Anda di halaman 1dari 31

BAHASA SEBAGAI SISTEM SEMIOTIK

PENGERTIAN TENTANG MAKNA DAN TEORI PENDEKATANNYA

“MAKALAH”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Semantik
Dosen pengampu : Agus Hermawan,M.Pd

Disusun oleh :

Nama NIM
M, Ibdaus Shobirin (1988201018)

Himatul Fadilah (1988201004)

Syaniatul Romdiah (1988201016)

UNIVERSITAS NADHATUL ULAMA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN SOSIAL

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

Oktober 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT. Yang atas nikmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengertian bahasa sebagai
sistem semiotik & Pengertian tentang makna dan teori pendekatannya ”. Penulisan
makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Semantik.

Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi.Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
dari semua pihak demi penyempurnaan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah
ini, khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.

Blitar, 31 Oktober 2020


Penyusun

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL ......................................................................................... i

KATA PENGANTAR........................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang......................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah.................................................................... 1

1.3 Tujuan Penulisan...................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 pengertian Bahasa................................................................ 3

2.2 ciri-ciri Bahasa......................................................................... 4

2.3 bahasa sebagai sistem semiotik............................................ 6

2.4 pengertian makna menurut para ahli.................................... 10

2.5 pendekatan dalam Teori Makna........................................... 17

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.............................................................................. 20

3.2 Saran........................................................................................ 21

DAFTAR RUJUKAN............................................................................ 22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahasa merupakan sistem komunikasi yang amat penting bagi
manusia. Bahasa merupakan alat komunikasi manusia yang tidak terlepas dari
arti atau makna pada setiap perkataan yang diucapkan. Sebagai suatu unsur
yang dinamik, bahasa sentiasa dianalisis dan dikaji dengan menggunakan
perbagai pendekatan untuk mengkajinya. Antara lain pendekatan yang dapat
digunakan untuk mengkaji bahasa ialah pendekatan makna. Semantik
merupakan salah satu bidang linguistik yang mempelajari tentang makna.
Bahasa merupakan media komunikasi yang paling efektif yang
dipergunakan oleh manusia untuk berinteraksi dengan individu lainnya.
Bahasa yang digunakan dalam berinteraksi pada keseharian kita sangat
bervariasi bentuknya, baik dilihat dari fungsi maupun bentuknya. Tataran
penggunaan bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat dalam berinteraksi
tentunya tidak lepas dari penggunaan kata atau kalimat yang bermuara pada
makna, yang merupakan ruang lingkup dari semantik.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa pengertian Bahasa?
1.2.2 Apa saja ciri-ciri Bahasa?
1.2.3 Apa maksud bahasa sebagai sistem semiotik?
1.2.4 Apa pengertian makna menurut para ahli?
1.2.5 Apa saja pendekatan dalam Teori Makna?

1
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Mengetahui pengertian Bahasa
1.3.2 Mengetahui ciri-ciri Bahasa
1.3.3 Mengetahui bahasa sebagai sistem semiotik
1.3.4 Mengetahui pengertian makna menurut para ahli
1.3.5 Mengetahui pendekatan dalam Teori Makna

2
BAB II
PEMBAHASAN

1.2.1 Pengertian bahasa


Menurut Tarigan (1989 : 4) Bahasa merupakan sistem yang
tersusun secara sistematis yang kemungkinan dipakai pada sistem
generatif serta menjadi lambang atau simbol yang arbitrer. Sedangkan
menurut Harimurti Kridalaksana, Bahasa ialah media bunyi yang
bermanfaat dan diapakai untuk berinteraksi oleh setiap masyarakat.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2001:88)
pengertian bahasa adalah sistem bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh
anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasikan diri.
Jadi dapat disimpulkan Bahasa adalah alat komunikasi yang berupa
sistem lambang bunyi yang dihasilkan dari alat ucap manusia (mulut).
Bahasa terdiri atas kata-kata atau kumpulan kata. Masing-masing
mempunyai makna, yaitu, hubungan abstrak antara kata sebagai lambang
dengan objek atau konsep yang diwakili oleh kumpulan kata atau kosakata
itu yang disusun secara alfabetis, atau menurut urutan abjad yang disertai
penjelasan artinya dan kemudian dibukukan menjadi sebuah kamus.
Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat sistematis dan sistemis, dikatakan
sistemis karena bahasa memiliki kaidah atau aturan tertentu.
Beberapa hal menarik yang dapat disimpulkan dari batasan
pengertian itu adalah
(a) bahasa merupakan suatu sistem,
(b) Sebagai sistem, bahasa bersifat arbitrer, dan
(c) sebagai sistem arbitrer, bahasa dapat digunakan untuk berinteraksi, baik
dengan orang lain maupun dengan diri sendiri.

Bahasa memiliki komponen-komponen yang tersusun secara


hierarkis. Komponen itu meliputi komponen fonologis, morfologis,

3
sintaksis, dan semantis. Masing-masing komponen tersebut saling
memberi arti, saling berhubungan dan saling menentukan.
Pada sisi lain, setiap komponen juga memiliki sistemnya sendiri.
Sistem pada tataran bunyi, misalnya dikaji bidang fonologi, pada tataran
kata dikaji bidang morfologi, dan kajian sistem pada tataran kalimat
menjadi wilayah sintaksis. Sebagai subsistem, masing-masing komponen
tersebut juga telah mengandung aspek semantis tertentu sehingga secara
potensial dapat disusun dan dikombinasikan untuk digunakan dalam
komunikasi.

1.2.2 Ciri-Ciri Bahasa

Berdasarkan definisi bahasa dari Kridalaksana dan dari beberapa para ahli lainnya,
maka dapat disebutkan sifat atau ciri-ciri yang hakiki dari suatu bahasa. Berikut
ini adalah sifat dan ciri-ciri bahasa antara lain :
 Bahasa sebagai sistem, bahasa memilki suatu aturan atau susunan teratur
yang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna dan berfungsi. Sistem
ini dibentuk oleh sejumlah unsur atau komponen yang satu dengan yang
lainnya berhubungan secara fungsional.
 Bahwa berwujud lambang, yaitu bahasa itu dilambangkan atau
disampaikan dalam bentuk bunyi bahasa bukan dalam wujud yang lain
yaitu berupa bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
 Bahasa berupa bunyi, yang dimaksud disini adalah satuan bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia yang di dalam fonetik diamati sebagai
“fon” dan di dalam fonemik sebagai “fonem”
 Bahasa itu bersifat arbitrer, yaitu tidak ada hubungan wajib antara lambang
bahasa yang berwujud bunyi itu dengan konsep atau pengertian yang
dimaksud oleh lambang tersebut,biasa di artikan sewenang-wenang,selalu
berubah-ubah,tidak menetap.
 Bahasa itu konvesional, masyarakat mematuhi akan konvensi yang di
terapkan di dalam konsep yang mewakilinya.

4
 Bahasa itu bermakna, ditinjau dari fungsinya yaitu menyampaikan pesan,
konsep, ide atau pemikiran. Jadi bentuk-bentuk bunyi yang tidak
bermakna yang disampaikan dalam bahasa apapun tidak bisa disebut
sebagai bahasa.
 Bahasa itu bersifat unik, setiap bahasa di dunia itu mempunyai ciri khas
yang spesifik yang tidak dimiliki oleh bahasa lain.
 Bahasa itu bersifat produktif, unsur-unsur yang terkandung di dalam
bahasa itu dapat dikembangkan menjadi satuan-satuan bahasa yang
jumlahnya tidak terbatas sesuai dengan sistem yang berlaku di dalam
bahasa tersebut.
 Bahasa itu bersifat universal, pada suatu bahasa yang ada di dunia ada ciri-
ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa dan tentunya ciri-ciri itu
adalah unsur bahasa yang paling umum.
 Bahasa itu variasi, bahasa di dunia ini beragam dan bermacam-macam.
 Bahasa itu bersifat dinamis, karena bahasa itu selalu berkaitan dengan
semua kegiatan manusia dan kegiatan manusia itu selalu berubah hingga
akhirnya bahasa juga ikut berubah menjadi tidak tetap, dan menjadi tidak
statis tetapi dinamis.
 Bahasa itu manusiawi artinya bahasa itu hanya dimiliki saja dan digunakan
oleh manusia itu sendiri.
 Bahasa sebagai alat interaksi social, hal ini sesuai dengan fungsi bahasa itu
sendiri sebagai alat komunikasi.

Menurut sumber lain, Adapun ciri-ciri bahasa manusia, apabila


dibandingkan dengan bahasa binatang serta sistem tanda lain, seperti telah
diungkapkan antara lain oleh Hockett (1960), Osgood (1980), maupun
Bolinger (1981), apabila dikaitkan dengan aspek makna, adalah sebagai
berikut.
a.    Alat fisis yang digunakan bersifat tetap dan memiliki kriteria tertentu, disebut
demikian karena bahasa yang beresensikan bunyi ujaran selalu menggunakan alat
ujar sesuai dengan kriteria tertentu.

4
b.   Organisme yang digunakan, memiliki hubungan timbal balik, alat ujaran yang
digunakan manusia, baik berjenis kelamin laki-laki, perempuan, ataupun suku dan
bangsa yang berlainan, semuanya sama.

4
c.    Menggunakan kriteria pragmatik, disebut demikian karena perwujudan
bentuk  kebahasaan lewat pemakai, menggunakan kriteria pemakai tertentu.

d.   Mengandung kriteria semantis. Ciri kriteria itu muncul karena kegiatan
berbahasa memiliki fungsi semantis tertentu.

e.    Memiliki kriteria sintaksis, disebut demikia karena kata-kata yang digunakan,
untuk menjadi suatu kalimat harus disusun sesuai dengan pola kalimat yang telah
disepakati.

f.    Melibatkan unsur bunyi maupun unsur audiovisual. disebut demikian karena
pemakaian bahasa selain melibatkan media transmisi berupa bunyi, juga
melibatkan unsur paralanguage.

g.   Memiliki kriteria kombinasi dan bersifat produktif, terdapatnya ciri itu
ditandai oleh adanya potensialitas unsur kebahasaan untuk bergabung secara
sintagmatik.

h.   Bersifat arbitrer, karena hubungan antara lambang kebahasaan dengan referen
yang dilambangkan hanya berdasrkan kesepakatan, dan bukan pada kemampuan
lambang itu dalam memberikan kembali realitas luar yang diacunya.

i.     Memiliki ciri prevarikasi, karena bahasa sebagai realitas terpisah dengan
dunia luar yang diwakilinya, setelah muncul dalam pemakaian, isinya bisa benar,
bisa tidak.

j.     Terbatas dan relatif tetap, yakni dalam hal pola kalimat struktur kata.

k.   Mengandung diskontinyuitas, secara paradoksal, bahasa, selain memiliki


kontinyuitas, oleh Maillet disebutkan juga mengandung diskontinyuitas.

l.     Bersifat hierarkis, bahasa disusun dan dibangun oleh perangkat komponen
bunyi, bentuk, kata, kalimat, maupun wancana.

5
m. Bersifat sistematis dan simultan, meskipun bahasa merupakan suatu
komponennya dapat dianalisis secara terpisah, sebagai suatu sistem komponen-
komponen tersebut harus digunakan secara laras dan simultan.

n.   Saling melengkapi dan mengisi, Hocket dalam hal ini menyebutkan ciri
interchangeability dari bahasa sehingga, meskipun bahasa itu memiliki komponen
yang terpisah, karena adanya potensialitas dan mobilitas, masing-masing
komponen itu dapat saling dipertukarkan.

o.   Informasi kebahasaan dapat disegmentasi, dihubungkan, disatukan dan


diabadikan, dalam kegiatan tuturan, selama masing-masing pemeran masih hidup,
bahasa dapat digunakan dalam ruang dan satuan waktu yang berbeda-beda secara
berkesinambungan.

p.   Transmisi budaya, yakni bahasa selain dapat digunakan untuk menyampaikan
rekaman unsur dan nilai kebudayaan saat sekarang, juga dapat digunakan sebagai
alat pewaris kebudayaan itu sendiri.

q.   Bahasa itu dapat dipelajari, baik bahasa yang masih hidup maupun yang
sudah mati

r.     Bahasa itu dalam pemakaian bersifat bidimensional, disebut demikian karena
makna keberadaannya, selain ditentukan oleh kehadiran dan hubungan
antarlambang kebahasaan itu sendiri juga ditentukan oleh pameran serta konteks
sosial dan situasionaln yang melatari.

1.2.3 Bahasa Sebagai Sistem Semiotik


Sejalan dengan terdapatnya tiga pusat kajian kebahasaan dalam pemakaian, maka
bahasa dalam sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem

(1) sintaksis, yakni komponen yang berkaitan dengan lambang atau sign serta
bentuk hubungannya,

6
(2) semantik, yakni unsur yang berkaitan dengan masalah hubungan antara
lambang dengan dunia luar yang diacunya,
(3) pragmatik, yakni unsur ataupun bidang kajian yang berkaitan dengan
hubungan antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian (Lyons, 1979 : 115).

Ditinjau dari sudut pemakaian, telah diketahui bahwa alat komunikasi


manusia dapat dibedakan antara media berupa bahasa atau media verbal dengan
media nonbahasa atau nonverbal.  Sementara media kebahasaan itu ditinjau dari
alat pemunculannya atau channel, dibedakan pula antara media lisan dengan
media tulis. Dari kemunkinan terdapatnya unsur suprasegmental maupun kinesiks,
maka kalimat dalam dan bentuk tulisan lebih mengutamakan adanya kelengkapan
unsur dan kejelasan urutan dari pada secara lisan.

Sistem kaidah penataan lambang secara gramatis selalu berkaitan dengan


strata makna dalam suatu bahasa. Pada sisi lain, makna sebagai label yang
mengacu realitas tertentu juga memiliki sistem hubungannya sendiri. Unsur
pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai menjadi bagian dari
sistem semiotik sehingga juga menjadi salah satu cabang kajiannya karena
keberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya bahlan lebih luas lagi
keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu
ke dalam masyarakat pemakainya, kedalam konteks sosial budaya yang dimiliki.

Aspek pragmatik dalam semiotik sama sekali tidak dikaitkan dengan unsur
pemakaian, sebagai unsur yang secara langsung berhubungan dengan konteks
sosial dan situasional karena unsur-unsur sosial dan situasional dalam semiotik
telah disikapi sebagai unsur (1) sistem pemakaian dan termasuk di dalam sistem
pragmatik, (2) unsur kontekstual, baik sosial maupun situasional, sebagai suatu
sistem, telah berada di dalam kesadaran kolektif anggota suatau masyarakat
bahasa, (3) latar fisis dan situasi hanya berfungsi sekunder. Atau dengan kata lain
pusat perhatian semiotik adalah sistem yang mendasari “sistem kebahasaan” dan
bukan pada wujud pemakaiannya.

Pendapat bahwa bahasa adalah sistem tanda yang tidak dapat dipisahkan
dengan pemakai, aspek lambang, dan semantis, juga diungkapkan oleh Ferdinand
de Saussure (1916) mengungkapkan bahwa itu mencakup tiga unsur, meliputi:

7
(1) la langue, yakni unit sistem kebahasaan yang bersifat kolektif dan dimiliki
oleh setiap anggota masyarakat bahasa,

(2) la parole, sebagai wujud bahasa yang digunakan anggota masyarakat bahasa
itu dalam pemakaian,

(3) la langage, yaitu wujud dari pengelompokan la parole yang nantinya akan
menimbulkan dialek maupun register. Pemahaman terhadap sistem kebahasaan itu
tentu sangat berperan dalam upaya memahami wujud kebahasaan atau signal yang
direpresentasikan oleh pemakainya.

Dari uraian tentang bahasa sebagai sistem semiotik di atas, dapat


disimpulkan bahwa pemakaian bahasa dalam komunikasi diawali dan disertai
sejumlah unsur, meliputi (1) sistem sosial budaya dalam suatu masyarakat bahasa,
(2) sistem kebahasaan yang melandasi, (3) bentuk kebahasaan yang digunakan,
serta (4) aspek semantis yang dikandungnya. Dalam komunikasi, dari keempat
unsur di atas yang tertampil secara eksplisit adalah signal, yang oleh Colin Cherry
diartikannya sebagai bentuk fisis yang digunakan untuk menyampaikan pesan
baik itu ujaran kebahasaan maupun unsur lain yang secara laras menunjang aspek-
aspek semantis yang akan direpresentasikan (Cheryy, 1957 : 306).

Dengan demikian, dalam proses komunikasi, signal memiliki dua fungsi.


Pertama, signal atau tanda menjadi alat paparan pengirim pesan atau sender.
Kedua, tanda juga menjadi tumpuan dalam penerimaan dan upaya memahami
pesan. Dapat diketahui bahwa penutur  memiliki hubungan langsung dengan
sistem sosial budaya, sistem kebahasaan, aspek semantis, serta signal yang
diwujudkannya. Dengan demikian, kunci pemahaman aspek semantis adalah pada
penutur atau pemakai yang memiliki atribut sistem kebahasaan serta latar sosial
budaya.

Apabila penerima adalah pemakai bahasa yang digunakan penutut, maka


hubungan resiprokal besar kemungkinan dapat terjadi. Sementara penerima yang
bukan anggota masyarakat bahasa penuturnya, terlebih dahulu harus
mengidentifikasi identitas-identitas penutur, berusaha memahami keseluruhannya

8
itu, penerima pesan pasti gagal menerima informasi sehingga komunikasi itu pun
tidak berlangsung. Masalah yang segera muncul adalah (1) mengapa signal yang
disampaikan dan diterima oleh sesama anggota masyarakat bahasa tidak
membuahkan informasi, serta (2) penutur yang bukan anggota masyarakat bahasa
dengan hanya memahami sistem kebahasaannya.

9
1.2.4 Pengertian Makna menurut para ahli

Ferdinand de Saussure (Di dalam Abdul Chear, 1994:286) berpendapat


bahwa makna merupakan konsep yang dimiliki oleh suatu tanda linguistik.
Grice dan Bolinger dalam Aminudin memberikan batasan pengertian makna
yaitu hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama
oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti. Dari batasan ini,
dapat diketahui ada tiga unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yaitu :
1) Makna ialah hasil hubungan antara bahasa dan dunia luar;
2) Penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pengguna bahasa;
3) Perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi
sehingga dapat saling dimengerti.
Sedangkan Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinan de
Saussure bahwa makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau
terdapat pada sebuah tanda linguistik. Dari pengertian para ahli bahasa di atas,
dapat dikatakan bahwa batasan tentang pengertian makna sangat sulit
ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara
pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau kata.
a. Relasi Makna Kata
1.    Sinonim
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno , yaitu
onoma yang berarti “Nama”, dan syn yang berarti “Dengan”. Maka secara
harfiah kata sinonim berarti “Nama lain untuk benda atau hal yang sama” (Chaer,
1990:85). Sinonim atau bisa disebut kegandan makna dapat diartikan sebagai dua
kata atau lebih yang memiliki makna yang sama atau hampir sama. Dikatakan
hampir sama karena meskipun dua kata tersebut sama, kata tersebut tidak dapat
atau kurag tepat bila menggantikan kata yang lain dalam sebuah kalimat.
Contohnya seperti di bawah ini :
kucing itu mati ditabrak sepeda.
maling itu meninggal ditabrak sepeda.
Dalam dua kalimat di atas, kita dapat menemukan dua kata yang bersinonim, yaitu
mati dan meninggal. Namun kata “Meninggal” pada kalimat kedua tidak dapat
menggantikan kata “Mati” pada kalimat pertama. Hal ini karena kata “Mati” dapat

10
digunakan pada semua makhluk hidup seperti manusia, hewan, dan tumbuhan,
sedangkan kata “Meninggal” hanya digunakan pada manusia.
2.    Antonim
Kata antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti
“Nama”, dan anti yang berarti “Melawan”. Maka secara harfiah antonim berarti
‘nama lain untuk benda lain pula’(Chaer, 1990:85). Kata antonim atau sering
disebut lawan kata dapat diartikan sebagai dua kata yang memiliki makna yang
berlawanan atau bertentangan. Misalnya, hidup-mati, diam-gerak dan sebagainya.
3.    Homonim, homofon, homograf
Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang berarti
“Nama” dan homo yang artinya “Sama”. Secara harfiah homonimi dapat diartikan
sebagai “Nama sama untuk benda atau hal lain” (Chaer, 1990:85). Homonim
adalah dua kata atau lebih yang memiliki ejaan dan lafal yang sama namun
memiliki makna yang berbeda. Misalnya, kata “Bisa” dapat diartikan dua makna,
yakni “Bisa” yang berarti “Dapat” dan “Bisa” yang berarti “Racun”.
Homofon (homo berarti sama, fon berarti bunyi ) adalah dua kata atau
lebih yang memiliki lafal yang sama walaupun ejaan dan maknanya berbeda.
Misalnya, kata “Bang” dan “Bank”.
Homograf (homo berarti sama, grafi berarti tulisan) adalah dua kata atau
lebih yang memiliki ejaan yang sama namun memiliki lafal dan makna yang
berbeda. Misalnya, “Tahu” (baca “Tahu”) bermakna salah satu produk makanan
yang berasal dari kedelai, sedangkan kata “Tahu” (baca “Tau”) bermakna
mengetahui.
4.    Hiponim dan hipernim
Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno , yaitu onoma berarti
“Nama” dan hypo berarti “Di bawah”. Jadi, secara harfiah berarti “Nama yang
termasuk di bawah nama lain” (Chaer, 1990:85). Hipomimi dan hipermimi
berhubungan satu sama lain, hipomimi merujuk pada kata yang lebih khusus yang
merupakan subordinat dari hipermimi. Misalnya, kata “Tongkol” dan “Ikan”, kata
“Tongkol” merupakan hiponim dari kata “Ikan” sedangkan kata “Ikan”
merupakan hipernim dari kata “Tongkol”.

11
5.    Polisemi
Polisemi adalah satuan bahasa (bisa kata atau frase) yang memiliki makna
lebih dari satu. Misalnya pada kalimat di bawah ini :
Kepalaku sakit sejak kemarin.
Kepala sekolah menemui para murid di kelas
Kata “Kepala” yang pertama bermakna bagian tubuh yang berada di atas leher
sedangkan kata “Kepala” yang kedua bermakna pemimpin.

b. Perubahan Makna Kata


1. Pengertian
Dalam perkembangan penggunaannya, kata sering mengalami perubahan makna.
Perubahan tersebut terjadi karena pergeseran konotasi, rentang masa penggunaan,
jarak, dan lain-lain. Namun yang jelas, perubahan-perubahan tersebut ada
bermacam-macam yaitu: menyempit, meluas, amelioratif, peyoratif, dan asosiasi.

2. Menyempit/spesialisasi
Kata yang tergolog kedalam perubahan makna ini adalah kata yang pada awal
penggunaannya bisa dipakai untuk berbagai hal umum, tetapi penggunaannya saat
ini hanya terbatas untuk satu keadaan saja.
Contoh :
Sastra dulu dipakai untuk pengertian tulisan dalma arti luas atau umum,
sedangkan sekarang hanya dimaknakan dengan tulisan yang berbau seni. Begitu
pula kata sarjana (dulu orang yang pandai, berilmu tinggi, sekarang bermakna
“Lulusan perguruan tinggi”).
 
3. Meluas/generalisasi
Penggunaan kata ini berkebalikan dengan pengertian menyempit.
Contoh :
Petani dulu dipai untuk seseorang yang bekerja dan menggantungkan hidupnya
dari mengerjakan sawah, tetapi sekarang kata tersebut dipakai untuk keadaan yang
lebih luas. Penggunaan pengertian petani ikan, petani tambak, petani lele
merupakan bukti bahwa kata petani meluas penggunaannya.

12
4. Amelioratif

Pada awalnya, kata ini memiliki makna kurang baik, kurang positif, tidak
menguntungkan, akan tetapi, pada akhirnya mengandung pengertian makna yang
baik, positif, dan menguntungkan.
Contoh :
Wanita, pramunikmat, dan warakawuri merupakan kata-kata yang dipakai untuk
lebih menghaluskan, menyopankan pengertian yang terkandung dalam kata-kata
tersebut.

5. Peyoratif
Makna kata sekarang mengalami penurunan nilai rasa kata daripada makna kata
pada awal pemakaiannya.
Contoh :
Kawin, gerombolan, oknum, dan perempuan terasa memiliki konotasi menurun
atau negatif.

6. Asosiasi
Yang tegolong kedalam perubahan makna ini adalah kata-kata dengan makna-
makna yang muncul karena persamaan sifat. Sering kita mendengar kalimat “hati-
hati dengan tukang catut itu.”
Tukang catut dalam kalimat diatas tergolong kata-kata dengan makna asosiatif.
Begitu pula dengan kata kacamata dalam : menurut kacamata saya, perbuatan
anda tidak benar

7. Sinestesia
Perubahan makna terjadi karena pertukaran tanggapan antara dua indera, misalnya
dari indera pengecap ke indera penglihatan.
Contoh:
Gadis itu berwajah manis. Kata manis mengandung makna enak, biasanya

18
dirasakan oleh alat pengecap, berubah menjadi bagus, dirasakan oleh indera
penglihatan. Demikian juga kata panas, kasar, sejuk, dan sebagainya.

c. Jenis Makna Kata


Makna di dalam sastra Bahasa Indonesia ditentukan dalam beberapa
kriteria atau jenis dan juga sudut pandang. Jenis makna dalam Bahasa Indonesia
sangat banyak diantaranya: Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan
antara makna leksikal dan makna gramatikal, berdasarkan ada atau tidaknya
referen pada sebuah kata atau leksem dapat dibedakan adanya makna referensial
dan makna nonreferensial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah
kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotatif dan makna konotatif,
berdasarkan ketepatan maknanya dikenal makna kata dan makna istilah atau
makna umum dan makna khusus.

1.    Makna Lesikal dan Makna Gramatikal

Leksikal merupakan bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina


leksikon. Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang
bermakna. Dengan kata lain makna lesikal adalah makna unsur-unsur bahasa
(leksem) sebagai lambang benda, peristiwa, obyek, dan lain-lain. Seperti kata
tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat
menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat
Tikus itu mati diterkam kucing, atau Panen kali ini gagal akibat serangan hama
tikus.

Biasanya makna leksikal dipertentangkan dengan makna gramatikal. Jika


makna leksikal berkenaan dengan makna leksem, maka makna gramatikal ini
adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses
afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi. Proses afiksasi awalan ter-
pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik,
melahirkan makna “Dapat”, dan dalam kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu
terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal “Tidak sengaja”.

2.    Makna Referensial dan Makna Nonreferensial

14
Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada
tidak adanya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen,
yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut
kata bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka
kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja termasuk kata yang
bermakna referensial karena mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah
tangga yang disebut “Meja”. Sebaliknya kata karena tidak mempunyai referen,
jadi kata karena termasuk kata yang bermakna nonreferensial.

3.    Makna Denotatif dan Konotatif

Makna denotatif atau konseptual adalah makna kata yang didasarkan atas
penunjukkan yang langsung (lugas) pada suatu hal atau obyek di luar bahasa.
Makna langsung atau makna lugas bersifat obyektif, karena langsung menunjuk
obyeknya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual
objektif. Oleh karena itu, makna denotasi sering disebut sebagai ’makna
sebenarnya.

Seperti dalam kata perempuan dan wanita kedua kata itu mempunyai dua makna
yang sama, yaitu “Manusia dewasa bukan laki-laki”.

Makna konotatif merupakan lawan dari makna denotatif. Jika makna


denotatif mencakup arti kata yang sebenarnya, maka makna konotatif sebaliknya,
yang juga disebut sebagai makna kiasan. Lebih lanjut, makna konotasi dapat
dijabarkan sebagai makna yang diberikan pada kata atau kelompok kata sebagai
perbandingan agar apa yang dimaksudkan menjadi jelas dan menarik. Seperti
dalam kalimat “Rumah itu dilalap si jago merah”. Kata “Si jago merah” dalam
kalimat tersebut bukanlah arti yang sebenarnya, melainkan kata kiasan yang
bermakna “Kebakaran”. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu.
Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti “Cerewet”,
tetapi sekarang konotasinya positif.

4.    Makna Kata dan Makna Istilah

15
Setiap kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya
makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks
kalimatnya atau konteks situasinya. Berbeda dengan kata, istilah mempunyai
makna yang jelas, yang pasti, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks
kalimat. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks. Hanya
perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau
kegiatan tertentu. Perbedaan antara makna kata dan istilah dapat dilihat dari
contoh berikut

(1) Tangannya luka kena pecahan kaca.

(2) Lengannya luka kena pecahan kaca.

Kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim atau
bermakna sama. Namun dalam bidang kedokteran kedua kata itu memiliki makna
yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan;
sedangkan lengan adalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.

5.    Makna Konseptual dan Makna Asosiatif

Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki


oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda
memiliki makna konseptual sejenis binatang berkaki empat yang biasa
dikendarai’. Jadi makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna
leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.

Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata
berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar
bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.

6.    Makna Idiomitikal dan Peribahasa

Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ”Diramalkan” dari
makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Contoh

16
dari idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna “Bekerja keras”,
meja

18
hijau dengan makna “Pengadilan”. Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki
makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya
karena adanya ”Asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa.
Umpamanya peribahasa Seperti anjing dengan kucing yang bermakna “Dikatakan
ihwal dua orang yang tidak pernah akur”. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa
binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersama memang selalu berkelahi,
tidak pernah damai.

7.    Makna Kias

Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan istilah arti kiasan digunakan


sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik
kata, frase, atau kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal,
arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-
bentuk seperti puteri malam dalam arti “Bulan”, raja siang dalam arti “Matahari”.

1.3.6 Pendekatan dalam teori makna


Makna itu sendiri terdiri 3 pendekatan, yang pertama adalah makna dalam
dunia, makna ini ada kaitannya dengan konsep panca indra manusia yang
sebenarnya apa yang dilihat dengan mata, merupakan langkah untuk menentukan
maknanya, digabungkan dengan representasi mental dari penutur atau mitra tutur.
Sehingga makna tidak hanya dicapai dengan mengaitkan symbol-simbol linguistic
dengan berbagai entitas didunia luar melainkan dalam representasi mental yang
kita miliki ketika memproduksi dan memahami symbol-simbol linguistic. Jenis
pendekatan makna yang kedua adalah makna dalam pikiran, pendekatan ini masih
berhubungan dengan pendekatan makna yang awak tadi, yakni pendekatan
referensial makna yang menbentuk landasan konseptual semantic kondisi
kebenaran. Akan tetapi, jenis pendekatan yang kedua ini, lebih menekankan dapa
makna intuisi, atau makna yang tersembunyi selain makna yang tersurat. Jenis
pendekatan makna yang ketiga adalah, makna dalam tindakan. Pendekatan ini
berorientasi pada aktivitas yang pada dasarnya masih berkaitan dengan dua
pendekatan yang awal tadi.

17
1. Pendekatan Referensial Makna
Pendekatan ini berkenaan dengan kapasitas kalimat untuk
mendeskripsikan berbagai keadaan di dunia. Apa yang tertulis atau ujaran yang
dihasilkan dimaknai dengan apa adanya tanpa memikirkan makna yang
tersembunyi atau maksud lain dari symbol linguistic tersebut. Pemahaman seperti
ini disebut juga dengan teori kebenaran makna. Suatu kondisi kebenaran dapat
diwujudkan dengan menggunakan huruf besar misalnya pada nama orang, dan
pada huruf kecil untuk kata di luar pemahaman ini. Salah satu ilmu kajian lain
yang masih dalam kajian makna adalah intelejensi artificial. Ilmu ini
menggambarkan keadaan yang tumpang tindih antara pendekatan psikologis dan
pendekatan referensial, yang sebanarnya merupakan bentuk representasi yang
mengkaji masalah referensi pada dunia luar. Asumsi dasar pada pendekatan ini
adalah pikiran dan bahasa dalam hal-hal yang sangat penting adalah serupa.
Fungsi dari makna referensial memainkan peranan penting dalam pemerolehan
bahasa kedua pada anak-anak. Seorang anak bisa membuat kalimat atau ujaran
dengan menggabungkan denga situasi-situasi tertentu, ini merupakan salah satu
fungsi dari referensi makna.

2. Pendekatan Psikologis terhadap Makna


Meskipun makna psikologis sulit untuk dijelaskan namun kegunaannya
sangat penting mengungkapkan makna dari istilah-istilah linguistic. Salah satu
ilmuan yang setuju dengan kajian makna psikologis adalah Noam Chomsky,
menurut beliau, tata bahasa dipelajari sebagai bagian dari domain kognitif yang
lebih luas. Dan tata bahasa dianggap tercapai dalam pengetahuan mental dan
penutur tentang bahasanya, yang juga disebut dengan kompetensi linguistic.
Pendekatan psikologi mengatakan bahwa tata bahasa yang diperoleh anak-anak
dengan sendirinya dan tidak dapat dijelaskan dengan data-data linguitik yang
selalu diberikan kepada mereka-mereka. Akan tetapi anak-anak secara rutin
memperoleh kaidah-kaidah linguistic yang tidak pernah dicontohkan oleh data-
data lingkungan bahasa mereka.

18
3. Pendekatan Sosial Makna
Percakapan sangat memegang peranan penting untuk memberikan
kontribusi bagi pemahaman pragmatic. di dalam kegiatan percakapan antara
penutur dan mitra tutur terdapat deiksis, praanggapan, implikatur, asumsi, dan
konteks. Begitu banyaknya bagian dari percakapan namun demikian yang kurang
begitu jelas adalah bagaimana pragmatic harus memulai menganalisis kontribusi
tersebut. Maka perlu dilakukan analisis wacana untuk menjawab pertanyaan
tersebut. Analisis wacana hendaknya tidak menggunakan deskripsi dari analis
wacana yang cuma didasarkan pada intuisi analis. Tapi hendaknya mengalisis
wacana berdasarkan induksi. Di lain pihak analisis percakapan sangat penting
untuk mengadakan analisis percakapan transposisi konsep-konsep teoritis
linguistic.

19
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bahasa adalah alat komunikasi yang berupa sistem lambang bunyi yang
dihasilkan dari alat ucap manusia (mulut). Bahasa terdiri atas kata-kata atau
kumpulan kata. Masing-masing mempunyai makna, yaitu, hubungan abstrak
antara kata sebagai lambang dengan objek atau konsep yang diwakili oleh
kumpulan kata atau kosakata itu yang disusun secara alfabetis, atau menurut
urutan abjad yang disertai penjelasan artinya dan kemudian dibukukan menjadi
sebuah kamus.

ciri-ciri bahasa yaitu Bahwa berwujud lambang, Bahasa berupa bunyi,


Bahasa itu bersifat arbitrer, Bahasa itu konvesional, Bahasa itu bermakna, Bahasa
itu bersifat unik, Bahasa itu bersifat produktif, Bahasa itu bersifat universal,
Bahasa itu variasi, Bahasa itu bersifat dinamis, Bahasa itu manusiawi, Bahasa
sebagai alat interaksi social.

bahasa dalam sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem


(1) sintaksis, yakni komponen yang berkaitan dengan lambang atau sign serta
bentuk hubungannya,
(2) semantik, yakni unsur yang berkaitan dengan masalah hubungan antara
lambang dengan dunia luar yang diacunya,
(3) pragmatik, yakni unsur ataupun bidang kajian yang berkaitan dengan
hubungan antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian.

Dari pengertian para ahli bahasa, dapat dikatakan bahwa batasan tentang
pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki
kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau
kata.
1. Pendekatan Referensial Makna
Pendekatan ini berkenaan dengan kapasitas kalimat untuk
mendeskripsikan berbagai keadaan di dunia. Apa yang tertulis atau ujaran yang

20
dihasilkan dimaknai dengan apa adanya tanpa memikirkan makna yang
tersembunyi atau maksud lain dari symbol linguistic tersebut. Pemahaman seperti
ini disebut juga dengan teori kebenaran makna.
2. Pendekatan Psikologis terhadap Makna
Pendekatan psikologi mengatakan bahwa tata bahasa yang diperoleh anak-
anak dengan sendirinya dan tidak dapat dijelaskan dengan data-data linguitik yang
selalu diberikan kepada mereka-mereka. Akan tetapi anak-anak secara rutin
memperoleh kaidah-kaidah linguistic yang tidak pernah dicontohkan oleh data-
data lingkungan bahasa mereka.

3. Pendekatan Sosial Makna


Percakapan sangat memegang peranan penting untuk memberikan
kontribusi bagi pemahaman pragmatic. di dalam kegiatan percakapan antara
penutur dan mitra tutur terdapat deiksis, praanggapan, implikatur, asumsi, dan
konteks.

3.2 Saran

Kami menyadari, dalam pembuatan makalah ini jauh dari kesempurnaan.


Oleh karena itu, kami sebagai penyusun berharap agar ada kritik dan saran dari
semua pihak terutama dosen. Kami hanyalah manusia biasa. Jika ada kesalahan,
itu datangnya dari kami sendiri. Dan jika ada kebenaran, itu datangnya dari Allah
swt.

21
DAFTAR RUJUKAN

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Aminudin.  1988.  Semantik.  Bandung :  Sinar  Baru.

Slametmuljana.  1962.  Tata Makna (Semantik). Jakarta: Gramedia.

Kridalaksana,  Harimurti,  1982,  Kamus  Linguistik,  Jakarta :  Gramedia

Abdul Chaer. 2007 Lingustik Umum. Jakarta: Rineke Cipta

Widyartono, Didin. 2012. Teori Makna. (Online), (didin.lecture.ub.ac.id),

diaksesn tanggal 01 Oktober 2020

Keraf, Dr. Gorys. 1991. Tata Bahasa Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Atas.

Flores : Nusa Indah.

Parera, J. D. 2004. Teori Semantik Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga.

Tarigan, Prof. Dr. Henry Guntur. 2009. Pengajaran Semantik. Bandung :

Angkasa.

22

Anda mungkin juga menyukai