Anda di halaman 1dari 14

PERKEMBANGAN PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM

DINAMIKA HUKUM PIDANA INDONESIA

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Pendidikan Anti Korupsi”

Disusun oleh :
Kelompok 2
Nama :
 Madropik
 Kasam
 Ru’yat Nurhamidah
 Novi Anjasari
 Ani Maharani

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS MATHLA’UL ANWAR (BANTEN)
TAHUN AKADEMIK
2015/2016
KATA PENGANTAR

Puji Syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunianya. Sehingga
makalah ini dapat kami selesaikan. Makalah ini merupakan syarat untuk melengkapi nilai
tugas Mata Kuliah “Pendidikan Anti Korupsi”

Keberhasilan makalah ini tidak lain juga disertai referensi-referensi serta bantuan dari
pihak-pihak yang bersangkutan. Makalah ini juga masih memiliki kekurangan dan kesalahan
baik dalam penyampaian materi atau dalam penyusunan makalah ini. Penyusunan makalah
ini juga dimaksudkan untuk menambah wawasan mahasiswa mengenai materi ini.

Sehingga kritik dan saran yang membangun yang sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga makalah ini
dapat terselesaikan.

Cikaliung, 21 Maret 2016

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................................................................ ii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah................................................................................................................................... 2
1.3 Batasan Masalah...................................................................................................................................... 2
1.4 Tujuan Penulisan..................................................................................................................................... 2
1.5 Sistematika Penulisan............................................................................................................................ 2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.......................................3


2.1.1 Era Sebelum Indonesia Merdeka........................................................................................ 3
2.1.2 Era Pasca Kemerdekaan......................................................................................................... 4
2.1.3 Era Orde Baru............................................................................................................................. 5
2.1.4 Era Reformasi............................................................................................................................. 6
2.2 Tindak Pidana Korupsi dalam Dinamika Hukum.......................................................................7
2.3 Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi.............................................................................................. 8
2.4 Fenomena Korupsi di Indonesia........................................................................................................ 8

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan................................................................................................................................................ 10
3.2 Saran............................................................................................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Korupsi di Indonesia saat ini sudah sampai pada titik yang tidak dapat ditolelir. Begitu
mengakat (membudaya) dan sistematis. Kerugian Negara atas menjamurnya praktek
korupsi sudah tidak terhitung lagi. Jika tahun 1993 Soemitro Dojohadikusumo
menyebutkan bahwa kebocoran dana pembangunan antara tahun 1989-1993 sekitar 30
%  dan hasil penelitian World Bank bahwa kebocoran dana pembangunan mencapai 45 %,
maka saat ini sepertinya jumlah tersebut sudah meningkat drastic. Hal tersebut
menyebabkan munculnya istilah bahwa korupsi sudah menjadi extra ordinary crime.
Tingkat korupsi di Negara Indonesia sudah teramat parah bahkan menurut hasil
penelitianTransparancy International, selama 5  (lima) tahun berturut-turut mulai Tahun
1995 sampai dengan Tahun 2000, Indonesia selalu menduduki posisi 10 (sepuluh) besar
negara paling korup di dunia. Berdasarkan penelitian Political and Economic Risk
Consultancy (PERC) Tahun 1997, Indonesia menempati posisi negara terkorup di Asia. Dan
pada Tahun 2001 peringkat Indonesia menjadi negara terkorup ke-2 di Asia setelah
Vietnam.

Padahal perangkat undang-undang yang bekaitan dengan tindak pidana korupsi yang
dugunakan oleh negara sudah termaktub dalam tiga undang yaitu Undang-Undang No.3
tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, Undang-Undang No.31 tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, serta Undang-Undang No.20 tahun
2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No.31 tahun 1999. Kemudian sejumlah isi
hukum (contents law) atau produk hukum terkait dengan masalah korupsi telah
dimunculkan, setidaknya antara tahun 1999-2005 antara lain, Kepres No.127 tahun 1999
tentang pembentukan komisi KPKN dan sekretariat Jenderal komisi pemeriksaan
kekayaan penyelenggara negara, Kepres No.81 tahun 1999 tentang pembentukan KPKPN,
Tap MPR No.XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari
KKN, PP No. 65 tahun 1999 tentang tata cara pemeriksaan kekayaan penyelenggara
negara, PP No. 97 tahun 1999 tentang tata cara pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
tugas dan wewenang komisi pemeriksa, PP No.68 tahun 1999 Tentang tata cara
pelaksanaan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara, PP No.19 tahun
2000 tentang tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi, Kepres No.73 tahun
2003 tentang pembentukan panitia seleksi calon pimpinan komisi pemberantasan tindak
pidana korupsi, Inpres No.5 tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan tindak pidana
korupsi, Kepres No.45 tahun 2004 tentang pengalihan organisasi, administrasi dan
finansial sekjen KPKPN ke-komisi pemberantasan tindak pidana korupsi,

1
2
Kepres No.59 tahun 2004 tentang pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 tahun 2005
tentang percepatan pemberantasan korupsi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraraian di atas ditarik suatu permasalahan yaitu bagaimanakah
pengaturan Tindak Pidana Korupsi yang  terdapat  Undang-undang No. 3 Tahun 1971 dan
Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No.31 tahun
1999tentang Pemberantasan Korupsi ?

1.3 Batasan Masalah


Dalam makalah ini kami akan membatasi pada ruang lingkup “Pengaturan Tindak
Pidana Korupsi”

1.4 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui sejauhmana ketentuan
tindak pidana korupsi dapat memberantas korupsi di Indonesia yang nantinya dapat
dijadikan bahan masukan bagi lembaga legislasi dalam pembentukan aturan hukum
mengenai tindak padana korupsi serta memberikan sumbangsih dalam upaya
penanggulangan korupsi di Indonesia. begitupulah tujuan makalah ini sebagai bahan
referensi dan bahan diskusi kelompok II ( Dua ) Kelas B Semester VI Mata Kuliah
“PENDIDIKAN ANTI KORUPSI”

1.5 Sistematika Penulisan


JUDUL,
KATA PENGANTAR,
DAFTAR ISI,
BAB I PENDAHULUAN,
Latar Belakang,
Rumusan Masalah,
Batasan Masalah,
Tujuan Penulisan,
Sistematika Penulisan.
BAB II PEMBAHASAN,
BAB III PENUTUP,
DAFTAR PUSTAKA

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

2.1.1. Era Sebelum Indonesia Merdeka


Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi
korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan
wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan
dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan
saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-
Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi,
Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten
(Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan
rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali
peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan
Kekuasaan di Indonesia.
Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja
Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus
Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-
perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan
Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan
lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk
pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia
sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem
“Cuituur Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan.
Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di
masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan
memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat
memprihatinkan.

Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat


“manusiawi” dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang
sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem
Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen
sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan
“Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.

4
2.1.2. Era Pasca Kemerdekaan
3
Bagaimana sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan?
Sebenarnya “Budaya korupsi” yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah
Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era
Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.
Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih
belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi.
Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab
untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.

Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali


dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun
ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran,
singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-
undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh
dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.

Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah
diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan
pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban
pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka
berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada
Presiden.

Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat


berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah
sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada
pemerintah (Kabinet Juanda).[5]

Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya


pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat
sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh
Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-
kasus korupsi ke meja pengadilan.

Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”.


Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga
negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi
ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan,
Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan
tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih
belum mendapat izin dari atasan.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan


negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup
signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise
5

Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu


pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua
kepentingan yang lain”.

Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran


Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi
ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah
kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami
stagnasi.

2.1.3. Era Orde Baru


Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus
1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu
memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di
Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi
korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian
dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.

Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas


korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk
rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog,
Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap
sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang
dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite
Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa
seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka
yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV
Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan
ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak
direspon pemerintah.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah


Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi.
Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib
terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara
Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara
pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam
memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan
kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan
berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

6
2.1.4. Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan
oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh
elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat
ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali,
kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan
melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD
1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-
lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah
diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut
pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau
lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).

Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman
dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-
gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review
Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami
kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.

Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian


masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung
upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-
pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak
pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat
bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.

TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU


Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan
dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke
dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah
lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis. [7]

Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang


alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah
kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya
sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya
jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di
Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992
sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari
berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi. 7
Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya
mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana
korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang
pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye
antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas
korupsi).

Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang


dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya,
tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan
dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau
institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama
transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".

2.2. Tindak Pidana Korupsi dalam Dinamika Hukum

Di dalam Undang-Undang Tidak Pidana Korupsi terdapat 3 istilah hukum yang perlu
diperjelas, yaitu istilah tindak pidana korupsi, keuangan negara dan perekonomian
negara.

2.2.1 Tindak Pidana Korupsi


2.2.1.1 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2.2.1.2 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (sesuai
Pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999)

2.2.2 Keuangan Negara 


Dalam undang-undang pengertian keuangan Negara adalah Seluruh kekayaan
negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak
dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak
dan kewajiban yang timbul karenanya :

2.2.2.1 Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban


pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah.
2.2.2.2 Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan
8
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum,
dan Perusahaan yang menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang
menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
2..2.3 Perekonomian Negara
Kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan
asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada
kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan
memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh
kehidupan rakyat. (sesuai dengan Perekonomian Negara dalam Pasal 2 dan Pasal 3)

Undang-undang bermaksud mengantisipasi atas penyimpangan keuangan


atau perekonomian negara yang dirasa semakin canggih dan rumit. Oleh
karenanya tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-undang ini
dirumuskan seluas-luasnya sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum.

2.3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi


      Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi terdiri dari 2
unsur, yaitu :
2.3.1 Unsur-unsur subyektif yang meliputi :
2.3.1.1 Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi;
2.3.1.2 Perbuatan melawan hukum;

2.3.2 Unsur-unsur objektif yang meliputi :


2.3.2.1 Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukannya;
2.3.2.2 Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

2.4. Fenomena Korupsi di Indonesia

Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara berkembang contohnya Indonesia


2.4.1 Proses modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia
pada lembaga-lembaga politik yang ada.
2.4.2 Institusi-institusi politik yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya
“ok-num” lembaga tersebut dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi,
sosial, keaga-maan, kedaerahan, kesukuan, dan profesi serta kekuatan asing9
lainnya.
2.4.3 Selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya
banyak diantara mereka yang tidak mampu.
2.4.4 Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan
dalih “kepentingan rakyat”.
Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai berikut :

2.4.1 Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering
berubah-ubah sesuai dengan kepentingan politik saat itu.
2.4.2 Muncul pemimpin yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada
kepenting-an umum.
2.4.3 Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-
lomba mencari keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.
2.4.4 Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan harta
dan kekuasaan. Dimulailah pola tingkah para korup.
2.4.5 Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa
kelompok kecil yang mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada pada
kelompok masyarakat besar (rakyat).
2.4.6 Lembaga-lembaga politik digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai sektor
di bidangpolitik dan ekonomi-bisnis.
2.4.7 Kesempatan korupsi lebih meningkat seiring dengan semakin meningkatnya
ja-batan dan hirarki politik kekuasaan.

BAB III
PENUTUP
1.1 KESIMPULAN
Korupsi di Indonesia telah ada sejak awal kemerdekaan masa pemerintahan Ir.
Soekarno, terutama masa demokrasi liberal dan mengalami puncaknya pada masa
demokrasi terpimpin yang mengakibatkan lengsernya Ir. Soekarno sebagai presiden dan
digantikan oleh Soeharto.
Bahkan korupsi semakin menjadi momok pada pemegang kekuasaan karena tidak
tanggung-tanggung tiga nama presiden sekaligus diturunkan karena tidak sanggup
memberantas dan menguak kasus korupsi yang merugikan Negara ini.
Yang jadi masalah adalah penuntasan korupsi yang tidak tuntas dan berbelit-belit ini
jika tidak diselesaikan akan mengakibatkan kesenjangan sosial dan kerugian Negara yang
sangat besar.
Yang membuat korupsi sulit dihilangkan menurut Anzar Abdullah adalah :
 Budaya upeti, suap atau menyogok yang sudah mendarah daging di Indonesia dan
telah terlaksana secara turun temurun yang sulit dihilangkan.
 Penghasilan atau gaji seorang pegawai negeri yang pas-pasan dan kebutuhan
keluarga yang sangat banyak mengakibatkan korupsi menjadi alternative
pemenuhan kebutuhan yang sangat popular bagi para pegawai negeri yang
memegang jabatan.

3.2 SARAN

Dalam pembuatan makalah ini penulis memberikan saran, agar dapat mendalami dan
memahami lagi dalam Materi Pendidikan Anti Korupsi tentang “Perkembangan
Pengaturan Tindak Pidana Korupsi dalam Dinamika Hukum Pidana Indonesia”

DAFTAR10
PUSTAKA
Undang-Undang tenteng Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 tahun 1999. Jo. UU
No. 20 tahun 2001.

Janah, Maulana, Menemukan Akar Permasalahan Korupsi, Dept. Kebijakan Publik


KAMMI Pusat, Dipublikasikan: 26/09/2005 12:17:01

Mustakim, Kendala-Kendala Korupsi di Indonesia ditiinjau dari Sosiologi


Hukum, Makalah Sosiologi Hukum 2007

Ramelan, Koordinasi dan Pengawasan Antar Instansi Dalam Penyidikan dan


Penuntutyan Korupsi Dalam Perpektif Kejaksaan, Disampaikan pada diskusi
panel “Menuju Pengadilan Anti Korupsi”, yang diselenggarakan oleh Mahkamah
Agung dan British Council, pada tanggal 15-16 September 2004, di Jakarta.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, Jakarta : UI Press, 1986

Anda mungkin juga menyukai