Anda di halaman 1dari 13

MODUL BIMBINGAN DAN KONSELING

PERFEKSIONISME

Disusun oleh:
Salsabila Mujahidah Azzahra
NIM 19010172
A2 2019

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN SILIWANGI
2021
MODUL BIMBINGAN DAN KONSELING
PERFEKSIONISME

A. Definisi Perfeksionisme

Menurut Hewitt dan Flett (1991, dalam Zulkarnain, 2019: 20),


perfeksionisme adalah keinginan individu untuk mencapai kesempurnaan dengan
menetapkan standar yang tinggi bagi diri sendiri, standar bagi orang lain, dan
memiliki ekspektasi bahwa orang lain menetapkan standar bagi dirinya.

Menurut Hill, Huelsman, Furr, Kibler, Vicente dan Kennedy (2004, dalam
Zulkarnain 2019: 20), perfeksionisme adalah hasrat untuk mencapai
kesempurnaan yang ditandai dengan conscientious perfectionism yang berasal dari
internal individu dan self-evaluated perfectionism yang berasal dari eksternal
individu yang mencakup ketakutan berlebih terhadap kesalahan, standar personal
yang tinggi, persepsi bahwa lingkungan punya harapan-harapan yang tinggi
terhadap diri, persepsi bahwa lingkungan amat kritis terhadap diri, dan keraguan
tentang kualitas tindakan yang dilakukan.

Menurut Yang dan Stoeber (2012, dalam Wijaya, Y. M. A. 2018)


perfeksionisme adalah wujud dari disposisi kepribadian yang ditandai dengan
perjuangan mencapai kesempurnaan dan penetapan kesempurnaan yang sangat
tinggi. Selain itu individu dengan perfeksionisme tinggi terlalu berlebihan dalam
melakukan evaluasi terhadap dirinya sendiri dan khawatir yang berlebih akan
penilaian dari orang lain.

Sedangkan menurut Ria, Nanik dan Lasmono (2008, dalam Zulkarnain


2019: 20), perfeksionisme adalah aktualisasi diri ideal dengan ambisi dan tujuan
terlalu tinggi, tuntutan kesempurnaan yang berlebihan, serta tidak dapat menerima
sesuatu yang tidak sempurna.

Karakteristik orang yang perfeksionis menurut Ratna dan Widayat (2013:


146) diantaranya yaitu:

1
a. Karakteristik penetapan standar. Yaitu memiliki cita-cita tinggi, standar
pribadi yang tinggi dalam berbagai hal.
b. Karakteristik pencapaian standar. Yaitu melakukan usaha terbaik untukm
mencapai kesempurnaan atau standar yang dimiliki dan toleransi rendah
terhadap kesalahan atau kegagalan.
c. Karakteristik personal. Yaitu kebanggaan terhadap usaha sendiri dan
memiiliki keyakinan yang kuat terhadap diri sendiri, menyalahkan diri sendiri
atas kesalahan yang berkaitan dengan faktor yang dapat dikontrol, merasa
frustasi ketika mengalami kegagalan meskipun telah memberikan usaha
terbaik, ragu-ragu karena takut melakukan kesalahan, sulit menerima kritik
atau saran dari orang lain, memiliki ketelitian dan kehati-hatian dalam
mengerjakan sesuatu, merasa lebih hebat dari orang lain dan tidak suka
dikalahkan orang lain, dan berkeinginan kuat untuk dihargai.
d. Karakteristik emosional. Yaitu reaksi negatif ketika melakukan kesalahan
atau mengalami kegagalan, seperti mood yang cepat berubah dan sulit
melupakan kesalahan atau kegagalan yang dialami.
e. Karakteristik sosial. Yaitu kepercayaan bahwa orang lain akan memberikan
kritik jika tidak mencapai standar atau ekspektasi yang mereka tetapkan dan
kecenderungan menyalahkan atau mengkritik orang lain ketika tidak sesuai
standar pribadi.
f. Karakteristik motivasional. Yaitu memiliki motivasi tinggi untuk sempurna.

B. Bentuk-bentuk Perfeksionisme

Menurut Hill, Huelsmanm Furr, Kibler, Vicente, dan Kennedy (2004,


dalam Zulkarnain 2019: 21), perfeksionisme dibagi menjadi delapan bentuk,
yaitu:

a. Concern over mistakes, yaitu kecenderungan untuk memperhatikan atau fokus


pada kesalahan.
b. High standards for others, yaitu standar yang tinggi untuk orang lain.
c. Need for approval, yaitu kebutuhan atau keinginan untuk diterima.

2
d. Organizational, yaitu kecenderungan untuk menjadi rapi dan terorganisir.
e. Parental pressure, yaitu kecenderungan untuk merasa harus melakukan
sesuatu secara sempurna demi memuaskan orang tua.
f. Planfulness atau penuh perencanaan.
g. Rumination, yaitu kecenderungan untuk terus menerus mengingat dan
memikirkan pengalaman-pengalaman buruk.
h. Striving for excellence, yaitu kecenderungan untuk mengejar hasil yang
sempurna dan standar yang tinggi.

Hewitt dan flett (1991, dalam Zulkarnain 2019:22) mendeskripsikan


dimensi personal dan sosial dari perfeksionisme yang difokuskan pada tiga aspek,
yaitu:

a. Self-oriented perfetionism, yaitu adanya standar yang tinggi untuk diri sendiri.
b. Other-oriented perfectionism, yaitu adanya keyakinan dan harapan akan
standar yang tinggi tentang kemampuan orang lain. Other-oriented
perfectionism ini seperti tidak mengharap dan tidak percaya terhadap bantuan
orang lain karena tidak sesuai dengan standar pribadi.
c. Socially prescribed perfectionism, yaitu adanya standar dan harapan yang
ditentukan oleh orang lain yang signifikan untuk menjadi sempurna.

Menurut Pranungsari (2010, dalam Zulkarnain 2019: 24 dan Amanah:


2018: 39) perfeksionisme terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Perfeksionisme positif
Perfeksionisme positif adalah seseorang merasakan perasaan senang atau
kenikmatan yang sangat nyata dari usaha kerja yang sungguh sungguh sesuai
standar pribadi, standar orang lain dan harapan orang lain yang diwujudkan
dalam sikap adanya kebutuhan yang kuat untuk tertib dan teratur,
menunjukkan penerimaan diri terhadap kesalahan, menikmati harapan tinggi
orang tua, menunjukkan coping positif terhadap tendensi perfeksionisme,
mempunyai model peran yang mampu menekankan untuk selalu melakukan
yang terbaik, dan menunjukkan usaha diri senditi untuk mendapatkan
kesempurnaan.

3
b. Perfeksionisme negatif
Perfeksionisme negatif adalah sikap tidak dapat merasakan kepuasan
sesuai standar pribadi bagi diri dan orang lain serta merasa orang lain
mempunyai harapan kesempurnaan yang tinggi bagi dirinya, terwujud dalam
sikap keprihatinan berlebih pada kesalahan, keragu-raguan dalam bertindak,
ketakutan akan kegagalan, ketakutan tidak dapat menikmati hidupnya,
pemikiran satu atau tidak satupun dan kecanduan kerja, cemas, dan tidak
mampu coping secara positif.

C. Penyebab terjadinya perfeksionisme

Menurut Monica Ramirez Basco, yang dikutip oleh Nella Safitri cholid
(hlm 41), Kecenderungan menjadi pribadi yang perfeksionis bisa timbul karena
bawaan sejak lahir, ataupun muncul kemudian karena tuntutan orang tua atau
lingkungan yang tidak stabil.

Menurut psikoanalisis, kecenderungan yang dimiliki oleh pribadi yang


perfeksionis pada umumnya tumbuh sejak masa kanak-kanak yang seringkali
dilupakan, ataupun tumbuh karena sikap atau perilaku orang dewasa yang kurang
tepat terhadap anak-anak (Alwisol, 2004: 28-29).

Karen Horney, tokoh psikoanalisis sosial menjelaskan bahwa perasaan


kecemasan yang normal muncul pada masa bayi. Bimbingan yang penuh kasih
sayang dan cinta diawal kehidupan membantu bayi menangani situasi bahaya ini.
Sebaliknya, tanpa bimbingan yang memadai bayi akan mengembangkan basic
anxienty, basic hostility, dan terkadang neurotic distress, yang dalam hal ini
sebagian besar ada dalam tipe kepribadian perfeksionis.

Kecemasan dasar (basic ancienty) berasal dari takut, suatu peningkatan


yang berbahaya dari perasaan tak berteman dan tak berdaya dalam dunia penuh
ancaman. Kecemasan dasar selalu dibarengi dengan permusuhan dasar (basic
hostility), berasal dari perasaan marah, suati disposisi untuk mengantisipasi
bahaya dari orang lain dan untuk mencurigai orang lain. Kecemasan dan

4
permusuhan membuat prang yakin bahwa dirinya harus dijaga untuk melindungi
keamanannya. Kecemasan dan permusushan cenderung direpres atau dikeluarkan
dari kesadaran, karena menunjukkan rasa takut bisa membuka kelemahan diri dan
menunjukkan rasa marah beresiko dihukum atau kehilangan cinta dan keamanan.
Karen Horney menggambarkan nya dalam proses melingkar yang dinamakan
Lingkaran setan atau Vilious Circle, teori neurosis ini didasarkan pada konsep
gangguan psikis yang membuat orang terkunci dalam lingkungan yang membuat
tingkah laku tertekan.

Kecenderungan orang tua membanding-bandingkan anaknya dengan orang


lain agar si anak malu dan berharapan agar anak merubah perilakunya juga tidak
menimbulkan perubahan perilaku positif, melainkan memunculkan rasa tidak
aman, minder dan rasa tidak mampu. Perfeksionisme dari orang tua yang
mematok standar terlalu tinggi dan tidak realistis terhadap anak ini menjadi dasar
terbentuknya perasaan minder anak.

D. Akibat dari perfeksionisme

Seorang yang perfeksionis membuat standar yang sangat tinngi untuk


perilakunya. Penyimpangan dari standar ini akan menyebabkan self-critism,
mempengaruhi mood dan mengganggu relasi yang berusaha dipertahankan,
dikarenakan terlalu berambisi atau menuntut serba sempurna terkadang hubungan
pertemanan pun menjadi kurang baik. (Amanah, 2018: 38)

Pikiran seorang perfeksionis adalah aktualisasi diri ideal dengan ambisi


dan tujuan yang terlalu tinggi, tuntutan kesempurnaan yang berlebihan, serta tidak
dapat menerima sesuatu yang tidak sempurna. Romas & Sarma (pahala, 2004
dalam Amanah 2018: 38) menyebutkan bahwa perfeksionis menciptakan pikiran
yang tidak realistis dan tekanan yang sebenarnya membuatnya menderita. Pikiran
pikiran tersebut adalah:

a. Saya harus sempurna untuk setiap apa yang saya kerjakan.


b. Saya seharusnya tidak membuat kesalahan, demikian pula orang lain.

5
c. Saya berusaha keras untuk melakukan yang benar, saya pantas
terhindar dari frustasi dan kesulitan hidup.
d. Selalu ada cara yang benar dalam menyelesaikan sesuatu.
e. Jika saya melakukan kesalahan maka hancurlah segalanya.
f. Bilamana seseorang tidak melakukan sebagaimana seharusnya nereka
lakukan, mereka adalah manusia yang buruk.
g. Jika saya tidak melakukan sesuatu dengan sempurna, saya pantas
menghukum diri sendiri.
h. Jika saat ini saya tidak melakukan dengan sempurna, maka saya harus
bisa sempurna di lain waktu.
i. Saya harus sempurna atau saya seorang yang gagal.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ananda dan Mastuti (2013, dalam
Margareta & Wahyudin, 2019: 89) bahwa orang yang memiliki kecenderungan
perfeksionis cenderung melakukan prokrastinasi. Tuckman (2003, dalam
Gunawinarta, Nanik & Lasmono 008) menyatakan bahwa seorang prokrastinator
adalah individu yang gemar mencari kesenangan dan akan berusaha menghindari
segala hal yang dapat memberi tekanan terhadap dirinya. Dengan begitu, individu
yang perfeksionis akan melakukan penghindaran dengan melakukan prokrastinasi
sebagai bentuk coping terhadap segala tuntutan dan tekanan yang mereka rasakan.
Kecenderungan mereka yang planfulness atau merencanakan kedepan dan
mempertimbangkan keputusan yang akan diambil juga menyebabkan
prokrastinasi. Prokrastinasi yang dilakukan dalam dunia pendidikan disebut
prokrastinasi akademik. Prokrastinasi akademik yaitu penundaan karena
ketidakmampuan melakukan kinerja secara optimal ketika mengerjakan tugas
akademuk akibat adanya tekanan psikis (Jiao, Qun, DaRos-voseles, Denise,
Kathleen & Onwuwgbuzie, 2011 dalam Dluha, 2016: 15). Seorang pelajar yang
melakukan prokrastinasi akademik juga cenderung mengalami stress akademik.

Mintarsih, R. A. (2021) menyebutkan bahwa sifat perfeksionis juga dapat


menyebabkan gejala depresi karena individu yang tidak puas dengan dirinya atau
segala sesuatu yang ada disekitarnya akan mengalami tekanan, sehingga muncul

6
perasaan cemas dan depresi ketika keingin tersebut tidak terpenuhi (Lessin &
Pardo, 2017; Melrose, 2011; Sevlever & Rice, 2010). Gejala depresi dapat dialami
oleh individu yang menginginkan kesempurnaan dalam hidupnya. Individu ini
cenderung tidak dapat menerima kekurangannya dan merasa takut apabila
melakukan kesalahan yang berdampak pada peristiwa memalukan. Hal ini
menunjukkan bahwa individu yang memiliki kepribadian perfeksionis dapat
mengalami gejala depresi karena individu tidak dapat menerima kekurangan yang
dimilikinya. Individu akan cenderung menghakimi dirinya sendiri jika ada hal
yang tidak sesuai dengan harapannya. Ia mudah merasa tertekan dengan kesalahan
kecil yang dilakukannya sehingga individu ini cenderung menghindari melakukan
sesuatu yang dapat mempermalukannya di depan public (Sherry et al., 2015).

Sifat perfeksionis juga dapat menyebabkan keragu-raguan karier dan


kesulitan dalam pengambilan keputusan karier bagi remaja, dengan self-oriented
perfectionism berpengaruh negatif dan socially prescribed perfectionism
berpengaruh secara positif (Hartini, 2020: 22). Sedangkan Lehmann dan Konstam
(2011) menyatakan bahwa variabel perfeksionisme berkorelasi terhadap keragu-
raguan karier yaitu maladaptif perfeksionisme (socially prescribed perfectionism)
tetapi tidak berkorelasi dengan adaptif perfeksionisme (self-oriented
perfectionism).

Perfeksionisme juga berhubungan dengan harga diri (Santoso, A. E.,


Astuti, N. W., & Ninawati, N. 2020). Menurut Epstein, terdapat potensi yang
mempengaruhi harga diri secara langsung yaitu pengalaman yang melibatkan
success-failure dan acceptance rejection (dikutip dalam Murk, 2013). Lees dan
Ellis (dalam Luo et al., 2016) menjelaskan bahwa rasa takut pada kegagalan
merupakan segi penting dari perfeksionisme maladaptif, terkait dengan rendahnya
harga diri dan self-efficacy. Menurut Missildine (dalam Flett, Hewitt, Blankstein
& O’Brien, 1991) mengamati bahwa harga diri yang rendah dan ketidakpuasan
terhadap diri sendiri merupakan unsur utama dari perfeksionisme.

Penelitian yang dilakukan oleh Chen et al. (2016, dalam Santoso, A. E.,
Astuti, N. W., & Ninawati, N. 2020) menunjukkan bahwa individu yang adaptive

7
perfectionists memiliki skor kualitas kehidupan, dan skor harga diri yang lebih
tinggi dibandingkan individu dengan maladaptive perfectionists dan non
perfectionists. Sedangkan, penelitian dari Park dan Jeong (2015, dalam Santoso,
A. E., Astuti, N. W., & Ninawati, N. 2020) menghasilkan individu yang adaptive
perfectionists dan non-perfectionists tidak ada perbedaan dalam level harga diri,
sedangkan maladaptive perfectionists menunjukkan psychological well-being,
kepuasan hidup dan rendah diri yang rendah, serta tingkat depresi yang tinggi.
Karakteristik normal perfectionism (adaptive) yaitu menetapkan standar yang
tinggi tapi realistis, harga diri yang tinggi, berusaha mencapai keunggulan, dapat
menerima kegagalan, terorganisir, bersemangat dan antusias. Sedangkan,
karakteristik non-perfectionism berbanding terbalik dengan neurotic perfectionism
(maladaptive) yaitu bersikap santai, tidak terlalu suka keteraturan, dan dapat
menerima kegagalan, sering dianggap tidak bisa diandalkan (Winter, 2005, dalam
Santoso, A. E., Astuti, N. W., & Ninawati, N. 2020).

Individu maladaptive perfectionism memiliki harga diri yang rendah


disebabkan oleh rasa khawatir berlebihan akan kesalahan berfokus pada hal yang
negatif, seperti kegagalan. Individu yang neurotic perfectionism (maladaptive)
dikaitkan dengan menetapkan standar yang tidak realistis, dan dimotivasi oleh
ketakutan akan konsekuensi negatif seperti kegagalan, penolakan dan hukuman
yang berdampak pada self-worth atau harga diri individu. Hal ini membuktikan
bahwa seorang yang maladaptive perfectionism yang mengarah negatif,
cenderung menetapkan standar yang tinggi tapi tidak realistis, meragukan kinerja
yang dilakukannya, khawatir berlebihan mengenai kesalahan yang menganggap
sebagai kegagalan, sehingga dapat berdampak pada rendahnya harga diri
mahasiswa. Karena maladaptive perfectionism tidak pernah merasa puas dengan
sesuatu dilakukannya kurang sempurna sehingga menjadi tertekan dan dipenuhi
rasa takut kegagalan, sehingga melihat kegagalan sebagai bukti ketidaklayakkan
yang mengacu pada selfworth atau harga diri seseorang (Santoso, A. E., Astuti, N.
W., & Ninawati, N. 2020).

8
Baron dan Wagele (2015) mengungkapkan kelebihan dan kekurangan
memiliki sifat perfeksionis, yaitu:

a. Kelebihan: disiplin dan mampu menyelesaikan banyak hal, bekerja keras,


memiliki etika dan standar yang tinggi, logis, bisa menyatukan fakta-fakta
sehingga mendapatkan pemahaman yang baik dan dapat menemukan solusi
yang bijaksana, menjadi yang terbaik sebisa mungkin dan mengangkat sisi
terbaik dari diri orang lain.
b. Kekurangan: dikecewakan diri sendiri atau orang lain ketika yang diharapkan
tidak terlaksana, merasa dibebani tanggung jawab yang terlalu berat, merasa
hal yang dilakukan tidak pernah cukup memuaskan, tidak mendapat
penghargaan atas apa yang dilakukan untuk orang lain, kecewa karena orang
lain tidak berusaha sekeras dirinya, terobsesi atas apa yang telah dilakukan
dan yang seharusnya dilakukan, merasa tegang, gelisah dan memandang
segala hal terlalu serius.

E. Solusi dari terjadinya perfeksionisme

Tuntutan orang tua sangat mempengaruhi perilaku perfeksionisme.


Solusinya, sebagai siswa kita harus memperhatikan kembali kemampuannya,
apakah tuntutan orang tua tersebut realistis atau tidak. Bila perlu komunikasikan
dengan orang tua apabila tuntutan mereka khususnya dalam hal prestasi dirasa
membebani. Orang tua diharapkan mampu menyesuaikan harapan dengan
kemampuan yang dimiliki anak. Hal ini bertujuan untuk mengurangi atau bahkan
menghilangkan beban anak terkait tuntutan yang tinggi dari orang tua (Jayanti dan
Widayat, 2014: 157)

Terdapat beberapa cara untuk mengurangi sifat perfeksionis yang tidak


sehat, diantaranya yaitu:

a. Seseorang harus bisa lebih mengenali dirinya sendiri, ketidak sempurnaan


bukanlah sebuah kegagalan.
b.

9
10
DAFTAR PUSTAKA

Ananda, N. Y., & Mastuti, E. (2013). Pengaruh perfeksionisme terhadap


prokrastinasi akademik pada siswa program akselerasi. Jurnal Psikologi
Pendidikan dan Perkembangan, 2(3), 226-231.
Jayanti, R., & Widayat, I. W. (2014). Hubungan antara tuntutan orang tua
terhadap prestasi dengan perfeksionisme pada anak berbakat di SMA Negeri 1
Gresik. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 3(3), 153-158.
Ratna, P. T., & Widayat, I. W. (2013). Perfeksionisme pada remaja gifted (studi
kasus pada peserta didik kelas akselerasi di SMAN 5 Surabaya). Jurnal Psikologi
Kepribadian dan Sosial, 2(3), 144-152.
Margareta, R. S., & Wahyudin, A. (2019). Pengaruh Motivasi Belajar,
Perfeksionisme dan Keaktifan Berorganisasi Terhadap Prokrastinasi Akademik
dengan Regulasi Diri Sebagai Variabel Moderating. Economic Education
Analysis Journal, 8(1), 79-94.
Dluha, M. S. (2016). Pengaruh perfeksionisme, achievement goal orientation dan
jenis kelamin terhadap prokrastinasi akademik mahasiswa (Bachelor's thesis, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta: Fakultas Psikologi, 2016).
Amanah, I. A. (2018). Hubungan antara perfeksionisme dan fear of failure dengan
prokrastinasi akademik pada siswa kelas unggulan tingkat Sekolah Menengah
Atas di Sidoarjo (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).
Mintarsih, R. A. (2021). PENINGKATAN HARGA DIRI MELALUI TERAPI
EKSISTENSIAL UNTUK MENURUNKAN GEJALA DEPRESI (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Malang).
Zulkarnain, Q. (2019). Hubungan antara Perfeksionisme dengan Academic
Burnout pada Siswa Kelas XI SMAN 5 Surabaya (Doctoral dissertation, UIN
Sunan Ampel Surabaya).
Hartini, F. Pengaruh kepribadian big-five, perfeksionisme dan parental career-
related behavior terhadap kesulitan pengambilan keputusan karier pada remaja
(Bachelor's thesis, Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

11
Santoso, A. E., Astuti, N. W., & Ninawati, N. (2020). Hubungan Perfectionism
Dengan Harga Diri Pada Mahasiswa Dewasa AwalL. Provitae: Jurnal Psikologi
Pendidikan, 13(1), 92-108.
Wijaya, Y. M. A. (2018). HUBUNGAN ANTARA PERFEKSIONISME DAN
KECENDERUNGAN ANOREXIA NERVOSA PADA MAHASISWI YANG
BERSTATUS SEBAGAI MODEL.

12

Anda mungkin juga menyukai