Anda di halaman 1dari 7

Indonesia Gratiskan Biaya Negosiasi Sengketa Pajak Internasional

Thursday, 02 January 2020

Sengketa pajak internasional merupakan salah satu risiko yang kerap dihadapi oleh
wajib pajak ketika memiliki transaksi dengan perusahaan yang berasal dari negara
atau yuridiksi berbeda. Perkara ini memiliki kerumitan yang berbeda dibandingkan
dengan sengketa perpajakan pada umumnya (domestik). Untuk menuntaskannya
wajib pajak tidak hanya membutuhkan usaha lebih, tetapi juga harus bersiap
menanggung risiko biaya tinggi dan wajib bersabar karena prosesnya di pengadilan
tidak cukup sehari atau bahkan sebulan.  

Berbagai perkara perpajakan biasanya baru selesai setelah wajib pajak menempuh
proses panjang keberatan dan banding di pengadilan. Padahal, selain kedua opsi itu,
ada pendekatan solutif lain yang bisa ditempuh oleh wajib pajak yang tersandera
kasus-kasus perpajakan internasional, baik yang terkait dengan transfer pricing
maupun implementasi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Adalah
Mutual Agreement Procedure (MAP) dan Advance Pricing Agreement (APA), sebuah
pendekatan dispute resolution yang diinisiasi oleh Organization for Economic Co-
operation and Development (OECD). Meskipun Indonesia sudah mengadopsi
keduanya sejak tahun 2010, realitanya sampai saat ini jumlah wajib pajak yang
memanfaatkannya bisa dihitung dengan jari.  

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku otoritas secara tidak langsung menyadari
kurangnya sosialisasi kebijakan APA dan MAP ke publik. Hal itu
diungkapkan Direktur Perpajakan Internasional DJP Prof. Poltak Maruli John
Liberty Hutagaol ketika berbincang santai dengan redaksi MUC Tax Guide di ruang
kerjanya baru-baru ini. Untuk mengetahui bagaimana arah kebijakan dan sikap DJP
terkait APA dan MAP, berikut nukilan diskusi kami:  

Selain keberatan dan banding, apakah ada opsi lain untuk mencegah atau
menyelesaikan sengketa perpajakan internasional?  

Ada, yakni dengan mengajukan Advance Pricing Agreement (APA) dan/atau Mutual
Agreement Procedure (MAP). MAP dan APA merupakan fasilitas bagi wajib pajak.
Itu sejalan dengan semangat DJP dalam melayani wajib pajak.  

Apa yang membedakan APA dengan MAP? 

APA atau Advance Pricing Agreement itu 100% (mitigasi risiko) masalah transfer
pricing. Maksudnya, penetapan harga transaksi untuk beberapa tahun ke depan
dapat disepakati bersama (otoritas dengan wajib pajak). Dengan demikian, kalau
sudah sepakat, transfer pricingnya tidak lagi dikoreksi. Ini adalah fasilitas yang
berguna untuk mencegah terjadinya sengketa perpajakan internasional dan sudah
menjadi international best practice.  

Untuk memastikan APA bisa sukses, wajib pajak harus transparan. Di sisi lain
otoritas pajak juga harus bisa menjamin kepastian hukum (legal certainty) kepada
wajib pajak, termasuk risk resolution. Jadi dibuka akses seluas-luasnya kepada wajib
pajak untuk mendapatkan kepastian hukum, termasuk untuk menghadapi banding dan
MAP. 

Sementara kalau MAP itu untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi. Bisa
berupa sengketa transfer pricing atau bisa juga yang lain, selama kasusnya pajak
internasional. Biasanya kalau (kasus perpajakan internasional) dikelompokan itu: (1)
sengketa transfer pricing; (2) sengketa tax treaty atau mengenai penerapan pasal-
pasal di Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang tidak tepat.  

Bisa dijelaskan lebih detail mengenai APA?  

APA itu ada dua, yaitu unilateral APA dan bilateral APA. Unilateral APA itu yang
terlibat adalah DJP dengan wajib pajak. Misalkan, PT A punya transaksi afiliasi
dengan PT B di negara X. Kemudian PT A mau bersepakat dengan DJP tentang nilai
transaksi dengan PT B untuk tiga tahun ke depan. PT A bisa mengajukan APA ke
DJP, lalu DJP bisa menerima dan membahasnya dengan PT B tanpa melibatkan
otoritas pajak di negara asalnya.  

Sementara kalau bilateral APA bisa melibatkan dua atau lebih otoritas pajak. 
Misalkan PT A dan PT B di negara X sama-sama mengajukan APA. PT A
mengajukan APA ke DJP, PT B mengajukan APA ke otoritas pajak di negara X.
Kalau itu yang terjadi, yang diskusi bukan wajib pajak dengan DJP, tetapi antara
kantor pajak di sini dengan kantor pajak di sana dengan bantuan dan support dari
masing-masing wajib pajak. 

Mana yang lebih baik bagi wajib pajak, mengajukan APA unilateral atau
bilateral? 

Kalau APA unilateral, yang berunding adalah wajib pajak dengan DJP. Sehingga
kalaupun terjadi kesepakatan, belum tentu kantor pajak di negara X menerima.
Kantor pajak di sana masih bisa mengoreksi transaksi antara PT A dengan PT B tadi.
Namun kalau dua otoritas pajak sudah sepakat (APA bilateral), tidak akan ada lagi
koreksi baik di sini maupun di sana.  

Apa syaratnya, jika wajib pajak ingin memanfaatkan APA?  


Pastinya memenuhi persyaratan administratif, menyampaikan permohonan,
melengkapi informasi tentang keuangannya, proyeksi profitabilitas selama tahun
yang akan diajukan. Tetapi sebenarnya syarat utamanya harus mau terbuka. Kalau
tidak ada keterbukaan nanti susah. Jadi harus ada keterbukaan secara sukarela dari
wajib pajak, karena yang mengetahui informasi sesungguhnya adalah wajib pajak.
Tujuannya jangan sampai terjadi informasi yang asimetris.  

Apa risikonya jika wajib pajak tertutup? 

Kalau wajib pajak tertutup bisa jadi DJP salah mengambil posisi ketika melakukan
negosiasi. Atau bisa jadi, kalau kita tahu wajib pajaknya tidak terbuka dan kita
menyadari itu, bisa jadi tidak akan terjadi kesepakatan. 

Berapa lama proses menyelesaikan negosiasi APA? 

Kalau dalam aturan yang saat ini berlaku, untuk APA unilateral itu prosesnya paling
lama tiga tahun (sejak permohonan diajukan). Sementara untuk APA bilateral,
prosesnya paling lama empat tahun. Tetapi dalam waktu dekat kami akan
mengeluarkan aturan terbaru yang merevisi Peraturan Menteri Keuangan
(No.7/PMK.03/2015) yang sekarang berlaku. 

Ketentuan APA apa saja yang akan mengalami perubahan?  

Kalau di PMK No.7/PMK.03/2015 tentang APA, belum ada klausul tentang rollback.
Sementara rollback itu salah satu standar minimum OECD yang harus dilaksanakan.
Sehingga di Rancangan PMK-nya harus ada klausul rollback (kesepakatan APA bisa
digunakan untuk transfer pricing tahun pajak sebelumnya).  

Kemudian yang kedua, mengenai jangka waktu proses APA. Perbedaan yang lain,
kalau sebelumnya permohonan APA itu ada dua kali tahapan permohonan, yaitu pre-
lodgment atau permohonan pendahuluan atau bisa juga pembicaraan awal.
Permohonan pendahuluan itu, seperti wajib pajak bilang ke DJP, “Saya mau
mengajukan APA”, lalu DJP akan memanggil dan bilang, “Oh, bisa.” Baru
kemudian wajib pajak mengajukan permohonan formalnya.  Nantinya, cukup sekali
permohonan saja, langsung permohonan formal (tanpa pre-lodgment).  

Perbedaan berikutnya, kalau dulu permohonan APA diajukan ke Direktorat


Perpajakan Internasional dan Direktorat Peraturan Perpajakan II. Kalau di
Rancangan PMK-nya permohonannya bisa diajukan ke Kantor Pelayanan Pajak
(KPP). Sehingga KPP fully aware karena langsung. Kalau sekarang kan bisa jadi
KPP tidak tahu kalau ada wajib pajak yang mengajukan APA.  
Permohonan APA mau dibuat seperti permohonan keberatan. Walaupun yang
memproses Kanwil, tetapi permohonannya ke KPP. Supaya KPP-nya aware ada
wajib pajaknya yang SKP-nya sudah diterbitkan sekarang mengajukan keberatan. 

Bagaimana dengan proses penyelesaian sengketa melalui MAP? 

Seperti yang dijelaskan di awal. Kalau MAP itu menyelesaikan sengketa yang sudah
terjadi. Bisa berupa sengketa transfer pricing atau bisa juga yang lain, selama
kasusnya pajak internasional. Bisa juga terkait dengan objek pajaknya, misalnya
dividen. Menurut kita dividen ini kenanya 15%, menurut (pihak/otoritas pajak)
sebelah sana harusnya tidak kena atau harusnya 10%. Atau misalnya, ini jasa bukan
royalti tetapi menurut mereka ini royalti.  Atau kita bilang, “Oh, kamu harusnya
tidak bisa mendapatkan manfaat treaty, berupa pengurangan tarif”. Sebelah sana
bilang, “Saya berhak.”  

Apakah ada biaya yang harus ditanggung wajib pajak ketika memilih untuk
menempuh APA dan MAP? 

Biaya administratifnya nol, tetapi ongkos yang dia keluarkan kalau dia minta
bantuan konsultan, ya bayar lah konsultan. Tetapi, kalau di Amerika Serikat, kalau
mau mengajukan APA wajib pajak itu harus bayar ke otoritasnya. Karena otoritasnya
nanti akan berunding dengan otoritas negara mitra dan itu ada biaya yang harus
dikeluarkan. Itu tidak gratis. Sedangkan di Indonesia dari dulu gratis.  

Meskipun gratis pelayanannya tetap maksimal kan, Pak? 

Begini, mari kita bandingkan, anggap kasus PT A tadi dengan PT B. Anggap saja PT
B di Amerika Serikat. Otoritas pajak yang di sana kalau PT B mau mengajukan APA
atau MAP, IRS akan minta bayaran. Sementara PT A kalau mengajukan di sini gratis.
Lalu Indonesia nanti berunding dengan IRS.  

Kalau tercapai kesepakatan, kan PT A dan PT B menikmati, tetapi di sana bayar, kita
gratis. Dan kita punya kewajiban melayani, kalau tidak nanti yang dari Amerika
komplain karena menganggap Indonesia tidak menjalankan komitmen inclusive
framework. 

Apakah MAP bisa dijalankan berbarengan dengan proses dispute resolution


lainnya seperti keberatan dan banding?
Dari dulu memang sudah boleh begitu. Kalau wajib pajak mengajukan dua proses
(dispute resolution) bersamaan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 274
tahun 2011, kalau sampai ke keberatan saja, terus dia tidak banding maka proses
MAP masih jalan. Tetapi kalau MAP-nya sudah ada persetujuan maka kalau
agreement-nya berbeda dengan putusan keberatan, maka putusan keberatan itu akan
dibetulkan sesuai dengan putusan MAP. Bisa dikatakan MAP lebih kuat. Tetapi kalau
dia mengajukan banding, kalau MAP yang lebih dulu selesai, hasil kesepatan tadi
akan dibawa ke pengadilan sebagai pertimbangan. Tetapi kan hakim tidak boleh
dipaksa, karena harus independent, tidak (proses hukum) bisa disetop. Yang jelas,
agreement ini akan dibawa ke pengadilan, diberikan kepada majelis hakim. Mau
dipakai silahkan, tidak ya silahkan. 

Kalau pengadilan sudah selesai duluan, kita akan bilang ke negara sana, kasus ini
sudah diputus pengadilan maka pilihannya hanya dua. Anda menerima hasil
pengadilan, karena hasil pengadilan kan final dan mengikat. Atau MAP kita hentikan
karena kita tidak bisa berbeda dengan hasil pengadilan.

Artinya meskipun kesepakatan MAP selesai lebih dahulu, hasil putusan pengadilan
belum tentu sama?
Bisa sama, dengan syarat wajib pajak mencabut permohonan bandingnya. Itu pun
kalau dia masih punya ruang untuk mencabut. Tetapi kan suka ada syarat: kalau
sidang sudah merasa cukup untuk memutus perkara, ya banding tidak bisa lagi
dicabut. Jadi, kalau sidangnya masih belum dicukupkan, dan wajib pajak masih
merasa “sudahlah yang MAP ini saja” ya cabut permohonannya.

Sejauh ini apakah banyak wajib pajak yang mengajukan dan memanfaatkan APA
dan MAP di Indonesia? 
Kecenderungannya mengalami peningkatan. Kita belum bisa banyak bicara jauh ke
belakang karena di dunia internasional atau di banyak negara, MAP dan APA masih
menjadi hal yang baru. Bahkan, kemarin bulan lalu kita punya forum SGATAR (Study
Group on Asian Taxation Administration and Research) di Jogja yang terdiri dari 17
Juridiksi anggota. Banyak juridiksi belum punya infrastruktur untuk MAP dan APA. 
Kalau di dalam lingkup ASEAN, Indonesia masih leading jauh (dalam hal penerapan
APA dan MAP). Barang kali yurisdiksi yang tidak terlalu jauh dari Indonesia itu
Singapura. Bisa saya bilang mungkin tidak di atas, tetapi yang jelas kita tidak di
bawah mereka. 

Infrastruktur yang dimaksud itu apa?


Seperti adanya unit (khusus APA dan MAP), peraturan, SDM, kesiapan sistem dan
prosedur yang dipakai. Kita sebut saja Filipina, dia belum punya sama sekali
peraturan mengenai MAP, belum punya unit yang mengerjakan itu. Thailand,
misalnya, masih sedang dalam proses membangun. Malaysia, mereka belum punya
kasus. Di tingkat Asia bahkan dunia kita tidak kalah dengan mereka. Bahkan untuk
tingkat penyelesaian tahun 2016 kita lebih baik dari Jepang. 
Jadi berapa persen tingkat penyelesaian APA dan MAP Indonesia?
Karena MAP dan APA ini masih menjadi hal yang baru, jadi datanya baru ada tahun
2016. Sampai saat ini kalau kita lihat data setelah tahun 2015, atau periode 2016-
2018, completion rate kita itu sekitar 55%. Kalau Jepang itu 54%, Korsel malah di
bawah lagi. Karena MAP dan APA ini masih menjadi hal yang baru. 

Apa yang mempengaruhi tingkat penyelesaian MAP dan APA?


Ini mungkin bisa dipecah per negara karena hanya dengan negara-negara tertentu
saja kita sering menghadapi ini. Dengan negara lain, ada yang saling terbuka.
Semua kasusnya selesai dengan kesepakatan 100%. Kalau yang baik, bisa saya
sebutlah, Belanda, misalnya. Kalau yang susah jangan disebut.

Proses negosiasi dengan Belanda itu saya merasa enak sekali, mereka sangat fair
dan terbuka dalam diskusi. Keterbukannya kadang-kadang, mereka punya informasi
tentang kita, tetapi kita tidak punya informasi tentang dia. Information gap ini kan
yang menjadi masalah. Tidak jarang otoritas pajak di Belanda kasih informasi yang
lebih lengkap tentang wajib pajaknya. 

Sejak kapan Indonesia menyediakan fasilitas APA dan MAP?


Indonesia sudah ada peraturannya itu dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan
Nomor  sejak tahun 2014 (PMK Nomor 240/PMK.03/2014). Sebelumnya sudah ada
Perdirjen Pajak tahun 2010 (PER-25/PJ/2010). Kalau prakteknya sendiri kita sudah
melaksanakan MAP tahun 2009. Kalau APA, saya masih kurang yakin, tetapi setelah
tahun 2010 baru ada kasus yang masuk.

Kalau secara internasional baru ada BEPS (Based Erosion Profit Shifting) action
plan 14 itu tadi tahun 2015. Jadi kalau kita lihat bagaimana OECD menghitung
statistik tentang MAP itu, dia akan selalu memisahkan kasus sebelum 2016 dan kasus
setelah tahun 2015. jadi cutoff-nya itu 31 Desember 2015 dan 1 Januari 2016.
Mereka selalu bedakan statistiknya. Karena dianggap setelah 2016 itulah yang
setelah ada global konsensus. 

Saat ini, berapa kasus APA dan MAP yang ditangani DJP?
Kalau banyaknya kasus sekarang ada 85 kasus, masih ditangani termasuk MAP dan
APA.

Sudah lama berlaku tetapi kenapa perkembangan kasusnya masih sedikit? Apakah
yang membuat wajib pajak ragu menggunakan fasilitas APA dan MAP? 
Saya belum tahu alasan utamanya apa. Bisa jadi karena wajib pajak belum
terinformasikan dengan baik (mengenai MAP dan APA). Karena belum menjadi
kebiasaan sehingga menjadi ragu. BIsa juga karena belum paham bagaimana seluk
beluknya. Kalau alasan pastinya saya tidak bisa jawab, karena ini perspektfinya
wajib pajak.

Anda mungkin juga menyukai