Anda di halaman 1dari 6

Nama : Made Ayu Citra Putri Sani

NIM : 1804551427
Kelas :Z
Mata Kuliah : HAM Lanjutan
Discussion Task

Perkawinan Campuran akibat Perpindahan Penduduk (Migration)


Dalam Kaitannya dengan HAM
Aktivitas pariwisata, merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya migrasi. Semakin
terkenal suatu tempat sebagai destinasi wisata, maka akan banyak orang yang berkunjung dan
menetap di tempat tersebut. Indonesia pada umumnya dan Bali pada khususnya, dikenal sebagai
salah satu destinasi wisata tingkat dunia. Banyak Warga Negara Asing (WNA) yang merasa
betah untuk tinggal dan beraktivitas di Indonesia, hingga akhirnya memutuskan untuk bermigrasi
atau berpindah tempat tinggal di Indonesia. Perpindahan tersebut secara langsung maupun tidak
langsung membawa dampak terhadap hak-hak mereka baik di bidang sipil, ekonomi, sosial,
budaya.
Interaksi dengan penduduk lokal, seringkali berujung dengan terjadinya perkawinan
campuran antara WNA dengan Warga Negara Indonesia (WNI) yang sesungguhnya membawa
akibat hukum terhadap status hukum masing-masing pihak. Menurut Pasal 26 ayat (1) Undang-
Undang Nmor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, dalam hal terjadi perkawinan
campuran maka Perempuan Warga Negara Indonesia kehilangan Kewarganegaraan Republik
Indonesia, jika menurut hukum negara asal suaminya kewarganegaraan istri mengikuti
kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut. Apakah rumusan ketentuan
merupakan suatu pelanggaran HAM terhadap perempuan Indonesia yang melakukan perkawinan
campuran?
Literatur :
a. Wajib
- Universal Declaration on Human Rights
- Convention on the Nationality of Married Women (1957)
- International Covenant on Civil and Political Rights (1966), telah diratifikasi melalui
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
- Convention on the Elimination All Types of Discrimination Against Women (1979),
telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
b. Penunjang
- Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Bandung, Citra
Aditya Bakti, 2006.
- Frans H. Winarta, Jalan Panjang Menjadi WNI, Cetakan 1, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta, 2007.
- Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
Buana Ilmu Popular Kelompok Gramedia, Jakarta, 2007.
- Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Perdata Internasional, FHUII Press, Yogyakarta,
2007.
JAWABAN :
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita, yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia. Perkawinan campuran diatur didalam UU Perkawinan
yaitu pada Pasal 57 sampai dengan Pasal 62. Pengertian perkawinan campuran terdapat pada
Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Melaksanakan perkawinan
untuk membentuk sebuah keluarga dan memperoleh keturunan merupakan hak setiap orang.
Pasal 28 B Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Pasal 10
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa perkawinan
adalah merupakan salah satu bagian dari hak asasi yang dimiliki oleh manusia.
Hak-hak Perempuan perempuan adalan hak asasi manusia yang pengaturannya secara eksplisit
terdapat di dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 199
pada Pasal 46 sampai dengan Pasal 51. Dari pasal-pasal tersebut dapat diintisarikan mengenai
hak-hak perempuan di bidang dan pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan pengajaran,
tenagakerjaan, kewarganegaraan dalam ikatan dan putusnya perkawinan serta dalam melakukan
perbuatan hukum. Jika membahas tentang perkawinan campuran maka erat hubungannya dengan
hak-hak perempuan di bidang kewarganegaraan. Dengan menikahnya seorang perempuan
dengan pria yang berbeda kewarganegaraannya, sampai sejauh mana kewarganegaraan
perempuan tersebut dapat dipertahankan, juga sejauh mana perlindungan tentang hak-hak di
bidang kewarganegaraan untuk anak-anak dari hasil perkawinannya dengan WNA. Hal ini tidak
terlepas dari kajian hak asasi manusia.
Perlindungan Hak-hak Perempuan dalam Perkawinan Campuran
Mengenai hak-hak perempuan di dalam perkawinan campuran,khususnya di bidang
kewarganegaraan, diatur di dalam dokumen-dokumen internasional yang diantaranya:
 Universal Declaration of Human Right (DUHAM) Pasal 15, menyebutkan:
1. Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan;
2. Tidak seorang pun dengan semena-mendapat dikeluarkan dari kewarganegaraannya atau
ditolak haknya untuk mengganti kewarganegaraannya.
 CEDAW Pasal 9, menyebutkan:
1. Negara peserta harus memberikan kepada perempuan hak-hak yang sama kepada pria
untuk memperoleh, berganti atau mempertahankan kewarganegaraan mereka. Negara
harus menjamin bahwa baik perkawinan dengan seorang asing ataupun perubahan
kewarganegaraan dengan kewarga-negaraan suami selama perkawinan tidak secara
otomatis mengubah kewarganegaraan istri, yang membuat dia tidakberkewarganegaraan
atau memaksakan kepadanya kewarganegaraan suami.
2. Negara peserta harus memberikan kepada perempuan hak-hak yang sama dengan pria
dalam kewarganegaraan anak-anaknya.
Perlindungan hak asasi manusia pada dasarnya dimaksudkan untuk melindungi hak-hak seluruh
manusia baik laki-laki maupun perempuan. Tuban menciptakan perempuan dan laki-laki dalam
posisi setara. Oleh karena itu, hak-hak perempuan adalah hak-hak fundamentai manusia yang
merupakan karunia Tuhan. Dalam Pasal 2 Deklarasi PBB tentang Hak Asasi manusia disebutkan
bahwa:
"Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dinyatakan dalam deklarasi
ini, dengan tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, pendapat politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan, bangsa atau sosial,
harta milik, status kelahiran atau status lain. Selanjutnya, tidak boleh dilakukan
pembedaan atas dasar status politik, status yurisdiksi atau status internasional negara
atau wilayah tempat seseorang termasuk di dalamnya, apakah wilayah itu merdeka,
perwalian, tidak berpemerintahan sendiri atau di bawah pembatasan kedaulatan lain
apapun.”
Prinsip non-diskriminasi adalah konsep sentral dalam hak asasi manusia. Prinsip tersebut
dapat ditemukan dalam setiap instrumen umum hak asasi manusia, tetapi ada beberapa
perbedaan dalam alasan-alasan diskriminasi yang dilarang. Beberapa bentuk khusus diskriminasi
seperti diskriminasi rasial dan diskriminasi terhadap wanita merupakan materi pokok perjanjian-
perjanjian intemasional tersendini. Diskriminasi terhadap perempuan berarti pembedaan,
pengesampingan atau pelarangan apapun, yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai
akibat atau tujuan mengurangi atau oleh meniadakan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan
perempuan dengan mengabaikan status perkawinan mereka atas dasar persamaan laki-laki dan
perempuan atas dasar hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar di bidang politik,
ekonomi, sosial budaya, sipil atau bidang lain apapun.
Pada 1967, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Deklarasi mengenai
Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban
berdasarkan persamaan hak dengan pria dan menyatakan agar diambil langkah-langkah
seperlunya untuk menjamin pelaksanaan Deklarasi tersebut. Oleh karena Deklarasi itu tidak
bersifat mengikat, maka Komisi Perserikaian Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan Wanita,
berdasarkan Deklarasi tersebut, menyusun rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Pada tanggal 18 Desember Tahun 1979 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah
menyetujui Konvensi tersebut. Karena ketentuan Konvensi pada dasarnya tidak bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Pemerintah Republik Indonesia dalam
Konferensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Wanita di Kopenhagen pada
tanggal 29 Juli 1980 telah menandatangani Konvensi tersebut.
Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia tersebut merupakan wujud partisipasinya
dalam usaha-usaha internasional untuk menghapuskan perempuan karena Konvensi tersebut
sesuai dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa
semua warga negara berkedudukan sama di dalam hukum dan pemerintahan. Guna melindungi
dan menegakkan hak-hak perempuan, pada 1984, Pemerintah Republik Indonesia telah
mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(Convention on the Elimination of All From of Discrimination Againt Women CEDAW).
Perkawinan tidak dapat dipaksakan, hanya dapat berlangsung atas kehendak kedua calon
mempelai dan harus sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Jika dianalisi
kembali ketentuan pada pasal 26 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan adalah :
Ayat (1) : “Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing
kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya,
kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut”.
Ayat (2) : “Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara
asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya,
kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut”.
Ayat (3) : “Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan
surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia
yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan
tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda”.
Ayat (4) : “Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan oleh
perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung”.
Jika kita melihat ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan ayat (3) UU Kewarganegaraan, dapat diketahui
bahwa apabila hukum negara asal si suami memberikan kewarganegaraan kepada pasangannya
akibat perkawinan campuran, maka istri yang WNI dapat kehilangan kewarganegaraan
Indonesia, kecuali jika dia mengajukan pernyataan untuk tetap menjadi WNI.
Dari ketentuan tersebut, seorang wanita ataupun laki – laki Warga Negara Indonesia akan
kehilangan status kewarganegaraan jika menikah dengan suami/istri Warga Negara Asing jika
akibat perkawinan campuran tersebut Istri/Suami WNI harus mengikuti kewarganagaraan
pasangannya tersebut. Hal ini sejalan dengan asas kesatuan atau kesamaan hukum dimana
pasangan suami atau istri tunduk akan satu sistem hukum. Dalam ketentuan pasal 26 Undang –
Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan juga telah diberikan kemudahan agar
istri/suami WNI yang melakukan perkawinan campuran tetap dengan warga negara Indonesia
dengan ketentuan yang telah diatur diatas, dalam hal ini pada Undang – Undang Nomor 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan mengakui asas persamaan derajat, yang dimana suatu
perkawinan campuran tidak menyebabkan berubahnya kewarganegaraan masing – masing pihak.
Atau dengan kata lain masing – masing pihak bisa tetap dengan kewarganegarannya tersebut.
Dari analisis diatas, ketentuan pasal 26 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan, tidaklah melanggar HAM, baik secara khusus kepada perempuan indonesia,
maupun secara umum kepada warga negara indonesia. Hal itu sejalan dengan asas kesatuan atau
kesamaan hukum dan asas persamaan derajat .
Asas kesatuan hukum adalah asas yang mengkehendaki bila terjadi perkawinan campuran
maka salah satu pihak harus mengikuti status hukum pihak lainnya sehingga terjadi kesatuan
hukum antara keduanya. Asas ini tidaklah melanggar HAM karena asas ini tidaklah bermaksud
untuk mendiskriminasi salah satu pihak atau menguntungkan salah satu pihak, tetapi asas ini
membantu agar terciptanya keharmonisan didalam keluarga melalui menyatukan hukum dari
kedua belah pihak. Dengan kesatuan hukum ini maka diantara orang yang melaksanakan
perkawinan campuran tersebut akhirnya tidak akan terdapat perbedaan yang dapat mengganggu
keutuhan, kesejahteraan, dan kesatuan keluarganya. Karena dengan kesatuan hukum yang
artinya tunduk pada hukum yang sama pasangan suami istri tersebut tidak perlu lagi merasa
kesulitan dalam melaksanakan hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara. Keduanya
mempunyai hak dan kewajiban yang sama baik publik maupun privat. Asas kesatuan hukum ini
pun nantinya akan berpengaruh positif pada masalah keperdataan misalnya masalah pengaturan
harta kekayaan, status anak, dan lain-lain. Tidak akan muncul kesulitan yang timbul karena
perbedaan kewarganegaraan dan perbedaan hukum. Karena itu akan baik dan bahagia sebuah
rumah tangga jika dalam keluarga tersebut memiliki kewarganegaraan yang sama yang secara
otomatis tunduk pada satu hukum yang sama.
Asas persamaan derajat terdapat pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 mengatakan “warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga Negara indonesia
dapat memperoleh kewarganegaraan republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan
menjadi warga Negara di hadapan pejabat”. Karena pada ketentuan itu Warga Negara Indonesia
diberikan kemudahan untuk memilih apakah tetap menjadi WNI atau mengikuti
kewarganegaraan pasangannya tersebut sesuai dengan ketentuan undang – undang. Jadi pada
rumusan ketentuan tersebut tidaklah melanggar Hak Asasi Manusia.

Anda mungkin juga menyukai