Anda di halaman 1dari 14

KETAHANAN PANGAN

OLEH :
PUTRI RIZA UMMAMI
1902031046

DOSEN :
TUTY HERTATI PURBA, SKM, M.Kes

PROGRAM STUDI ILMU GIZI


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN 2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatnya yang
berlimpah dalam penyusunan Paper ini bisa diselesaikan dengan tepat waktu. Dimana
menyusun paper ini merupakan syarat wajib dalam menyelesaikan tugas mata kuliah.

Ada kebanggaan tersendiri jika kegiatan pembelajaran ini bisa selesai dengan
hasil yang baik. Dengan keterbatasan penulis dalam membuat riset, jika makalah ini
pada akhirnya bisa diselesaikan dengan baik tentulah karena bantuan dan dukungan
dari banyak pihak terkait.

Medan, 18 Desember,2020

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
BAB I............................................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................1
C. Tujuan.................................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................3
PEMBAHASAN...........................................................................................................3
A. Ketahanan Pangan Di Rumah Tangga................................................................3
B. Hubungan Pengetahuan Keluarga......................................................................4
C. Permasalahan Pemberdayaan Masyarakat..........................................................5
D. Sistem ketahanan Pangan...................................................................................7
E. Kerawanan Pangan.............................................................................................8
BAB III.......................................................................................................................10
PENUTUP..................................................................................................................10
A. Kesimpulan.......................................................................................................10
B. Saran.................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketahanan pangan adalah situasi di mana semua rumah tangga mempunyai
akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota
keluarganya, di mana rumah tangga tidak berisiko mengalami kehilangan kedua akses
tersebut (Hanani, 2009). Ketahanan pangan rumah tangga adalah salah satu jenjang
yang penting karena meskipun suatu wilayah terkategori tahan pangan, belum tentu
ketahanan pangan menjangkau hingga level rumah tangga (Ariani dkk., 2007).
Menurut Saragih (2004), hal ini dikarenakan ketahanan pangan dipengaruhi oleh 2
faktor utama yaitu availability (ketersediaan) dan accessibility (keterjangkauan).

Sistem ketahanan pangan di Indonesia secara komprehensif meliputi empat


sub-sistem, yaitu: (i) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk
seluruh penduduk, (ii) distribusi pangan yang lancar dan merata, (iii) konsumsi
pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang berdampak
pada (iv) status gizi masyarakat. Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi
tidak hanya menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat
makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek mikro, yaitu akses
pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi anggota rumah tangga,
terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin. Meskipun secara konseptual
pengertian ketahanan pangan meliputi aspek mikro, namun dalam pelaksanaan sehari-
hari masih sering ditekankan pada aspek makro yaitu ketersediaan pangan.

Agar aspek mikro tidak terabaikan, maka dalam dokumen ini digunakan
istilah ketahanan pangan dan gizi. Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau
sistem ketahanan pangan dari aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan.
Seperti banyak diketahui, baik secara nasional maupun global, ketersediaan pangan
yang melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh
penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Konsep ketahanan pangan yang
luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahanan pangan yaitu tingkat kesejahteraan
manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu pengertian ketahanan pangan ?
2. Bagaiamana ketahanan pangan di rumah tangga ?
3. Bagaimana hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dan Tingkat Ekonomi
Keluarga ?

1
4. Apa saja Situasi, Permasalahan, Kebijakan, Dan Pemberdayaan
Masyarakat ?
5. Bagaimana dengan kerawanan pangan ?

C. Tujuan
Tujuan penulisan paper ini adalah:
1. Untuk memahami pengertian ketahanan pangan
2. Untuk memahami ketahanan pangan di rumah tangga
3. Untuk memahami hubungan tingkat pengetahuan ibu dan tingkat ekonomi
keluarga
4. Untuk memahami Situasi, Permasalahan, Kebijakan, Dan Pemberdayaan
Masyarakat
5. Untuk memahami kerawanan pangan

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ketahanan Pangan Di Rumah Tangga


Ketahanan pangan rumah tangga merupakan suatu jenjang penting dalam
konsep ketahanan pangan, sebab ketahanan pangan rumah tangga berpengaruh
secara langsung terhadap status gizi anggota keluarga. Salah satu kelompok
masyarakat di perkotaan yang masih tergolong rawan pangan adalah nelayan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan
ketahanan pangan rumah tangga pada masyarakat nelayan. Penelitian cross
sectional ini dilakukan di Kelurahan Sukolilo, Kecamatan Bulak, Kota Surabaya
pada bulan Juni 2011. Besar sampel yang digunakan adalah 50 rumah tangga dan
dipilih menggunakan teknik simple random sampling. Pengumpulan data
dilakukan melalui metode wawancara dan status ketahanan pangan rumah tangga
diukur dengan menggunakan instrument US-HFSSM. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga (88%) dalam kategori rawan
pangan.

Penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status


ketahanan pangan rumah tangga dengan pendapatan dengan p = 0,037 (p < α) dan
pengeluaran dengan p = 0,016 ( p < α). Sebaliknya tidak terdapat hubungan antara
pendidikan responden, pendidikan kepala rumah tangga, pekerjaan, besar
keluarga, kepemilikan aset, pengetahuan, akses fi sik, akses ekonomi, ketersediaan
pangan, dan skor Coping Strategy Index (p > α). Penelitian ini menyimpulkan
bahwa faktor yang berhubungan dengan status ketahanan pangan rumah tangga
nelayan di Kelurahan Sukolilo, Kecamatan Bulak, Kota Surabaya adalah
pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Nelayan identik dengan keterbatasan
aset, lemahnya kemampuan modal, posisi tawar, dan akses pasar. Keterbatasan
kepemilikan aset adalah ciri umum masyarakat miskin termasuk nelayan.
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mengenai ketahanan pangan rumah
tangga pada masyarakat nelayan di Surabaya perlu dilakukan.

Penelitian ini merekomendasikan perlunya pelatihan keterampilan terhadap


keluarga nelayan untuk meningkatkan pendapatan keluarga saat tidak berada pada
musim panen ikan. Selain itu perlu diadakan pelatihan gizi terhadap istri nelayan
untuk meningkatkan pengetahuan gizi rumah tangga. Selain pendapatan rumah
tangga, besarnya pengeluaran rumah tangga juga dapat berpengaruh pada status
ketahanan pangan. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara status
ketahanan pangan rumah tangga dengan pengeluaran per kapita rumah tangga.

3
Semakin besar pengeluaran per kapita rumah tangga, maka semakin baik pula
status ketahanan pangan rumah tangganya. Faktor ekonomi terlihat berperan dalam
memengaruhi ketahanan pangan rumah tangga.

B. Hubungan Pengetahuan Keluarga

Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus merupakan investasi


sumber daya manusia. Kesehatan yang baik serta menjadi suatu keharusan bagi
semua pihak untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan demi
kesejahteraan masyarakat. Kualitas sumber daya manusia dimasa yang akan
datang sangat dipengaruhi oleh status gizi. Kekurangan gizi, menimbulkan
masalah kesehatan (morbiditas, mortalitas dan disabilitas) dan menurunkan
kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa. Dalam skala yang lebih luas,
kekurangan gizi dapat menjadi ancaman bagi ketahanan dan kelangsungan hidup
suatu bangsa. 1 Walaupun sumber daya alam yang tersedia bagi suatu bangsa
melimpah tanpa adanya sumber daya manusia (SDM) yang tangguh, maka sulit
diharapkan untuk berhasil membangun bangsa itu sendiri.
Balita merupakan kelompok usia yang paling menderita akibat kurang gizi
dan jumlahnya dalam populasi cukup besar. Kurang gizi pada balita dapat
berakibat gagal tumbuh kembang serta meningkatkan kesakitan dan kematian.3
Pada tahun 2005, persentase anak yang mengalami gizi kurang pada usia 0 sampai
4 bulan terjadi pada beberapa negara, diantaranya Amerika Latin dan negara maju
(5%), Afrika dan negara berkembang (15 – 30%) sedangkan persentase untuk Asia
hampir sama dengan Afrika. 4 Hal ini juga terbukti dari hasil riset yang
menunjukkan bahwa prevalensi (angka kejadian) gizi kurang secara nasional tahun
2013 masih cukup tinggi yaitu 5,3%. Status gizi memiliki pengaruh yang sangat
besar terhadap kesehatan individu, sehingga mempengaruhi kualitas sumber daya
manusia dimasa yang akan datang. Status gizi balita tergantung pada asupan gizi,
tingkat pengetahuan ibu, tingkat ekonomi keluarga, pendidikan ibu, pola asuh dan
ketahanan pangan. Tujuan penelitian ini adalah menentukan hubungan tingkat
pengetahuan ibu dan tingkat ekonomi keluarga nelayan dengan status gizi balita.
Menurut Suhardjo pada tahun 2003, terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi asupan gizi antara lain faktor langsung konsumsi makanan dan
penyakit infeksi serta faktor tidak langsung antara lain tingkat pendapatan,
pengetahuan tentang gizi dan tingkat pendidikan.8 Tingkat pengetahuan setiap
orang tentang gizi tidak sama. Hal ini terjadi karena berbagai faktor seperti umur,
pendidikan, pekerjaan, pengalaman dan lingkungan. 9 Asupan gizi kurang
menyebabkan balita akan terganggu kesehatan dan perkembangannya. Sebaliknya,
asupan gizi yang baik akan berimplikasi terhadap keseluruhan tumbuh kembang.

4
Untuk mendapatkan asupan gizi yang baik dibutuhkan sekaligus ekonomi yang
baik dan pengetahuan yang baik. Menurut penelitian Linda pada tahun 2012,
pengetahuan gizi ibu yang rendah dapat menghambat usaha perbaikan gizi yang
baik pada keluarga, tetapi pengetahuan yang baik tidak selalu bisa merubah
masyarakat menjadi keluarga sadar gizi dalam arti tidak hanya mengetahui gizi
saja tetapi harus mengerti dan mau berbuat untuk mengaplikasikan pengetahuan
tersebut dalam menyediakan dan menyajikan makanan bergizi bagi semua anggota
keluarga.

C. Permasalahan Pemberdayaan Masyarakat

Peranan sektor pertanian di Indonesia sangat penting dilihat dari


keharusannya memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang pada tahun 2005
berjumlah 219,3 juta, dan diprediksikan terus bertambah sebesar 1,25 persen.
Pemerintah harus melaksanakan kebijakan pangan, yaitu menjamin ketahanan
pangan yang meliputi pasokan, diversifikasi, keamanan, kelembagaan, dan
organisasi pangan. Kebijakan ini diperlukan untuk meningkatkan kemandirian
pangan. Pembangunan yang mengabaikan keswadayaan dalam kebutuhan dasar
penduduknya, akan menjadi sangat tergantung pada negara lain, dan itu berarti
menjadi negara yang tidak berdaulat.
Konsep Malthus yang menyatakan bahwa pertumbuhan pangan bagaikan
deret hitung dan pertumbuhan penduduk bagai deret ukur, nampaknya mendapat
momentumnya sekarang. Bangsa Indonesia dengan pertumbuhan penduduk
positif, apabila tidak disertai dengan kenaikan produksi pangan, maka akan
berpeluang menghadapi persoalan pemenuhan kebutuhan pangan penduduknya di
masa datang. Kebutuhan pangan senantiasa meningkat seiring dengan peningkatan
jumlah penduduk. Di sisi pemenuhannya, tidak semua kebutuhan pangan dapat
dipenuhi, karena kapasitas produksi dan distribusi pangan semakin terbatas. Hal
ini menyebabkan ketidakstabilan pangan antara kebutuhan dan pemenuhannya
secara nasional. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan pangan ini menjadi
sangat penting dan strategis dalam rangka mempertahankan kedaulatan negara,
melalui tidak tergantung pada impor pangan dari negara maju. Ketergantungan
suatu negara akan impor pangan (apalagi dari negara maju), akan mengakibatkan
pengambilan keputusan atas segala aspek kehidupan menjadi tidak bebas atau
tidak merdeka, dan karenanya negara menjadi tidak berdaulat secara penuh.
Konsep ketahanan pangan menurut Undang-undang Nomor 7 tahun 1996
adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan
terjangkau. Berdasar konsep tersebut, maka terdapat beberapa prinsip yang terkait,

5
baik langsung maupun tidak langsung terhadap ketahanan pangan (food security),
yang harus diperhatikan (Sumardjo, 2006):
 Rumah tangga sebagai unit perhatian terpenting pemenuhan kebutuhan
pangan nasional maupun komunitas dan individu.
 Kewajiban negara untuk menjamin hak atas pangan setiap warganya yang
terhimpun dalam satuan masyarakat terkecil untuk mendapatkan pangan
bagi keberlangsungan hidup.
 Ketersediaan pangan mencakup aspek ketercukupan jumlah pangan (food
sufficiency) dan terjamin mutunya (food quality).
 Produksi pangan yang sangat menentukan jumlah pangan sebagai kegiatan
atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat,
mengawetkan, mengemas, mengemas kembali dan atau mengubah bentuk
pangan.
 Mutu pangan yang nilainya ditentukan atas dasar kriteria keamanan
pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan makanan
dan minuman.
 Keamanan pangan (food safety) adalah kondisi dan upaya yang diperlukan
untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan
benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan keadaan
manusia.
 Kemerataan pangan merupakan dimensi penting keadilan pangan bagi
masyarakat yang ukurannya sangat ditentukan oleh derajat kemampuan
negara dalam menjamin hak pangan warga negara melalui sistem distribusi
produksi pangan yang dikembangkannya. Prinsip kemerataan pangan
mengamanatkan sistem pangan nasional harus mampu menjamin hak
pangan bagi setiap rumah tangga tanpa terkecuali.
 Keterjangkauan pangan mempresentasikan kesamaan derajat keleluasaan
akses dan kontrol yang dimiliki oleh setiap rumah tangga dalam memenuhi
hak pangan mereka. Prinsip ini merupakan salah satu dimensi keadilan
pangan yang penting untuk diperhatikan. Konsep ketahanan pangan seperti
disebut di atas, selanjutnya dapat diringkas kedalam aspek:
 Ketersediaan pangan: ketercukupan jumlah pangan (food sufficiency).
 Keamanan pangan (food safety): pangan yang bebas dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menganggu, merugikan
dan membahayakan keadaan manusia, serta terjamin mutunya (food
quality) yaitu memenuhi kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap
bahan makanan dan minuman.

6
 Kemerataan pangan: sistem distribusi pangan yang mendukung tersedianya
pangan setiap saat dan merata.
 Keterjangkauan pangan: kemudahan rumah tangga untuk memperoleh
pangan dengan harga yang terjangkau.

D. Sistem ketahanan Pangan


Terjadinya kerawanan pangan, disebabkan oleh tidak tercapainya target
ketersediaan pangan dan akses terhadap pangan bagi masyarakat. Hal ini menjadi
paradox, mengingat Indonesia memiliki lahan yang luas dan subur. Pembangunan
ketahanan pangan adalah mencapai ketahanan dalam bidang pangan dalam kondisi
terpenuhinya pangan bagi setiap individu/rumah tangga dari produksi pangan
nasional, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, jumlah dan mutu,
aman, merata dan terjangkau di seluruh wilayah Indonesia.
Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan pangan
dari aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan. Seperti banyak
diketahui, baik secara nasional maupun global, ketersediaan pangan yang
melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh
penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Konsep ketahanan pangan yang
luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahanan pangan yaitu tingkat kesejahteraan
manusia. Oleh karena itu, sasaran pertama Millenium Development Goals (MGDs)
bukanlah tercapainya produksi atau penyediaan pangan, tetapi menurunkan
kemiskinan dan kelaparan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. MDGs
menggunakan pendekatan dampak bukan masukan. Ketahanan pangan nasional
tidak mensyaratkan untuk melakukan swasembada produksi pangan karena
tergantung pada sumberdaya yang dimiliki. Suatu negara bisa menghasilkan dan
mengekspor komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan barang-barang
industri, kemudian membeli komoditas pangan di pasar internasional. Sebaliknya,
negara yang melakukan swasembada produksi pangan pada level nasional, namun
dijumpai masyarakatnya yang rawan pangan karena ada hambatan akses dan
distribusi pangan.
Ketersediaan pangan di sebuah negara amat ditentukan oleh kondisi iklim
yang kondusif. Musim kemarau yang berkepanjangan, bahaya banjir dan berbagai
bencana alam, kebakaran hutan, khususnya di wilayah-wilayah produksi tanaman
pangan, akan berdampak pada ketersediaan pangan. Persoalan ketahanan pangan
menjadi isu yang sangat krusial. Ketahanan pangan dewasa ini, sejak krisis
ekonomi hingga sekarang, kemampuan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan
sendiri kebutuhan pangan bagi penduduk terus menurun, Kenyataan yang ada
menunjukkan, bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi lebih dari 20 juta

7
jiwa, dalam periode 1997–2003, Indonesia harus mengimpor bahan pangan
diantaranya beras rata-rata 2 juta ton, kedelai 900 ribu ton, gula pasir 1,6 juta ton,
jagung 1 juta ton, akhir-akhir ini garam sebesar1,2 juta ton dan menghabiskan
devisa negara 900 juta dolar AS pada tahun 2003 (BPS, 2003; Lemlit UGM,
2009).

E. Kerawanan Pangan

Salah satu tujuan dalam kesepakatan global yang dituangkan dalam


Millenium Development Goals (MDG) adalah menurunkan angka kemiskinan atau
kelaparan setengahnya antara tahun 1990-2015. Masalah kelaparan dan
kekurangan gizi di Afrika dan Asia yang masih marak mendorong lembaga itu
membentuk inisiatif untuk secepatnya membantu negara-negara miskin
mengakhiri terjadinya kelaparan dan kurang gizi pada anak, atau Ending Child
Hunger and Under Nutrition Initiative (ECHUI) (Soekirman, 2007). Fenomena itu
makin mendorong lembaga gizi PBB mencari terobosan-terobosan baru dalam
mengatasi masalah gizi. Salah satu caranya, adalah menganjurkan negara-negara
berkembang lebih konsepsional dan menggunakan data ilmiah dalam menyusun
kebijakan dan program gizi.
Badan Ketahanan Pangan (BKP, 2013) mendefinisikan bahwa kerawanan
pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami daerah,
masyarakat atau rumah tangga, pada waktu tertentu untuk memenuhi standar
kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat. Sementara itu,
menurut Sumarmi (2014) bahwa istilah rawan pangan (food insecurity) merupakan
kondisi kebalikan dari “ketahanan pangan” (food security). Istilah ini sering
diperhalus dengan istilah terjadi penurunan ketahanan pangan, meskipun pada
dasarnya pengertiannya sama.
Terdapat dua jenis kondisi rawan pangan, yaitu yang bersifat kronis
(chronical food insecurity) dan yang bersifat sementara (transitory food
insecurity). Rawan pangan kronis adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk
memenuhi standar minimum kebutuhan pangan anggotanya pada periode yang
lama karena keterbatasan kepemilikan lahan, asset produktif, dan kekurangan
pendapatan (BKP, 2013). Sementara itu, rawan pangan transien (sementara)
adalah suatu keadaan rawan pangan yang bersifat mendadak dan sementara.
Kerawanan pangan sementara yang terjadi secara terus menerus dapat
menyebabkan menurunnya kualitas penghidupan rumah tangga, menurunnya daya
tahan, dan bahkan bisa berubah menjadi kerawanan pangan kronis. Sementara itu,
kerentanan terhadap kerawanan pangan mengacu pada suatu kondisi yang

8
membuat suatu masyarakat yang berisiko rawan pangan menjadi rawan pangan
(DKP dan WFP, 2009). Istilah rawan gizi (nutrition insecurity) merupakan kondisi
kebalikan dari ketahanan gizi (nutrition security). DKP dan WFP (2009)
mendefinisikan ketahanan gizi sebagai akses fisik, ekonomi, lingkungan, dan
sosial terhadap makanan seimbang, air layak minum, kesehatan lingkungan,
pelayanan kesehatan dasar, dan pendidikan dasar. Rawan gizi mencakup
kombinasi dari komponen pangan dan nonpangan. Dengan demikian, rawan gizi
cakupannya lebih luas dibanding rawan pangan.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Faktor sosial ekonomi yang berhubungan dengan ketahanan pangan rumah
tangga masyarakat baik di perkotaan maupun di pedesaan. Semakin besar
pengeluaran per kapita rumah tangga, maka semakin baik pula status ketahanan
pangan rumah tangganya. Faktor ekonomi terlihat berperan dalam memengaruhi
ketahanan pangan rumah tangga. Tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara tingkat pengetahuan ibu dan tingkat ekonomi keluarga dengan status gizi
balita. Balita merupakan kelompok usia yang paling menderita akibat kurang gizi
dan jumlahnya dalam populasi cukup besar. Kurang gizi pada balita dapat
berakibat gagal tumbuh kembang serta meningkatkan kesakitan dan kematian.
Permasalahan sehubungan dengan ketahanan pangan adalah penyediaan,
distribusi dan konsumsi pangan. Penyediaan dihadapkan pada semakin terbatas
dan menurunnya kapasitas produksi. Distribusi dihadapkan pada permasalahan
prasarana dsitribusi darat dan antar pulau, kelembagaan dan keamanan jalur
distribusi, serta bervariasinya kapasitas produksi antar wilayah dan antar musim.
Permasalahan konsumsi adalah belum terpenuhinya kebutuhan pangan, karena
belum tercukupinya konsumsi energy (meskipun konsumsi protein sudah
mencukupi), serta konsumsi energi yang sebagian besar dari padi-padian, dan bias
ke beras. Kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan rumah tangga untuk
memenuhi kebutuhan pokok minimum untuk bisa hidup dan bekerja secara normal
(Swastika, 2011). Sehingga dapat dikatakan bahwa kemiskinan identik dengan
rawan pangan.. Banyaknya balita yang mengalami kurang gizi dan gizi buruk
merupakan indikator rawan gizi, sedangkan gizi buruk dipengaruhi oleh banyak
faktor yang saling terkait. Penyebab hal tersebut adalah konsumsi makanan yang
tidak seimbang dan penyakit infeksi (akut) sebagai akibat tidak cukup persediaan
pangan dan pola asuh anak tidak memadai, serta sanitasi/ air bersih, dan pelayanan
kesehatan dasar tidak memadai (Kemenkes, 2013).

B. Saran
Oleh karena pendapatan per kapita berhubungan dengan status ketahanan
pangan rumah tangga, maka perlu dilakukan antisipasi terhadap penurunan drastis
pendapatan masyarakat pada saat musim sulit melalui pemberian pelatihan
keterampilan atau aktivitas ekonomi produktif kepada masyarakat sebagai
alternatif untuk memperoleh pendapatan.

10
DAFTAR PUSTAKA

https://www.neliti.com/publications/18858/hubungan-ketahanan-pangan-tingkat-
keluarga-dan-tingkat-kecukupan-zat-gizi-dengan

http://www.iptek.its.ac.id/index.php/jsh/article/view/633

http://journals.ums.ac.id/index.php/JEP/article/view/1028

http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-mgi7e9229f728full.pdf

http://repository.pertanian.go.id/handle/123456789/5213

11

Anda mungkin juga menyukai