Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

HIPERTENSI PADA GAGAL GINJAL KRONIS (GGK)

A. Fisiologi dan Anatomi Ginjal


1. Fisiologi Ginjal

Ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra membentuk sistem urinarius.

Fungsi utama ginjal adalah mengatur cairan serta elektrolit dan komposisi asam-

basa cairan tubuh; mengeluarkan produk metabolik dari dalam darah; dan

mengatur tekanan darah. Urin yang terbentuk sebagai hasil dari proses ini

diangkut dari ginjal melalui ureter ke kandung kemih tempat urin tersebut

disimpan untuk sementara waktu. Pada saat urinasi, kandung kemih

berkontraksi dan urin akan diekskresikan dari tubuh lewat uretra.

Meskipun cairan serta elektrolit dapat hilang melalui jalur lain, dan ada

organ lain yang turut serta dalam mengatur keseimbangan asam-basa, namun

organ yang mengatur lingkungan kimia internal tubuh secara akurat adalah

ginjal. Fungsi ekskresi ginjal diperlukan untuk mempertahankan kehidupan.

Ciri penting sistem renal terletak pada kemampuannya untuk

beradaptasi terhadap beban muatan cairan yang sangat bervariasi, sesuai

kebiasaan dan pola hidup individu. Ginjal harus mampu mengekskresikan

berbagai produk limbah makanan dan metabolisme dalam jumlah yang dapat

diterima serta tidak dieleiminasi oleh organ lain. Jika diukur setiap hari, jumlah

produk tersebut biasanya berkisar dari 1 hingga 2 liter air, 6 - 8 g garam (natrium

klorida), 6 – 8 g kalium klorida dan 70 mg ekuivalen asam per hari. Di samping

itu, ureum yang merupakan produk akhir metabolisme protein dan berbagai

produk limbah lainnya diekskresikan ke dalam urin.

2. Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berpasangan dan setiap ginjal memiliki

berat kurang lebih 125 g, terletak pada posisi di sebelah lateral vertebra torakalis

bawah, beberapa sentimeter di sebelah kanan dan kiri garis tengah (Gambar 1).

Organ ini tebungkus oleh jaringan ikat tipis yang dikenal sebagai kapsula renis.

Di sebelah anterior, ginjal ginjal dipisahkan dari kavum abdomen dan isinya oleh

lapisan peritoneum. Di sebelah posterior, organ tersebut dilindungi oleh dinding

thoraks bawah.

Gambar 1. Anatomi Ginjal

Darah dialirkan ke dalam setiap ginjal melalui arteri renalis dan keluar

dari dalam ginjal melalui vena renalis. Arteri renalis berasal dari aorta

abdominalis dan vena renalis membawa darah kembali ke dalam vena kava

inferior. Ginjal dengan efisien dapat membersihkan bahan limbah dari dalam

darah, dan fungsi ini bisa dilaksanakannya karena aliran darah yang melalui

ginjal jumlahnya sangat besar, 25% dari curah jantung.

Urin terbentuk dalam unit-unit fungsional ginjal yang disebut nefron.

Urin yang terbentuk dalam nefron ini akan mengalir ke dalam duktus

pengumpul dan tubulus renal yang kemudian menyatu untuk membentuk

pelvis ginjal. Setiap pelvis ginjal akan membentuk ureter. Ureter merupakan pipa

panjang dengan dinding yang sebagian besar terdiri atas otot polos. Organ ini
menghubungkan setiap ginjal dengan kandung kemih dan berfungsi sebagai

pipa untuk menyalurkan urin.

Kandung kemih merupakan organ berongga yang terletak di sebelah

anterior tepat di belakang os pubis. Organ ini berfungsi sebagai wadah

sementara untuk menampung urin. Sebagian besar dinding kandung kemih

tersususn atas otot polos yang dinamakan muskulus detrusor. Kontraksi otot ini

terutama berfungsi untuk mengosongkan kandung kemih pada saat buang air

kecil (urinasi). Uretra muncul dari kandung kemih; pada laki-laki, uretra berjalan

lewat penis dan pada wanita bermuara tepat disebelah anterior vagina. Pada

laki-laki, kelenjar prostat yang terletak tepat di bawah leher kandung kemih

mengelilingi uretra di sebelah posterior dan lateral. Sfingter urinarius eksterna

merupakan otot volunter yang bulat mengendalikan proses awal urinasi.

Gambar 2. Anatomi Ginjal; Diagram Sebuah Nefron yang Memperlihatkan


Struktur Glomerulus dan Tubulus

Nefron. Ginjal terbagi menjadi bagian eksternal yang disebut korteks dan

bagian internal yang disebut medula. Pada manusia, setiap ginjal tersusun dari
kurang lebih 1 juta nefron. Nefron, yang dianggap sebagai unit fungsional ginjal,

terdiri atas sebuah glomerulus dan sebuah tubulus. Seperti halnya pembuluh

kapiler, dinding kapiler glomerulus tersusun dari lapisan-lapisan sel endotel dan

membran basalis. Sel-sel epitel berada pada salah satu sisi membran basalis, dan

sel-sel endotel pada sisi lainnya. Glomerulus membentang dan membentuk

tubulus yang terbagi menjadi tiga bagian: tubulus proksimal, ansa Henle, dan

tubulus distal. Tubulus distal bersatu untuk membentuk duktus pengumpul.

Duktus ini berjalan lewat korteks dan medula renal untuk mengosongkan isinya

ke dalam pelvis ginjal.

Fungsi nefron. Proses pembentukan urin dimulai ketika darah mengalir

lewat glomerulus. Glomerulus yang merupakan struktur awal nefron tersusun

dari jonjot-jonjot kapiler yang mendapat darah lewat vasa aferen dan

mengalirkan darah balik lewat vasa eferen. Tekanan darah menentukan berapa

tekanan dan kecepatan aliran darah yang melewati glomerulus. Ketika darah

berjalan melewati struktur ini, filtrasi terjadi. Air dan molekul-molekul yang

kecil akan dibiarkan lewat sementara molekul-moleku;l yang besar tetap tertahan

dalam aliran darah. Cairan disaring melalui dinding jonjot-jonjot kapiler

glomerulus dan memasuki tubulus. Cairan ini dikenal sebagai “filtrat”.

Dalam kondisi normal, kurang lebih 20% plasma yang melewati

glomerulus akan disaring ke dalam nefron dengan jumlah mencapai 180 liter

filtrat sehari. Filtrat tersebut yang sangat serupa dengan plasma darah tanpa

molekul yang besar (protein, sel darah merah, sel darah putih dan trombosit)

pada hakekatnya teriri atas air, elektrolit dan molekul kecil lainnya. Dalam

tubulus, sebagian substansi ini secara selektif diabsorpsi ulang ke dalam darah.

Substansi lainnya disekresikan dari darah ke dalam filtrat ketika filtrat tersebut

mengalir di sepanjang tubulus. Filtrat akan dipekatkan dalam tubulus distal serta

duktus pengumpul, dan kemudian menjadi urin yang akan mencapai pelvis

ginjal. Sebagian substansi, seperti glukosa, norma;nya kan diabsorpsi kembali

seluruhnya dalam tubulus dan tidak terlihat dalam urin.


Proses reabsorpsi serta sekresi dalam tubulus sering mencakup transportasi

aktif dan memerlukan penggunaan energi. Berbagai substansi yang secara

normal disaring oleh glomerulus, direabsorpsi oleh tubulus dan diekskresikan ke

dalam urin mencakup natrium, klorida, bikarbonat, kalium, glukosa, ureum,

kreatinin serta asam urat.

3. Fungsi Ginjal

Salah satu fungsi ginjal adalah sebagai otoregulasi tekanan darah.

Pengaturan atau regulasi tekanan darah juga merupakan salah satu fungsi sistem

renal. Suatu hormon yang dinamakan renin disekresikan oleh sel-sel

jukstaglomeruler ketika tekanan darah menurun. Suatu enzin akan mengubah

renin menjadi angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, yaitu

senyawa vasokonstriktor paling kuat. Vasokonstriksi menyebabkan peningkatan

tekanan darah. Aldosteron disekresikan oleh kortek adrenal sebagai reaksi

terhadap stimulasi oleh kelenjar hipofisis dan pelepasan ACTH sebgai reaksi

terhadap perfusi yang jelek atau peningkatan osmolalitas serum. Akibatnya

adalah peningkatan tekanan darah.

B. Definisi
Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit renal tahap-akhir (ERDS)

merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana

kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan

keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan

sampah nitrogen lain dalam darah).

GGK adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan

metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur

ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolisme (toxix

uremik) di dalam darah.


GGK adalah suatu keadaan dimana terjadinya penurunan laju filtrasi

glomerulus (GFR) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m3 dan atau dengan kerusakan

ginjal dalam periode 3 bulan atau lebih. Dan disertai dengan salah satu dibawah

ini :

- Microalbuminuri ( pengeluaran albumin dalam urine rata-rata 30 mg/hr)

- Macroalbuminuri(pengeluaran albumin dalam urine rata-rata >300mg/hr)

- Hematuri yang menentap

- Kelainan pathologis ( biopsi renal ditemukan abnormal )

- Kelainan radiologi ( seperti ultrasound scan ginjal )

Derajat laju filtrasi glomerulus dapat di ukur dengan rumus menghitung

konsentrasi kreatinin serum dengan mempertimbangkan variabel umur, jenis

kelamin dan berat badan, yaitu dengan rumus Cockroft – Gault.

TKK : (140 – umur ) x BB x (0,85 jika wanita)


72 x creatinin

Tabel 1. Penentuan Diagnosis Gagal Ginjal

LFG Dengan kerusakan ginjal Tanpa kerusakan ginjal

(ml / menit

Dengan Tanpa Dengan Tanpa


1,73 m2)
Hipertensi Hipertensi Hipertensi Hipertensi

≥ 90 1 1 Normal

60-89 2 2 Hipertensi LFG

30-59 3 3 Hipertensi + 3

LFG
15-29 4 4 4 4

< 15 (atau 5 5 5 5

dialysis)

Hipertensi didefinsikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan

sistoliknya di atas 40 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg. Sebagian

besar hipertensi pada penyakit GGK disebabkan hipervolemia akibat retensi

natrium dan air. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi renin-angiotensin

dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron.

Hipertensi bisa berakibat gagal ginjal. Sedangkan bila sudah menderita

gagal ginjal sudah pasti terkena hipertensi. Bahkan hipertensi pada gilirannya

menjadi salah satu faktor risiko meningkatnya kematian pada pasien

hemodialisis (pasien ginjal yang menjalani terapi pengganti ginjal dengan cara

cuci darah/hemodialisis di rumah sakit). Pasien hipertensi pada GGK diharapkan

dapat secara rutin mengontrol tekanan darah (usahakan tekanan darah dibawah

130/80 mmHg) dan pengaturan pola makan yang sesuai dengan kondisi

ginjalnya.

C. Kriteria dari Penyakit Ginjal Kronik


a) Kerusakan ginjal

b) GFR < 60 ml/mnt/1,73 m2 selama tiga bulan atau

 Laki – laki : kreatinin serum > 1,5 mg/dl

 Perempuan : kreatinin serum > 1,3 mg/dl

c) Proteinuria yang signifikan

 Albumin urine > 300 mg/24 jam atau

 Albumin urine dengan ratio kreatinin 200 mg/gram.

D. Etiologi
Gagal ginjal kronis (GGK) dapat disebabkan oleh:
1. Penyakit sistemik: diabetes mellitus; glomerulonefritis kronis;

pielonefritis; hipertensi yang tidak dapat dikontrol: obstruksi traktus

urinarius.

2. Lesi herediter seperti penyakit ginjal polikistik; gangguan vaskuler;

infeksi; medikasi; atau agen toksik.

3. Lingkungan dan agens berbahaya yang mempengaruhi gagal ginjal

kronis mencakup timah, kadmium, merkuri, dan kromium.

Hipertensi yang terjadi pada GGK disebabkan retensi cairan dan

natrium serta malfngsi renin-angiotensin-aldosteron.

E. Manifestasi Klinis
1. Perubahan keluaran urin; keluaran urin sedikit atau bahkan tidak keluar

sama sekali, dapat mengandung darah dan terjadi infeksi.

2. Peningkatan kadar BUN dan kreatinin

3. Hiperkalemia; pasien yang mengalami penurunan laju glomerulus filtrat

reabsorpsion (GFR) tidak mampu mengeluarkan kalium.

4. Asidosis metabolik.

5. Abnormalitas Ca++ dan PO-4 (peningkatan konsentrasi fosfat mungkin

terjadi: serum kalsium mungkin menurun sebagai respon terhadap

penurunan absorpsi kalsium di usus dan sebagai mekanisme kompensasi

terhadap kadar serum.

6. Anemia. anemia terjadi akibat produksi eritropoetin yang tidak adekuat,

memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan

kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik,

terutama pada saluran GI. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin

menurun dan anemia berat terjadi, disertai keletihan, angina dan napas

sesak.

7. Manifestasi kardiovaskuler, pada gagal ginjal kronis mencakup hipertensi

(akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi sisten renin-angiotensin-


aldosteron), gagal jantung kongestif dan edema pulmoner (akibat cairan

berlebihan), dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan perikardial oleh

toksin uremik).

F. Patofisiologi
Penyakit ginjal kronis selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR.

Stadium penyakit ginjal kronis didasarkan pada tingkat GFR (Glomerular

Filtration Rate) yang tersisa dan mencakup :

1. Penurunan cadangan ginjal

Bila GFR turun 50% dari normal (penurunan fungsi ginjal), tetapi

tidak ada akumulasi sisa metabolik. Nefron yang sehat mengkompensasi

nefron yang sudah rusak, dan penurunan kemampuan mengkompensasi

urine, menyebabkan nocturia dan poliuri. Pemeriksaan CCT 24 jam

diperlukan untuk mendeteksi penurunan fungsi.

2. Insufisiensi ginjal

Terjadi apabila GFR turun menjadi 20-35 % dari normal. Nefron-

nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena

beratnya beban yang diterima. Mulai terjadi akumulasi sisa metabolik dalam

darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi mengkompensasi.

Penurunan respon terhadap diuretik, menyebabkan oliguri, edema. Derajat

insufisiensi dibagi menjadi ringan, sedang dan berat, tergantung dari GFR,

sehingga perlu pengobatan medis.

3. Gagal ginjal terjadi apabila GFR kurang dari 20%.

4. Penyakit gagal ginjal stadium akhir

Terjadi apabila GFR turun menjadi kurang dari 5% dari normal. Hanya

sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal ditemukan jaringan

parut dan artrofi tubulus. Akumulasi sisa metabolik dalam jumlah banyak

seperti ureum dan kreatinin dalam darah. Ginjal sudah tidak mampu
mempertahankan homeostatis dan pengobatannya dengan dialisa atau

penggantian ginjal.

Hipertensi pada dasarnya merusak pembuluh darah. Jika pembuluh

darahnya ada pada ginjal, tentu ginjalnya yang mengalami kerusakan.

Belum lagi salah satu kerja ginjal adalah memproduksi enzim angio tension.

Selanjutnya diubah menjadi angio tension II yang menyebabkan pembuluh

darah mengkerut atau menjadi keras. Pada saat seperti inilah terjadi

hipertensi.

Obstruksi saluran kemih

Zat toksik Vaskular Infeksi Retensi urin Batu besar &


kasar

Reaksi antigen Arteria


Menekan Iritasi/cedera
antibodi skerosis
saraf perifer jaringan

Suplai darah
ginjal turun Nyeri Hematuria
pinggang
Anemia
GFR turun
Kurang
Gangg. Keseimbangan
pengetahuan
cairan dan elektrolit GGK

Peningkatan tek. darah


Retensi Na dan cairan Aktivasi renin-angiotensin-
(Hipertensi)
aldosteron

Total CES naik Kelebihan


vol. cairan

Tekanan kapiler naik

Beban jantung naik

Hipertrifi ventrikel kiri

Payah jantung Bendungan atrium


kiri naik

CO turun
Penumpukan
cairan di paru
Suplai O2 Suplai O2 ke
jaringan turun otak turun
Edema paru

Fatigue Kehilangan Gangg.


kesadaran Pertukaran gas
Intoleransi
aktivitas

Gambar 3. Patofisiologi Hipertensi pada GGK

G. Sistem Klasifikasi / Stadium


1. Stadium I: GFR > 90 ml/menit walau terdapat kerusakan ginjal. Ginjal

masih mempunyai fungsi yang normal tetapi jumlah urine yang

dihasilkan dalam batas yang tidak normal akibat kerusakan pada

ginjal.
2. Stadium II: Penurunan yang ringan (GFR 60-89 ml/ menit). Fungsi

ginjal mulai menurun, jumlah urine yang di hasilkan dalam batas

tidak normal, akibat kerusakan pada ginjal :

 GFR 60 ml/menit terdapat kehilangan fungsi 50%

 Hormon parathyroid mulai meningkat.

3. Stadium III: Penurunan fungsi ginjal yang sedang (GFR 30-59

ml/menit),

 Absobsi kalsium menurun

 Malnutrisi

 Anemia akibat kekurangan eritropoetin

 Hypertropi ventrikel kiri

4. Stadium IV: Penurunan fungsi ginjal yang berat (GFR 15-29 ml/menit)

 Trigliserida serum meningkat

 Hiperfosfatemia

 Asidosis metabolic

 Hiperkalemia

5. Stadium V: Gagal ginjal (GFR < 15 ml/menit), kadang disebut

astablished renal failure, Azotemia.

H. Penatalaksanaan
Gagal ginjal kronis tidak dapat disembuhkan. Jadi tujuan terapi pada

pasien dengan gagal ginjal kronis adalah memperlambat kerusakan ginjal yang

terjadi, mengatasi faktor yang mendasari GGK (misalnya DM, hipertensi, dll),

mengobati komplikasi dari penyakit, dan menggantikan fungsi ginjal yang

sudah tidak dapat bekerja.

1. Stadium I: observasi, kontrol tekanan darah.

2. Stadium II: kontrol tekanan darah, monitoring, menemukan penyebab

penyakit.

3. Stadium III: memastikan diagnosa, pengobatan lanjut.


4. Stadium IV: rencanakan untuk mengakhiri stadium gagal ginjal.

5. Stadium V: pilihan pengobatan untuk pengobatan akhir gagal ginja,

dialisis/transplantasi ginjal.

Penatalaksanaan terhadap gagal ginjal meliputi :

1. Restriksi konsumsi cairan, protein dan fosfsat.

2. Obat-obatan : diuretik untuk meningkatkan urinasi; aluminium

hidroksida untuk terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi

hipertensi serta diberi obat yang dapat menstimulasi produksi RBC seperti

epoetin alfa bila terjadi anemia.

3. Dialisis

4. Transplantasi ginjal

I. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

 Laboratorium darah :

BUN, Kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Phospat), Hematologi (Hb,

Trombosit, Ht, Leukosit), Protein antibody (kehilangan protein dan

immunoglobulin).

 Pemeriksaan Urin:

Warna, pH, BJ, kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen, SDM,

Keton, SDP, TKK / CCT.

2. Pemeriksaan EKG

Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia

dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia)

3. Pemeriksaan USG

Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim

ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta

prostate.

4. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal

Arteriografi dan venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, Pemeriksaan

rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen.

J. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain:

1.) Hiperkalemia

2.) Perikarditis

3.) Hipertensi

4.) Anemia

5.) Penyakit tulang

K. Asuhan Keperwatan
1. Pengkajian

a) Identitas klien.

b) Keluhan utama.

c) Riwayat kesehatan.

 Riwayat kesehatan sekarang. Pada kasus GGK faktor yang

mempengaruhi dan memperberat hingga klien MRS adalah fatigue,

malaise, gagal tumbuh, pucat dan mudah lecet, rapuh, leukonika, lidah

kering, berselaput, fundus hipertensif, mata merah, gagal jantung,

anoreksia, edema paru, efusi pleura, penurunan libido, anemia

defisiensi imun, mudah mengalami pendarahan.

 Riwayat penyakit dahulu. Biasanya klien sebelum di diagnosa GGK

klien pernah sakit seperti : glomerolus nefritis, netropati analgesik,

ginjal polikistik, penyebab lain seperti : HT, obstruksi GOUT.

 Riwayat penyakit keluarga. Gambaran mengenai kesehatan dan

adakah penyakit keturunan atau menular.

d) Pemeriksaan fisik.
e) Pola-pola fungsi kesehatan.

1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Perubahan

penatalaksanaan dan pemeliharaan kesehatan sehingga dapat

menimbulkan perawatan diri.

2. Pola nutrisi dan metabolisme. Pada klien GGK akan terjadi anoerksia,

nourea dan vomitus yang berhubungan dengan gangguan

metabolisme protein di dalam usus.

3. Pola eliminasi. Klien akan menunjukkan perubahan warna urine,

abdomen kembung, diare, konstipasi.

4. Pola istirahat tidur. Biasanya klien dengan GGK mengeluh sulit tidur

karena keresahan atau mengigau.

5. Pola aktifitas. Pada penderita GGK akan terjadi kelelahan ekstrim,

kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan gerak rentang.

6. Pola persepsi dan konsep diri. Klien tidak bisa menjalankan tugasnya

sehari-hari yang disebabkan oleh perawatan yang lama.

7. Pola sensori dan kognitif. Perubahan status kesehatan dan gaya hidup

data mempengaruhi pengetahuan  dan kemampuan dalam merawat

diri sendiri.

8. Pola reproduksi dan seksual. Akan terjadi penurunan libido,

impotensi, amenore, galaktose.

9. Pola hubungan peran. Kesulitan menentukan kondisi contoh tak

mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran biasanya dalam

keluarga.

10. Pola penanggulangan stress. Biasanya penderita GGK mengalami

fraktrus stress contoh finansial, hubungan dan sebabnya, perasaan

tidak berdaya, tidak da harapan, tidak ada kekuatan, menolak,

ansietas, takut, marah, mudah tersinggung, perubahan kepribadian.

11. Pola tata nilai dan kepercayaan. Tidak terjadi gangguan pada pola tata

nilai dan kepercayaan.


2. Diagnosa Keperawatan

a) Kelebihan volume cairan b.d penurunan kemampuan ginjal

mengeluarkan air dan menahan natrium.

b) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d proses filtrasi yang

terganggu akibat disfungsi GFR.

c) Kurang pengetahuan b.d proses penyakit; prosedur perawatan;

pengobatan.

d) Nyeri akut: sakit kepala b.d agen injuri : fisik (peningkatan tekanan

vaskuler serebral)

e) Intoleransi aktivitas b.d oksigenasi jaringan yang tidak adekuat,

keletihan.

f) Gangguan pertukaran gas b.d ventilasi-perfusi (adanya penumpukan

cairan di paru).

3. Rencana Tindakan

Diagnosa keperawatan : Nyeri akut b.d agen injuri : fisik (peningkatan

tekanan vaskuler serebral).

NOC: Tingkat nyeri, kontrol nyeri.

Kriteria hasil:

a) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan

teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)

b) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen

nyeri

c) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, dan tanda nyeri)

d) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.


NIC label: Manajemen nyeri

1. Lakukan pengkajian menyeluruh pada nyeri termasuk lokasi, karakteristik,

durasi, frekuensi. Pengkajian menyeluruh pada nyeri termasuk lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi penting untuk menentukan penyebab utama nyeri

dan pengobatan yang efektif.

2. Kaji adanya nyeri secara rutin, biasanya dilakukan pada pemeriksaan TTV

dan selama aktivitas dan istirahat. Pengkajian nyeri merupakan tanda-tanda

vital fisiologis yang penting dan nyeri termasuk dalam “kelima tanda-tanda vital”.

Nyeri akut sebaiknya dikaji saat istirahat (penting untuk kenyamanan) dan selama

bergerak (penting untuk fungsi dan menurunkan risiko terjadinya

kardiopulmonari dan tromboembolitik pada klien).

3. Minta klien untuk menjelaskan pengalaman nyeri sebelumnya, keefektifan

intervensi manajemen nyeri, respon pengobatan analgetik termasuk efek

samping, dan informasi yang dibutuhkan. Memperoleh riwayat nyeri individu

membantu untuk mengidentifikasi faktor potensial yang mungkin mempengaruhi

keinginan pasien untuk melaporkan nyeri, seperti intensitas nyeri, respon klien

terhadap nyeri, cemas, farmakokinetik dari analgesik.. Regimen manajemen nyeri

harus secara individu kepada klien dan mempertimbangkan kondisi medis,

psikologis dan fisiologis, usia, respon sebelumnya terhadap analgesik.

4. Manajemen nyeri akut dengan pendekatan multimodal. Multimodal

analgesik mengkombinasikan dua atau lebih pengobatan, metode. Manfaat dari

pendekatan ini adalah dosis efektif terendah dari setiap obat bisa diberikan,

hasilnya efek samping dapat diminimalkan seperti terjadinya oversedasi dan

depresi respirasi.

5. Jelaskan pada klien mengenai pendekatan manajemen nyeri, termasuk

intervensi farmakologi dan nonfarmakologi. Salah satu langkah penting

untuk meningkatkan kemampuan kontrol nyeri adalah klien memahami nyeri

secara alami dengan baik, pengobatannya dan peran klien dalam mengontrol nyeri.
6. Minta klien untuk menjelaskan nafsu makan, eliminasi, dan kemampuan

untuk istirahat dan tidur. Administrasikan terapi dan pengobatan untuk

meningkatkan/ memperbaiki fungsi ini. Obat-obatan golongan opioid dapat

menyebabkan konstipasi yang biasanya terjadi dan menjadi masalah yang

signifikan dalam manajemen nyeri. Opioid menyebabkan konstipasi dengan cara

menurunkan motilitas usus danmengurangi sekresi mukosa.

7. Sebagai tambahan administrasi obat analgesik, dukung klien untuk

menggunakan metode nonfarmakologi untuk membantu mengontrol

nyeri, seperti distraksi, imaginary, relaksasi dengan menarik napas dalam.

Strategi perilaku-kognitif dapat menjadi sumber kontrol diri klien, keberhasilan

personal, dan berpartisipasi aktif dalam pengobatannya sendiri.

8. Kolaborasi pemberian regimen antihipertensi. Untuk menurunkan tekanan

darah.

9. Ukur tekanan darah, frekuensi jantung, nadi perifer, respiratori rate secara

rutin. Memantau kondisi klien dan penting agarr tidak salah dalam pemberian

terapi farmakologi untuk mengatasi tekanan darah yang tinggi.


Daftar Pustaka

Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook an Evidence-Based


Guide to Planning Care. United Stated of America : Elsevier.

Anonimous. 2012. Asuhan Keperawatan pada Pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK).
Diakses pada tanggal 15 Mei 2013.
http://mydocumentku.blogspot.com/2012/03/asuhan-keperawatan-pada-
pasien-gagal.html

Brunner and Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8
Volume 2. Jakarta : EGC

Corwin, Elizabeth. J. 2000. Buku Saku Phatofisiologi. Jakarta ; EGC

Lolyta R, Ismonah, Achmad S. 2012. Analisis Faktor yang mempengaruhi


tekanan darah hemodialisis pada klien gagal ginjal kronik (studi kasus di
RS Telogorejo Semarang). Semarang: PSIK Stikes Telogorejo.

Marlyn E. Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi Tiga Buku


Kedokteran. Jakarta: EGC.

Muttaqien A, Kumala S. 2010. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem


Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif AH, Hardhi K. 2012. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosis Medis dan Nanda Nic Noc. Edisi Revisi. Yogyakarta:
Mediaction.
Rahardjo P. Hubungan Hipertensi dan Penyakit Ginjal. Indonesian Kidney Care
Club. Diakses pada tanggal 15 Mei 2013.
http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&id=498

Anda mungkin juga menyukai