan pada jaringan,  eosinofil dan netrofil paling banyak ditemukan dalam sekresi di  mukosa
hidung.
Mediator yang dilepaskan saat  reaksi fase lambat adalah leukotrien, kinin, histamin, sitokin dan kemokin yaitu IL-4, IL-13 . Sitokin IL-4 dan IL-13
dapat mengaktifkan vaskular adhesi sel molekul 1 (VCAM-1) pada sel endotel sehingga limfosit dan basofil yang berada dalam pembuluh darah
dapat bermigrasi ke mukosa hidung. Influk sel inflamasi selain aktivasi VCAM-1 dapat disebabkan oleh kemokin yang dilepaskan oleh epitel
 seperti RANTES, eotaksin, MCP-4  dsn TARC , yang berfungsi sebagai kemoatractan yang dapat menarik eosinofil, basofil dan limfosit  T menuju
mukosa hidung.

https://elearning.kolegiumthtkl.com/mod/book/tool/print/index.php?id=27 11/18
18/03/2021 2. Rinitis Alergi + VIDEO

 
Gambar 2.11 Mekanisme rinitis alergi

https://elearning.kolegiumthtkl.com/mod/book/tool/print/index.php?id=27 12/18
18/03/2021 2. Rinitis Alergi + VIDEO

4.5. Eliminasi Alergen


Yang sangat berperan pada rinitis alergi di negara tropis seperti Indonesia adalah 
        house dust mite (tungau debu rumah), pet dander dan  alergen kecoa.
Cara menghindari :
Esensial :
 -   Membungkus  kasur dan bantal dengan bahan khusus ( yang tidak tembus mite), tetapi
      mahal sehingga tidak dapat diterapkan pada semua kasus.
-          Mencuci alas tidur, sarung bantal dan selimut seminggu sekali, bila mungkin dengan air panas (> 55oC). Hasil yang sama mungkin dapat
dicapai dengan menjemur cucian dibawah sinar matahari langsung.
Optimal :
a. Menggunakan  lantai rumah dengan bahan yang dapat dibersihkan  seperti :
    - dari keramik, bahan plastik, kayu
b. Sedikit mungkin menggunakan  furniture dari kain/kain berbulu
c. Menggunakan penghisap debu integral dengan filter  HEPA dan kantong yang 
    bahannya tebal
d.Gunakan korden yang dapat dicuci
e. Mainan dari kain/berbulu yang dapat dicuci.
 
Binatang piaraan ( kucing dan anjing)
Anjing dan kucing merupakan masalah alergi di beberapa daerah/keluarga. Bersifat alergenik tidak hanya dander nya saja, tetapi  juga saliva, 
sekresi sebasea à  yang  membentuk partikel  di udara dalam waktu yang cukup lama.  Oleh karena itu usaha pencegahan sulit. Cara yang paling
sederhana tetapi kadang sangat sulit yaitu dengan tidak memelihara binatang tersebut dan  bila pernah, membersihkan  karpet, kasur dan  kursi
dengan penghisap debu berulang.
Pada dasarnya menghindari alergen tampaknya efektif , hanya saja penderita seringkali penderita sensitif terhadap beberapa alergen, sukar
dicapai hasil yang maksimal.  Bagaimanapun sulitnya, karena pada penderita alergi paparan alergen akan memicu timbulnya gejala, maka
penjelasan dengan edukasi tentang alergen apa yang harus dihindari dan bagaimana menghindarinya harus dijelaskan kepada penderita rinitis
alergi.

https://elearning.kolegiumthtkl.com/mod/book/tool/print/index.php?id=27 13/18
18/03/2021 2. Rinitis Alergi + VIDEO

4.6. Tatalaksana Rinitis Alergi


Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah :
1.      Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan inflamasi.
2.      Perbaikan kualitas hidup  penderita  sehingga  dapat  menjalankan aktifitas sehari-hari.
3.      Mengurangi efek samping pengobatan
4.      Edukasi penderita untuk meningkatkan  ketaatan  berobat dan  kewaspadaan terhadap penyakitnya 
5.      Merubah jalannya penyakit/ pengobatan kausal
 
Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi, dapat ditempuh dengan terapi kombinasi antara cuci hidung, antihistamin, dekongestan, sodium
kromolin, kortikosteroid intranasal,.
 
5.1. Cuci hidung

Cuci hidung menggunakan larutan salin termasuk terapi adjuvan yang efektif dan tidak mahal. Berguna untuk menurunkan mediator inflamasi (
histamin, prostaglandin D2 dan leukotrien C4), membersihkan sekret hidung serta menurunkan  gejala hidung. Cuci hidung dengan larutan NaCl
fisiologis/ hipertonik  telah diketahui mempunyai efek anti inflamasi dan menurunkan basofil dan sel inflamasi lain. Penggunaan  2 kali sehari
selama 3-6 minggu secara signifikan memperlihatkan perbaikan gejala. Penggunaan larutan NaCl hipertonik 3 kali sehari dapat mengurangi
penggunaan antihistamin

  
5.2.Terapi Antihistamin
       Antihistamin menghambat kerja reseptor H1 dan bekerja sebagai reverse agonist. Golonga obat ini mempunyai efek anti inflamasi melalui
modulasi nuclear factor kapa B (NFkB)  dan meredam ekspresi ICAM-1.
Dosis :
Anti Histamin Nama obat
Generasi 1 Dexchlorpheniramine
Chlorpheniramin maleat
Tripolidin
Generasi 2 Cetirizin
Loratadin
Feksofenadin
Levocetirizin
Desloratadin
Bepostatin Besilat
Rupatadin
 
5.3.Dekongestan hidung
 
Dekongestan oral berguna untuk vasokonstriksi, namun tidak mempunyai efek anti inflamsi. Obat golongan ini bersifat simpatomimetik sehingga
kontraindikasi bagi penderita hipertensi. Efek samping yang dapat ditimbulkan palpitasi, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, membran mukosa
kering, retens urin, eksaserbasi glaukoma.
https://elearning.kolegiumthtkl.com/mod/book/tool/print/index.php?id=27 14/18
18/03/2021 2. Rinitis Alergi + VIDEO

Dekongestan intranasal merupakan dekongestan topikal, mempunyai efek yang sama dengan oral tetapi kemampuan lenih rendah. Termasuk
dalam golongan ini oksimetazolin. Obat ini tidak boleh diberikan lebih dari 10 hari karena akan menimbulkan terjadi rinitis medika mentosa.
 
5.4  Kombinasi  antihistamin dan dekongestan oral
Kombinasi kedua obat ini dimaksud untuk mengatasi obstruksi hidung yang tidak
dipengaruhi oleh antihistamin.
Tetapi  harus diingat bahwa :
-          Farmakokinetik kedua obat ini tidak sama dan biasanya diberikan  BID.
-          Sedikit  trial klinik yang  menunjukan kelebihannya dibanding dengan pemakaian antihistamin saja.
-          Kombinasi antihistamin sedatif dengan  dekongestan  oral,  efek sedasinya tidak berkurang karena stimulasi  vasokonstriktor.
5.5 Glukokortikoid topikal
Pemakaian glukokortikoid digunakan untuk menekan reaksi alergi mulai dari sensitisasi, fase cepat dan fase lambat.  Sediaan  topikal mempunyai
efek anti-inflamasi yang kuat  dan mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptornya dengan risiko efek sistemik yang minimal.
 
Beberapa sediaan glukokortikoid topikal :
-          Budesonide                              
-          Triamcinolone acetonide         
-          Fluticasone furoat              
-          Mometasone furoat               
 
Efek samping :
Preparat glukokortikoid topikal dapat dipakai dalam waktu lama tanpa atrofi mukosa. Efek yang dilaporkan : rasa kering, terbentuk krusta,
epistaksis ringan,
5.6. Golongan kromolin
Yang dipakai pada rinitis alergi adalah  disodium kromoglikat dan  sodium nedocromil.  Efeknya adalah menstabilkan sel mast  dari proses
degranulasi/ pelepasan mediator. Efeknya terhadap gejala  bersin, rinore lebih baik dari pada terhadap hidung tersumbat.          
-          Meskipun  efektif  kromolin  pada rinitis alergi kurang dibanding anti H1.
-          Pada anak dan wanita hamil, kromolin dapat dianjurkan pemakaiannya karena sangat aman.
Namun kesulitannnya, penggunaan obat 4 kali sehari membuat kepatuhan pasien tidak dapat diandalkan.
 
5.7. Anti Leukotrien
      Golongan obat ini menekan sisteinil leukotrien yang merupakan mediator utama penyebab  obstruksi hidung. Termasuk golongan obat ini
zafirlucast, montelucast.
 
6.Imunoterapi

Imunoterapi spesifik (ITS) adalah suatu pemberian alergen spesifik yang berulang teratur dengan dosis meningkat secara bertahap kepada pasien
dengan hipersensitifitas tipe 1, dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap timbulnya gejala alergi dan reaksi inflamasi akibat paparan
alergen. ITS mempunyai keuntungan jangka panjang dapat bertahan sampai 3 tahun setelah selesai pemberian imunoterapi.
ITS dapat dilakukan dengan cara berdasarkan hasil tes kulit tusuk atau berdasarkan skin endpoint titration test. Pemberian imunoterapi
berdasarkan tes kulit tusuk dikenal sebagai metode konvensional. Ditinjau dari jenis alergen ITS dapat dilakukan alergen tunggal (rekomendasi
AAAAI) dan menggunakan alergen multipel. Pemilihan alergen untuk ITS dilakukan berdasarkan hasil tes kulit atau tes alergi in vitro dengan
mempertimbangkan alergen dominan dengan hasil positif.

https://elearning.kolegiumthtkl.com/mod/book/tool/print/index.php?id=27 15/18
18/03/2021 2. Rinitis Alergi + VIDEO

Pasien yang menjadi kandidat ITS adalah pasien rinitis alergi dengan tingkat hipersensitifitas berdasarkan tes kulit tusuk +3 atau lebih dan dengan
hasil endpoint tertentu dari tes kulit intradermal. Pasien tersebut tidak ingin minum obat antihistamin atau tidak nyaman dengan efek samping
obat antihistamin atau tidak menunjukan respon yang adekuat terhadap terapi medikamentosa dan menghindari alergen. Indikasi tambahan dari
imunoterapi ialah dermatitis atopik dan pada alergi bisa ular yang mempunyai reaksi lokal yang besar.
Cara pemberian ITS suntikan ada beberapa cara yaitu konvensional, cara cepat (rush), cara cluster (mirip rush) dan modifikasinya. Jadwal
penyuntikan terdiri dari 2 fase yaitu fase inisial (eskalasi) dimana dosis vaksin alergen diberikan secara bertahap sampai mencapai dosis maksimal
dengan interval waktu dua kali seminggu, dan fase pemeliharaan yaitu dosis maksimal dilanjutkan sampai jangka waktu 6 bulan sekali sampai
kurang lebih tiga tahun. Selain dengan pemberian dosis yang meningkat secara bertahap, untuk mengurangi kemungkinan terjadinya efek
samping sistemik maka ITS tidak dianjurkan pada penderita yang mempunyai resiko tinggi seperti umur lebih dari 50 tahun, fungsi paru <70% dan
riwayat asma berat serta mendapat terapi beta blocker.
Risiko reaksi sistemik pada imunoterapi sangat kecil namun bila terjadi syok anafilaktik perlu penanganan yang segera supaya tidak terjadi reaksi
yang lebih buruk. Setelah imunoterapi, setidaknya pasien harus berada di klinik selama 30 menit untuk observasi bila terjadi reaksi sistemik,
karena sebagian besar reaksi sistemik tejadi dalam 30 menit setelah imunoterapi. Pada pasien yang mengalami asma, imunoterapi tidak
direkomendasikan imunoterapi kecuali telah stabil penyakit asmanya. Pada pasien asma dapat meningkatkan resiko reaksi sistemik yang dapat
lebih fatal terjadi.
Saat ini imunoterapi subkutan dan imunoterapi sublingual menjadi pilihan rute pemberian. Imunoterapi subkutan diberikan secara suntikan
subkutan dengan menggunakan suntikan, alergen yang digunakan berupa cairan ekstrak alergen cair, sedangkan metode sublingual dilakukan
dengan cara meletakan atau menghisap tablet di bawah lidah. Metode subkutan cenderung memberikan perbaikan klinis yang lebih baik. Namun
metode sublingual mempunyai keuntungan kepada pasien karena dapat dilakukan di rumah sesuai anjuran dosis yang diberikan, sedangkan
metode subkutan harus dilakukan di tempat klinik atau rumah sakit.
 

Mekanisme efek imunoterapi dan peran sel T regulator dalam reaksi alergi.

https://elearning.kolegiumthtkl.com/mod/book/tool/print/index.php?id=27 16/18
18/03/2021 2. Rinitis Alergi + VIDEO

Perubahan imunologis saat dilakukan imunoterapi.

Mekanisme imunoterapi spesifik secara molekuler dan seluler dapat terjadi dalam beberapa mekanisme. Aktivitas mastosit dan basofil menurun
pada fase awal yaitu beberapa jam setelah imunterapi pertama dilakukan sehingga mengurangi risiko reaksi anafilaksis. Pembentukan sel T
regulator dan sel B regulator yang meningkat dan penurunan sel T efektor. Mekanisme yang ketiga adalah regulasi antibodi terutama penurunan
jumlah IgE dan meningkatnya kadar IgG4. Mekanisme yang keempat terjadi setelah beberapa bulan imunoterapi, ialah penurunan jumlah mastosit
dan eosinofil di jaringan serta penurunan produksi mediator-mediatornya.
Pada penelitian lain disebutkan bahwa sel limfosit T regulator Foxp3+CD4+CD25+ berkontribusi pada kontrol respon imun spesifik alergen tertentu
dalam beberapa cara yaitu penekanan sel dendritik yang menghasilkan sel T efektor, inhibisi produksi sel TH2 beserta efektornya,
penurunan alergen-IgE spesifik dan induksi IgG4, IgA, atau keduanya, penurunan mastosit, basofil, dan eosinofil, dan penurunan migrasi sel
T efektor ke jaringan.
 
Imunoterapi alergen spesifik
Indikasi :
1.      IT hanya diberikan kepada penderita RA yang  mempunyai hasil tes kulit positip dan  alergen yang  positip secara klinis ada hubungannya
dengan timbulnya gejala RA.
2.      IT diberikan pada penderita RA persisten sedang sampai berat yang tidak  puas/ berhasil dengan pengobatan medika mentosa.
3.      IT diberikan pada penderita yang  bersedia berobat dengan teratur dan waktu lama.
4.      Penderita  yang setuju dengan IT (  informed consent).
 
Prosedur Pemberian IT.
1.      Metoda suntikan (sub kutan)
2.      Dosis dinaikan bertahap setiap  minggu / 2X seminggu  yang tiap kali naik 0,1cc, sampai dosis maksimal bisa diterima (1 cc), atau dosis
maksimal yang dapat diterima  
3.      Extrak yang dipilih sesuai hasil tes kulit (  yang hasil baik terhadap mite/ house dust mite).
4.      Jika sudah tercapai dosis  optimum/ maksimum  dilajutkan dengan dosis maintenance  1 minggu sekali sampai  gejala klinis membaik dan
stabil atau  10 X.   Dilanjutakan dengan  2minggu sekali . Jika tetap stabil sampai 5X dilanjutkan dengan 1 bulan sekali sampai total waktu
pengobatan 2- 3 tahun .
5.      Perhatikan waktu  suntikan : kemungkinan terjadi reaksi sistemik saperti waktu tes kulit.  Kemungkinan lebih besar terutama saat menaikan
dosis.  Jika terjadi reaksi diatasi seperti  pada tes kulit.  Jika  terjadi reaksi sistemik maka dosis suntikan selanjutnya diturunkan dan ditetapkan
sebagai dosis maksimal. 

https://elearning.kolegiumthtkl.com/mod/book/tool/print/index.php?id=27 17/18
18/03/2021 2. Rinitis Alergi + VIDEO

6.      Reaksi sistemik yang paling sering terjadi antara  10-20 menit setelah suntik sehingga penderita tidak diperkenankan langsun g pulang
setelah IT.
7.      Selama IT diperbolehkan memberikan obat simptomatik jika perlu. Yang perlu dihindari adalah  steroid sistyemik yang lama (lebih dari 1
minggu).
 
Imunoterapi  hanya boleh dilakukan jika :
1.      Jelas  disebabkan oleh adanya IgE ( tes kulit atau IgE spesifik)
2.      Bila jelas ada hubungan klinis antara hasil tes kulit dan timbulnya gejala
3.      Oleh/ atas tanggungjawab dokter karena adanya resiko  reaksi anafilaksi.
4.      Berat dan lamanya keluhan ( ukuran obyektif seperti gangguan sekolah/ kerja) perhatikan fungsi paru:  penderita asma berat tidak
dianjurkan. Untuk pend asaa harus ada monitoring fungsi paru.
5.      Bila respon terhadap pengobatan lain ( farmakoterapi)  tidak  memuaskan pend.
6.      Tersedia  vaksin/allergen yang terstandarisasi dan berkualitas.
7.      Kontraindikasi relatif :  menggunakan beta bloker, terdapat penyakit  imunologis,
penderita yang tidak dapat taat berobat
8.      Faktor sosial :  biaya,  pekerjaan penderita

https://elearning.kolegiumthtkl.com/mod/book/tool/print/index.php?id=27 18/18

Anda mungkin juga menyukai