Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH

ULUMUL QUR`AN

ASBAB NUZUL DAN PROSES TURUNNYA AL-QUR`AN

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Ulumul


Qur`an dengan dosen pengampu Dr. Aam Abdussalam, M.Pd. dan
.Saepul Anwar, Q.Ces, S.Pd.I, M.Ag

:Oleh
Kelompok 1
Kelas A 2014
Siti Shafa Marwah (1405254)
Fitriani (1403880)
Azka Zakiyyah (1406440)

ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2015
KATA PENGANTAR
   
Kami panjatkan puji dan syukur ke hadirat Alah Swt yang telah
memberikan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis bisa
menyelesaikan pembuatan makalah Asbab Nuzul dan Proses Turunnya Al Quran.
Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada junjunan kita Nabi Muhammad
saw. Beserta keluarga, sahabat-sahabat, dan para pengikut beliau hingga akhir
zaman.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada


Bapak Dr. H. Aam Abdussalam, M.Pd. selaku dosen pengampu dan kepada Bapak
Saepul Anwar, Q.Ces, S.Pd.I, M.Ag. selaku asisten dosen mata kuliah Ulum Al
Quranjurusan Ilmu Pendidikan Agama IslamUniversitas Pendidikan Indonesia,
yang telah memberi bimbingan kepada penulis.

Dalam penulisan makalah ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan


yang mungkin tidak disadari oleh penulis. Penulisan makalah ini pun masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun sebagai bahan perbaikan dalam makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini bermanfaat dan berkah baik bagi penulis maupun bagi
pembaca.

Aamiin...

Bandung, 16 Februari 2015

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
BAB I.............................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG MASALAH.....................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................................1
C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH..................................................................2
BAB II............................................................................................................................3
A. ASBAB NUZUL ALQURAN..............................................................................3
1. Definisi.................................................................................................................3
2. Urgensi Asbâb Nuzûl............................................................................................4
3. Manfaat Mengetahui Asbâb Nuzûl.......................................................................4
4. Diskusi Seputar Asbâb Nuzûl...............................................................................6
5. Bentuk-Bentuk Asbâb Nuzûl..............................................................................11
6. Hubungan Asbâb Nuzûl dengan Istinbath Hukum............................................13
B. PROSES TURUNNYA ALQURAN..................................................................15
1. Fenomena Wahyu...............................................................................................15
2. Tahapan Penurunan Alquran..............................................................................21
3. Hikmah Turunnya Alquran secara bertahap.......................................................27
4. Kronologi Alquran..............................................................................................30
5. Polemik Jumlah ayat Alquran.............................................................................43
BAB III.........................................................................................................................45
PENUTUP....................................................................................................................45
A. KESIMPULAN...................................................................................................45
B. SARAN...............................................................................................................46
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................48

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Allah Swt. sebagai sang Khalik yang telah menciptakan seluruh alam semesta
ini beserta segala isinya, termasuk manusia, telah menetapkan aturan-aturan dalam
menjalani kehidupan ini. Dia tidak serta merta menciptakan umat manusia dengan
tanpa tujuan, melainkan dengan dua tujuan utama, yakni menjadi khalifah di muka
bumi dan untuk beribadah kepada-Nya. Dalam menjalankan peran tersebut, kita
tentunya membutuhkan suatu pedoman dari Tuhan pencipta alam itu sendiri.

Allah Swt. telah menurunkan pedoman bagi umat manusia melalui malaikat
Jibril yang kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. yang
selanjutnya dikenal dengan wahyu Allah atau Al-Qur`an. Banyak di antara umat
Islam sendiri yang belum mengetahui secara pasti mengenai Al-Qur`an ini,
padahal Al-Qur`an ini merupakan sebuah pedoman yang dapat mengantarkan kita
menuju ridha Allah Swt.

Maka dari itu, kami mencoba menyusun satu makalah yang khusus
membahashal-hal seputar Al-Qur`an, mulai dari Asbab Nuzul sampai pada
masalah polemik jumlah ayat dalam Al-Qur`an. Kami mencoba membandingkan
antara satu pendapat dengan pendapat yang lainnya, sehingga dapat dipahami
mana dari pendapat tersebut yang lebih kuat dan tentunya didukung dengan dalil-
dalil, baik yang ada di dalam Al-Qur`an maupun dalam Al-Hadits.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian Asbab Nuzul secara bahasa dan istilah ?
2. Apa urgensi dari Asbab Nuzul ?
3. Apa manfaat yang diperoleh dengan mengetahui Asbab Nuzul ?
4. Apa saja hal-hal yang berkaitan dengan Asbab Nuzul ?
5. Bagaimana bentuk-bentuk dari Asbab Nuzul ?
6. Bagaimana hubungan antara Asbab Nuzul dengan istinbath hukum ?
7. Bagaimana pengertian wahyu, ilham (inspirasi), dan kasyf (intuisi) ?

1
8. Bagaimana cara Allah menurunkan wahyu-Nya ?
9. Bagaimana tahapan dalam penurunan Al-Qur`an ?
10. Apa saja hikmah dari turunnya Al-Qur`an secara bertahap ?
11. Bagaimana kronologi Al-Qur`an ?
12. Bagaimana polemik jumlah ayat yang ada di dalam Al-Qur`an ?

C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH


1. Mengetahui makna Asbab Nuzul secara bahasa dan istilah.
2. Memahami urgensi dari Asbab Nuzul.
3. Mengetahui manfaat yang diperoleh dengan mengetahui Asbab Nuzul.
4. Mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Asbab Nuzul.
5. Mengetahui bentuk-bentuk dari Asbab Nuzul.
6. Memahami hubungan antara Asbab Nuzul dengan istinbath hukum.
7. Mengetahui pengertian wahyu, ilham (inspirasi), dan kasyf (intuisi).
8. Mengetahui bagaimana cara Allah menurunkan wahyu-Nya.
9. Mengetahui tahapan dalam penurunan Al-Qur`an.
10. Mengetahui hikmah yang ada di balik turunnya Al-Qur`an secara bertahap.
11. Mengetahui bagaimana kronologi Al-Qur`an.
12. Mengetahui polemik jumlah ayat yang ada di dalam Al-Qur`an.

2
BAB II
ASBÂB NUZÛL DAN PROSES TURUNNYA ALQURAN
A. ASBAB NUZUL ALQURAN
1. Definisi
a. Bahasa
Kata Asbâb Nuzûlsebenarnya terdiri dari dua kata, yakni kata Asbâb yang
merupakan jamak dari sabab, dan kataNuzûl yang merupakan mashdar dari
nazala. Untuk definisi secara bahasa, kata Asbâb bermakna sebab atau latar
belakang. Sedangkan kata Nuzûl bermakna turun. Yang berarti beberapa latar
belakang atau sebab yang membuat turunnya ayat-ayat Al Quran[ CITATION
DrK12 \p 85 \l 1057 ].
b. Istilah
Secara umum, istilah dari kata Asbâb Nuzûl berarti peristiwa yang
menyebabkan turunnya ayat Al Quran sebagai penjelas atas peristiwa tersebut.
Selain itu ada sebab lain yang bisa membuat ayat Al Quran turun yakni, jika
Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat Al Quran
menerangkan hukumnya. Dari pernyataan ini bisa didefinisikan bahwa Asbâb
Nuzûl adalah sesuatu hal yang karenanya Quran diturunkan untuk menerangkan
status (hukum)nya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun
pertanyaan[ CITATION alQ11 \p 109 \l 1057 ].Tetapi menurut pendapat yang
dikemukakan oleh Az-Zarqani bahwa ayat yang turun itu tidak disebabkan oleh
peristiwa yang terjadi, tetapi peristiwa itu hanya sebagai suatu kasus yang dapat
menjelaskan suatu makna ayat. Atau bahkan bisa saja turunnya ayat itu
menjelaskan peristiwa yang terjadi. Sehingga jika ada sebuah peristiwa yang
persis dengan peristiwa sebelumnya, maka bisa dikenai penjelasan ayat
tadi[ CITATION Rac06 \p 25 \l 1057 ].
Jika kedua definisi tersebut diidentifikasi kembali, yang menjadi
perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir adalah dalam rentang waktu kapan
Asbâb Nuzûl tersebut terjadi. Entah langsung setelah terjadinya peristiwa tersebut
atau tidak sesuai dengan waktu setelah terjadinya peristiwa tersebut. Karena
sebenarnya ahli tafsir yang berpendapat bahwa Asbâb Nuzûl turun pada saat

3
setelah terjadinya peristiwa tersebut dalam pendapatnya menggunakan kata‘masa’
atau ‘berhubungan’. Bisa saja masa disini diartikan satu zaman dengan Rasulullah
[ CITATION Ace11 \p 34 \l 1057 ], meski entah kapan waktu tepatnya.
Sedangkan dengan kata berhubungan, tentu tidak melibatkan masalah waktu
karena lebih mempertimbangkan hubungan yang ideal antara Asbâb Nuzûl
dengan peristiwa tersebut. Disini kita bisa lihat bahwa Asbâb Nuzûl bersifat
situasional, tidak dengan mudah ditebak oleh manusia kapan datangnya.
2. Urgensi Asbâb Nuzûl
Sebagian besar orang menganggap Asbâb Nuzûl tidaklah penting untuk
dibahas, seolah Asbâb Nuzûl hanya sebatas menceritakan kisah dan tidak
berpengaruh dalam usaha penafsiran ayat Al Quran. Untuk menafsirkan Quran
ilmu Asbâb Nuzûl ini diperlukan sekali, sehingga ada pihak yang menkhususkan
diri dalam pembahasan mengenai bidang itu. Yang terkenal diantaranya ialah Ali
bin Madini, guru Bukhari, kemudian al-Wahidi, al-Jabari, as-Suyuti[ CITATION
alQ11 \p 106 \l 1057 ], dan masih banyak ulama lain yang berkosentrasi terhadap
bidang ini. Adapun sebagian ulama yang berbeda pendapat bahwa pengetahuan
tersebut tidak penting karena hal itu termasuk pengetahuan sejarah Al Quran.

Berikut beberapa argumen yang dikemukakan oleh ulama yang


menganggap penting mengetahui Asbâb Nuzûl :

a. Menurut al-Wahadi, Ibn Daqiq al-‘Id, Ibn Taymiyah, al-Suyuti


berpendapat bahwa untuk mengetahui tafsir ayat Al Quran diperlukan hal
ini, kemudian agar lebih mudah dalam memahami makna-makna Al
Quran[ CITATION Nas \p 136 \l 1057 ].
b. Seseorang bisa menjadi salah tafsir karena ayat Al Quran kadang-kadang
menjelaskan hukum secara umum, sedangkan yang dimaksud adalah
khusus yang menyangkut dengan peristiwa itu.

3. Manfaat Mengetahui Asbâb Nuzûl


Sebenarnya manfaat mengenai hal ini berkaitan erat dengan bahasan
sebelumnya, bisa saja jika kita sudah mengetahui manfaat dari Asbâb Nuzûl ini
tentu kita pun menjadi sadar pentingnya untuk mempelajari dan memahami ilmu

4
ini. Berikut pendapat ulama yang sudah merinci kegunaan ilmu ini, diantaranya
adalah:

1. Mengetahui hikmah yang dikehendaki Allah melalui hukum yang


ditetapkan-Nya.

Hal ini sepertiyang terlihat dalam Asbâb Nuzûl ayat : “maka siapa saja di
antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka
wajiblah atasnya berfid-yah, Yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban”1.
Asbâb Nuzûl ayat ini berkaitan dengan apa yang dialami oleh Ka’ab ketika ihram,
yaitu tredapat banyak kutu di kepalanya sehingga ia merasa susah dengan keadaan
itu. Ia ingin mencukur rambutnya, tapi itu dilarang karena dalam ihram. Maka
ayat ini memperbolehkan Ka’ab mencukur rambutnya dengan syarat bahwa ia
harus membayar dam salah satu dari tiga hal yang sudah disebutkan dalam ayat
tersebut[ CITATION DrK12 \p 93 \l 1057 ].

2. Mengkhususkan (membatasi) hukum yang diturunkan dengan sebab yang


terjadi.

Contoh yang dapat dikemukakan dari firman Allah yaitu terdapat pada surat
Ali Imran [3]: 188, yang artinya:

Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira


dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap
perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa
mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih. Seperti pada saat
Rasulullah menanyakan sesuatu kepada Ahli Kitab dan mereka
menyembunyikannya. Lalu memeberi persoalan lain untuk memberi jawaban
kepada Rasul. Dengan perbuatan itu mereka ingin dipuji oleh Rasulullah dan
mereka bergembira atas apa yang mereka kerjakan, yaitu menyembunyikan apa
yang ditanyakan kepada mereka. [ CITATION AlQ11 \p 111 \l 1057 ]

3. Cara yang efisien untuk memahami makna yang terkandung dalam ayat Al
Quran.

1
Surah al-Baqarah [2] : 196

5
4. Menghindarkan keraguan dari adanya pembatasan ketentuan.

Telah menjadi kebiasaanorang kafir khususnya Yahudi, menghalalkan apa


yang diharamkan oleh Allah. Selanjutnya turunlah ayat 145 surat Al An’am untuk
menetapkan pengharaman bukan untuk menetapkan penghalalan makanan yang
tidak disebut di ayat tersebut. Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu
yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa,
sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".[ CITATION
Her11 \p 40 \l 1057 ]

5. Menghilangkan kemusykilan2dalam memahami ayat.


6. Menjelaskan kepada siapa ayat itu diturunkan.

Pernah terjadi ketika Aisyah menjernihkan kekeliruan Marwan yang menuduh


Abd Al- Rahman yang berkenaan dengan surat Al-Ahqaf ayat 17 :

Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu
keduanya..

Untuk meluruskan persoalan, Aisyah mengatakan kepada Marwan: “Demi


Allah, bukan dia maksudnya, bukan Abd Al-Rahman bin Abu Bakar. Dan jika aku
mampu menyebut namanya (orang yang menjadi sabab nuzul sebenarnya), maka
aku mampu menyebutnya.” Dengan mengetahui AsbabNuzul persoalan bisa
didudukkan pada proporsi yang sebenarnya.[ CITATION Her11 \p 40 \l 1057 ]

7. Memudahkan penghafalan ayat.

4. Diskusi Seputar Asbâb Nuzûl


a. Yang dianggap adalah lafazh yang umum, bukan sebab yang
khusus.

2
Kesulitan. Berasal dari kata syakil yang bermakna sulit.

6
Berikut adalah contoh yang memiliki keadaan seperti pembahasan
tersebut:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila
mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri”3. Anas berkata : “Bila istri orang-
orang Yahudi haid, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak diberi makan dan
minum, dan di dalam rumah tidak boleh bersam-sama. Lalu Rasulullah ditanya
tentang hal itu, maka Allah menurunkan ayat ini. Kemudian Rasulullah menjawab
: “Bersama-samalah dengan mereka dirumah, dan perbuatlah segala sesuatu
kecuali menggaulinya.4”
Jika sebab itu khusus, sedang ayat yang turun berbentuk umum, maka para
ahli ushul berselisih pendapat:
1) Jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah
lafal yang umum bukan sebab yang khusus. Karena hukum yang
diambil dari lafal yang umum melampaui bentuk sebab yang
khusus sampai pada hal-hal yang serupa dengan itu.
2) Segolongan ulama berpendapat yang sebaliknya, karena lafal
yang umum itu menunjukan bentuk sebab yang khusus. Untuk
diberlakukan pada kasus lain, maka diperlukan dalil lain atau
kiyas agar sesuai seperti pertanyaan dan jawaban.[ CITATION
alQ11 \p 120 \l 1057 ]
b. Redaksi Asbâb Nuzûl.
Dalam bentuk redaksi sendiri terdapat bentuk yang terkadangmenerangkan
Asbâb Nuzûl dengan pernyataan yang tegas mengenai sebabdan terkadang pula
hanya pernyataan yang mengundang kemungkinan yang mengenainya.

3
Surat al Baqarah [2] : 222
4
Hadis riwayat Muslim, Abu Daud, Nasa’i, Tirmidzi, Ibn Majah, dan yang lain.

7
Redaksi yang secara tegas dalam menerangkan Asbâb Nuzûlnya adalah
apabila seorang rawi berkata “sebab turunnya ayat begini” atau apabila ia
menggunakan huruf fa ta’qibi5. Lalu apabila rawi berkata” telah terjadi peristiwa
ini” atau “Rasul ditanya tentang hal ini, maka turunlah ayat ini.” Dua redaksi
diatas jelas menunjukan Asbâb Nuzûl.[ CITATION Maw11 \p 55 \l 1057 ].
Bentuk kedua, yaitu redaksi yang bisa saja menerangkan sebab nuzul atau
hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah jika perawi mengatakan
“Ayat ini turun mengenai ini”[ CITATION Abu11 \p 32 \l 1057 ]. Demikian juga
jiaka ia mengatakan “Aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini” atau “Aku
tidak mengira ayat ini turun kecuali mengenai hal yang begini.” Dengan bentuk
demikian ini, perawi tidak memastikan sebab nuzul. Kedua bentuk redaksi
tersebut mungkin menunjukan sebab nuzul atau menunjukkan lain[ CITATION
alQ11 \p 121 \l 1057 ].
c. Beberapa riwayat mengenai Asbâb Nuzûl.
Ada pendapat yang menyatakan riwayat-riwayat Asbâb Nuzûl dapat
digolongkan dalam dua kategori, yaitu riwayat-riwayat pasti dan tegas dan riwayat
–riwayat yang tidak pasti (mumkin).
Kategori yang petama, periwayat dengan tegas menunjukkan bahwa
peristiwa yang diriwayatkannya berkaitan erat dengan Asbâb Nuzûl, sedangkan
kategori yang kedua adalah periwayat tidak menceritakan dengan jelas bahwa
peristiwa yang diriwayatkannya berkaitan erat dengan Asbâb Nuzûl, tetapi hanya
menjelaskan kemungkinan-kemungkinannya.[ CITATION MQu08 \p 79 \l
1057 ]. Adapun yang menyatakan bahwa banyak riwayat mengenai Asbâb Nuzûl.
Secara ringkas dikatakan:
1) Apabila semuanya (riwayat) tidak tegas dalam menunjukkan sebab,
maka tidak ada salahnya untuk dipandang sebagai tafsir atau
kandungan ayat.
2) Apabila sebagian tidak tegas dan sebagian lain tegas maka yang
menjadi pegangan adalah yang tegas.

5
Huruf fa yang menunjukkan bahwa sesuatu terjadi langsung mengikuti peristiwa sebelumnya.

8
3) Apabila semuanya tegas, maka tidak terlepas dari kemungkinan
bahwa salah satunya shahih atau semuanya shahih. Apabila salah
satunya shahih sedang yang lain tidak, maka yang shahih menjadi
pegangan.
4) Apabila semuanya shahih, maka lakukan penarjihan jika mungkin.
5) Bila tidak mungkin dengan pilihan demikian maka dipadukan bila
mungkin.
6) Bila tidak mungkin dipadukan, maka dipandanglah ayat itu
diturunkan beberapa kali dan berulang.[ CITATION alQ11 \p 131 \l
1057 ]
d. Banyak ayat satu sebab.
Terkadang banyaknya ayat yang memiliki satu sebab membuat kita
bingung. Bisa saja kita merasa keliru dalam memahami Asbâb Nuzûl sebuah ayat,
lalu kita menemukan kembali Asbâb Nuzûl yang sama dengan ayat yang berbeda
bahkan dalam urutan surat yang terlampau jauh. Dalam hal ini tidak ada
permasalahan yang cukup penting, karena banyak ayat yang turun ddi dalam
berbagai surah berkenaan dengan satu peristiwa.Contohnya adalah:
Apa yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansur, ‘Abdurrazaq, Tirmidzi, Ibn
Jarir, Ibnul Mundzir, Ibn Abi Hatim, Tabarani, dan Hakim yag mengatakan shahih
dari Ummu Salamah, ia berkata:
“Rasulullah aku tidak mendengar Allah menyebut sedikit pun kaum
perempuan mengenai hijrah. Maka Allah menurunkan ayat: "Sesungguhnya aku
tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-
laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang
lain.."6
Diriwayatkan pula oleh Ahmad, Nasa’i, Ibn Jarir, Ibn Mundzir, Tabarani
dan Ibn Mardawaih dari Ummu Salamah yang mengatakan:
“Aku telah bertanya : Rasulullah mengapa kami tidak disebutkan dalam
Quran seperti kaum laki-laki? Maka pada suatu hari aku dikejutkan oleh seruan

6
Surat Ali Imran [3] : 195

9
Rasulullah diatas mimbar. Ia membacakan “Sesungguhnya laki-laki dan
perempuan yang muslim,..”7
Diriwayatkan pula oleh Hakim dari Ummu Salamah yang mengatakan:
“Kaum laki-laki berperang sedang perempuan tidak. Disamping itu kami
hanya memperoleh warisan setengah bagian? Maka Allah menurunkan ayat.
”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang
laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para
wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah
kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
segala sesuatu”8 dan ayat: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,..
Ketiga ayat tersebut turun karena satu sebab.[ CITATION alQ11 \p 133 \l
1057 ]
e. Ayat lebih dahulu turun daripada hukumnya.
Dalam hal ini tidak menjelaskan secara sederhana terdapat ayat Quran
yang sudah turun, tapi entah kapan hukumnya mulai berlaku pada masa itu. Tetapi
hal tersebut menunjukkan bahwa ayat itu dturunkan secara mujmal (global) yag
mengandung arti lebih dari satu, kemudian penafsirannya di hubungkan dengan
salah satu arti-arti tersebut, sehingga ayat tadi mengacu kepada hukum yang
datang kemudian. Sebagai contohnya: Ayat yang turun di Mekah, yakni :
Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang. (Al
Qamar [54]: 45). Umar bin Khattab mengatakan :”Aku tidak mengerti golongan
mana yang akan dikalahkan itu. Nmaun, ketika terjadi perang Badar, aku melihat
Rasulullah berkata: Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur
ke belakang.”
f. Beberapa ayat turun berkaitan dengan satu orang.
Para sahabat pada zaman Rasulullah memiliki peristiwa lebih dari satu
kali, dan Quran turun mengenai setiap peristiwanya. Misalnya, apa yang
diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab “al-Adabul Mufrad” tentang berbakti
kepada orang tua. Dari Sa’ad bin Abi Waqas yang mengatakan : “ Ada empat ayat
7
Surat Al Ahzab [33] : 35
8
Surah An-Nisa [4] : 32

10
yang turun berkenaan denganku. Pertama, ketika ibuku bersumpah bahwa ia tidak
akan makan dan minum sebelum aku meninggalkan Muhammad, lalu Allah
menurunkan : Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan
aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu
mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah
kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.9
Kedua, ketika aku mengambil sebilah pedang dan mengaguminya; maka
aku berkata kepada Rasulullah : ‘Rasulullah berikanlah kepadaku pedang ini’
Maka turunlah: Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta
rampasan perang.
Ketiga, ketika aku sedang sakit Rasulullah mengunjungiku, aku bertanya
kepadanya: ‘Rasulullah aku ingin membagikan hartaku, bolehkah aku
mewasiatkan separuhnya?’ Ia menjawab: ‘Tidak!’ Aku bertanya: ‘Bagaimana
kalau sepertiga?’ Rasulullah diam. Maka wasiat dengan sepertiga harta itu
diperbolehkan.
Keempat, ketika aku sedang minum-minuman keras bersama kaum
Anshar, seseorang dari mereka memukul hidungku dengan tulang rahang unta.
Lalu aku datang kepad Rasulullah maka Allah menurunkan larangan meminum
khamar.[ CITATION alQ11 \p 135 \l 1057 ]
5. Bentuk-Bentuk Asbâb Nuzûl.
Di dalam buku Studi Al-Qur`an[CITATION Yus12 \p 87-90 \n \t \l
1057 ] disebutkan bahwa Asbab Nuzul mempunyai dua bentuk; pertama, dalam
bentuk peristiwa atau kejadian, dan kedua, dalam bentuk pertanyaan. Yang
pertama, misalnya terjadi suatu peristiwa di kalangan sahabat kemudian turun ayat
merespon peristiwa tersebut sehingga dapat diselesaikan. Dan yang terakhir
maksudnya adalah pertanyaan, baik yang muncul dari sahabat atau yang berasal
dari orang kafir, yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. kemudian turun
ayat untuk menjawab pertanyaan itu.

9
Surat Al-Luqman [31] : 15

11
Para mufasir di dalam buku Studi Ilmu Al-Qur`an [CITATION DrK12 \p
88-90 \n \t \l 1057 ] membagi peristiwa itu kepada tiga macam, yaitu sebagai
berikut :
a. Perdebatan (jadal), yaitu perdebatan antara sesama umat Islam atau
antara umat Islam dengan orang-orang kafir, seperti perdebatan antara
sahabat Nabi saw. dengan orang-orang Yahudi yang menyebabkan
turunnya surah Ali-Imran ayat 96. Mujahid berkata, suatu ketika umat
Islam dan yahudi saling membanggakan kiblat mereka. Orang Yahudi
berkata, Baitul Maqdis lebih utama dari Ka’bah karena ke sanalah
tempat berhijrahnya para Nabi dan ia terletak pada tanah suci. Umat
Islam berkata pula, Ka’bahlah yang paling mulia dan utama. Maka
kemudian turun surah Ali-Imran ayat 96 tersebut.
b. Kesalahan, yaitu peristiwa yang merupakan perbuatan salah yang
dilakukan oleh sahabat kemudian turun ayat guna meluruskan kesalaha
tersebut agar tidak terulang lagi, seperti kejadian yang menyebabkan
turunnya surah An-Nisa ayat 43.
c. Harapan dan keinginan, seperti turunnya ayat Al-Baqarah ayat 144.
Asbab Nuzul dalam bentuk pertanyaan dapat dikategorikan dalam tiga
macam, yaitu pertanyaan tentang hal-hal yang berkaitan dengan masa
lalu, masa yang berlangsung, dan pertanyaan yang berkaitan dengan
kejadian masa yang akan datang. Pertanyaan-pertanyaan mengenai
kejadian masa lalu seperti pertanyaan orang Yahudi tentang
Dzulqarnain, yang menyebabkan turunnya ayat surat Al-Kahfi ayat 83.
Mengenai hal-hal yang sedang berlangsung seperti pertanyaan sahabat
tentang hukum mempergauli wanita yang sedang haid, yang
menyebabkan turunnya aya Al-Baqarah ayat 222. Dan mengenai hal
yang akan terjadi adalah seperti pertanyaan orang kafir tentang
kejadian kiamat, yang menyebabkan turunnya surat Al-A’af ayat 187.
Peristiwa yang menyebabkan turunnya suatu ayat pada hakikatnya adalah
hadits. Oleh sebab itu, Asbab Nuzul termasuk ilmu riwayat bukan dirayah. Ia ada

12
yang sahih dan ada pula yang tidak sahih. Yang boleh dijadikan sandaran hukum
hanyalah Asbab Nuzul yang sahih.
6. Hubungan Asbâb Nuzûl dengan Istinbath Hukum
Di dalam buku Ulumul Qur`an Sebuah Pengantar [CITATION Abu09 \p
42-46 \n \t \l 1057 ]disebutkan bahwa ada dua pendapat mengenai hubungan
antara Asbab Nuzul dengan penerapan hukum (istinbath hukum) yang terkandung
dalam suatu ayat Al-Qur`an, yaitu:

Kandungan ayat dengan Asbab Nuzul tertentu tidak hanya berlaku pada
kasus yang menjadi Asbab Nuzul. Misalnya dalam firman Allah yang berbunyi:

        


         
          
 
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu
adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah
suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
(Q.S. Al-Baqarah [2] :222)
Adapun sebab turun ayat tersebut adalah khusus, yaitu hadits yang
bersumber dari Anas tentang istri orang Yahudi yang sedang haid. Apabila istri
orang Yahudi dalam keadaan haid maka dikeluarkan dari rumah itu. suami atau
keluarga tidak mau makan dengannya dan tidak mau bergabung dalam satu
rumah.

Hal tersebut pernah ditanyakan orang kepada Rasul, ketika itu Allah
menurunkan ayat di atas. Lalu Rasul menjawab agar istri tersebut diperlakukan
dengan baik dan tinggal dalam satu rumah, yang dilarang hanyalah melakukan
hubungan seksual. Dapat dilihat bahwa ayat di tersebut berlafadz umum, tapi
sebabnya khusus. Maka banyak orang sepakat penetapan hukumnya berdasarkan
atau menggunakan umumnya lafadz, tidak dengan khususnya sebab, sehingga
berlaku untuk semua orang.

13
Kandungan ayat dengan Asbab Nuzul tertentu atau khusus hanya berlaku
pada kasus yang menjadi sebab turunnya ayat itu.

Contohnya dalam firman Allah yang berbunyi:

        


         
    
Artinya : “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka
itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk
membersihkannya, padahal tidak ada seseorangpun memberikan
suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia
memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhan-
nya yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat
kepuasan.” (Q.S. Al-Lail [92] : 17-21)
Tujuh orang hamba sahaya sebelum dibebaskan mereka disiksa dalam
menegakkan ajaran Islam. Riwayat yang ada yang bersumber dari ‘Urwah
menyatakan, bahwa Abu Bakar Shiddiq telah memerdekakan mereka, dalam hal
ini turunlah ayat tersebut di atas (dan akan dijauhkan dari neraka orang yang
paling bertakwa sampai ke akhir surat). Dapat dipahami, bahwa menurut Asbab
Nuzul ayat tersebut ditujukan untuk Abu Bakar. Pendapat ini diperangi oleh
jumhur ulama.

Permasalahan yang muncul berikutnya adalah jika ayat yang turun bersifat
umum dan sebabnya bersifat khusus, apakah yang harus diperhatikan dan
dijadikan pedoman? Keumuman lafadznya atau kekhususan sebabnya? Para
ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Mayoritas ulama berpegangan pada kaidah yang mana kaidah tersebut


menyebutkan bahwa yang harus diperhatikan adalah sisi keumuman lafadz, bukan
kekhususan sebab. Sedangkan minoritas ulama berpegangan pada kaidah bahwa
yang harus diperhatikan adalah kekhususan sebab, bukan keumuman lafadz.

Saya juga sependapat dengan mayoritas ulama, dimana yang harus kita
perhatikan ialah sisi keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab. Maka suatu
hukum yang turun berkaitan dengan seseorang akan berlaku juga untuk semua
orang.

14
Agar ayat tersebut dapat diterapkan pada kasus lain, diperlukan qiyas.
Dengan demikian ayat qazaf (penuduhan zina) yang turun disebabkan karena
peristiwa hilal dengan istrinya hanya berlaku khusus pada peristiwa ini saja.
Adapun kasus lain yang serupa dengan perihalnya hanya diketahui dengan jalan
qiyas atasnya atau dengan mengamalkan hadits Nabi yang berbunyi “Hukumku
atas seseorang adalah hukumku atas banyak orang”.

D. PROSES TURUNNYA ALQURAN


1. Fenomena Wahyu
a. Definisi
Mengenai wahyu ini, di dalam buku Ulumul Qur`an Sebuah Pengantar
[CITATION Abu09 \p 13-15 \n \t \l 1057 ]dijelaskan bahwa pengertian wahyu
secara etimologi berarti petunjuk yang diberikan dengan cepat. Cepat artinya
datang secara langsung ke dalam jiwa tanpa didahului jalan pikiran dan tidak bisa
diketahui oleh seorang pun.
Dari uraian di atas, dapat kita pahami bahwa pengertian wahyu secara
etimologi meliputi:
1) Ilham sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu yang diberikan
kepada ibu Nabi Musa:
         
         
    
Artinya : “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan
apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke
sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula)
bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan
mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah
seorang) dari para rasul.” (Q.S. Al-Qashas [28] : 7).

2) Ilham yang berupa naluri bagi binatang, seperti wahyu kepada lebah:
         
   
Artinya : “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-
sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat
yang dibuat oleh manusia." (Q.S. An-Nahl [16] : 68)

3) Isyarat yang cepat melalui rumus dan kode, seperti isyarat yang diberikan
kepada Nabi Zakaria yang diceritakan di dalam Al-Qur`an:

15
        
  
Artinya : “Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi
isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi
dan petang.” (Q.S. Maryam [19] : 11)

4) Bisikan dan tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan indah
dalam diri manusia.
       
         
       
Artinya : “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh,
yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin,
sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).
Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak
mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang
mereka ada-adakan.” (Q.S Al-An’am [6] : 112)

5) Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikat-Nya berupa suatu


perintah untuk dikerjakan.
        
        
      
Artinya : “(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian)
orang-orang yang telah beriman". Kelak akan aku jatuhkan rasa
ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah
kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.” (Q.S.
Al-Anfal [8] : 12)
Setelah mengetahui pengertian wahyu secara etimologi, sudah tentu kita
harus pula mengetahui pengertian wahyu secara terminologi. Mengenai pengertian
wahyu secara terminologi, di dalam buku Ulumul Qur`an Edisi Revisi (42)
disebutkan bahwa pengertian wahyu terminologi adalah pengetahuan yang
diperoleh seseorang yang diyakini bahwa pengetahuan itu datang dan berasal dari
Allah, baik melalui perantara suara atau tanpa suara, maupun tanpa perantara.
Jadi, definisi dan makna wahyu yang digunakan Al-Qur`an untuk menunjuk
pemberitahuan Allah kepada Nabi-Nabi berlainan dengan pengertian bahasanya.
Di dalam buku Ulumul Qur`an Sebuah Pengantar [CITATION Abu09 \p
15 \n \t \l 1057 ] disebutkan bahwa apabila makna wahyu diambil dari bentuk

16
masdarnya, maka wahu mempunyai arti sebagai petunjuk Allah yang diberikan
kepada seseorang yang dimuliakan-Nya secara cepat dan tersembunyi. Subhi
Shalih [CITATION Abu11 \p 15 \n \t \l 1057 ] menyatakan bahwa wahyu adalah
pemberitahuan yang bersifat ghaib, rahasia, dan sangat cepat.
Dari makna di atas dapat dipahami bahwa wahyu adalah kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi dan Rasul secara rahasia dan sangat cepat.
b. Wahyu, Ilham (Inspirasi), dan Kasyf (Intuisi)
Pada pembahasan ini, kami akan mencoba menjelaskan mengenai wahyu,
ilham (inspirasi), dan kasyf (intuisi). Ketiga hal tersebut, yakni wahyu, ilham, dan
kasyf tidaklah dapat disamakan dalam kacamata agama. Di dalam buku Peta
Pembelajaran Al-Qur`an [CITATION Ahm08 \p 14-16 \n \t \l 1057 ]dijelaskan
mengenai perbedaan antara ketiga hal ini.

Jika dilihat dari akar bahasa saja, kata “wahyu” tidak hanya bisa diartikan
sebagai pemberitaan dari Allah, wahyu bisa juga berupa bisikan setan (QS. Al-
An’am: 121), suara hati (QS. Al-Qashas: 7), basic insting pada hewan (QS. An-
Nahl: 67), dan bisikan malaikat (QS. Al-Anfal: 12). Selain itu, secara bahasa
wahyu juga dapat dipahami sebagai bentuk bahasa-bahasa isyarat (Maryam: 11).

Istilah ilham (inspirasi) sering digunakan dalam dunia psikologi, namun


sepertinya tidak ada batasan-batasan yang jelas mengenai makna dan hakikat
ilham itu sendiri. Yang lebih dekat dengan makna wahyu adalah kasyf atau
mukasyafah, dimana kasyf adalah bisikan kebenaran tentang hal-hal yang bisa
direka-reka, atau bahkan seorang yang memiliki daya intuisi kasyf itu memang
lebih dulu berpikir tentang masalah tertentu, kemudian muncul sebuah inspirasi.
Berbeda dengan karakter wahyu yang sifatnya selalu insidental (tiba-tiba), tanpa
ada pemikiran lebih dahulu. Kemudian, sifat bisikan wahyu adalah mutlak dan
paten, tidak bisa direka-reka lagi.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa antara wahyu, ilham, dan kasyf tidak
dapat disamakan secara mutlak. Perbedaan antara ketiganya juga bisa ditengarai
dengan mengenali tingkat kepastian seseorang tentang nilai kebenaran yang
didapat, yakni bahwa penerima ilham ataupun kasyf tidaklah memiliki keyakinan

17
yang pasti secara mutlak, berbeda dengan wahyu yang diterima oleh para Nabi
yang memiliki keyakinan yang kuat.

Di dalam buku Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur`an [CITATION AsS11 \p


18 \n \t \l 1057 ]disebutkan bahwa dalam pembahasan mengenai wahyu, maka
harus menjauhkan kata-kata yang hampir sama pengertiannya, seperti ilham,
kasyf, penglihatan batin, perasaan dalam jiwa, dan lain sebagainya.

c. Cara Penurunan Wahyu


Mengenai cara penurunan wahyu ini, terbagi ke dalam dua macam yaitu
penurunan wahyu dari Allah kepada para malaikat dan penurunan wahyu dari
Allah kepada para Rasul.
1) Cara wahyu Allah turun kepada para malaikat
Di dalam buku Studi Ilmu-Ilmu Qur`an [CITATION AlQ11 \p 38-44 \n \t \l
1057 ] disebutkan bahwa di dalam Al-Qur`an terdapat nas mengenai kalam Allah
kepada para malaikat-Nya:
         
        
          

Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"
Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah [2] : 30)
Juga terdapat nas tentang wahyu Allah kepada mereka :
        
        
      
Artinya : “(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian)
orang-orang yang telah beriman". kelak akan aku jatuhkan rasa
ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, Maka penggallah
kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.” (Q.S.
Al-Anfal [8] : 12)
Berikut ini merupakan beberapa pendapat dari para ulama mengenai cara
turunnya wahyu Allah yang berupa Qur`an kepada Jibril:

18
a) Bahwa Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan
lafalnya yang khusus.
b) Bahwa Jibril menghafalnya dari Lauhul Mahfudz.
c) Bahwa maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya adalah lafal
Jibril, atau lafal Muhammad saw.
Pendapat pertama itulah yang benar, dan pendapat itu yang dijadikan
pegangan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa Al-Qur`an adalah kalam Allah
dengan lafalnya, bukan kalam Jibril atau Nabi Muhammad saw.
2) Cara wahyu Allah turun kepada para Rasul
Mengenai hal ini, di dalam buku Ulumul Qur`an Edisi Revisi (43-45)
disebutkan bahwa ada tiga macam cara penyampaian wahyu Allah kepada para
Rasul dan Nabi-Nya.
a) Allah mencampakkan pengetahuan ke dalam jiwa nabi tanpa melalui
perantaraan malaikat. Contoh wahyu jenis ini adalah mimpi yang benar-
tepat seperti yang pernah dialami oleh Nabi Ibrahim Khalilullah as.
ketika diperintahkan agar menyembelih putranya Ismail as
         
         
        
Artinya : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku,
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia
menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-
orang yang sabar.” (Q.S. As-Shaffat [37] : 102)

b) Allah memperdengarkan suara dari balik tabir seperti yang dialami oleh
Nabi Musa as. ketika menerima pengangkatan kenabiannya, dan juga
pernah dialami oleh Nabi Muhammad saw. pada malam Isra’ Mi’raj.
        
        
   
Artinya : “Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: "Hai Musa.
Sesungguhnya aku Inilah Tuhanmu, Maka tanggalkanlah kedua
terompahmu; Sesungguhnya kamu berada dilembah yang Suci,

19
Thuwa. Dan 'aku telah memilih kamu, Maka dengarkanlah apa
yang akan diwahyukan (kepadamu).” (Q.S. Taha [20] : 11-13)

Melalui utusan, yakni malaikat. Tentang hal ini, ada dua macam cara, yakni
Nabi dapat melihat malaikat Jibril adakalanya dalam bentuk asli (meskipun jarang
terjadi) dan adakalanya Jibril menjelma sebagai seorang manusia; dan Nabi tidak
melihat Jibril sewaktu menerima wahyu karena beliau hanya mendengar suara
seperti suara lebah atau gemerincingnya suara lonceng ketika Jibril datang.
Uraian di atas menjelaskan bahwa cara-cara penyampaian wahyu Allah
kepada para Nabi, pada hakikatnya, melalui dua cara yaitu langsung dan tidak
langsung (melalui perantaraan malaikat). Secara langsung, Allah menghembuskan
pengetahuan ke dalam jiwa Nabi atau Allah berbicara langsung kepada Nabi dari
balik tabir. Sedangkan secara tidak langsung (melalui perantaraan malaikat Jibril),
Nabi Muhammad saw. dapat melihat malaikat Jibril dalam bentuknya yang asli
atau dalam bentuk seorang manusia.
2. Tahapan Penurunan Alquran
Di dalam buku Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an [CITATION AlQ11 \p 144-
151 \n \t \l 1057 ]disebutkan bahwa turunnya Al-Qur`an yang pertama kali pada
malam lailatul qadr merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang
terdiri dari malakat-malaikat. Sedangkan turunnya Al-Qur`an yang kedua kali
secara bertahap, berbeda dengan kitab yang turun sebelumnya, sangat
mengagetkan orang dan menimbulkan keraguan terhadapnya sebelum jelas bagi
mereka rahasia hikmah ilahi yang ada di balik itu.
a. Turunnya Alquran sekaligus
Allah Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:
       
        
          
         
      
  
Artinya : “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qu`ran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil). karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri

20
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada
bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 185)

Dan firman-Nya:
     
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada
malam kemuliaan.” (Q.S Al-Qadr [97 :1)

Dan firman-Nya pula:


       
Artinya : “Dan Kami telah memberikan kepada mereka di antara tanda-
tanda kekuasaan (Kami) sesuatu yang di dalamnya terdapat
nikmat yang nyata.” (Q.S. Ad-Dukhan [44] : 3)
Ketiga ayat di atas itu tidak bertentangan, karena malam yang diberkahi
adalah malam lailatul qadr dalam bulan Ramadhan. Tetapi lahir (zahir) ayat-ayat
itu bertentangan dengan kejadian nyata dalam kehidupan Rasulullah saw., di mana
Al-Qur`an turun kepadanya selama dua puluh tiga tahun. Dalam hal ini, para
ulama mempunyai dua mazhab pokok:
1) Mazhab pertama, dalam buku Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an [CITATION
AlQ11 \p 145 \n \t \l 1057 ] yaitu pendapat Ibn Abbas dan sejumlah
ulama serta yang dijadikan pegangan oleh umumnya ulama. Yang
dimaksud dengan turunnya Al-Qur`an dalam ketiga ayat di atas ialah
turunnya Al-Qur`an sekaligus ke Baitul ‘Izzah di langit dunia agar para
malaikat menghormati kebesarannya. Kemudian sesudah itu Al-Qur`an
diturunkan kepada Rasul kita Muhammad saw. secara bertahap selama
dua puluh tiga tahun sesuai dengan peristiwa-peristiwa dan kejadian-
kejadian sejak ia diutus sampai wafatnya.
      
  
Artinya : “Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-
angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada

21
manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (Q.S.
Al-Isra [17] : 106)

2) Mazhab kedua, dalam buku Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an[CITATION


AlQ11 \p 147 \n \t \l 1057 ] yang diriwayatkan oleh Asy-Sya’bi
bahwa yang dimaksud dengan turunnya Al-Qur`an dalam ketiga ayat
di atas ialah permulaan turunnya Al-Qur`an kepada Rasulullah saw.
Permulaan turunnya Al-Qur`an itu dimulai pada malam lailatul qadr di
bulan Ramadhan, yang merupakan malam yang diberkahi. Kemudian
turunnya itu berlanjut sesudah itu secara bertahap sesuai dengan
kejadian dan peristiwa-peristiwa selama kurang lebih dua puluh tiga
tahun. Dengan demikian, Al-Qur`an hanya satu macam cara turun,
yaitu turun secara bertahap kepada Rasulullah saw., sebab yang
demikian inilah yang dinyatakan oleh Al-Qur`an:
      
  
Artinya : “Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-
angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada
manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (Q.S.
Al-Isra [17] : 16)

Para penyelidik dalam buku Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an [CITATION AlQ11 \p


150 \n \t \l 1057 ] menjelaskan bahwa Rasulullah saw. pada mulanya diberi tahu
dengan mimpi pada bulan kelahirannya, yaitu bulan Rabi’ul Awwal.
Pemberitahuan dengan mimpi itu lamanya enam bulan. Kemudian ia diberi wahyu
dalam keadaan sadar pada bulan Ramadhan dengan Iqra`. Dengan demikian, maka
nas-nas yang terdahulu itu menunjukkan kepada satu pengertian.
3) Mazhab ketiga, berpendapat bahwa Al-Qur`an diturunkan ke langit
dunia selama dua puluh tiga malam lailatul qadr, yang pada setiap
malamnya selama malam-malam lailatul qadr itu ada yang ditentukan
Allah untuk diturunkan pada setiap tahunnya. Dan jumlah wahyu yang
diturunkan ke langit dunia di malam lailatul qadr, untuk masa satu
tahun penuh itu kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada

22
Rasulullah saw. sepanjang tahun. Mazhab ini adalah hasil ijtihad
sebagian mufasir. Pendapat ini tidak mempunyai dalil.
Dengan demikian, secara spesifik Al-Qur`anul Karim itu dua kali diturunkan:
Pertama: diturunkan secara sekaligus pada malam lailatul qadr ke Baitul
‘Izzah di langit dunia.
Kedua: diturunkan dari langit dunia ke bumi secara berangsur-angsur selama
dua puluh tiga tahun.
b. Turunnya Alquran secara bertahap
Al-Qur`an diturunkan secara bertahap ini dijelaskan di dalam banyak
buku, diantaranya seperti yang terdapat di dalam buku Studi Ilmu-Ilmu Qur`an
[CITATION AlQ11 \p 152-156 \n \t \l 1057 ]



Dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta
alam, Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril). Ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan,Dengan bahasa Arab yang jelas. (Asy-Syuara: 192-195)
Ayat di atas menyatakan bahwa Al-Qur`anul Karim adalah kalam Allah
dengan lafalnya yang berbahasa Arab; dan bahwa Jibril telah menurunkannya ke
dalam hati Rasulullah saw.; dan bahwa turunnya ini bukanlah turunnya yang
pertama kali ke langit dunia. Tetapi yang dimaksudkan adalah turunnya Al-
Qur`an secara bertahap. Ungkapan untuk arti menurunkan dalam ayat di atas
menggunakan kata tanzīl bukannya inzāl. Ini menunjukkan bahwa turunnya itu
secara bertahap dan berangsur-angsur. Ulama bahasa membedakan antara inzāl
dengan tanzīl. Tanzīl berarti turun secara berangsur-angsur sedangkan inzāl hanya
menunjukkan turun atau menurunkan dalam arti umum.

Al-Qur`an turun secara berangsur selama dua puluh tiga tahun: tiga belas
tahun di Mekkah menurut pendapat yang kuat, dan sepuluh tahun di Madinah.
Penjelasan tentang turunnya secara bernagsur-angsur itu terdapat dalam firman
Allah:

23
      
  
Artinya : “Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur
agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan
Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (Q.S. Al-Isra [17] :
106)
Maksudnya: Kami telah menjadikan turunnya Al-Qur`an itu secara
berangsur-angsur agar kamu membacakannya kepada manusia secara perlahan
dan teliti dan Kami menurunkannya bagian demi bagian sesuai dengan peristiwa-
peristiwa dan kejadian-kejadian.

Menurut buku Studi Ilmu-Ilmu Qur`an [CITATION AlQ11 \p 152-156


\n \t \l 1057 ] Adapun kitab-kitab samawi yang lain, seperti Taurat, Injil, dan
Zabur, turunnya sekaligus, tidak turun secara berangsur-angsur. Hal ini
sebagaimana ditunjukkan oleh firman-Nya:

       


         
Artinya : “Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu
tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah
supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya
secara tartil (teratur dan benar).” (Q.S. Al-Furqan [25] : 32)

Ayat ini menunjukkan bahwa kitab-kitab samawi yang terdahulu itu turun
sekaligus, dan inilah pendapat yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama.
Seandainya kitab-kitab terdahulu itu turun secara berangsur-angsur, tentulah
orang-orang kafir tidak akan merasa heran terhadap Al-Qur’an yang turun secara
berangsur-angsur.

Penelitian terhadap hadits-hadits sahih menyatakan bahwa Al-Qur`an


turun menurut keperluan, terkadang turun lima ayat, terkadang sepuluh ayat,
terkadang lebih banyak dari itu atau lebih sedikit. Terdapat hadits sahih yang
menjelaskan sepuluh ayat telah turun sekaligus berkenaan dengan berita bohong
tentang Aisyah. Dan telah turun pula sepuluh ayat dalam permulaan Surah
Mukminun secara sekaligus. Dan telah turun pula, ...yang tidak mempunyai

24
alasan (gaira ulid darari) saja yang merupakan bagian dari suatu ayat. Studi
Ilmu-Ilmu Qur`an [CITATION AlQ11 \p 152-156 \n \t \l 1057 ]

Di dalam buku Sejarah Teks Al-Qur`an dari Wahyu sampai


Kompilasi[CITATION AlA05 \p 48 \n \t \l 1057 ] juga menyebutkan tentang
penurunan Al-Qur`an secara bertahap. Dalam rentang masa dua puluh tiga tahun,
Kitab suci Al-Qur`an diturunkan secara bertahap memenuhi tuntutan situasi dan
lingkungan yang ada. Ibn ‘Abbas (w. 68 hijriah), seorang ilmuwan terkemuka di
antara sahabat Rasul mempertegas bahwa Al-Qur`an diturunkan ke langit
terbawah (bait al-‘izzah) dalam satu malam yang kemudian diturunkan ke bumi
secara bertahap sesuai dengan keperluan.

Penerimaan wahyu Al-Qur`an ada di luar jangkauan penalaran akal


manusia. Selama empat belas abad yang silam tak ada seorang Rasul yang
muncul, dan memahami fenomena wahyu kita semata-mata merujuk pada laporan
authentic dari Nabi Muhammad saw. dan orang-orang kepercayaan yang
menyaksikan kehidupan beliau.

Mengenai Al-Qur`an diturunkan secara bertahap, juga terdapat penjelasan


di dalam buku Ulumul Qur`an Zaman Kita [CITATION Mat13 \p 46-47 \n \t \l
1057 ]bahwa Al-Qur`an memuat lebih dari enam ribu ayat yang diturunkan secara
bertahap, ayat demi ayat, selama lebih dari dua puluh tiga tahun. Ayat-ayat
tersebut dihimpun menjadi suwwar (tunggal: sūrah), yang berarti “wilayah
tertutup”. Panjang setiap surah Al-Qur`an sangat beragam. Surah yang paling
pendek adalah surah Al-Kawtsar (108) yang terdiri atas tiga ayat, dan yang
terpanjang adalah surah Al-Baqarah (2), yang memuat 286 ayat.

Urutan surah-surah tersebut secara umum disusun berdasarkan panjang-


pendeknya, bukan kronologinya. Salah satu alasan kenapa surah dalam Al-Qur`an
tidak disusun secara kronolgis adalah karena kapan tepatnya tiap ayat diwahyukan
tidak diketahui secara pasti. Di samping itu, banyak surah Al-Qur`an yang terdiri
atas ayat-ayat yang diturunkan pada waktu yang berbeda sehingga penyusunan
ayat Al-Qur`an secara kronolgis tidak mungkin dilakukan tanpa memecah-mecah
isi surah.

25
3. Hikmah Turunnya Alquran secara bertahap

Dalam buku Sejarah Al-Qur’an[ CITATION Placeholder1 \p 9 \l 1033 ]


menjelaskan bahwa penurunan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw. secara
bertahap selama di utusnya beliau sebagai Rasul (23 tahun), memiliki banyak
hikmah dan berbagai rahasia yang terdapat di dalamnya, hal ini juga telah di
pertegas oleh Allah dalam firman-Nya :

“Berkatalah orang-orang kafir: “Mengapa Al-Qur’an itu tidak di turunkan


kepadanya (Muhammad) sekali turun saja? Demikianlah supaya Kami perkuat
hatimu dengannya”. (QS. Al-Furqan, 25:32)

“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar


kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya
bagian demi bagian”. (QS. Al-Isra, 17:106)

Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an di turunkan secara berangsur-


angsur yang di dalamnya mengandung hikmah. Beberapa hikmah dan rahasia
penurunan Al-Qur’an secara bertahap sebagai berikut :

Pertama: Untuk memperkuat hati dan jiwa Nabi Muhammad Saw.


sebagaimana firman Allah, “supaya Kami perkuat hatimu dengannya”. Hal ini di
lihat dari lima aspek, yaitu :

a) Sesungguhnya dalam penurunan wahyu secara bergani-ganti dan berulang-


ulangnya turun malaikat (membawa Al-Qur’an) dari sisi Allah kepada
Rasulullah Saw. terdapat kegembiraan yang memenuhi hati beliau dan
suka cita yang melapangkan dadanya.
b) Sesungguhnya penurunan sebagian demi sebagian ini meripakan
kemudahan dari Allah Swt. Guna menghafal dan memahami Al-Qur’an,
mengetahuai ketentuan hukum dan hikmahnya.
c) Sesungguhnya pada setiap kali penurunan yang berangsur-angsur ini
terdapat mukjizat baru Nabi Saw. di mana beliau menantang para
penentang dan orang-orang yang keras kepala untuk mendatangkn

26
hlmserupa dengan Al-Qur’an ini, sehingga tampaklah kelemahan mereka
dan tetaplah kebenaran Nabi Saw.
d) Sesungguhnya dalam memperkuat (hati) Nabi Sw. dan mematahkan
kebatilan musuh-musuhnya yang berulang-ulang.
e) Allah Swt. menjanjikan kepada Nabi-Nya ketika pertentangan dengan
musuh-musuhnya itu menyengat, dengan sesuatu yang melunakkan
kekerasan itu. (2005 : 10)

Kedua: Penurunan Al-Qur’an secara berangsur-angsur berarti bertahap dalam


mendidik umat islam yang senantiasa tumbuh dan berkembang.

a) Mempermudah menghafal Al-Qur’an


b) Mempermudah dalam pemahaman Al-Qur’an
c) Bertahap dalam pembebanan kewajiban, seperti salat dan ibadah lainnya.
d) Bertahap dalam pensucian mereka dari akidah (keyakinan) yang batil,
seperti syirik (menyekutukan Allah).
e) Bertahap dalam pensucian mereka dari adat istiadat kebiasaan jelek, yang
telah melekat pada jiwa mereka.
f) Bertahap dalam mendidik mereka dengan adat kebiasaan yang terpuji dan
mulia.
g) Memperkuat hati rang-orang mukmin dan mempersenjatainya dengan
keteguhan, kesabaran dan keyakinan. (2005 : 12-13)

Ketiga: Mengikuti peristiwa dan perkembangan dalam pembaharuan dan


perceraiannya.

a) Menjawab pertanyaan yang mereka (manusia) ajukan kepada Rasulullah


Saw.
b) Mengantisipasi masalah dan peristiwa-peristiwa pada masanya, sebagai
penjelasan hukum Allah terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi.
c) Adanya keraguan yang merasuki dada orang-orang musyrik.
d) Memalingkan penglihatan kaum muslim dari kesalahan mereka dan
mengemblikannya kepada kebenaran.

27
e) Menyingkap keadan orang-orang munafik dan mengoyak abir rahasia
merek bagi Nabi Saw. dan orang-orang muslim. (2005 : 14-19)

Sedikit berbeda dengan pendapat sebelumnya, dalam buku Studi Al-Qur’an


Al-Karim[CITATION Pro02 \p 123 \l 1033 ] , hikmah penurunan Al-Qur’an secara
bertahap sebagai berikut :

Pertama: mengukuhkan dan menenangkan hati dan pikiran Nabi Saw. ketika
menolak atau membantah orang-orang Musyrik atau Yahudi.

a) Pengukuh dan penguat hati Nabi Muhammad Saw. pembangkit


semangatnya dan penghibur baginya.
b) Ayat turun kepadanya sebagai penghibur baginya, yang terkadang ayat
tersebut melarangnya untuk bersedih hati dan berduka cita.
c) Memudahkan penghapalan dan pemahamannya bagi Nabi Muhammad
Saw.

Kedua : berangsur-angsur dalam mendidik umat, baik agama, akhlak, social


kemasyarakatan, akidah, ilmu, maupun perbuatan. (2002 : 124-136)

a) Bertahap atau berangsur-angsur dalam melepskn akidah yang rusak,


kebiasaan dan kemunkaran yang dapat menghncurkan atau terkutuk.
b) Bertahap dalam menetapkan akidah atau keyakinan yang benar, aturan
peribdahan, mlih, tata krama, dan akhlak terpuji.
c) Memudahkan penghapalan dan pemahaman bagi umat.
d) Menguatkan hati orang-orang mukmin dan membiasakan mereka untuk
bias menceritakan tentang kisah Nabi-nabi terdahulu dari masa ke masa,
serta mengingatkan mereka bahwa pertolongan di sertai dengn keteguhn
dan kesabaran.

Ketiga: berkesusaian dengan berbagai kejadian, situasi, dan kondisi, yang


diisyratkan oleh firman-Nya: (2002 : 139)

28
“Tidakkah orang-orang kafir itu datang kepadmu (membawa) sesuau yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling
baik penjelasannya (QS. Al-Furqan: 33)”

Hikmah yang ketiga ini, mencakup:

a) Penjelasan aturan Allah Swt. dalam ketetapan-ketetapan (al-aqdhiyah) dan


kejadian-kejadian (al-waqa’i) di antara kaum muslimin.
b) Sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang di lonarkan kepada Nabi
Muhammad, baik berupa pertanyaan untuk mengukuhkan dan menguatkan
misinya maupun berupa permohonan peunjuk dan keingintahuan terhadap
sesuatu.
c) Merupakan teguran bagi kaum muslimin terhadap kesalahan dan
kekhilafan mereka serta merupakan peringatan terhadap kebiasaan-
kebiasaan dan keterperosokan dalam perbuatan salah.
d) Peringatan bagi orang-orang muslim terhadap orang-orang munafik dan
pengungkapan kejelekan jiwa mereka. (2002 : 140-150)

Kempat: menjelaskan kemukjizatan Al-Qur’an Al-Karim secara mendalam


dan mengakar. (2002 : 154)

Sedangkan di dalam buku ‘Ulumul Qur’an [ CITATION Placeholder2 \p 22 \l


1033 ] menjelaskan bahwa di dalam ayat yang selain menjadi dalil turunnya Al-
Qur’an secara bertahap yaitu surat Al-Isra: 106 juga merupakan pembeda antara
Al-Qur’an dengn kitab-kitab lainnya, seperti taurat, Zabur, dn injil, yang di
lakukan-Nya secara sekaligus.

4. Kronologi Alquran

Dalam buku ‘Ulumul Qur’an[CITATION Pro081 \p 91 \l 1033 ] dijelaskan


bahwa Al-Qur’an yang sampai di tangan kita telah mengalami beberapa proses
dan tahpan. Pada tahap pertama di turunkan ke Lauh al-Mahfuz. Proses turunnya
Al-Qur’an ke Lauh al-Mahfuz adalah turun sekaligus. Mengenai teknis turunnya
tidak di peroleh keterangan, baik dalam Al-Qur’an maupun hadits. Tahap kedua,
Al-Qur’an di turunkan dari Lauh al-Mahfuz ke langit bumi, sebagaimana di

29
jelaskan dalam Q.S. Al-Qadr 95 : 1. Q.S. Al-Baqarah 2 : 158. Proses turunnya Al-
Qur’an dari Lauh al-Mahfuz ke langit bumi terdapat perbedaan pendapat, di
kalangan ulama Tafsir ada yang mengatakan turun sekaligus, kemudian di
turunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad Saw.Tahap ketiga,
yaitu proses turunnya Al-Qur’an dari langit ke bumi kepada Nabi Muhammad
melalui perantaraan Jibril. Proses turunnya Al-Qur’an dari langit ke bumi kepada
Nabi Muhammad berlangsung selama kurang lebih 23 tahun.

Kronlogi turunnya Al-Qur’an mempunyai beberapa pembahasan dalam


‘Ulumul Qur’an, pembahasan itu meliputi sebagai berikut :

a. Diskusi seputar Ayat Pertama dan Terakhir diturunkan

Dalam buku ‘Ulumul Qur’an [ CITATION Placeholder3 \p 22 \l 1033 ].


Mengenai ayat yang pertama turun,Al-Bukhari meriwayatkan dua buah hadist
yang berbeda. Salah satunya mengatakan bahwa ayat yang turun adalah lima ayat
pertama surat Al-‘Alaq.

Hadits riwayat Al-Bukhari yang bersumber dari ‘Aisyah ini dinyatakan


sahih oleh dua tokoh hadits lain, yaitu oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadraknya
dan oleh Al-Baihaqiy dalam dalilnya. Kemudian Al-Thabraniy dalam kitabnya
Al-Kabir dengan sanadnya sendiri yang bersumber dari Abi Raja Al-‘Aththardiy
mengatakan, “Abu Musa mengajarkan kami mengaji. Beliau menyuruh kami
duduk berhalaqah {riungan}. Beliau mengenakan dua baju berwarna putih.” Jika
beliau membaca surat Al-Alaq ayat 96 : 1. Beliau mengatakan,”ini adalah surat
pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.”

Hadits Al-Bukhari lainnya (yang ia riwayatkan bersama imam Muslim)


mengatakan bahwa yang Pertama turun adalah surah Al-Mudatsir.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah
seorang sahabat. Daripada Abu Salamah bin Abdul Rahman, dia berkata: “Aku
telah bertanya kepada Jabir bin ‘Abdullah: Yang manakah di antara al-Quran
mula-mula diturunkan? Jabir menjawab, “Yā Ayyuha Al-Mudaśir” Aku berkata,
Atau “Iqrā Bismirabbikalladzī Khalāq”. Dia Jabir berkata,”Aku katakan kepada-

30
mu apa yang dikatakan Rasulullah s.a.w. kepada kami: “Sesungguhnya aku
berdiam diri di gua Hira’. Maka ketika habis masa diam-ku, aku turun lalu aku
susuri lembah. Aku lihat ke depan, ke belakang, ke kanan dan ke kiri. Lalu aku
lihat ke langit, tiba-tiba aku melihat Jibril yang amat menakutkan. Maka aku
pulang ke Khadijah. Khadijah memerintahkan mereka untuk menyelimuti aku.
Mereka pun menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan: “Yā Ayyuha Al-Mudaśir
Qum Faangdzir” “Wahai orang yang berselimut; bangkitlah, lalu berilah
peringatan”. (2011 : 24)

Mengenai Hadis Jabir ini, dapatlah disimpulkan iaitu pertanyaan tersebut


adalah mengenai surah yang diturunkan secara penuh. Jabir menjelaskan yang
surah Al-Mudatsir diturunkan secara penuh sebelum surah Iqra’ selesai
diturunkan, karena yang turun pertama sekali daripada surah Iqra’ itu hanyalah
permulaannya saja. Ini diperkuatkan oleh hadits Abu Salamah dari Jabir yang
terdapat dalam Sahih Bukhari dan Muslim. Jabir berkata: “Aku mendengar
Rasulullah s.a.w. ketika bercakap mengenai putusnya wahyu, beliau menyebut
dalam percakapannya itu, “Sewaktu aku berjalan, aku terdengar suara dari langit.
Kemudian aku angkat kepala-ku, tiba-tiba aku ternampak malaikat yang
mendatangi aku di gua Hira’ duduk di atas kursi antara langit dan bumi, lalu aku
pulang dan aku katakan: Selimutkanlah aku! Mereka pun menyelimuti aku. Lalu
Allah menurunkan ayat, “Yā Ayyuha Al-Mudaśir”. Hadis ini menggambarkan
peristiwa ini terkemudian daripada peristiwa di gua Hira’, atau al-Al-Mudatsir
adalah surah yang pertama diturunkan setelah terputusnya wahyu.

Dengan dasar dua alasan tadi, yang di dukung oleh Zaid ibn Tsabit, Al-
Thabari, dan Al-Qasthallani, dapat disimpulkan ayat pertama untuk kenabian ialah
Al-Alaq dan surah pertama untuk risalah ialah surah al-Al-Mudatsir.

Kemudian, di dalam buku ‘Ulumul Qur’an[CITATION Pro081 \p 94 \l


1033 ] di jelskan bahwa surah Al-Mudatsir ini sekaligus mempertegas kerasulan
Nabi Muhammad Saw. jika yat pertama belum ada perintah secara eksplisit untuk
menympaikan isi wahyu, maka ayat kedu ini sudah ada perintah ekslusif untuk
menyampaikan seruan wahyu kepada umatnya.

31
Dalam buku ‘Ulumul Qur’an [ CITATION Placeholder3 \p 25 \l 1033 ],
dalam masalah ayat yang paling akhir turun, tak satu pun terdapat riwayat yang
marfu’ kepada Nabi Muhammad Saw. Semua riwayat yang ada bersumber dri
sahabat dan tabi’in. itulah sebabnya saat mencari tahu ayat yang paling akhir
turun, terjadi kesimpangsiuran dan persilangan pendapat.

Dalam buku Studi-Studi Ilmu Qur’an [ CITATION Placeholder4 \p 95-


100 \l 1033 ], di jelaskan pendapat-pendapat mengenai ayat yang terakhir turun,
berikut penjelasannya :

1) Dikatakan bahwa ayat terakhir yang diturunkan adalah ayat mengenai riba.
Ini didasarkan pada hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas,
yang mengatakan: “Ayat terakhir yang diturunkan adalah ayat mengenai
riba.” Yang dimaksud adalah firman Allah: “Wahai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba –yang
belum dipungut-.” (al-Baqarah: 278)

2) Dan dikatakan pula bahwa ayat al-Qur’an yang terakhir diturunkan adalah
firman Allah: “Dan peliharalah dirimu dari adzab yang terjadi pada suatu
hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah…” (al-
Baqarah: 281)
Ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan lain-lain,
dari Ibnu Abbas dan Sa’id bin Jubair: “Ayat al-Qur’an terakhir kali turun
adalah: ‘Dan peliharalah dirimu dari adzab yang terjadi pada suatu hari
yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah…” (al-
Baqarah: 281)

3) Juga dikatakan bahwa yang terakhir kali turun ini ayat mengenai utang;
berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyab: “Telah
sampai kepadanya bahwa ayat al-Qur’an yang paling muda di ‘Arsy ialah
ayat mengenai utang.” Yang dimaksud adalah ayat: “Wahai orang-orang
yang beriman, apabila kamu berutang untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya…” (al-Baqarah: 282)

32
Ketiga riwayat ini dapat dipadukan, yaitu bahwa ketiga ayat tersebut di
atas diturunkan sekaligus seperti tertib urutannya di dalam mushaf. Ayat
mengenai riba, ayat “pelihara dirimu dari adzab yang terjadi pada suatu hari”
kemudian ayat mengenai utang, karena ayat-ayat itu masih satu kisah. Setiap
perawi mengabarkan bahwa sebagian dari yang diturunkan itu sebagai yang
terakhir kali. Dan itu memang benar. Dengan demikian, maka ketiga ayat itu tidak
saling bertentangan.

4) Dikatakan pula bahwa yang terakhir kali diturunkan adalah ayat mengenai
kalalah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Barra’ bin ‘Azib; dia
berkata: “Ayat yang terakhir kali turun adalah: “Mereka meminta fatwa
kepadamu mengenai kalalah, katakanlah: ‘Allah memberi fatwa kepadamu
tentang kalalah…’” (an-Nisaa’: 176). Ayat yang turun terakhir menurut
hadits Barra’ ini adalah berhubungan dengan masalah warisan.

5) Pendapat lain menyatakan bahwa yang terakhir turun adalah firman Allah:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu
sendiri…” sampai akhir surah. Dalam al-Mustadrak disebutkan, dari Ubai
bin Ka’b yang mengatakan: “Ayat terakhir kali diturunkan:
‘Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu
sendiri…” (at-Taubah: 128-129) sampai akhir surah. Mungkin yang
dimaksud adalah ayat terakhir yang diturunkan dari surah at-Taubah.
Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa hadits ini memberitahukan
bahwa surah ini adalah surah yang diturunkan terakhir kali, karena ayat ini
mengisyaratkan wafatnya Nabi saw. sebagaimana dipahami oleh sebagian
shahabat. Atau mungkin surah ini adalah surah yang terakhir kali
diturunkan.

6) Dikatakan pula bahwa yang terakhir kali turun adalah surah al-Maa-idah.
Ini didasari pada riwayat Tirmidzi dan Hakim, dari ‘Aisyah ra. Tetapi
pendapat Syekh Mannaa’ al-Qattaan, surah ini surah yang terakhir kali

33
turun dalam hal halal dan haram, sehingga tak satu hukum pun yang
dinasikh di dalamnya.

7) Juga dikatakan bahwa yang terakhir kali turun adalah firman Allah: “Maka
Tuhan memperkenankan permohonan mereka: ‘Aku tidak menyia-nyiakan
amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki ataupun
perempuan, karena sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang
lain.’” (Ali ‘Imraan: 195)

Ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih


melalui Mujahid, dari Ummu Salamah; dia berkata: “Ayat yang terakhir kali turun
adalah ayat ini: “Maka Tuhan memperkenankan permohonan mereka: ‘Aku tidak
menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki
ataupun perempuan, karena sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang
lain.’” (Ali ‘Imraan: 195)

Hal itu disebabkan dia (Ummu Salamah) bertanya: Wahai Rasulallah, aku
melihat Allah menyebutkan kaum lelaki akan tetapi tidak menyebutkan kaum
perempuan. Maka turunlah ayat: “Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak daripada sebagain yang
lain.” (an-Nisaa’: 32) dan turun pula: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan
yang Muslim..” (al-Ahzab: 35) serta ayat ini: “Maka Tuhan mereka…” ayat ini
adalah yang terakhir diturunkan yang di dalamnya tidak hanya disebutkan kaum
lelaki secara khusus.

Dalam riwayat itu jelaslah bahwa ayat tersebut yang terakhir turun di
antara ketiga ayat di atas, dan yang terakhir yang turun dari ayat-ayat yang di
dalamnya disebutkan kaum perempuan.

8) Ada juga dikatakan bahwa ayat terakhir yang turun adalah ayat:
“Barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka
balasannya adalah jahanam, kekal dia di dalamnya dan Allah murka

34
kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan adzab yang besar
baginya.” (an-Nisaa’: 93)

Ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan yang lain
dari Ibn Abbas yang mengatakan: “Ayat ini [Barangsiapa yang membunuh
seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya adalah jahanam] adalah ayat
yang terakhir diturunkan dan tidak dinasikh oleh apa pun.”
Ungkapan “ia tidak dinasikh oleh apa pun” itu menunjukkan bahwa ayat itu ayat
yang terakhir turun dalam hal hukum membunuh seorang mukmin dengan
sengaja.

9) Dari Ibn Abbas dikatakan: “Surah terakhir yang diturunkan ialah:


“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.”

Pendapat-pendapat ini semua tidak mengandung sesuatu yang disandarkan


kepada Nabi saw. masing-masing ijtihad dan dugaan. Mungkin pula bahwa
masing-masing mereka itu memberitahukan mengenai apa yang terakhir
didengarnya dari Rasulullah saw. atau mungkin juga masing-masing mengatakan
hal ini berdasarkan apa yang terakhir diturunkan dalam hal perundang-undangan
tertentu, atau dalam hal surah terakhir yang diturunkan secara lengkap seperti
setiap pendapat yang telah dikemukakan di atas.

Adapun firman Allah: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu


agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridlai Islam
menjadi agama bagimu.” (al-Maa-idah: 3) maka ia diturunkan di Arafah tahun
haji Perpisahan [Wada’]. Pada lahirnya, ia menunjukkan penyempurnaan
kewajiban dan hukum. Telah pula diisyaratkan di atas, bahwa riwayat mengenai
turunnya ayat riba, ayat utang-piutang, ayat kalaalah dan yang lain itu setelah ayat
ketiga surah al-Maa’idah. Oleh karena itu, para ulama menyatakan kesempurnaan
agama di dalam ayat ini. Allah mencukupkan nikmat-Nya kepada mereka dengan
menempatkan mereka di negeri suci dan membersihkan orang-orang musyrik
daripadanya dan menghajikan mereka di rumah suci tanpa disertai oleh seorang

35
musyrik pun; padahal sebelumnya orang-orang musyrik berhaji pula dengan
mereka. Yang demikian itu termasuk nikmat yang sempurna. “dan telah Aku
cukupkan kepadamu nikmat-Ku.”

Qadi Abu Bakar al-Baqalani dalam al-Intisaar ketika mengomentari


berbagai riwayat mengenai yang terakhir kali diturunkan menyebutkan:
“Pendapat-pendapat ini sama sekali tidak disandarkan kepada Nabi saw. Boleh
jadi pendapat itu diucapkan orang karena ijtihad atau dugaan saja. mungkin
masing-masing memberitahukan mengenai apa yang terakhir kali didengarnya
dari Nabi saw. pada saat beliau wafat atau tak seberapa lama sebelum beliau sakit.
Sedang yang lain mungkin tidak secara langsung mendengar dari Nabi saw.
Mungkin juga ayat itu yang dibaca terakhir kali oleh Rasulullah saw. bersama-
sama dengan ayat-ayat yang turun di waktu itu, sehingga disuruh untuk dituliskan
sesudahnya, lalu dikiranya ayat itulah yang terakhir diturunkan menurut tertib
urutannya.

Dalam buku ‘Ulumul Qur’an[CITATION Pro081 \p 92 \l 1033 ] juga


dikaji secara kritis tentang ayat-ayat yang turun di Mekkah, disebut ayat-ayat
makiyyah dan ayat-ayat yang turun sesudah Nabi Hijrah ke Medinah disebut ayat-
ayat Madaniyah.

Kajian tentang ayat pertama dan terakhir, Hari pertama turunnya Al-
Qur’an dan ayat yang pertama diturunkan terdapat beberapa pendapat. Pendapat
yang paling kuat adalah Al-Qur’an diturunkan pada hari senin,17 Ramadhan
tahun 41 dari kenabian, bertepatan pada tanggal 6 Agustus 610M. Dasar
penepatan tanggal 17 Ramadhan sesuai dengan Q.S.Al-Anfal ayat 41.Sedangkan
ayat yang pertama diturunkan adalah Al-‘Alaq ayat 1-5. (2008 : 93)

Ayat ini turun ketika Nabi Muhammad sedang berkhalwat seorang diri di
gua Hira. Ayat ini menegaskan kedudukan Muhammad sebagai seorang Nabi, dan
ayat-ayat yang turun berikutnya ialah surah Al-Mudatsir Ayat 1-10. Ayat ini
sekaligus mempertegas kerasulan Nabi Muhammad. Kalau ayat pertama belum
ada perintah secara eksplisi untuk menyampaikan isi wahyu, maka ayat kedua ini

36
sudah ada perintah ekslusif untuk menyampikan seruan wahyu kepada umatnya.
(2008 : 94)

Adapun hari terakhir turunnya Al-Qur’an menurut jumhur ulama yaitu


pada hari jum’at tanggal 9 Dzulhijah tahun 10 Hijrah, bertepatan pada bulan
Maret 632 M. pada waktu itu Nabi Muhammad sedang menjalani wukuf di Arafah
yang kemudian diturunkan Rasulullah wafat,yaitu pada hari senin 12 RAbiul awal
tahun 11 H, bertepatan tanggal 7 Juni 632 M.

Ayat yang paling terakhir diturunkan kepada Nabi Muhammad yaitu surah
Al-Maidah ayat 3. Sebagian ulama meriwayatkan bahwa ayat yang diturunkan
paling terakhir diturunkan ialah surah Al-Nashr ayat 1-3.

Sebagian lagi ulama mengatakan ayat paling terakhir diturunkn ialah surah
Al-Baqarah ayat 281, kerena di dalam suatu riwayat disebutkan bahwa hanya
sembilan malam setelah ayat ini diturunkan kemudian Rasulullah meninggal
dunia.

Mengenai ayat-ayat yang pertama atau yang paling terakhir diturunkan


tidak mempunyai efek lebih besar dalm tradisi kegamaan Islam. Yang paling
penting diketahui ialah tertib ayat secara keseluruhan untuk membedakan mana
ayat-ayat nasikh dan mana ayat-ayat mansukh. (2008 : 95-96)

b. Ayat-ayat Makiyyah dan Madaniyyah

Dalam buku Studi Ilmu-Ilmu Qur’an [ CITATION Placeholder4 \p 82-


83 \l 1033 ], untuk mengetahui dan menentukan ayat-ayat makiyyah dan
madaniyyah, para ulama bersandar pada dua cara utama, yaitu : simâ’I naqli
(pendengaran seperti apa adanya) dan qiyâsi ijtihâdi (kias hasil ijtihad). Cara
pertama, simâ’I naqli di dasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang
hiduppada sat dan menyaksikan turunnya wahyu, atau dari para tabi’in yang
menerima dan mendengardari para sahabat bagaiman, di mana dan peristiwa apa
yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. Cara qiyâsi ijtihâdi di dasarkan pada
ciri makiyyah dan madaniyah. Apabila dalam surah makiyyah terdapat suatu ayat
yang mengandung sifat madaniyyah atau mengandung peristiwa madani, maka di

37
katakana bahwa ayat itu madaniyyah dan apabila dalam surah madaniyyah
terdapat suatu ayat yang mengandung sifat makiyyah atau mengandung peristiwa
makiyyah, maka ayat tadi di katakn ayat makiyyah.

Untuk membedakan ayat makiyyah dan madaniyyah, di dalam buku Studi


Ilmu-Ilmu Al-Qur’an [ CITATION Placeholder4 \p 83-85 \l 1033 ] dan buku
Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an [ CITATION Placeholder5 \p 121 \l 1033 ],
berpendapat bahwa para ulama mempunyai tiga macam pandangan yang masing-
masing mempunyai dasarnya sendiri.

Pertama: Pandangan yang di dasarkan padas segi tempat turunnya.


Makiyyah adalah yang turun di Mekkah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan
Hudaibiyah. Sedangkan Madaniyyah adalah yang turun di Medinah dan
sekitarnya, seperti Uhud, Quba, dan Sil’. Tetapi ayat yang turun di tengah
perjalanan antara keduanya tidak di sebut makiyyah dan tidak pula madaniyyah.

Kedua: Pandangan yang di dasarkan pada segi waktu turunnya. Makiyyah


adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan di Mekkah sedangkan
madaniyyah adalah yang di turunkan sesudah hijrah sekalipun bukan di
Medinah.sekalipun ada sebagian ayat yang turun di Mekkah, pada waktu
penaklukan Mekkah atau pada waktu haji Wada’, atau di dalam perjalanan.

Ketiga: Pandangan yang di dasarkan pada segi sasarannya.Makiyyah


adalah yang seruannya di tujukan kepada penduduk Mekkah dan Medinah adalah
yang seruannya di tujukan kepada penduduk Medinah. Menariknya, az-Zarkazi
menyebutkan bahwa ayat Al-Qur’an yang mengandung seruan “Yâ ayyuhan nâs
(wahai manusia)” adalah Makiyyah, sedangkan ayat yang mengandung seruan
“Yâ ayyuhal lażîna âmanȗ (Wahai orang-orang yang beriman)” adalah Makiyyah.

Namun, di dalam buku Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an [ CITATION


Placeholder4 \p 85 \l 1033 ], di jelaskan bahwa jika di cermati dengan baik,
kebanyakan surah Qur’an tidak selalu di buka dengan salah satu seuan itu.
Misalkan, dalam surah Al-Baqarah itu Madaniyyah, tetapi di dalamnya terdapat
ayat:

38
“Wahai manusia, beribadahlah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa (Al-Baqarah 2 : 21)”

Dan firman-Nya pula:

“Wahai manusia, makanlah makanan yang halal dan baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena
sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu (Al-Baqarah 2 : 168)”

Dan surah An-Nisa’ itu Madaniyyah, tetapi permulaannya “Yâ ayyuhan


nâs”. Surah Al-Hajj adalah Makiyyah, tetapi di dalamnya terdapat juga:

“Wahai orangorang yang beriman, rukulah kamu, sujudlah kamu dan


beeribadahlah kepada Tuhanmu serta perbuatlah kebajikan, suaya kamu
mendapatkan kemenangan. (Al-Hajj 22 : 77)”

Al-Qur’an adalah seruan Allah terhadap semua makhluk. Ia dapat saja


menyeu orang yang beriman dengan sifat, nama, atau jenisnya. Begitu pula orang
yang tidak beriman dapat di perintah untuk beribadah, sebagaiman orang eriman
yang di perintahkan konsisten dan menambah ibadahnya.

c. Ciri-Ciri Ayat Makiyyah dan Madaniyyah

Dalam buku Sejarah Al-Qur’an yang di tulis oleh [CITATION Fai \p 73 \l


1033 ] di jelaskan beberapa ciri-ciri ayat makiyyah dan madaniyyah menurut
Ulama yang bernama as-Suyuti.

Ciri-ciri Ayat Makiyyah menurut as-Suyuti sebagai berikut:

1) Surah yang di dalamnya terdapat ayat sajdah


2) Surah yang di dalamnya terdap lafal kallā dengan ctatan erleak pada
bagian pertengahan hingga akhir Al-Qur’an.
3) Surah yng mengandung kisah para Nabi dan umat terdahulu kecuali Surah
Al-Baqarah.
4) Surah yang mengandung kisah Adam dan Iblis, kecuali Surah Al-Baqarah.
5) Surah yang di awali dengan huruf-huruf hijaiyah semisal Alif Lām Mīm
atau Alif Lām Rā, kecuali dua surah, yakni al-Baqarah dan Ali-Imran.

39
6) Ayat-ayat maupun surah-surahnya pada umumnya pendek, ringkas,
uraiannya bernada hangat (keras) dan nada suaranya berlainan.
7) Surah yang terfokus pada keimanan dan Hari Akhir, serta memberi
deskripsi yang lengkap tentang surge dan neraka.
8) Surah yang mengandung sanggahan terhadap kaum musyrikin dan celaan
terhadap eksistensi mereka.
9) Surah yang mengandung pernyataan sumpah bagaimana lazimnya radisi
orang arab.

Ciri-ciri Ayat Madaniyyah menurut as-Suyuti sebagai berikut:

a. Surah yang di dalamnya terdapat izin berperang atau menyebut soal


peperangan dan menjelelaskan hukum-hukumnya.
b. Surah yang di dalamnya terdapa rincian hukum had, farā’id, hukum sipil,
hukum social, dan hukum antarnegara.
c. Surah yang di dalamnya terdapat uraian tentang kaum munfik, kecuali
surah Al-‘Ankabut yang termasuk makiyyah selain 11 ayat pada
pendahuluannya adalah madaniyyah. Dalam surah itu terdapat uraian
tentang kaum munafik.
d. Bantuan terhdap Ahl al-Kitāb dan seruan agar merek mau meninggalkan
sikap berlebihan dalam mempertahnkn agamnya.
e. Sebagian besar ayatnya pnjang-panjang dan susunan kalimtnya yang
mengenai soal-soal hukum bernada tenang.
f. Mengemukakan dalil-dalil dan pembuktian mengenai kebenaran agama
islam secara rinci. [CITATION Fai \p 74 \l 1033 ]

Meskipun detail rincian ciri khas masing-masing kategori makiyyah dan


madaniyyah telah di terhampar, namun ulama masih berselisih dlm menenukan
dan menetapkan jumlah surah keduanya. Al-Khudary dalam Tārīkh Tasyrī seperti
di kutip ash-Shiddieqy (2000 : 185), misalnya menetapkan kategori makiyyah 91
surah dan 23 surah untuk ketegori madaniyyah. (2008 : 75)

d. Munasabah Alquran

40
Munasabah dalam buku ‘Ulumul Qur’an [ CITATION Placeholder6 \p
190 \l 1033 ]. Menjelaskan bahwa munasabah adalah ilmu yng membahas tentang
hikmah kolerasi urutan ayat Al-Qur’an, atau usaha pemikiran manusia untuk
menggali rahsia hubungan antar ayat atau surat yang dapat di terima oleh akal.
Melalui ilmu ini, rahasia illahi dapa terungkp dengan sangat jelas yang dengannya
sanggahn dari-Nya bagi mereka yang selalu meragukan keberadaan Al-Qur’an
sebagai wahyu akan tersampaikan.

Sedangkan dalam buku yang di tulis [CITATION Pro08 \p 75-76 \l 1033 ]


munasabah menurut bahasa berarti musyâkalah (keserupaan) dan muqârabah
(kedekatan). Sedangkan menurut isilh ‘ulum Al-Qur’an berarti penetahuan
tentang berbgai hubungan di dalam Al-Qur’an. Hubungan-hubungan tersebut
meliputi:

a. Hubungan antara satu surah dengan surah sebelumnya. Satu surah


berfungsi menjelskan surah sebelumnya, misalnya di dalam surah al-
Fâtihah, 1: 6 di sebutkan: “Tunjukilah kami ke jalan yang lurus”. Lalu di
jelaskan dalam surah Al-Baqarah, 2 : 2 , bahwa jalan yang lurus itu ialah
mengikuti petunjuk Al-Qur’an, sebagaimana di sebutkan: “Kitab (Al-
Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi merek yang
bertakwa”
b. Hubungan antara nama surah dengan isi atau tujuan surah. Misalkan srah
an-Nisâ (perempuan) karena di dalamnya banyak menceritakan tentang
persolan perempuan.
c. Hubungan antara fawâtihal-suwar (ayat pertama yng terdiri dari beberpa
huruf) dengan isi surah dan di ketahui dari jumlah huruf-huruf yang di
jadikan sebagai fawâtihal-suwar. Misalnya jumlah huruf alif, lam, mim
pada surah-surah yang di mulai dengan alif-lam-mim semuanya dapat di
bagi 19 (lihat kajian kemukjizatan Al-Qur’an).
d. Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surah.
Misalnya surah al-Mu’minun 23 : 1, di mulai dengan: “Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman”. Kemudian di bgian akhir surah

41
ini di temukan kalimat: “Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak
beruntung”.
e. Hubungan antara satu ayat dengan ayat lain dalam satu surah. Misalnya
kata muttaqîn di dalm surah Al-Baqarah ayat 2 di jelaskan pada ayat
berikutnya mengenai ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa.
f. Hubungan antara kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat.misalnya
dalam surah Al-Fatihah ayat 1: “Segala puji bagi Allah”, lalu sifat Allah di
jelaskan pada kalimat berikutnya: “Tuhan semesta alam”.
g. Hubungan antara fâshilah dengan isi ayat. Misalnya di dalam surah al-
Ahzab, 33 : 25, di sebutkan: “…Dan Allah menghindarkan orang-orang
mu’min dari peperangan” lalu di tutup dengan “Dan Allah Maha Kuat lagi
Maha Perkasa”.
h. Hubungan antara penutup surah dengan awal surah berikutnya. Mislny
akhir surah al-Waqi’ah, 56 : “Maka bertasbilh dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang Maha Besar”. Lalu surah berikutnya, yakni surah Al-
hadid, 57 : 1 : “Semua yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada
Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”.

Munasabah Al-Qur’an di ketahui berdasarkan ijtihad, bukan melalui petunjuk


Nabi (tawaqîfi). Setiap orang bis saja menghubung-hubungkan antara berbagai
hlm di dalam kitab Al-Qur’an.

5. Polemik Jumlah ayat Alquran

Dalam buku Sejarah Al-Qur’an [ CITATION Placeholder7 \p 125 \l


1033 ] menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat tentng ayat-ayat Al-
Qur’an, alasannya adalah bahwa ketika mengujarkannya, terkadang Rasulullah
Saw. berhenti di ayat tertentudan tidak melanjutkan bacaannya. Seolah ayat yang
di baca Rasulullah telah selesai, karena dalam bacaan lain seringkali beliau terus
melanjutkan bacaannnya tanpa berhenti hingga selesai.

Dinukil dari Ibnu Abbas bahwa semua ayat-ayat Al-Qur’an berjumlah


6.600 ayat. Semua hurufnya berjumlah 320.671. ada yang berpendapat bahwa

42
kalimat Al-Qur’an berjumlah 77.277, sebagian lain berpendapat 77.934, pendapa
yang lain lagi adalah 77.434 kalimat.

Menurut kufiyyin, riwayat yang paling sahih dan pasti tentang jumlah ayat
Al-Qur’an adalah 6.236. riwayat ini di nukil dari Ali bin Abi Thalib. Jumlah ini
seperti yang terdapt dlm mushaf asy-Syarif. Hitungan ini berdasarkan pendapat
bahwa bismillahirrahmanirrahim dalam surah al-Hamdu di hiung sebagai satu
ayat, nmun tidak demikian pad surh-surh yang lain. Huruf Muqaththa’ah dalam
awal-awal surah juga di hitung satu ayat. Namun jumlah ayat-ayat yang ada dalam
setiap surah masih di perselisihkan. (2007 : 126).

Kemudian menurut hasil diskusi kami, jumlah ayat yang kami hitung
sebanyak 6.236 ayat.

43
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Asbab Nuzul merupakan sebab turunnnya suatu ayat. Asbab Nuzul ini
menjadi penting untuk dipahami, karena pemahaman tersebut dapat
mempengaruhi penafsiran seseorang mengenai suatu ayat.

Manfaat yang kita dapat dengan mengetahui Asbab Nuzul diantaranya;


memberikan petunjuk tentang hikmah yang dikehendaki Allah atas apa yang telah
ditetapkan hukumnya, memberitahukan petunjuk tentang adanya ayat-ayat
tertentu yang memiliki kekhususan hukum tertentu, merupakan salah satu cara
yang efisien untuk memahami makna yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an,
serta membantu memudahkan penghafalan ayat dan pengungkapan makna yang
terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur`an.

Redaksi Asbab Nuzul ada yang berupa lafadz yang jelas


menunjukanAsbab Nuzul, juga ada yang merupakan indikasi, sehingga perlu
ketelitian untuk memahaminya.

Riwayat-riwayat dalam Asbab Nuzul digolongkan menjadi dua, yaitu;


riwayat-riwayat yang pasti-tegas dan riwayat-riwayat yang tidak pasti. Riwayat
pertama, riwayat-riwayat pasti-tegas, para periwayatnya dengan tegas
menunjukkan peristiwa yang diriwayatkannya benar-benar terkait erat dengan
riwayat itu.Sedangkan riwayat kedua adalah kebalikan dari riwayat yang pertama.

Banyak ayat yang turun berkaitan dengan sebab yang satu. Dalam hal ini
tidak ada masalah yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun di
dalam berbagai surat berkenaan dengan sebuah peristiwa. Al-Qur’an turun
mengiringi setiap peristiwa.

Turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur mengandung hikmah yang


nyata serta rahasia yang mendalam yang hanya dapat diketahui oleh orang-orang
yang memang mendalaminya. Diantara hikmah diturunkannya Al-Qur`an secara
berangsur-angsur yaitu, untuk meneguhkan hati Nabi saw. dalam menghadapi

44
celaan dari orang-orang musyrik, meringankan Nabi dalam menerima wahyu,
memudahkan dalam menghafal Al-Qur’an dan memberi pemahaman bagi kaum
muslimin, dan lain sebagainya.

Wahyu merupakan pemberitahuan yang tersembunyi dan terjadi secara


cepat. Wahyu berbeda dengan ilham (inspirasi) dan kasyf (intuisi) dalam segi
kemutlakan kebenarannya. Wahyu itu mutlak benarnya karena bersumber dari
Tuhan yang Maha Benar.

Al-Qur`an diturunkan secara garis besar di dua tempat utama yaitu


Mekkah dan Madinah, sehingga ayat-ayat dalam Al-Qur`an dibagi menjadi ayat-
ayat Makkiyyah dan Madaniyyah yang keduanya mempunyai karakteristik dan
ciri-ciri yang berbeda.

Munasabah menurut bahasa, berarti musyakalah (keserupaan) dan


muqarabah (kedekatan), sedangkan menurut istilah Ulumul Qur’anberarti
pengetahuan tentang berbagai hubungan dalam Al-Qur’an yang dapat diketahui
setelah kita mencermatinya dengan seksama.

Riwayat yang paling sahih dan pasti tentang jumlah ayat Al-Qur’an adalah
6.236. Riwayat ini di nukil dari Ali bin Abi Thalib, namun ada beberapa pendapat
lain mengenai jumlah ayat yang ada dalam Al-Qur`an.

B. SARAN
Al-Qur`an sebagai pedoman hidup kita, hendaknya bisa kita pahami sesuai
dengan makna yang sesuai dengan tujuan Tuhan yang menurunkan Al-Qur`an itu
sendiri. Agar pemahaman kita terhadap suatu ayat tidaklah hanya terpaku pada
teks terjemahan yang sudah ada, maka kita juga harus bisa memahami Al-Qur`an
melalui Asbab Nuzulnya.

Kita sebagai umat Islam harus memahami dengan benar apa yang menjadi
pedoman hidup kita, dalam hal ini yakni Al-Qur`an. Dengan pemahaman yang
benar, maka kita tidak akan keliru dalam menjalankan perintah Tuhan yang telah
menurunkan Al-Qur`an. Kita harus mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Al-

45
Qur`an, dari mulai Asbab Nuzul sampai dengan perbedaan jumlah ayat yang ada
di dalam Al-Qur`an.

Semoga dengan memahami kitab Al-Qur`an ini, keimanan kita kepada


Tuhan semakin bertambah sehingga kita termasuk orang-orang yang beruntung
dan memperoleh keridhaan-Nya di dunia dan akhirat. Aamiin.

46
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. (2011). Ulumul Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Al-Azmi, M. (2005). Sejarah Teks Al-Qur`an dari Wahyu sampai Kompilasi. (A. M.
Sohirin Solihin, Ovs.) Jakarta: Gema Insani.

al-Qattan, M. K. (2011). Studi Ilmu-ilmu Al Quran. (M. AS, Ovs.) Bogor: Pustaka Litera
Antarnusantara.

Al-Qaṭṭān, M. K. (2013). Studi Ilmu-Ilmu Qur`an. (Mudzakir, Ovs.) Bogor: PT. Pustaka
Litera AntarNusa.

Anwar, A. (2009). Ulumul Qur`an Sebuah Pengantar. Pekanbaru: Amzah.

Ash-Shabuniy, M. A. (1998). Studi Ilmu Al Quran. (Aminuddin, Ovs.) Bandung: Pustaka


Setia.

As-Shalih, S. (2011). Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur`an. (T. P. Firdaus, Ovs.) Jakarta:


Pustaka Firdaus.

Baidan, N. (2005). Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hermawan, A. (2011). Ulumul Quran : Ilmu Untuk Memahami Wahyu. Bandung: Rosda.

Izzan, Ahmad. (2011). 'Ulumul Al-Qur`an Edisi Revisi. Bandung: Tafakur.

M. Quraish Shihab. (2008). Sejarah dan 'Ulum Al-Qur'an. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Madyan, A. S. (2008). Peta Pembelajaran Al-Qur`an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ma'rifat, Muhammad Hadi. (2007). Sejarah Al-Qur'an. (T. Musawa, Ovs.) Jakarta: Al-
Huda.

Mattson, I. (2013). Ulumul Qur`an Zaman Kita. (R. C. Yasin, Ovs.) Jakarta: Zaman.

Muhyasin, Muhammad Salim. (2005). Sejarah Al-Qur'an STUDI AWAL MEMAHAMI


KITABULLAH. (D. Junedi, Ovs.) Jakarta: AKADEMIKA PRESSINDO.

Nasaruddin Umar. (2008). 'Ulumul Qur'an Mengungkap Makna-Makna Tersembunyi Al-


Qur'an (Årg. 1). Jakarta: Al-Ghazali Center.

Nur Faizah;. (2008). Sejarah Al-Qur'an. Jakarta: CV Artha Rivera.

Shihab, M. Q. (2008). Sejarah dan Ulum Al Quran. Jakarta : Pustaka Firdaus.

Syafe'i, R. (2006). Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia.

47
Syeikh Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah;. (2002). Kitab Al-Madkhal Li Dirasat
Al-Qur'an Al-Karim. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.

Wijaya, Aksin;. (2009). Arah Baru Studi Ulum Al-Qur'an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yusuf, K. M. (2012). Studi Al Quran Edisi Kedua. Jakarta: Amzah.

48

Anda mungkin juga menyukai