Oleh:
MUHAMMAD ADY PRABOWO, S.KH
NIM 200130102011002
i
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
LABORATORIUM KESMAVET PERIODE 2021
GELOMBANG IX KELOMPOK 4
PENGUJIAN PRODUK HEWAN : DAGING SAPI, BAKSO SAPI, SUSU SAPI, ES KRIM,
TELUR AYAM KAMPUNG, DAN TEPUNG TELUR
Oleh:
MUHAMMAD ADY PRABOWO, S.KH
NIM : 200130102011002
Menyetujui
Pembimbing Penguji
Mengetahui
Koordinator Rotasi Kesmavet
Mengetahui,
Ketua Program Studi Profesi Dokter Hewan
Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya
Penulis
iii
DAFTAR ISI
COVER ............................................................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ vi
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................ 1
1.3 Tujuan ................................................................................................................... 1
1.4 Manfaat ................................................................................................................. 1
BAB II METODE ............................................................................................................. 2
2.1 Pengujian di Produk Raw Susu Sapi .................................................................. 2
2.2 Pengujian Produk Es Krim ................................................................................. 6
2.3 Pengujian Produk Daging Sapi ........................................................................... 7
2.4 Pengujian Produk Bakso Sapi ............................................................................ 13
2.5 Pengujian Produk Telur Ayam Kampung ......................................................... 15
2.6 Pengujian Produk Tepung Telur ........................................................................ 18
BAB III PEMBAHASAN ................................................................................................ 21
3.1 Produk Raw Susu Sapi ........................................................................................ 21
3.2 Produk Es Krim ................................................................................................... 24
3.3 Produk Daging Sapi ............................................................................................. 26
3.4 Produk Bakso Sapi ............................................................................................... 28
3.5 Produk Telur Ayam Kampung ........................................................................... 31
3.6 Produk Tepung Telur .......................................................................................... 33
BAB IV PENUTUP .......................................................................................................... 35
4.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 35
4.2 Saran .................................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 36
Lampiran .......................................................................................................................... 38
iv
DAFTAR TABEL
3.1 Tabel hasil pengujian susu sapi ................................................................................ 21
3.2 Tabel hasil pengujian es krim ................................................................................... 24
3.3 Tabel hasil pengujian daging sapi ............................................................................ 26
3.4 Tabel hasil pengujian bakso sapi .............................................................................. 29
3.5 Tabel hasil pengujian telur ayam kampung ............................................................ 31
3.6 Tabel hasil pengujian tepung telur ........................................................................... 33
v
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR SINGKATAN
vii
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Tujuan dari pengujian kualitas daging sapi adalah untuk mengetahui kelayakan konsumsi dan
kesesuaian hasil pengujian daging sapi sebagai bahan pangan asal hewan layak konsumsi dan masuk
dalam kriteria ASUH dan sesuai dengan standar mutu SNI yang berlaku.
1.4 Manfaat
Mahasiswa PPDH dapat mengetahui dan memahami prosedur uji yang dilakukan terhadap
daging sapi serta mampu memutuskan mutu dan kualitas sampel sehingga dinyatakan ASUH untuk
konsumsi masyarakat untuk menjamin keamanan atas sumber makanan asal hewan.
1
BAB II METODE
2.1 Pengujian di Susu Sapi
2.1.2 Uji pH
Pemeriksaan nilai pH menggunakan pH meter yang berfungsi mengukur potensial listrik yang
muncul pada elektroda. Potensial listrik yang muncul dipengaruhi oleh konsentrasi atas keberadaan
ion-ion hidrogen yang dimiliki oleh sampel diperiksa. Angka hasil pengukuran akan muncul pada
layar yang dimiliki oleh pH meter.
Peralatan dan bahan yang digunakan pada uji ini meliputi pH meter, gelas ukur, gelas elektroda,
sampel susu, tisu, air suling, dan larutan standar pH sebagai kontrol. Prosedur pemeriksaan nilai pH
dapat dilihat pada rangkaian kegiatan sebagai berikut:
1. Dilaksanakan proses kalibrasi terhadap pH meter pada kontrol yaitu larutan standar dengan
pH 4,0 dan pH 7,0
2. Dilakukan pembersihan gelas elektroda menggunakan air suling dan dikeringakan sisa air
suling menggunakan tisu
3. Dilakukan pengukuran nilai pH pada sampel susu. Pemeriksaan ini menggunakan pH meter
yang praktis digunakan.
4. Dilakukan pengukuran menggunakan pH strip apabila tidak ada pH meter dan disesuaikan
dengan standar indikator.
Interpretasi pemeriksaan ini yaitu hasil konstan nilai pH yang didapatkan setelah penempelan
pH meter pada sampel.
10
1. Dilakukan penimbangan 25 gram sampel daging dan dipertahankan lingkungan sekitarnya
aseptis. Daging tersebut dimasukkan pada labu erlemenyer yang terisi dengan 225 ml media
BPW 0,1% yang dihomogenkan untuk mendapatkan pengenceran 10-1
2. Dilakukan pemberian kurang lebih 1 ml hasil pengenceran 10-1 menuju ke tabung reaksi
berikutnya yang diisi 9 mL larutan BPW 0,1% sebelumnya. Pemberian tersebut akan
menghasilkan pengenceran sampel daging dengan tingkat pengenceran 10-2, prosedur ini
dilanjutkan hingga mendapat pengenceran 10-7;
3. Dilakukan pemberian 1 mL pengenceran dari media BPW dari larutan yang merupakan
pengenceran 10-5,10-6 serta 10-7 menuju cawan petri steril yang telah disiapkan sebelumnya
dan ditambahkan dengan media tanam PCA
4. Dilakukan perataan sampel dengan melakukan gerakan pada media seperti bentuk angka 8
dan dibiarkan sampai media memadat.
5. Dilakukan inkubasi pada hasil inokulasi pada cawan petri yang diposisikan terbalik pada
inkubator selama 24 hingga 36 jam pada suhu inkubasi 37oC
Hasil penghitungan Total Plate Count sampel daging akan menunjukkan hasil mengenai jumlah
bakteri pada daging yang dapat diperiksa menggunakan rumus:
Total Plate Count (koloni/g) = N x F
N : koloni pada satu pengenceran
F : faktor pengenceran koloni rata-rata
11
2.3.11 Uji Cemaran Salmonella sp
Pemeriksaan mikrobiologi ini merupakan protokol untuk mengetahui keberadaan Salmonella
sp. yang mencemari bahan makanan. Pemeriksaan mikrobiologi ini menggunakan media SSA
(Salmonella Shigella Agar) yang dibiakkan pada suhu 37oC dengan durasi inkubasi 24-36 jam. Koloni
bakteri Salmonella sp. cenderung berwarna transparan dengan bintik hitam.
Pemeriksaan ini membutuhkan alat serta bahan meliputi media Salmonella Agar (SSA), cawan
petri, ose bulat, bunsen burner, dan sampel daging. Pemeriksaan cemaran Salmonella sp. dapat
dilakukan melalui cara yang tertera sebagai berikut:
1. Dilakukan pengambilan sampel inokulum dari pengenceran 10-1 sampel daging
2. Dilakukan penanaman metode streak menggunakan ose bulat di media Salmonella Shigella
Agara (SSA).
3. Dilakukan inkubasi cawan petri yang sudah ditanami dengan sampel yang diinkubasi
dengan lama 24-36 jam di suhu inkubasi 370C.
4. Dilakukan pengamatan koloni-koloni pada Salmonella Shigella Agar (SSA).
Interpretasi pengujian mikrobiologi ini dilakukan dengan mengamati keberadaan bakteri
Salmonella dengan cara mencari koloni yang membentuk warna hitam dengan tepian transparan.
Pemeriksaan ini menggunakan alat dan bahan meliputi media Eosin Methylene Blue Agar
(EMBA), cawan petri, ose bulat, bunsen burner, dan sampel daging. Pemeriksaan cemaran E. coli
dapat dilakukan melalui metode yang tertera sebagai berikut:
1. Dilakukan pengambilan sampel inokulum dari pengenceran 10-1 sampel daging
2. Dilakukan penanaman metode streak menggunakan ose bulat di media Eosin Methylene
Blue Agar (EMBA).
3. Dilakukan inkubasi cawan petri yang sudah ditanami dengan sampel yang diinkubasi
selama 24 jam pada suhu inkubasi 370C.
4. Dilakukan pengamatan koloni-koloni yang tumbuh media Eosin Methylene Blue Agar
(EMBA).
Interpretasi pada pengujian mikrobiologi ini dilakukan dengan mengamati keadaan bakteri E.
coli dengan cara mencari koloni khas. Koloni berdiameter 2-3 mm disertai kesan hijau metalik
menjadi acuan pencarian. Koloni cenderung terlihat gelap di bagian sentral koloni disertai kesan
mengkilat.
Keterangan :
W : bobot pre-oven (gram)
Wi: bobot pasca-oven (gram)
14
2.4.8 Uji Cemaran Escherichia coli
Uji Cemaran Escherichia coli pada sampel bakso memiliki prinsip, langkah kerja dan
interpretasi yang sama dengan uji Cemaran Escherichia coli pada daging sapi pada 2.3.11. yang
membedakan hanya sampel yang digunakan adalah sampel dari bakso daging sapi.
15
2.5.5 Pemeriksaan Putih dan Kuning Telur
Pemeriksaan kualitas telur ditinjau dari kondisi kenampakan telur pada bagian luar dan dalam
telur. Aspek pemeriksaan mencakup kebersihan putih telur dan kuning telur, kondisi kekentalan putih
telur, posisi kuning telur, kekuatan membran vitelline bentuk putih telur dan kuning telur, dan
kebersihan kuning telur. Pengujian ini dilakukan dengan kasat mata sehingga kemampuan panelis
menentukan dan mempengaruhi penentuan kualitas telur. Pemeriksaan kualitas bagian dalam telur
membutuhkan beberapa perlengkapan dan bahan sebagai berikut meliputi sampel telur bebek, cawan
petri atau tempat penampung yang datar, serta alkohol 70%.
Prosedur pemeriksaan kualitas mutu telur bagian dalam diawali dengan pembersihan yang
dilanjutkan dengna disinfeksi menggunakan alkohol 70% pada ujung lancip telur. Dilakukan
pembukaan pada bagian lancip telur dan dilakukan penuangan isi telur pada tempat penampung.
Dilakukan pengamatan kebersihan serta konsistensi bagian putih dan kuning telur disertai pengukuran
bentuk serta posisi. Dilakukan dokumentasi pada hasil pengamatan dan mencatat semua hasil
pengukuran yang dilakukan. Telur yang bermutu bagus diketahui dari terjaganya kebersihan telur,
konsistensi telur tidak encer, kondisi putih telur bersih, bentuk, posisi normal, dan kebersihan kuning
telur
Keterangan: a= Ketinggian Kuning Telur (mm) b = Diameter Hasil Rataan Dari Putih Telur Tebal
(mm) = (b1+b2)/2
Kesegaran telur ditinjau dari putih telur yakni pada telur yang memiliki albumin index dengan kisaran
normal pada 0,090-0,120 dan pada telur baru yakni antara 0,050 sampai 0,174.
Keterangan:
HU= Haugh Unit;
H= Ketinggian Putih Telur (mm);
W= Bobot Telur (gram).
Nilai HU yang tinggi menunjukkan makin tinggi kualitas telur. Nilai HU terbagi menjadi 4 penilaia
yakni AA,A,B, dan C. Nilai HU grade AA lebih dari 72 HU dan pada kualitas A masih berkisar
antara 61 – 72 HU yang tergolong kualitas baik. Kualitas telur yang kurang baik yakni B dengan
kisaran HU 31-60 dan C yakni kurang dari <31.
19
2.6.6 Uji Cemaran Escherichia coli
Uji cemaran Escherichia coli pada sampel olahan telur memiliki prinsip, langkah kerja dan
interpretasi yang sama dengan uji cemaran Escherichia coli pada susu pada 2.1.13. namun yang
membedakan hanya sampel yang digunakan adalah sampel olahan produk telur yaitu tepung telur.
20
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Produk Susu Sapi
3.2.1 Hasil Pemeriksaan
Tabel 3.1. Hasil pengujian susu sapi
pH 5,6
Uji kebersihan Bersih
Uji alkohol +
Uji didih +
Berat jenis 1,034
3. Uji breed (sel/ml) 1,2 x 106
4. Kimia
CMT ++
Soxhlet Henkel 8
Kadar lemak (%) 3
Formalin -
5. Mikrobiologi
21
Pada pemeriksaan organoleptik menunjukkan bahwa kondisi susu sapi apabila ditinjau dari
adanya warna putih, bau khas susu sapi, rasa khas dan memiliki konsistensi yang normal yakni tidak
kental. Sampel susu sapi bersih dan tidak ada kotoran yang terlihat. Mengacu pada SNI 3141.1:2011
yang membahas mengenai kondisi organoleptik susu yakni warna putih, aroma khas susu sapi, rasa
khas susu, tidak menggumpal dan kental, serta bersih dari kotoran, didapatkan hasil berupa susu yang
memenuhi syarat mutu.
Rasa susu normal yang dapat dideskripsikan sebagai rasa khas yang memiliki rasa manis yang
tidak signifikan. Hal ini disebabkan karena susu mengandung laktosa yang merupakan salah satu
bentuk gula. Kandungan laktosa selaras dengan rasa manis, dimana rasa susu juga terpengaruh atas
kadar garam yang dimiliki susu. Bau susu memiliki bau susu yang khas namun akan memudar. Untuk
warna susu yaitu warna putih pucat. Warna susu sudah sesuai dengan SNI 3141.1:2011 dimana tidak
terjadi perubahan dari awal susu diperah. Warna pada susu disebabkan oleh kandungan kasein ( Gusti
dan Kadek, 2013).
Pemeriksaan fisik susu dapat ditinjau dari beberapa pengujian meliputi uji pH, uji kebersihan,
uji alkohol, uji didih dan berat jenis. Pengujian pH menggunakan pH meter menunjukkan angka 5,6.
Pembentukan keasaman susu akibat adanya aktivitas bakteri yang pemecah gula susu yang
menghasilkan asam laktat. Susu segar menunjukkan pH sekitar 6,5-6,7. Nilai pH kurang dari 6,5 dapat
diasumsikan bahwa susu tersebut merupakan kolostrum atau susu dengan bakteri berlebih dan
sebaliknya lebih dari 6,7 dapat mengindikasikan terjadinya mastitis (Fauzan, 2011). Syarat yang
diberikan oleh SNI yakni susu memiliki rentang 6,3 hingga 6,8 dan hasil pemeriksaan menunjukkan
pH 5,6 yang tidak memenuhi syarat. Nilai pH yang tidak dalam rentang normal mengindikasikan
bahwa kondisi susu tidak normal dan mengindikasikan bahwa susu tercemar bakteri sehingga susu
dinyatakan tidak layak untuk dikonsumsi. Untuk pengujian kebersihan susu dapat diamati dimana
tidak terdapat kotoran atau benda asing pada susu tersebut.
Pada pengujian fisik susu yang dilakukan yaitu pemeriksaan titik didih susu menunjukkan hasil
positif. Menurut SK Dirjen Peternakan Departemen Pertanian No 17 tahun 1983, susu yang beredar
harus memenuhi persyaratan kualitas yaitu uji didih adalah negatif sehingga sampel susu tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dan tidak layak dikonsumsi. Untuk uji alkohol susu didapatkan hasil
positif. Hasil ini tidak sesuai dengan Badan Standar Nasional Indonesia (2011) dimana pengujian
alkohol pada susu diwajibkan negatif. Soeparno dkk (2011) menjelaskan bahwa penyebab keasaman
susu yang tinggi akan mempengaruhi hasil pecahnya susu pada uji didih dan uji alkohol sehingga
kedua uji tersebut menjadi indikator keasaman susu. Kestabilan kasein menurun pada kondisi asam
sehingga mengakibatkan terjadinya pemecahan susu pada proses pemanasan. Daya dehidrasi alkohol
dapat menyebabkan ion H+ dari ikatan air pada protein akan terlepas sehingga terjadi perlekatan antar
protein. Pemeriksaan alkohol memiliki tujuan mengetahui tingkat keasaman susu, dimana 0,21%
22
keasaman pada susu akan menyebabkan koagulasi ketika alkohol 70% ditambahkan. Susu dengan
hasil positif menandakan tidak layaknya susu untuk dikonsumsi.
Pada pengukuran berat jenis susu didapatkan hasil 1,034 g/ml. Menurut Badan Standar Nasional
Indonesia (2011) berat jenis susu yang memenuhi standar persyaratan mutu adalah 1,027 g/ml
sehingga dapat ditarik kesimpulan yaitu susu belum memenuhi standar yang berlaku. Perubahan pada
berat jenis dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti perubahan pada kondisi lemat dan adanya gas
yang timbul di dalam air susu. Hali tersebut dapat menyebabkan kandungan dalam susu berubah
dimana terdapat penambahan senyawa didalam susu sehingga berat jenis susu akan meningkat
(Anindita dan Soyi, 2017).
Pada pemeriksaan jumlah sel somatis dengan menggunakan metode breed didapatkan hasil
yaitu 1,2 x 106 sel/ml. Hasil pemeriksaan jumlah sel somatis pada sampel susu tidak memenuhi
standar yang berlaku di Indonesia dimana menurut Badan Standar Nasional Indonesia (2011) jumlah
sel somatis maksimum pada susu adalah 4 x 105 sel/ml. Menurut Schroeder (2012) peningkatan
jumlah sel somatis dapat menyebabkan penurunan kadar laktosa . Hal ini sesuai dengan pemeriksaan
organoleptik sampel susu yang telah dilakukan dimana bau susu khas namun agak memudar.
Peningkatan jumlah sel somatik dalam susu sejalan dengan tingkat mastitis subklinis yang diderita
ternak karena pada dasarnya sel somatik merupakan upaya untuk memperbaiki infeksi ambing (Putra,
2017).
Pada pemeriksaan mastitis menggunakan California Mastitis Test (CMT) menunjukkan hasil
positif (++). Hasil tersebut menandakan susu positif mastitis. Susu mastitis tidak layak untuk
dikonsumsi karena telah mengalami penurunan kualitas susu yaitu rusaknya nurien susu (Utami dkk.,
2014). Pemenuhan kaidah sehat pada ASUH tidak terpenuhi karena nutrisi yang dikandung susu
mastitis telah mengalami perubahan nutrisi yang digunakan oleh bakteri. Kaidah Halal tidak dipenuhi
pada susu mastitis, dikarenakan ketentuan halal harus memiliki manfaat bagi tubuh dalam hal positif.
Pada pemeriksaan derajat keasaman susu dengan menggunakan metode titrasi Soxhlet Henkel
menunjukkan hasil 8 oSH. Hasil tersebut tidak sesuai dengan standar yang berlaku dimana menurut
Badan Standar Nasional Indonesia (2011) batas standar derajat keasaman susu antara 6,0 – 7,5 oSH.
Tingginya derajat keasaman susu kemungkinan terjadinya kontaminasi dari luar sera kondisi susu dan
pengaruh lingkungan. Kontaminasi dari luar seperti prosess pemerahan susu yang tidak hygienis
maupun wadah susu yang tidak steril.
Hasil pemeriksaan kadar lemak menunjukkan bahwa kadar lemak susu hasil 3 %. Menurut
Badan Standar Nasional Indonesia (2011), kadar lemak minimum pada susu adalah 3%. Berdasarkan
standar tersebut, sampel susu telah memenuhi standar nasional Indonesia. Kadar lemak dalam jumlah
besar dapat menimbulkan penambahan peningkatan berat jenis yang dikandung susu. Pengaruh utama
yang dapat mempengaruhi berat jenis susu mencakup usia hewan dan asupan makanan yang
dikonsumsi. Untuk pemeriksaan pengawet formalin pada susu didapatkan hasil yang negatif.
Penggunaan pengawet formalin pada susu dapat menyebabkan gangguan pada tubuh konsumen
apabila dikonsumsi.
Pada pemeriksaan mikrobiologi yaitu TPC didapatkan hasil 2,3 x 106 cfu/ml. Menurut Badan
Standar Nasional Indonesia (2011), jumlah cemaran mikroba maksimum pada susu adalah 1 x 10 6
cfu/ml. Dari pemeriksaan TPC dapat ditarik kesimpulan bahwa jumlah cemaran mikroba maksimum
pada sampe susu sapi melewati batas maksimum cemaran mikroba yang diperbolehkan. Tingginya
jumlah cemaran mikroba tersebut dapat mengindikasikan terjadinya pencemaran dari bakteri saluran
cerna, kontaminan dari lingkungan, cemaran pada peralatan, atau kontaminasi silang dari pihak
pemerah. Cemaran bakteri yang melebihi batas mutu pada susu yang diperiksa diduga berasal dari
proses pemerahan belum menerapkan pemerahan aseptis secara penuh atau karena kontaminasi pada
ambing saat mencuci sebelum pemerahan. Faktor pendukung pencemaran lain meliputi kebersihan
pemerah dan alat-alat terkait proses pemerahan seperti milk can dan tingkat kebersihan lingkungan
pemerahan.
Pada pemeriksaan mikrobiologi Coliform count didapatkan hasil 1 x 103 cfu/ml. Angka tersebut
masih berada pada batas maksimum cemaran bakteri pada standar mutu susu yang berlaku di
23
Indonesia dimana menurut Menurut Badan Standar Nasional Indonesia (2011) batas maksimum
cemaran bakteri coliform atau Enterobacteriaceae adalah 1 x 103 cfu/ml. Berdasarkan hasil tersebut
susu yang diperiksa memenuhi standar yang berlaku namun tetap tidak layak untuk dikonsumsi
apabila diamati dari hasil pemeriksaan TPC yang sebelumnya telah dilakukan.
Pemeriksaan mikrobiologi Salmonella sp dan Escherichia coli dilakukan dengan metode isolasi
menggunakan SS agar (Salmonella Shigella) dan EMB agar (Eosin Methylene Blue). Pada
pemeriksaan menggunakan metode SS agar didapatkan hasil negatif sedangkan pada metode EMB
agar didapatkan hasil positif. Menurut Badan Standar Nasional Indonesia (2000), batas maksimum
cemaran mikroba pada susu khususnya Salmonella sp dan Escherichia coli adalah 0. Hal tersebut
berarti susu segar wajib bebas dari bakteri Salmonella sp dan Escherichia coli. Meskipun sampel susu
yang diperiksa bebas dari bakteri Salmonella sp, sampel susu tetap dinyatakan tidak layak untuk
konsumsi karena positif terkontaminasi bakteri Escherichia coli. Bakteri Escherichia coli merupakan
salah satu bakteri yang menjadi sumber kontaminan pada susu. Bakteri ini dapat menyebabkan diare
apabila dikonsumsi oleh manusia. Ada cemaran Escherichia coli pada susu mengindikasikan adanya
kontaminasi feses sapi selama penanganan susu seperti lingkungan kendang, peralatan perah sapi dan
tangan pemerah yang tidak hygienis (Yogha dkk., 2019).
Pada pemeriksaan residu antibiotik dengan disc control ampicillin didapatkan hasil yaitu <5
mm. Hasil tersebut menandakan negatif mengandung antibiotik dimana apabila hasil/zona hambatan
> 12 mm sampel dianggap positif mengandung antibiotik. Hasil yang didapatkan khususnya residu
antibiotik sudah memenuhi persyaratan mutu susu dimana susu diwajibkan tidak mengandung residu
antibiotik (BSN, 2011).
3.2 Es Krim
3.2.1 Es Krim
Identitas sampel es krim komersial yang diuji dalam pengujian ini adalah sebagai berikut:
Sampel : WALL’S Ice Cream Black Forest Cake
Tempat pembelian : Indomaret Kota Maros
Tanggal pembelian : 4 April 2021
Tanggal pengujian : 4 April 2021
Warna Coklat
Bau Bau coklat
Tekstur Kenyal
2. Kimia
Pengawet formalin -
3. Mikrobiologi
24
Gambar 3.2 Sampel Es Krim (Sumber: dokumentasi pribadi)
3.2.3 Pembahasan Hasil Pemeriksaan
Es krim merupakan campuran yang homogen yang mengalami pendinginan dan pemasukkan
udara sehingga terbentuk suatu struktur yang seragam dengan kekentalan tertentu. Es krim dibuat
dari bahan-bahan yang terdiri atas lemak, susu, gula atau bahan pemanis, bahan padat bukan lemak,
zat penstabil dan kuning telur. Syarat mutu untuk es krim yang baik yaitu mengandung lemak
minimal 10%, gula minimal 12%, BPTL minimal 9%, dan air minimal 55% (Achmad dkk., 2012).
Sampel produk olahan susu yaitu es krim yang diperiksa disesuaikan dengan SNI 01-3713-1995
mengenai es krim. Pada sampel es krim dapat ditemukan komposisi pada kemasannya yaitu air gula,
sirup glukosa, padatan susu (susu skim bubuk, bubuk whey, buttermilk bubuk, konsentrat whey
protein), minyak nabati, kakao bubuk, puree stroberi, penstabil nabati, pengemulsi nabati, perisa
sintetik coklat, pewarna.
Pemeriksaan organoleptik pada es krim didapatkan hasil yaitu warna es krim coklat, rasa gurih,
bau khas susu dan coklat serta tekstur yang kenyal. Dari pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan
bahwa kondisi fisik es krim dalam kondisi yang normal tanpa mengalami perubahan apapun. Faktor-
faktor yang mempengaruhi kualitas dari es krim antara lain lemak susu, bahan kering tanpa lemak,
bahan pemanis, bahan penstabil, bahan pengemulsi, aging, dan homogenisasi.
Pada pemeriksaan kimia yaitu pengawet formalin didapatkan hasil negatif. Berdasarkan hasil
pemeriksaan formalin yang negatif menunjukkan bahwa es krim memenuhi persyaratan layak
konsumsi dikarenakan formalin memiliki efek yang berbahaya terhadap tubuh. Formadehid
merupakan gas tidak berwarna dan mudah terbakar dengan bau tajam serta dapat larut dalam air,
alkohol, dietil eter, aseton dimana formalin merupakan larutan yang paling umum diketahui. Zat ini
dapat menyebabkan muntah, diare, rasa sakit pada perut dan pada dosis yang besar dapat
menurunkan suhu tubuh, sesak napas, pulsus irregular yang lemah dan kebutaan (Hossain et all.,
2016).
Pada pemeriksaan mikrobiologi yaitu TPC didapatkan hasil 6 x 105 cfu/gr. Hasil tersebut jauh
diatas batas maksimum yang telah ditetapkan yaitu 2 x 105 cfu/gr (BSN, 1995). Tingginya jumlah
cemaran mikroba pada sampel es krim mengindikasikan ada kontaminasi dari lingkungan seperti
pada tempat produksi atau pabrik es krim. Faktor pencemaran seperti kebersihan pekerja di pabrik
25
produsen es krim, alat-alat yang terkait dengan proses produksi es krim. Salah satu solusi yang dapat
diterapkan untuk mengurangi resiko pencemaran yaitu memperbaiki system HACCP. Selain itu
dapat dilakukan pelatihan pekerja pada pabrik/produsen es krim sehingga dapat menerapkan SOP
yang lebih baik. Selain itu kontaminasi juga dapat berasal dari tempat penyimpanan yang kurang
hygienis seperti pada saat transportasi/distribusi.
Pada pemeriksaan mikrobiologi bakteri coliform menggunakan metode MPN pada sampel es
krim didapatkan hasil 3 (coliform) APM/gr. Hasil tersebut belum memenuhi standar yang berlaku
dimana bakteri coliform harus < 3 APM/gr (BSN, 2009). Keberadaan bakteri coliform ini digunakan
sebagai indikator apakah produk bebas dari kotoran serta kondisi sanitasinya (Retnaningsih dkk.,
2018). Kontaminasi bakteri coliform yang melebihi batasan normal dapat disebabkan oleh beberapa
faktor seperti proses pembuatan termasuk peralatan produksi yang kurang hygienis, tempat
penjualan serta penanganan yang kurang hygienis. Produk belum bisa dikatakan ASUH dikarenakan
belum memenuhi persyaratan mengenai bakteri pencemar (coliform) yang ada pada produk tersebut.
Pemeriksaan mikrobiologi Salmonella sp dan Escherichia coli dilakukan dengan metode isolasi
menggunakan SS agar (Salmonella Shigella) dan EMB agar (Eosin Methylene Blue). Pada kedua
pemeriksaan tersebut didapatkan hasil negatif. Kedua hasil tersebut sudah memenuhi standar yang
berlaku dimana Salmonella sp dan Escherischia coli wajib negatif pada produk es krim (BSN, 2009).
Selain itu pada pemeriksaan yeast dan mold pada sampel es krim menunjukkan hasil negatif. Yeast
merupakan kontaminan utama pada produk olahan susu yang dapat menyebabkan kembung dan
perubahan pada rasa produk. Yeast dan mold mengkontaminasi produk dari udara, peralatan dan
tangan manusia dalam kondisi yang natural (Kumar et al., 2017). Meskipun tidak ada standar yang
ditentukan untuk yeast dan mold, hasil negative menunjukkan bahwa sampel es krim cukup hygienis.
26
3.3.2 Pembahasan Hasil Pemeriksaan
Hasil yang didapatkan dari studi kasus yaitu data mengenai tampilan atau organoleptic (Bau,
warna dan konsistensi), pH, Cooking loss, Drip loss, Uji Kimia (Eber, Postma, H2S dan Formalin)
dan Uji Mikrobiologi (TPC, Coliform count, SS agar, EMB agar dan Uji residu antimikroba). Proses
pengujian kesegaran daging dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan terhadap standar ASUH
yakni segi keamanan dan kesehatan. Daging yang tidak segar dikhawatirkan telah tercemari oleh
mikroorganisme dari lingkungan dan mengalami penurunan status nutrisi maupun timbulnya sisa
metabolit yang tidak diinginkan yang berpotensi membahayakan kesehatan. Pemeriksaan nilai pH
daging juga perlu dilakukan untuk meninjau kondisi daging untuk memperkirakan stress pada prosesi
pemotongan atau kesalahan penanganan daging yang mengakibatkan aktivitas enzim dalam proses
glikolisis terganggu (Amertaningtyas, 2012).
Pada pemeriksaan organoleptik didapatkan hasil yaitu warna daging merah kegelapan, warna
lemak putih kekuningan dan tekstur daging sedang. Menurut SNI 3932 (2008) daging ini termasuk
daging dengan tingkat mutu II atau sedang.
Pengujian cooking loss merupakan uji yang mengkaji keselarasan pelepasan air seiring dengan
proses denaturasi protein. Hasil pemeriksaan pada sampel daging menunjukkan nilai 30,6%. Hasil
yang diperoleh menunjukkan data yang masuk dalam rentang angka 1,5-55,5% sehingga masih
tergolong pada nilai cooking loss yang dianggap normal. Nilai cooking loss dipengaruhi oleh suhu
dan durasi pemasakan. Denaturasi protein pada suhu tinggi akan terjadi lebih cepat, terlebih lagi
apabila pemasakan berlangsung dalam waktu lama sehingga jus daging yang terlepas akan semakin
banyak. Faktor lain yang mempengaruhi cooking loss adalah kondisi pH, panjang potongan daging
dan serabut otot, ukuran dan berat sampel daging. Kemampuan daya ikat air yang sangat tinggi, dapat
terjadi pada daging dengan kondisi DFD karena memiliki kisaran pH yang cukup tinggi.
Kemampuan retensi air pada protein daging selaras dengan kondisi jaringan otot tersebut. Daya
ikat air adalah kemampuan protein daging untuk menahan air di serabut daging yang berbanding lurus
dengan kondisi kerusakan protein daging. Ekspresi daya ikat air dipengaruhi oleh breed, umur, pH,
suhu lingkungan, kondisi rigor mortis, kelembaban, penerapan pelayuan, fungsi otot, jenis daging,
pakan dan lemak intra-muskuler (Dewayani dkk., 2015). Uji drip loss dan uji cooking loss adalah
metode yang digunakan untuk mengetahui kemampuan tahanan air daging. Jus daging yang
ditampung pada jaringan otot berkontribusi pada kualitas daging memberi kesan yang nikmat ketika
dikonsumsi apabila dipadukan dengan perlemakan yang baik. Hasil uji drip loss adalah 9,3% yang
tergolong lebih rendah dari rentang normal kemampuan ikat air daging yakni 20,1-26%. Daya ikat
air yang tinggi menunjukkan jumlah air yang keluar semakin sedikit. Kategori kualitas daging
berdasarkan pH dan hasil drip loss terbagi menjadi beberapa bagian yaitu PSE/ Pale Soft Exudative
(pH <6,0; drip loss >5%) dan DFD/ Dark Firm Dry (pH >6,0; drip loss <5%) (Filho et al, 2017). Hasil
yang dinilai dari kadar air di bawah rentang normal menunjukkan nilai yang mendekati kondisi daging
DFD.
Uji eber yang dilakukan menunjukkan reaksi negatif. Uji eber mengacu pada terjadinya
pembentukan NH3 dan akan menghasilkan awan NH4Cl ketika direaksikan dengan reagen eber
(Dengen, 2015). Uji postma menunjukkan hasil negatif dimana pemeriksaan ini juga bertujuan untuk
mengetahui awal pembusukan daging. Prinsip pengujian ini yakni mereaksikan gas NH3 di awal
proses pembusukan akan terlepas ketikan mengalami proses pemanasan disertai reaksi terhadap MgO
akan membebaskan NH3 dari daging. Gas dengan pH basa akan bereaksi terhadap kertas lakmus
menjadi biru. Hasil negatif pada uji eber menandakan bahwa daging normal dimana tidak terjadi
pembusukan awal pada daging sapi, sedangkan pelepasan gas NH3 pada pengujian postma terkait
dengan kondisi DFD yang memiliki retensi cairan lebih tinggi pada proses pemanasan dibanding
daging pada kondisi normal. Kedua uji ini menunjukkan bahwa daging sapi telah berada dalam
kondisi yang layak konsumsi dan memenuhi persyaratan ASUH.
27
Uji H2S adalah uji untuk melihat H2S yang dibebaskan oleh bakteri yang menginvasi daging
tersebut. H2S yang dilepaskan pada daging membusuk akan berikatan dengan Pb acetat menjadi Pb
sulfit (PbSO3) dan menghasilkan bintikbintik berwarna coklat pada kertas saring yang diteteskan Pb
acetat tersebut. Pembusukan dapat terjadi karena dibiarkan di tempat terbuka dalam waktu relatif
lama sehingga aktivitas bakteri pembusuk meningkat dan terjadi proses fermentasi oleh enzim-enzim
yang membentuk asam sulfida dan amonia (Dengen, 2015). Pada uji H2S yang dilakukan didapatkan
hasil positif. Pemeriksaan formalin pada daging sapi menggunakan reagen fenilhidrazin dan
Quantofiq. Untuk hasil didapatkan hasil positif. Hasil pemeriksaan ini menunjukkan terdapat residu
formalin pada daging sapi . Berdasarkan uji H2S dan pemeriksaan formalin menunjukkan bahwa
daging telah mengalami proses pembusukan awal dan mengandung formalin sehingga daging tidak
dalam kondisi yang layak konsumsi dan tidak memenuhi persyaratan ASUH.
Pemeriksaan mikrobiologi yaitu Total Plate Count (TPC) adalah salah satu jenis uji awal dalam
mengidentifikasi jumlah mikroba secara umum pada daging dimana hasil awal uji ini akan
memengaruhi jumlah dan jenis mikroba pada uji berikutnya. Menurut SNI 7388 (2009), standar
normal jumlah kuman total pada daging adalah 1 x 106 cfu/g. Dari pemeriksaan TPC didapatkan hasil
yaitu 2,2 x 108 cfu/g. Hasil tersebut jauh lebih tinggi daripada standar yang berlaku di Indonesia.
Tingginya nilai TPC mengindikasikan bahwa daging tersebut tidak ditangani dengan benar sehingga
tidak layak untuk dikonsumsi karena telah terkontaminasi oleh bakteri.
Pemeriksaan bakteri Coliform yang dilakukan pada daging sapi menunjukkan hasil sebanyak
2,5 x 102 cfu/g. Jumlah tersebut terbilang banyak dan tidak sesuai dengan SNI dimana batas
maksimum bakteri Coliform yaitu 1 x 102 cfu/g (SNI 7388, 2009). Tingginya jumlah bakteri Coliform
dapat disebabkan oleh kontaminasi pada meja display tempat penjualan daging tersebut. Selain itu
penanganan daging yang tidak baik juga dapat menjadi sumber kontaminasi bakteri Coliform.
Pemeriksaan mikrobiologi Salmonella sp dan Escherichia coli dilakukan dengan metode isolasi
menggunakan SS agar (Salmonella Shigella) dan EMB agar (Eosin Methylene Blue). Pada kedua
pemeriksaan tersebut didapatkan hasil positif. Hal ini menandakan daging tercemar bakteri
Salmonella sp dan Escherichia coli. Menurut SNI 7388 (2009), daging segar yang layak konsumsi
wajib tidak mengandung Salmonella sp dan batas maksimum mikroba Escherichia coli adalah 1 x
101 cfu/gr. Berdasarkan SNI 7388, sampel daging sapi tidak sesuai dengan SNI karena ditemukan
cemaran bakteri Salmonella sp. Untuk bakteri Escherichia coli hanya diketahui bahwa daging positif
terdapat cemaran Escherichia coli namun tidak diketahui berapa angka pastinya.
Pada pemeriksaan residu antibiotik pada daging sapi didapatkan hasil 5 mm. Hasil tersebut
dianggap negatif mengandung residu antibiotik. Hal ini sesuai menurut Masrianto dkk (2013) dimana
apabila hasil/zona hambatan > 12 mm sampel dianggap positif mengandung antibiotik.
28
Gambar 3.1 Sampel bakso sapi (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
29
oleh protein daging, susut masak, pH, dan kadar jus daging. Selain itu kekenyalan dari bakso
dipengaruhi oleh daya mengikat air dari daging yang tinggi. Daya mengikat air dapat didefinisikan
sebagai kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan airnya selama mengalami perlakuan
dari luar seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan dan pengolahan. Meningkatnya kadar protein
semakin meningkatkan kekenyalan bakso karena semakin tinggi air yang terikat, dengan demikian
kesukaan kekenyalan bakso oleh panelis lebih tinggi. Semakin besar daya mengikat air, semakin
tinggi persentase air yang terikat dalam produk (Firahmi dkk., 2015).
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi
penampakan, tekstur, serta citarasa makanan. Selain itu sebagian besar dari perubahan– perubahan
makanan terjadi dalam media air yang ditambahkan atau berasal dari bahan itu sendiri (Montolalu
dkk., 2013). Pada pemeriksaan kadar menggunakan metode oven didapatkan hasil yaitu 75%. Kadar
air bakso menurut SNI 01-3818-1995 yaitu maksimal 70.0%, sehingga sampel produk olahan daging
yaitu bakso sapi tidak sesuai dengan SNI. Tingginya kadar air dapat mempengaruhi shelf-life dan
lebih rentan terhadap kontaminasi bakteri.
Pada pemeriksaan borax dan formalin pada sampel bakso sapi didapatkan hasil yaitu kandungan
borax positif dan formalin negatif. Berdasarkan Peraturan Menteri kesehatan Republik Indonesia
Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP), jenis bahan tambahan pangan
golongan pengawet yang dilarang penggunaannya dalam produk pangan antara lain adalah formalin
dan asam borat. Formalin biasanya digunanakan sebagai bahan pengawet mayat dan pengawetan
hewan untuk penelitian. Sedangkan Asam Borat atau yang dikenal dengan nama boraks dalam
kesehariannya berfungsi sebagai pembersih, fungisisda, herbisida dan insektisida yang bersifat toksik
pada manusia (Eka, 2013). Menurut literasi diatas, sampel bakso daging sapi yang diuji tidak layak
konsumsi karena mengandung borax meskipun uji formalin menunjukkan hasil negatif.
Pada pemeriksaan TPC sampel bakso sapi, didapatkan hasil yaitu 2 x 104 cfu/gr. Hasil tersebut
jauh diatas batas SNI yang telah ditetapkan untuk bakso daging. Menurut Standar Nasional Indonesia
(SNI) 01-3818-1995 tentang Bakso Daging, kandungan TPC pada bakso maksimal adalah 1 x 105
cfu/g. Berdasarkan SNI tersebut, sampel bakso sapi tidak layak dikonsumsi dikarenakan jumlah total
bakteri yang jauh diatas batas maksimum yang ditetapkan. Tingginya jumlah total bakteri
kemungkinan besar disebabkan oleh cara penanganan bakso yang tidak bersih dan sanitasi yang
rendah sehingga menyebabkan bakso terkontaminasi oleh bakteri.
Pemeriksaan MPN (Most Probable Number) yaitu metode yang digunakan untuk menentukan
jumlah bakteri coliform, metode ini dilakukan dengan mengamati bakteri dengan variabel suhu dan
waktu tertentu dimana jika hasil positif akan terbentuk gas pada tabung durham. Metode MPN
dilakukan dalam sampel yang berbentuk cair, jika inkubasi 1x24 jam mendapatkan hasil yang negatif
maka dilanjutkan dengan inkubasi 2x24 jam (Adityawarman, 2012). Dari pemeriksaan MPN
didapatkan hasil yaitu 2,92 APM/g. Hasil ini sesuai dengan SNI 01-3818-1995 dimana batas
maksimal cemaran bakteri bentuk koli yaitu 10. Dari pembahasan diatas menunjukkan bahwa sampel
bakso sapi layak untuk dikonsumsi karena cemaran bakteri bentuk koli dibawah angka 10 APM/g.
Pemeriksaan mikrobiologi Salmonella sp dan Escherichia coli dilakukan dengan metode isolasi
menggunakan SS agar (Salmonella Shigella) dan EMB agar (Eosin Methylene Blue). Pada kedua
pemeriksaan tersebut didapatkan hasil negatif. Hal ini menandakan bahwa sampel bakso sapi bebas
dari kontaminasi bakteri Salmonella sp dan Escherichia coli. Menurut SNI 01-3818-1995, produk
olahan daging yaitu bakso daging sapi yang layak konsumsi wajib bebas Salmonella sp dan batas
maksimum mikroba Escherichia coli adalah 1 x 101 cfu/gr. Berdasarkan SNI tersebut, produk olahan
daging sapi yaitu sampel bakso daging sapi layak dikonsumsi karena bebas dari kontaminasi
Salmonella sp dan Escherichia coli.
30
3.5 Produk Telur
3.5.1 Telur Ayam Kampung
Tabel 3.5 Hasil pengujian telur ayam kampung
Putih Telur
Kebersihan Bersih Bebas
Bebas Ada sedikit
bercak
bercak bercak
darah, atau
darah, atau darah,
benda
benda asing tidak ada
asing
lainnya benda asing
lainnya
Kekentalan Encer,
Sedikit kuning
encer telur belum
Sedikit
Kental tercampur
encer
dengan
putih
telur
Index 0,060 0,134-0,175 0,092-0,133 0,050-0,091
Kuning Telur
31
4. Berat 52 g Kecil Sedang (50- Besar (>60g)
(<50g) 60g)
5. Mikrobiologi Hasil Batas Maksimum Cemaran Mikroba
3.1.1 Pembahasan
Hasil uji organoleptik pada telur ayam kampung didapatkan hasil yaitu bentuk kerabang yang
normal, kerabang atau cangkang telur yang halus, ketebalan kerabang sedang, kondisi kerabang utuh
dan kondisi kerabang yang bersih. Berdasarkan SNI 3928: 2008 tentang telur ayam konsumsi, telur
yang diuji organoleptiknya memiliki mutu kelas I. Mutu I merupakan mutu atau kualitas telur yang
tinggi sehingga memenuhi syarat kualitas telur konsumsi.
Pada pemeriksaan fisik telur didapatkan hasil telur tenggelam saat direndam dengan air garam
serta ukuran kantung udara saat diperiksa menggunaka metode candling adalah 0,6 cm. Menurut SNI
3928:2008 tentang telur ayam konsumsi, telur dengan ukurang kantung udara 0,6 cm memiliki mutu
II. Pada pengujian menggunakan larutan air garam, hasil yang diperoleh bahwa telur ayam kampung
tenggelam pada larutan tersebut. Penggunaan air garam dalam pemeriksaan memiliki tujuan yakni
memperkirakan tingkat kesegaran telur, karena ukuran kantung hawa selaras dengan peningkatan usia
telur.
Pada pemeriksaan putih telur didapatkan hasil yaitu putih telur dalam kondisi bersih dan sedikit
encer. Untuk index putih telur didapatkan hasil 0,06. Sedangkan kondisi kuning telur memiliki bentuk
agar pipih, dengan posisi dipinggir, penampakan batas agak jelas dan kondisi yang bersih. Untuk
index kuning telur didapatkan hasil 0,390. Untuk Haugh Unit didapatkan hasil 30. Nilai HU yang
semakin rendah menunjukkan bahwa kualitas albumin telur semakin yang selaras dengan
penambahan umur telur. Nilai HU dipengaruhi kondisi ovomucin pada albumin karena lebih sedikit
ovomucin maka daya ikat air telur akan semakin menurun. Putih telur menjadi encer dan menurunkan
nilai HU yang didapatkan. Peningkatan pH putih telur diketahui berkontribusi dalam terjadinya
perubahan tersebut karena ovomucin dapat mengalami kerusakan pada kondisi alkali (Fajarika, 2013).
Berat telur 52 g yang termasuk ukuran sedang.
Pada pemeriksaan mikrobiologi telur ayam kampung khususnya TPC didapatkan hasil 3 x 105.
Angka tersebut berada jauh diatas batas maksimum cemaran mikroba yang telah ditetapkan yaitu 1 x
105 (BSN, 2008). Hasil tersebut menandakan telur belum memenuhi standar yang berlaku di
Indonesia.
Pada Pemeriksaan Coliform count didapatkan hasil yaitu 200 cfu/gr. Hasil ini berada dibawah
batas maksimum yang telah ditetapkan yaitu 1 x 102 cfu/gr (BSN, 2008). Angka tersebut menandakan
telur memenuhi syarat atau ketentuan yang berlaku di Indonesia dan dapat dikonsumsi dengan aman.
Pada pemeriksaan mikrobiologi yaitu menggunakan SS agar dan EMB agar didapatkan hasil
negatif pada kedua pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan mikrobiologi menggunakan metode isolasi
pada SS agar berfungsi untuk mendeteksi adanya koloni bakteri Salmonella sp pada sampel telur
sedangkan metode isolasi EMB agar digunakan untuk mendeteksi adanya koloni bakteri Escherichia
coli. Hasil negatif menandakan telur bebas dari cemaran bakteri Salmonella sp dan Escherichia coli
yang sesuai dengan SNI 3928: 2008 tentang telur ayam konsumsi. Pada pemeriksaan residu
32
antimikroba dengan disc control ampicillin dan pemeriksaan yeast dan mold didapatkan hasil yang
negatif pada kedua pemeriksaan tersebut. Adanya residu antimikroba seperti ampicillin pada telur
dapat menyebabkan bakteri pada tubuh konsumen mendapatkan resistensi terhadap antimikroba
tersebut sehingga berdampak buruk pada tubuh.
Warna Kuning
Bau Telur
2. Fisik
Kadar Air 9
3. Mikrobiologi
3.6.2 Pembahasan
Pada pemeriksaan organoleptik diamati warna dan bau dari tepung telur. Untuk warna
didapatkan hasil kuning yang berasal dari warna kuning telur. Sedangkan untuk bau juga didapatkan
dari bau asal telur yang digunakan.
Pada pemeriksaan kadar air produk tepung telur didapatkan hasil yaitu 9%. Hasil ini tidak sesuai
dengan standar yang berlaku di Indonesia yaitu kadar air maksimal 8% (BSN, 1996). Tingginya kadar
air dapat mempengaruhi shelf-life dan lebih rentan terhadap kontaminasi bakteri. Berdasarkan hasil
tersebut produk tepung telur tidak memenuhi syarat dan belum bisa dikatakan ASUH sehingga tidak
layak untuk dikonsumsi.
Pada pemeriksaan mikrobiologi yaitu TPC didapatkan hasil 3 x 106 cfu/g. Hasil yang
didapatkan berada diatas batas maksimum yang ditetapkan yaitu 1 x 103 cfu/g (BSN, 1996).
Tingginya jumlah cemaran mikroba pada sampel tepung telur menandakan adanya kontaminasi dari
lingkungan seperti pada tempat produksi tepung telur. Faktor pencemaran seperti kebersihan pekerja
di pabrik produsen tepung telur dan alat-alat yang terkait dengan proses produksi tepung telur. Salah
satu solusi yang dapat diterapkan untuk mengurangi resiko pencemaran yaitu memperbaiki system
HACCP. Selain itu dapat dilakukan pelatihan pekerja pada pabrik/produsen tepung telur sehingga
dapat menerapkan SOP yang lebih baik. Selain itu kontaminasi juga dapat berasal dari tempat
penyimpanan yang kurang hygienis seperti pada saat transportasi/distribusi dan tempat penjualan
produk tersebut.
Pada pemeriksaan mikrobiologi bakteri coliform menggunakan metode MPN pada sampel
tepung telur didapatkan hasil 10 APM/gr. Hasil tersebut belum memenuhi standar yang berlaku
dimana jumlah bakteri coliform harus 1 APM/gr (BSN, 1996). Keberadaan bakteri coliform ini
digunakan sebagai indikator apakah produk bebas dari kotoran serta kondisi sanitasinya
(Retnaningsih dkk., 2018). Hasil pemeriksaan tersebut menandakan tinggi cemaran bakteri coliform
pada produk tepung telur. Cemaran bakteri coliform yang melebihi batasan normal dapat disebabkan
33
oleh beberapa faktor seperti proses pembuatan termasuk peralatan produksi yang kurang hygienis,
tempat penjualan serta penanganan yang kurang hygienis. Produk belum bisa dikatakan ASUH
dikarenakan belum memenuhi persyaratan mengenai bakteri pencemar (coliform) yang ada pada
produk tersebut.
Pemeriksaan mikrobiologi Salmonella sp dan Escherichia coli dilakukan dengan metode isolasi
menggunakan SS agar (Salmonella Shigella) dan EMB agar (Eosin Methylene Blue). Hasil
pemeriksaan metode SS agar mendapatkan hasil negatif sedangkan metode EMB agar mendapatkan
hasil positif. Pemeriksaan mikrobiologi Salmonella sp dengan metode SS agar telah sesuai dengan
standar yang berlaku dimana produk tepung telur wajib bebas dari Salmonella sp (BSN, 1996). Untuk
hasil pemeriksaan mikrobiologi dengan metode isolasi EMB hasil positif tanpa angka dimana
menurut SNI 01- 4323-1996, jumlah maksimum koloni bakteri coliform adalah 1 koloni/g.
Pada pemeriksaan yeast dan mold didapatkan hasil yang positif. Jamur yang umum dideteksi
pada makanan olahan yaitu dari golongan Aspergillus. Mold ini dapat diamati dari warna koloni
makroskopis serta mikroskopis. Aspergilus merupakan jamur pencemar yang banyak ditemukan pada
bahan makanan. Aspergilus membutuhkan lingkungan dengan oksigen yang mencukupi. Temperatur
yang optimal yakni 8 ºC hingga 47ºC akan membantu pertumbuhan jamur Aspergillus (Nurul, 2019).
Metode pencegahan yang efektif yaitu penyimpanan suhu rendah dan menghindari paparan oksigen
sehingga produk harus tertutup rapat setelah dibuka.
34
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pengujian sampel produk makanan raw dan olahan pada studi kasus dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
• Produk Raw Susu Sapi yang diperiksa dinyatakan tidak memenuhi kriteria ASUH dikarenakan
susu positif mengalami mastitis dan melewati batas maksimum bakteri coliform serta positif
mengandung bakteri Escherichia coli.
• Produk Olahan Susu yaitu es krim yang diperiksa dinyatakan tidak memenuhi kriteria ASUH
dikarenakan jumlah bakteri coliform yang melebihi batas maksimum SNI meskipun uji yang
lain sudah memenuhi SNI.
• Produk Daging Sapi yang diperiksa dinyatakan tidak memenuhi kriteria ASUH dikarenakan
tidak memenuhi syarat yaitu mengandung formalin serta pemeriksaan mikrobiologi tidak
memenuhi SNI.
• Produk Olahan Daging Sapi yaitu bakso sapi dinyatakan tidak memenuhi kriteria ASUH
dikarenakan kandungan air diatas SNI, positif mengandung boraks serta pemeriksaan TPC
jauh diatas batas SNI.
• Produk Telur Ayam Kampung dinyatakan tidak memenuhi kriteria ASUH dikarenakan
mengandung mikroba diatas batas maksimum SNI.
• Produk Olahan Telur yaitu tepung telur dinyatakan tidak memenuhi kriteria ASUH dikarenakan
kadar air, bakteri coliform berada diatas batas maksimum SNI serta positif mengandung
Escherichia coli, yeast dan mold.
4.2 Saran
Semoga studi kasus dapat terlaksana dengan lebih baik lagi di lain waktu dengan tambahan
kelengkapan uji yang dilakukan guna ketepatan dalam menentukan hasil.
35
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, F., Nurwantoro, dan Mulyani, S. 2012. Daya Kembang, Total Padatan, Waktu Pelelehan,
Dan Kesukaan Es Krim Fermentasi Menggunakan Starter Saccharomyces cereviceae. Animal
Agriculture Journal 1(2):65-76.
Amertaningtyas, D. 2012. Kualitas Daging Sapi Segar di Pasar Tradisional Kecamatan Poncokusumo
Kabupaten Malang. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak 7(1) : 42-47.
Anindita, N.S., dan Soyi. D.S. 2017.Studi kasus: Pengawasan Kualitas Pangan Hewani melalui
Pengujian Kualitas Susu Sapi yang Beredar di Kota Yogyakarta. Jurnal Peternakan Indonesia
19(2) : 100-101.
Badan Standarisasi Nasional. 1996. SNI 01- 4323-1996. Tepung Putih Telur. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 03-7388-2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam
Pangan. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2008. SNI 3928-2008. Telur Ayam Konsumsi. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2000. SNI 01-6366-2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan
Batas Maksimum Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2008. SNI 3932-2008. Mutu Karkas dan Daging Sapi. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 7388-2009. Batas Maksimun Cemaran Mikroba pada Pangan.
Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2011. SNI 3141.1-2011. Susu segar-Bagian 1: Sapi. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 1995. SNI 01-3713-1995. Es Krim. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 1995. SNI 01-3818-1995. Bakso Daging. BSN. Jakarta
Dengen PMR. 2015. Perbandingan Uji Pembusukan dengan Menggunakan Metode Uji Postma, Uji
Eber, Uji H2s dan Pengujian Mikroorganisme pada Daging Babi Di Pasar Tradisional Sentral
Makassar [Skripsi]. Universitas Hasanuddin.
Dewayani, R.E., H., Natsir, dan O., Sjofjan. 2015. Pengaruh Penggunaan Onggok dan Ampas Tahu
Terfermentasi Mix Culture Aspergillus niger dan Rhizopus oligosporus Sebagai Pengganti
Jagung dalam Pakan Terhadap Kualitas Fisik Daging Ayam Pedaging. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Hasil Tenak 10 (1) : 9-17.
Eka, R. 2013. Rahasia Mengetahui Makanan Berbahaya. Jakarta: Titik Media Publisher
Fajarika, R. B., L.E Radiati & K.U Awwaly. 2013. Penambahan Garam Kalium Klorida (Kcl) &
Lama Waktu Pemeraman dalam Pembuatan Telur Asin bebek Terhadap Kadar Air, pH, & Total
Mikroba. Repository. Universitas Brawijaya. Malang
Fauzan. 2011. Tingkat Keasaman Susu Kambing Pasteurisasi UD. Atjeh Live Stock Farm Ditinjau
dari Aspek Mikrobiologisnya. Seminar Nasional Peternakan. Banda Aceh
Filho, R. A. T., H. P., Cazedey, P. R., Fontes, A. L. S., Ramos, and E. M., Ramos. 2017. Drip loss
assessment by different analytical methods and their relationship with pork quality
classification. Journal of Food Quality.
Firahmi, N. Siti, D dan Mofie, A. 2015. Sifat Fisik Dan Organoleptik Bakso Yang Dibuat Dari Daging
Sapi Dengan Lama Pelayuan Berbeda. Al Ulum Sains dan Teknologi 1 (1) : 39-45.
36
Gusti, I.A.F.D., dan Kadek, K.K. 2013. Uji Organoleptik dan Tingkat Keasaman Susu Sapi
Kemasan yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Denpasar. Indonesia Medicus Veterinus 2(4) :
457.
Hossain, S., Subrata, B., Samiul, I., and Abu, S.S.R. 2016. Investigation of Formaldehyde Content in
Dairy Products Available in Bangladesh by a Validated High Performance Liquid
Chromatographic Method. Dhaka University Journal Pharmacy Science (15(2): 187-194.
Kumar, A.B., Pradip, K.R., Subhajit, R., Rakesh, K., Binita, R., and Bipin, K.S. 2017. Evaluation of
microbiological quality of Ice-cream available in Kolkata and its Suburbs. The Pharma
Innovation Journal 6(8): 377-380.
Masrianto, Fakhrurrazi dan Azhari.2013. Uji Residu Antibiotik Pada Daging Sapi Yang Dipasarkan
Di Pasar Tradisional Kota Banda Aceh. Jurnal Medika Veterinaria 7 (1) : 13-14
Milos, Z.P., Radojica, D., Dragan, V., Vesna, D., Mirjana, D., Silvana, S., Nedjeljko, K. 2018.
Analysis of beef meat quality in a slaughterhouse in Raska district. Meat Technology 59(1) : 23-27.
Montolalu, S., Lontaan, N., Sakul, S., dan Mirah, A.Dp. 2013. Sifat Fisiko-Kimia Dan Mutu
Organoleptik Bakso Broiler Dengan Menggunakan Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L).
Jurnal Zootek 32 (5) : 4.
Nurul, Atiqah. 2019. Studi Pemanfaatan Biji Durian (Durio Zibenthinus Murr) Sebagai Media
Pertumbuhan Jamur. Skripsi. Fakultas farmasi. Universitas sumatera utara.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan
Pangan.
Putra, S.S., 2017. Jumlah Sel Somatik pada Susu Sapi Perah setelah Pemberian Vaksin Iradiasi
Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Mastitis Subklinis. Skripsi, Fakultas Kedokteran
Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Retnaningsih, A., Annisa, P., dan Dwi, M. 2018. Perhitungan Jumlah Bakteri Coliform Pada Es Krim
Puter Yang Dijual Sekitar Wilayah Rajabasa Bandar Lampung Dengan Metode Most Probable
Number (Mpn). Jurnal Analis Farmasi 3(2):149-154.
Schroeder, J.W. 2012. Mastitis Control Program: Mastitis Bovine and Milking Managenent.
Exstention Dairy Specialist. North Dakota University Fargo. North Dakota.
Soeparno, Rihastuti, R.A., Indratiningsih, dan Triatmojo, S. 2011. DasarTeknologi Hasil Ternak.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Utami, K.B., L.E. Radiati dan P. Surjowardojo. 2014. Kajian kualitas susu sapi perah PFH (studi
kasus pada anggota Koperasi Agro Niaga di Kecamatan Jabung Kabupaten Malang). Jurnal-
Jurnal Ilmu Peternakan. 24(2): 58-66.
Yhoga, A.P., Sri, C., Muhammad, T.E.P., Mustofa, H.E., Aditya, Y., dan Prima, A.W. 2019. Uji
Total Escherichia coli pada Susu Sapi Segar di Koperasi Peternak Sapi Perah (KPSP) Karyo
Ngremboko Kecamatan Purwoharjo Kabupaten Banyuwangi. Jurnal Medik Veteriner 2(1): 1-
6.
Zulkarnain, Asmawati, dan Sofyan. 2017. Analisis Konsumsi Daging Sapi pada
Tingkat Rumah Tangga di Provinsi Aceh. Jurnal Agrisep. ISSN: 1411-3848
37
LAMPIRAN
Sampel Bakso
Sampel Es Krim
38
Laporan PPDH Kesmavet
by Muhammad Ady Prabowo
14 %
SIMILARITY INDEX
13%
INTERNET SOURCES
3%
PUBLICATIONS
5%
STUDENT PAPERS
PRIMARY SOURCES
1
www.scribd.com
Internet Source 2%
2
www.neliti.com
Internet Source 1%
3
repository.uin-suska.ac.id
Internet Source 1%
4
ojs.uniska-bjm.ac.id
Internet Source 1%
5
pertanian.jogjakota.go.id
Internet Source 1%
6
repository.unimus.ac.id
Internet Source 1%
7
fkm.unsrat.ac.id
Internet Source <1%
8
Submitted to Yonkers High School
Student Paper <1%
9
lordbroken.wordpress.com
Internet Source <1%
10
digilib.uinsby.ac.id
Internet Source <1%
11
jurnal.politanikoe.ac.id
Internet Source <1%
12
Submitted to Universitas Jenderal Soedirman
Student Paper <1%
13
core.ac.uk
Internet Source <1%
14
docobook.com
Internet Source <1%
15
cewcant.blogspot.com
Internet Source <1%
16
qdoc.tips
Internet Source <1%
17
firebiology07.wordpress.com
Internet Source <1%
18
ditaaviana.blogspot.com
Internet Source <1%
19
123dok.com
Internet Source <1%
20
es.scribd.com
Internet Source <1%
21
text-id.123dok.com
Internet Source <1%
22
adoc.pub
Internet Source <1%
23
jurnal.unsyiah.ac.id
Internet Source <1%
24
dokumen.tips
Internet Source <1%
25
www.jurnal.unsyiah.ac.id
Internet Source <1%
26
olsanchok.blogspot.com
Internet Source <1%
27
eprints.umm.ac.id
Internet Source <1%
28
Rosa Hadiana Putri, Anak agung Sagung Putri
Chandradewi, Reni Sofiyatin, Made Darawati.
<1%
"ORGANOLEPTIC PROPERTIES AND
NUTRITIOUS CONTENT OF BISCUIT BASED
ON LOCAL FOOD", Jurnal Kesehatan Prima,
2018
Publication
29
idoc.pub
Internet Source <1%
30
www.wallsicecream.com
Internet Source <1%
31
anzdoc.com
Internet Source
<1%
32
www.semesin.com
Internet Source <1%
33
Liss Dyah Dewi Arini, Rahaju Muljo Wulandari.
"Kontaminasi Bakteri Coliform pada Saus
<1%
Siomai dari Pedagang Area Kampus di
Surakarta", Biomedika, 2018
Publication
34
dinus.ac.id
Internet Source <1%
35
fadiahn.blogspot.com
Internet Source <1%
36
midhy.wordpress.com
Internet Source <1%
37
Anggi Dwi Putri, Fatimatuz Zuhro, Ismul
Mauludin Al Habib. "Analisis Gizi Limbah Ampas
<1%
Kedelai Sebagai Tepung Subtitusi Mie untuk
Menunjang Sumber Belajar Mata Kuliah
Biokimia", BIOEDUSAINS: Jurnal Pendidikan
Biologi dan Sains, 2018
Publication
38
E. Wulandari, B.I.M. Tampoebolon, Widiyanto
Widiyanto, R.I. Pujaningsih. "Uji Mikrobiologis
<1%
Salmonella, Water Activity dan Total Bakteri
Multinutrien Blok dari Cangkang Kerang dan
Cangkang Telur sebagai Sumber Mineral",
Jurnal Sain Peternakan Indonesia, 2020
Publication
39
justinfoinhere.wordpress.com
Internet Source <1%
40
zombiedoc.com
Internet Source <1%
41
Maria M. Tefa, Stefanus Sio, Theresia Ika
Purwantiningsih. "Uji Kualitas Fisik Susu Sapi
<1%
Friesh Holland (Studi Kasus Peternakan
Claretian Novisiat Benlutu Kabupaten TTS)",
JAS, 2019
Publication
42
S-T. JOO, R.G. KAUFFMAN, B-C. KIM, C-J.
KIM. "THE RELATIONSHIP BETWEEN COLOR
<1%
AND WATER-HOLDING CAPACITY IN
POSTRIGOR PORCINE LONGISSIMUS
MUSCLE", Journal of Muscle Foods, 1995
Publication
43
Submitted to Universitas Brawijaya
Student Paper <1%
44
darsatop.lecture.ub.ac.id
Internet Source <1%
45
dodiktisna30.blogspot.com
Internet Source <1%
46
edoc.pub
Internet Source <1%
47
eprints.undip.ac.id
Internet Source <1%
48
fpk.unair.ac.id
Internet Source <1%
49
hartinisrikui.blogspot.com
Internet Source <1%
50
iheartfoods.wordpress.com
Internet Source <1%
51
pt.scribd.com
Internet Source <1%
52
www.sannamfood.com
Internet Source <1%
53
mulyadiveterinary.wordpress.com
Internet Source <1%
PAGE 2
PAGE 3
PAGE 4
PAGE 5
PAGE 6
PAGE 7
PAGE 8
PAGE 9
PAGE 10
PAGE 11
PAGE 12
PAGE 13
PAGE 14
PAGE 15
PAGE 16
PAGE 17
PAGE 18
PAGE 19
PAGE 20
PAGE 21
PAGE 22
PAGE 23
PAGE 24
PAGE 25
PAGE 26
PAGE 27
PAGE 28
PAGE 29
PAGE 30
PAGE 31
PAGE 32
PAGE 33
PAGE 34
PAGE 35
PAGE 36
PAGE 37