Anda di halaman 1dari 33

BAB III

PEMBAHASAN

A. Penerapan Memorandum of Understanding di Bidang Kerjasama Bisnis

1. Pembuatan Memorandum Of Understanding

Pembuatan memorandum of understanding dapat dibagi menurut negara dan

kehendak para pihak. Memorandum of understanding yang dibuat menurut

negaranya merupakan MoU yang dibuat antara negara yang satu dengan negara

yang lainnya. Mernorandum of understanding menurut negara yang membuatnya

dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu :16

A. Memorandum of Understanding yang bersifat nasional; dan

B. Memorandum of Understanding yang bersifat internasional.

Memorandum of understanding yang bersifat nasional merupakan

memorandum of understanding, yang kedua belah pihaknya adalah warga negara

atau badan hukum Indonesia. Misalnya, memorandum of understanding yang

dibuat antara badan hukum Indonesia dengan badan hukum Indonesia lainnya atau

antara PT dengan Pemerintah Daerah.

Memorandum of understanding yang bersifat internasional merupakan nota

kesepahaman yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan peinerintah negara

asing dan/atau antara badan hukum Indonesia dengan badan hukum asing.

Memorandum of understanding menurut kehendak para pihak yang

membuatnya merupakan Memorandum of Understanding yang dibuat oleh para

16
Munir Fuady II, Op.Cit, h. 50

26
27

pihak yang sejak menyetujui kekuatan mengikat dari Memorandum of

Understanding tersebut.

Memorandum of understanding berdasarkan kehendak para pihak dibagi

menjadi tiga macam, yakni :17

A. Para pihak membuat Memorandum of Understanding dengan maksud

untuk membina "ikatan moral" saja di antara mereka, dan karcna itu

tidak ada pengikatan secara yuridis di antara mereka. Di dalam

Memorandum of Understanding ditegaskan bahwa Memorandum of

Understanding sebenarnya hanya merupakan bukti adanya niat para

pihak untuk berunding di kemudian hari untuk membuat kontrak.

Contoh: Para pihak sepakat bahwa memorandum of understanding ini

hanya dimaksudkan sebagai pernyataan bersama tentang komitmen

moral di antara para pihak, tanpa ikatan hukum apa pun, untuk

dikemudian hari melaksanakan perjanjian ekspor produk - produk

buatan Hyundai Corporation Korea ke Indonesia.

B. Para pihak memang ingin mengikatkan diri dalarn suatu kontrak, tetapi

barn ingin mengatur kesepakatan - kesepakatan yang umum saja,

dengan pengertian bahwa hal - hal yang mendetail akan diatur

kemudian dalam kontrak yang lengkap. Sebaiknya dalam Memorandum

of Understanding dibuat pernyataan tegas bahwa dengan

ditandatanganinya Memorandum of Understanding oleh para pihak,

maka para pihak telah mengikatkan diri untuk membuat kontrak yang

17
Ibid, h. 51
28

lengkap untuk mengatur transaksi mereka dikemudian hari. Contoh

dengan ditandatanganinya Memorandum of Understanding, pihak PT

Suryatama Madangkara telah mengikatkan diri untuk, dalam jangka

waku 360 hari kerja sejak tanggal penandatanganan memorandum ini,

menunjuk PT Nikmat Sentosa sebagai penerima franchise untuk

memasarkan produk-produk PT Suryatama Madangkara di wilayah

Jawa Barat, dan untuk maksud tersebut para pihak akan merundingkan

dan menuangkan persyaratan - persyaratan kerja sama ini dalam suatu

Perjanjian Franchise".

C. Para pihak memang berniat untuk mengikatkan diri satu sama lain

dalam suatu kontrak, tapi hal itu belum dapat dipastikan, mengingat

adanya keadaan - keadaan atau kondisi - kondisi tertentu yang belum

dapat dipastikan. Dalam Memorandum of Understanding seperti ini,

harus dirumuskan klausul condition precedent atau kondisi tertentu

yang harus tetjadi di kemudian hari sebelum para pihak terikat satu

sama lain. Contoh klausul condition precedent Kerja sama yang pokok -

pokoknya disepakati dalam memorandum ini baru akan mengikat para

pihak apabila para izin perakitan bagi PT Bahana Putera selaku agen

diperoleh dari Departemen Perdagangan Republik Indonesia".

Pembedaan yang paling prinsip dari kedua jenis Memorandum of

Understanding di atas adalah didasarkan pemberlakuan dalam suatu

negara, baik yang bersifat nasional maupun internasional, karena telah

mencakup Memorandum of Understanding dari aspek kehendaknya.


29

Pada prinsipnya, setiap Memorandum of Understanding yang dibuat oleh

para pihak, tentunya mempunyai tujuan tertentu. Munir Fuady telah

mengemukakan tujuan dan ciri memorandum of'understanding. Tujuan

memorandum of understanding adalah :18

A. Untuk menghindari kesulitan pembatalan suatu agreement nantinya,

dalam hat prospek bisnisnya belum jelas benar, dalam arti belum bisa

dipastikan apakah deal kerja sama tersebut akan ditindaklanjuti,

sehingga dibuatlah memorandum of understanding yang mudah

dibatalkan;

B. Penandatanganan kontrak masih lama karena masih dilakukan negosiasi

yang alot. Karena itu, daripada tidak ada ikatan apa - apa sebelum

ditandatangani kontrak tersebut, dibuatlah memorandum of

understanding yang akan berlaku sementara waktu;

C. Adanya keraguan para pihak dan masih perlu waktu untuk pikir - pikir

dalam hal penandatanganan suatu kontrak, sehingga untuk sementara

dibuatlah memorandum of understanding;

D. Memorandum of understanding dibuat dan ditandatangani oleh pihak

eksekutif dari suatu perusahaan, sehingga untuk suatu perjanjian yang

lebih rinci mesti dirancang dan dinegosiasi khusus oleh staf - staf yang

lebih rendah tetapi lebih menguasai secara teknis.

18
Munir Fuadi I, Op. Cit, h. 91-92
30

Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya memorandum of understanding,

maka dapat diketahui dari cirinya yakni sebagai berikut:19

A. Isinya ringkas, bahkan seringkali satu halaman saja;

B. Berisikan hal yang pokok saja;

C. Bersifat pendahuluan saja, yang akan diikuti perjanjian lain yang lebih

rinci;

D. Mempunyai jangka waktunya, misalnya satu bulan, enam bulan, atau

setahun. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ditindaklanjuti

dengan suatu perjanjian yang lebih rinci, perjanjian tersebut akan batal,

kecuali diperpanjang oleh para pihak;

E. Biasanya dibuat dalam bentuk perjanjian di bawah tangan; dan biasanya

tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak untuk

membuat suatu perjanjian yang lebih detail setelah penandatanganan

memorandum of understanding, karena secara reasonable barangkali

kedua belah pihak punya rintangan untuk membuat dan

menandatangani perjanjian yang detail tersebut.

William F. Fox, Jr. juga mengemukakan ciri dari memorandum of

understanding. Ia mengemukakan bahwa ada enam ciri memorandum of

understanding, yaitu :20

A. Bentuk dan isinya terbatas;

B. Untuk mengikat pihak lainnnya terhadap berbagai persoalan, untuk

menemukan dan mempelajari tentang beberapa persoalan;

19
Ibid.
20
Salim HS, Op.Cit, h. 53
31

C. Sifatnya sementara dengan batas waktu tertentu;

D. Dapat digunakan sebagai dasar untuk mendatangkan keuntungan

selama tercapainya kesepakatan;

E. Menghindari timbulnya tanggung jawab dan ganti rugi, dan

F. Sebagai dasar untuk membuat perjanjian untuk kepentingan berbagai

pihak. Yaitu kreditur, investor, pemerintah, pemegang saham, dan

lainnya.

Ciri utama dari memorandum of understanding adalah sebagai dasar untuk

membuat kontrak pada masa yang akan datang, isinya singkat dan jangka

waktunya tertentu.

2. Penerapan Memorandum of Understanding dalam Kerjasama Bisnis

Dalam suatu bisnis, ada proses bagaimana suatu bisnis itu akhirnya berjalan.

Proses tersebut adalah pembuatan kontrak. Dalam praktiknya pembuatan kontrak

ada tahapan - tahapannya yang antara lain sebagai berikut :21

A. Prakontrak

1. Negosiasi;

2. Memorandum of Understanding;

3. Studi kelayakan;

4. Negosiasi ( lanjutan ).

B. Kontrak

1. Penulisan naskah awal;

21
Munir Fuady, Hukum Kontrak, Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999, (selanjutnya disebut Munir Fuady III), h. 3.
32

2. Perbaikan naskah;

3. Penulisan naskah akhir;

4. Penandatanganan.

C. Pascakontrak

1. Pelaksanaan;

2. Penafsiran;

3. Penyelesaian sengketa.

Sebelum kontrak disusun atau sebelum transaksi bisnis berlangsung,

biasanya terlebih dahulu dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu

proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Dalam negosiasi

inilah proses tawar menawar berlangsung.

Tahapan berikutnya pembuatan Memorandum of Understanding.

Memorandum of Understanding merupakan pencatatan atau pendokumentasian

hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. Memorandum of

Understanding walaupun belum merupakan kontrak, penting sebagai pegangan

untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk

melakukan studi kelayakan atau pembuatan kontrak.

Setelah pihak - pihak memperoleh Memorandum of Understanding sebagai

pegangan atau pedoman sementara, baru dilanjutkan dengan tahapan studi

kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan

prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan

misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan

hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau
33

tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan. apabila diperlukan, akan

diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya dituangkan dalam kontrak.

Dalam penulisan naskah kontrak di samping diperlukan kejelian dalam

menangkap berbagai keinginan pihak - pihak, juga memahami aspek hukum, dan

bahasa kontrak. Penulisan kontrak perlu mempergunakan bahasa yang baik dan

benar dengan berpegang pada aturan tata bahasa yang berlaku. Dalam penggunaan

bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing harus tepat, singkat, jelas dan

sistematis.

Walaupun tidak ditentukan suatu format baku di dalam perundang -

undangan, dalam praktek biasanya penulisan kontrak bisnis mengikuti suatu pola

umum yang merupakan anatomi dari sebuah kontrak, sebagai berikut :

(1) Judul;

(2) Pembukaan;

(3) Pihak - pihak;

(4) Latar belakang kesepakatan (Recital);

(5) Isi;

(6) Penutupan.

Penerapan pembuatan Memorandum of understanding dalam dunia bisnis

tidak hanya dibuat oleh badan hukum privat semata - mata, tetapi juga oleh badan

hukum publik. Begitu juga MoU itu tidak hanya berlaku secara nasional, tetapi

juga internasional. Berdasarkan pernyataan di atas, maka yang menjadi para pihak

dalam Memorandum of Understanding, dapat dipilah berdasarkan area


34

keberlakuannya. Para pihak dalam Memorandum of Understanding yang berlaku

secara nasional adalah :

A. Badan hukum privat Indonesia dengan badan hukum privat Indonesia

lainnya, misalnya antara PT Sari Melati dengan PT Sekar Alam;

B. Badan hukum privat Indonesia dengan pemerintah

provinsi/kabupaten/kota, misalnya antara PT Sabalong Agrofamindo,

Jakarta dengan pemerintah Kabupaten Sumbawa;

C. Badan hukum privat Indonesia dengan penegak hukum, misalnya antara

PT Lapindo Brantas dengan Mabes Polri.

Para pihak dalam MoU yang berlaku secara internasional adalah:

A. Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara asing;

B. Badan hukum privat Indonesia dengan badan hukum privat negara asing.

B. Akibat hukum dan Penyelesaiannya jika salah satu pihak melanggar

klausul dalam memorandum of understanding

1. Terjadinya Wanprestasi antara Para Pihak

Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang

adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu

telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan

bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”
35

Apabila para pihak tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka pihak

yang melakukannya dapat dianggap wanprestasi atau ingkar janji dan dapat

dimintai ganti rugi sesuai dengan pasal 1243 KUHPerdata yang berbunyi:

Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan
barulah mulai diwajibkan, apabila siberutang, setelah dinyatakan lalai
memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus
diberikan atau dibuat tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak

berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan

wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak

diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa

berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila melewati batas waktu yang

ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata yang

menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau

dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri,

ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya

waktu yang ditentukan” dapat dinyatakan melakukan wanprestasi.

Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk

menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat

peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan

tersebut disebut dengan somasi. Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan

dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki

pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan

dalam pemberitahuan itu. Dari ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa debitur
36

dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi ( in gebrekestelling). Adapun

bentuk - bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah :

1. Surat perintah

Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk

penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara

lisan kepada debitur kapan selambat - lambatnya dia harus berprestasi.

Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”.

2. Akta sejenis

Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.

3. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri

Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat

adanya wanprestasi.

Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang

melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk

mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut

ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.

Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa

seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam

perjanjian ( fatal termijn ), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu,

debitur mengakui dirinya wanprestasi.

Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak

yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk


37

melakukan pemenuhan prestasi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada

satu pun pihak yang dirugikan karena prestasi tersebut.22

Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang

dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu :23

1. Membayar kerugian yang diderita kreditur;

2. Pembatalan perjanjian;

3. Peralihan resiko;

4. Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan di pengadilan.

Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak

hanya biaya - biaya yang sungguh - sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau

kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi

juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat

seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving). Bahwa kerugian yang harus

diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari

wanprestasi, artinya ada hubungan sebab - akibat antara wanprestasi dengan

kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang

mengemukakan teori tentang sebab - akibat yaitu :24

1. Conditio Sine qua Non (Von Bur i)

Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B

(peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan pernah terjadi jika tidak ada

pristiwa A.

22
Amirizal, Hukum Bisnis, Risalah Teori dan Praktik, Djambatan, Jakarta, 1999, h.36.
23
Nindyo Pramono, Op.Cit, h. 222.
24
Ibid, h. 223
38

2. Adequated Veroorzaking (Von Kries)

Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B

(peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia yang

normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).

Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated

Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang

selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori

inilah yang paling mendekati keadilan.

Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa

alasan untuk membela dirinya, yaitu:

1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa ( overmacht );

2. Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;

3. Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk

menuntut ganti rugi.

Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksanya prestasi

bukan karena kesalahannya, diwajibkan membayar gantirugi. Sebaliknya debitur

bebas dari kewajiban membayar ganti rugi, jika debitur karena keadaan memaksa

tidak memberi atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau telah melakukan

perbuatan yang seharusnya ia tidak lakukan. Keadaan memaksa adalah suatu

keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur

untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak

harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan
39

dibuat. Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan

berbagai akibat yaitu :

1. Kreditur tidak dapat lagi meminta pemenuhan prestasi;

2. Debitur tidak lagi dapat dinyatakan wanprestasi, dan karenanya tidak

wajib membayar ganti rugi;

3. Resiko tidak beralih kepada debitur;

4. Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal –

balik.

Mengenai keadaan memaksa ada dua teori, yaitu teori obyektif dan teori

subjektif:

Menurut teori obyektif, debitur hanya dapat mengemukakan tentang

keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasi bagi setiap orang mutlak tidak

mungkin dilaksanakan. Misalnya, penyerahan sebuah rumah tidak mungkin

dilaksanakan karena rumah tersebut musnah akibat bencana tsunami.

Menurut teori subyektif terdapat keadaan memaksa jika debitor yang

bersangkutan mengingat keadaan pribadinya tidak dapat memenuhi prestasinya.

Misalnya, A pemilik industri kecil harus menyerahkan barang kepada B, dimana

barang - barang tersebut masih harus dibuat dengan bahan - bahan tertentu, tanpa

diduga bahan - bahan tersebut harganya naik berlipat ganda, sehingga jika A harus

memenuhi prestasinya ia akan menjadi miskin. Dalam hal ini ajaran subyektif

mengakui adanya keadaan memaksa. Akan tetapi jika menyangkut industri besar

maka tidak terdapat keadaan memaksa.


40

Keadaan memaksa dapat bersifat tetap dan sementara. Jika bersifat tetap

maka berlakunya perikatan berhenti sama sekali. Misalnya, barang yang akan

diserahkan diluar kesalahan debitur terbakar musnah.

Sedangkan keadaan memaksa yang bersifat sementara berlakunya perikatan

ditunda. Setelah keadaan memaksa itu hilang, maka perikatan bekerja kembali.

Misalnya, larangan untuk mengirimkan suatu barang dicabut atau barang yang

hilang ditemukan kembali.

2. Kedudukan dan Kekuatan Hukum Memorandum of Understanding

Sebelum membahas lebih detail mengenai kedudukan Memorandum of

Understanding. Dapat dikatakan sebagai kontrak atau bukan, maka disini akan

dikemukakan terlebih dahulu mengenai asas - asas yang berlaku dalam hukum

kontrak. Asas - asas tersebut antara lain :25

A. Hukum kontrak bersifat mengatur

Sebagaimana diketahui bahwa hukum dapat dibagi menjadi dua bagian

yaitu :

a. Hukum memaksa ( dwingend recht, mandatory law );

b. Hukum mengatur ( aanvullen recht, optional law ).

Hukum tentang kontrak pada prinsipnya tergolong kepada hukum yang

mengatur. Artinya bahwa hukum tersebut baru berlaku sepanjang para pihak tidak

mengaturnya lain. Jika para pihak dalam kontrak mengaturnya secara lain dari

yang diatur dalam hukum kontrak, maka yang berlaku adalah apa yang diatur

sendiri oleh para pihak tersebut kecuali undang - undang menentukan lain.

25
Munir Fuady III, Op.Cit, h. 29-32.
41

B. Asas kebebasan berkontrak

Salah satu asas dalam hukum kontrak adalah asas kebebasan berkontrak (

freedom of contract ). Artinya adalah bahwa para pihak bebas membuat kontrak

dan mengaturnya sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan

sebagai berikut :

(a) Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak

(b) Tidak dilarang oleh undang - undang

(c) Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku

(d) Adanya suatu itikad baik

Asas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi dari sistem terbuka (

open system ) dari hukum kontrak tersebut.

C. Asas pacta sunt servanda

Asas pacta sun servada (janji itu mengikat) ini mengajarkan bahwa suatu

kontrak yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum yang penuh. KUH

Perdata kita juga menganut prinsip dengan melukiskan bahwa suatu kontrak

berlaku seperti undang - undang bagi para pihak.

D. Asas konsensual dari suatu kontrak

Hukum kita juga menganut asas konsensual. Maksudnya asas konsensual ini

adalah bahwa suatu kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kesepakatan,

tentunya selama syarat sahnya kontrak lainnya sudah terpenuhi. Jadi, dengan

adanya kata sepakat, kontrak tersebut pada prinsipnya sudah mengikat dan sudah

punya akibat hukum, sehingga mulai saat itu juga sudah timbul hak dan kewajiban

di antara para pihak.


42

E. Asas obligator dari suatu kontrak

Menurut hukum kontrak, suatu kontrak bersifat obligator. Maksudnya

adalah setelah sahnya suatu kontrak, maka kontrak tersebut sudah mengikat, tetapi

baru sebatas menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. Tetapi pada

taraf tersebut hak milik belum berpindah ke pihak lain. Untuk dapat memindahkan

hak milik, dipergunakan kontrak lain yang disebut dengan kontrak kebendaan.

Perjanjian kebendaan inilah yang sering disebut dengan “penyerahan” ( levering ).

Mengenai sifat kontrak yang berkaitan dengan saat mengikatnya suatu

kontrak dan saat peralihan hak milik ini, berbeda - beda dari masing - masing

sistem hukum yang ada, yang terpadu ke dalam 2 (dua) teori sebagai berikut :

1. Kontrak bersifat riil

Teori yang mengatakan bahwa suatu kontrak bersifat mengajarkan

dimana suatu kontrak baru dianggap sah jika telah dilakukan secara riil.

Artinya, kontrak tersebut mengikat jika telah dilakukan kesepakatan

kehendak dan telah dilakukan levering sekaligus. Kata sepakat saja belum

punya arti apa - apa menurut teori ini. Prinsip transaksi yang bersifat

“terang” dan “tunai” dalam hukum adat Indonesia merupakan perwujudan

dari prinsip kontrak riil ini.

2. Kontrak bersifat final

Teori yang menganggap suatu kontrak bersifat final ini mengajarkan

bahwa jika suatu kata sepakat telah terbentuk, maka kontrak telah mengikat

dan milik sudah berpindah tanpa perlu kontrak khusus.


43

Untuk mengetahui apakah suatu memorandum of Understanding bisa

dikatakan kontrak atau bukan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu

antara lain mengenai :

1. Materi/ substansi dalam Memorandum of Understanding

Mengetahui materi atau substansi apa saja yang diatur dalam pasal -

pasal Memorandum of Understanding sangat penting, karena apakah dalam

materi yang termaktub dalam Memorandum of Understanding tersebut

terdapat unsur - unsur yang akan membuat salah satu pihak dirugikan

apabila ada salah satu materi dalam Memorandum of Understanding

tersebut yang diingkari. Misalkan dalam Memorandum of Understanding

disebutkan mengenai kerjasama untuk membangun suatu proyek, dimana

kedua belah pihak menyetujui untuk saling bekerja sama dalam

pembangunan proyek tersebut. Tetapi di tengah perjalanan salah satu pihak

ingin membatalkan kerja sama tersebut dengan dalil proyek tersebut tidak

berprospek bagus. Dengan adanya pembatalan sepihak tersebut jelas

merugikan pihak lain yang bersangkutan, karena salah satu pihak tersebut

merasa telah menyiapkan segalanya termasuk anggaran - anggaran yang

dibutuhkan. Maka dalam hal ini berdasarkan teori mengenai wanprestasi

yaitu tentang hilangnya keuntungan yang diharapkan, dimana salah satu

pihak merasa rugi dan merasa kehilangan suatu keuntungan yang besar dari

pembatalan Memorandum of Understanding tersebut, maka Memorandum of

Understanding yang telah dibuat tersebut dapat dikategorikan suatu kontrak

atau setingkat dengan perjanjian berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata.


44

Dalam Teori kepercayaan merugi ( Injurious Reliance Theory ) juga telah

dinyatakan dengan jelas bahwa kontrak sudah dianggap ada jika dengan

kontrak yang bersangkutan sudah menimbulkan kepercayaan bagi pihak

terhadap siapa janji itu diberikan sehingga pihak yang menerima janji

tersebut karena kepercayaannya itu akan menimbulkan kerugian jika janji

itu tidak terlaksana.26

Akan tetapi lain halnya jika dalam materi Memorandum of

Understanding tersebut hanya mengatur mengenai ulasan - ulasan pokok

saja, dimana dalam beberapa pasal disebutkan bahwa kerjasama mengenai

kegiatan - kegiatan yang dilakukan antar pihak akan ditentukan dalam

perjanjian pelaksanaan yang akan ditentukan oleh masing - masing pihak.

Dan ditentukan pula dalam salah satu pasal lain bahwa untuk pembiayaan

akan diatur pula dalam perjanjian lain yang lebih detil. Apabila substansi

dalam Memorandum of Understanding mengatur hal - hal yang demikian,

maka berdasarkan asas hukum kontrak bahwa dapat disebut kontrak apabila

suatu perjanjian itu bersifat final, maka Memorandum of Understanding

semacam ini tidak bisa dikatakan suatu kontrak, karena belum final dalam

pembuatannya.27

2. Ada tidaknya sanksi

Untuk menentukan suatu Memorandum of Understanding itu suatu

kontrak atau bukan maka harus dilihat apakah Memorandum of

Understanding tersebut telah memuat sanksi atau tidak. Kalau dalam

26
Ibid, h. 92
27
Ibid, h. 32
45

Memorandum of Understanding tidak memuat suatu sanksi yang tegas maka

Memorandum of Understanding tersebut tidak dapat dikatakan suatu

kontrak. Dan kalau hanya memuat sanksi moral maka Memorandum of

Understanding tidak bisa dikatakan suatu kontrak berdasarkan Teori

Holmes yang menyatakan bahwa tidak ada sanksi moral dalam suatu

kontrak.28

Karena adanya bermacam - macam pendapat mengenai kedudukan dari

Memorandum of Understanding, maka dikenal dua macam pendapat sebagai

berikut :29

1. Gentlement agreement

Pendapat ini mengajarkan bahwa Memorandum of Understanding

hanyalah merupakan suatu gentlement agreement saja. Maksudnya kekuatan

mengikatnya suatu Memorandum of Understanding tidak sama dengan

perjanjian biasa, sungguh pun Memorandum of Understanding dibuat dalam

bentuk yang paling kuat seperti dengan akta notaris sekalipun (tetapi dalam

praktek jarang Memorandum of Understanding dibuat secara notarial).

Bahkan menurut pendapat golongan ini menyatakan bahwa Memorandum of

Understanding mengikat sebatas pada pengakuan moral belaka, dalam arti

tidak punya daya ikat secara hukum.

2. Agreement is agreement

Ada juga pihak yang berpendapat bahwa sekali suatu perjanjian

dibuat, apapun bentuknya. Lisan atau tertulis, pendek atau panjang, lengkap/

28
Ibid, h. 11.
29
Munir Fuady II, Op.Cit, h. 92-94.
46

detil ataupun hanya diatur pokok - pokoknya saja, tetap saja merupakan

suatu perjanjian, dan karenanya mempunyai kekuatan hukum mengikat

layaknya suatu perjanjian, sehingga seluruh ketentuan pasal - pasal tentang

hukum perjanjian telah bisa diterapkan kepadanya. Dan menurut pendapat

ini untuk mencari alas yuridis yang tepat bagi penggunaan Memorandum of

Understanding adalah terdapat dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang

artinya apapun yang dibuat sesuai kesepakatan kedua belah pihak,

merupakan hukum yang berlaku baginya sehingga mengikat kedua belah

pihak tersebut. Selain itu menurut asas kebebasan berkontrak dan asas

konsensual maka hal apa saja asalkan halal menurut hukum dan telah secara

bebas disepakati maka berlaku suatu perjanjian atau jika diterapkan secara

tertulis maka hal tersebut bisa dikatakan sebagai kontrak.

Pijakan lain dari pendapat diatas adalah dengan menggunakan suatu

teori yang disebut teori promissory estopel. Teori promissory estoppel atau

disebut juga dengan detrimental reliance mangajarkan bahwa dianggap ada

kesesuaian kehendak di antara para pihak jika pihak lawan telah melakukan

sesuatu sebagai akibat dari tindakan - tindakan pihak lainnya yang dianggap

merupakan tawaran untuk ikatan suatu kontrak.30

Doktrin lainnya adalah Teori kontrak quasi ( quasi contract atau

implied in law ). Teori ini mengajarkan bahwa dalam hal - hal tertentu,

apabila dipenuhi syarat - syarat tertentu, maka hukum dapat menganggap

30
Munir Fuady III, Op.Cit, h. 8.
47

adanya kontrak di antara para pihak dengan berbagai konsekuensinya,

sungguhpun dalam kenyataannya kontrak tersebut tidak pernah ada.31

Suatu perjanjian jika yang diatur hanya hal - hal pokok saja, maka

mengikatnya hanya pun hanya terhadap hal - hal pokok tersebut. Sama

halnya jika suatu perjanjian hanya berlaku untuk suatu jangka waktu

tertentu, maka mengikatnya pun hanya untuk jangka waktu tertentu tersebut.

Sungguh pun para pihak tidak dapat dipaksakan untuk membuat perjanjian

yang lebih rinci sebagai tindak lanjut dari Memorandum of Understanding,

paling tidak, selama jangka waktu perjanjian itu masih berlangsung, para

pihak tidak boleh membuat perjanjian yang sama dengan pihak lain. Ini

tentu jika dengan tegas disebutkan untuk itu dalam Memorandum of

Understanding tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa untuk

mengetahui kedudukan dari Memorandum of Understanding diperlukan suatu

pengamatan yang jeli terhadap substansi yang terdapat dalam Memorandum of

Understanding tersebut, apakah materinya mengandung unsur kerugian non moral

atau kerugian secara finansial apabila tidak dilakukannya pemenuhan prestasi dan

apakah dalam Memorandum of Understanding mengandung sanksi atau tidak.

Apabila menimbulkan suatu kerugian non moral yaitu material dan mengandung

suatu sanksi yang jelas bagi para pihak yang mengingkarinya, maka Memorandum

of Understanding tersebut sudah berkedudukan sebagai kontrak dan dianggap

sudah setingkat dengan perjanjian berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata mengenai

31
Ibid
48

kebebasan berkontrak. Walaupun Memorandum of Understanding tidak pernah

disebutkan dengan tegas bahwa itu merupakan suatu kontrak, akan tetapi

kenyataannya kesepakatan semacam Memorandum of Understanding ini memang

ada seperti yang ditegaskan dalam teori kontrak de facto ( implied in - fact), yakni

sudah disebut sebagai kontrak, walaupun tidak pernah disebutkan dengan tegas

tetapi pada kenyataan, pada prinsipnya dapat diterima sebagai kontrak yang

sempurna.32 Memorandum of Understanding dalam hal ini apabila dikaitkan

dengan teori ini maka kedudukannya dapat disebut sebagai suatu kontrak dan

kekuatan hukumnya akan mengikat pihak - pihak yang melanggar dengan

ketentuan wanprestasi seperti diatur dalam KUHPerdata.

Tetapi apabila dalam Memorandum of Understanding tersebut hanya

mengenai suatu hal belum final dan masih membutuhkan perjanjian lain sebagai

pendukungnya dan dalam Memorandum of Understanding tersebut tidak terdapat

sanksi yang jelas terhadap pihak yang mengingkarinya, maka Memorandum of

Understanding tersebut hanya berkedudukan hanya sebagai “say hello” dalam hal

kesepakatan mengenai suatu proyek - proyek besar. Dan hal ini tentunya tidak

mempunyai efek apapun terhadap kekuatan hukum suatu Memorandum of

Understanding.33

32
Ibid
33
Munir Fuady II, Op.Cit, h. 90.
49

3. Akibat Bila Terjadi Suatu Pengingkaran Substansi dari Memorandum of

Understanding.

Pengingkaran yang terjadi dalam substansi dari Memorandum of

Understanding dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu :

a. Pengingkaran terhadap substansi Memorandum of Understanding yang

tidak berkedudukan sebagai kontrak.

b. Pengingkaran terhadap substansi Memorandum of Understanding yang

berkedudukan sebagai kontrak ( wanprestasi ).

Untuk Memorandum of Understanding yang sifatnya bukan merupakan

suatu kontrak maka tidak ada sanksi apapun bagi pihak yang mengingkarinya

kecuali sanksi moral. Upaya penyelesaian untuk masalah ini lebih pada

musyawarah untuk mencari suatu jalan keluarnya. Adanya sanksi moral dalam hal

ini dimisalkan bahwa pihak yang mengingkarinya Memorandum of

Understanding hanya mendapatkan suatu cap buruk terhadap track recordnya.

Dan suatu hari bila ia mengadakan suatu perjanjian lagi terhadap pihak lain maka

kemungkinan dia tidak akan dipercaya lagi dan tidak akan ada lagi yang akan

melakukan kerjasama bisnis lagi dengannya.

Kemudian bagaimana dengan kedudukan dari Memorandum of

Understanding yang tidak mempunyai suatu kekuatan hukum yang memaksa

(sanksi) sehingga bisa mempunyai sanksi. Hal itu tentunya tidak terlepas dari teori

ratifikasi. Dimana yang dimaksud dengan ratifikasi disini adalah suatu tindakan

pengakuan yang menguatkan tindakan yang telah dilakukan sebelumnya, dalam


50

hal ini akan menguatkan perjanjian yang telah dilakukan sebelumnya. 34 Jadi

dalam hal ini Memorandum of Understanding yang telah dibuat sebelumnya

diratifikasi menjadi sebuah kontrak baru dengan substansi lebih tegas menyangkut

hak dan kewajiban masing - masing pihak disertai dengan sanksi yang tegas pula

jika terdapat suatu pelanggaran.

Sedangkan untuk Memorandum of Understanding yang sifatnya sudah

merupakan suatu kontrak maka apabila terjadi suatu wanprestasi terhadap

substansi dalam Memorandum of Understanding ini maka pihak tersebut harus

memenuhi prestasi yang telah dilanggarnya atau ia akan dikenai sanksi dari

perundang-undangan yang berlaku.

Hal - hal yang dapat dituntut oleh kreditur bila terjadi wanprestasi tersebut

antara lain :35

1. Ia dapat meminta pemenuhan prestasi;

2. Ia dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang

dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksananakan, atau

dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya;

3. Ia dapat menuntut pemenuhan prestasi disertai dengan penggantian

kerugian yang diderita sebagai terjadinya wanprestasi;

4. Ia dapat meminta pembatalan perjanjian.

Apabila dalam suatu kontrak ada provisi atau ketetapan pasal yang

menentukan jumlah ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak debitur jika debitur

tersebut wanprestasi, maka pembayaran ganti rugi tersebut hanya sejumlah yang

34
Munir Fuady III, Op.Cit, h. 63.
35
Subekti, Op. Cit, h. 147
51

ditetapkan dalam kontrak tersebut, Tidak boleh dilebihi atau dikurangi (pasal 1249

KUH Perdata). Jadi artinya harus terjadi suatu pemenuhi prestasi yang seimbang

dalam kontrak tersebut. Akan tetapi jika jumlah kerugian yang disebut dalam

kontrak terlalu besar, sangat memberatkan bahkan tidak masuk akal, tentu tidak

masuk akal pula jika jumlah yang sangat besar tersebut harus dibayar oleh pihak

debitur sebagai suatu pemenuhan prestasi sungguhpun dia sudah terbukti

melakukan wanprestasi.36

Ketentuan sebagaimana diatur oleh pasal 1249 KUH Perdata tersebut harus

dibaca bahwa dalam undang - undang mengisyaratkan bahwa penentuan jumlah

ganti rugi dalam kontrak oleh para pihak dalam kontrak tersebut memang

dimungkinkan. Hal ini sesuai dengan prinsip kebebasan berkontrak.

Akan tetapi, penentuan jumlah ganti rugi dalam suatu Memorandum of

Understanding sebagai kontrak dapat mengundang banyak persoalan

yuridis.Misalnya ganti rugi dalam bentuk apa yang diperbolehkan, apa ada batas -

batasnya, dan bagaimana pula jika ganti rugi tersebut terlalu memberatkan

sehingga sebenarnya sudah merupakan suatu hukuman (penalty), sehingga tidak

sesuai lagi dengan Teori sama nilai (Equivalent Theori) dimana teori ini

mengajarkan bahwa suatu kontrak harus memberikan prestasinya yang seimbang

atau sama nilai ( equivalent ). Jelasnya adalah bahwa antara ganti rugi dan penalty

tujuannya masing - masing berbeda. Tujuan ganti rugi dalam kontrak adalah untuk

menetapkan secara pasti suatu jumlah ganti kerugian yang harus dibayar jika

36
Munir Fuady III, Op.Cit, h. 150.
52

terjadi wanprestasi, sedangkan tujuan dari penalty adalah menghukum seseorang

dengan sesuatu yang tidak seimbang dengan wanprestasi yang telah dilakukannya.

Untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban dari kedua belah

pihak dalam kontrak yang bersangkutan mengenai pemberian ganti rugi, maka

dalam hukum kontrak didapatkan petunjuk - petunjuk sebagai berikut :37

1. Merupakan suatu estimasi yang masuk akal atas suatu kompensasi yang

adil.

2. Jumlah ganti rugi tersebut harus masuk akal baik ditinjau pada saat

dibuatnya suatu kontrak ataupun pada saat terjadinya wanprestasi.

3. Merupakan ganti rugi jika penentuan jumlah dalam kontrak tersebut

merupakan usaha dengan itikad baik untuk melaksanakan estimasi yang

benar. Jika tidak demikian, itu namanya penalty.

4. Jumlah ganti rugi harus layak dimana jumlah ganti rugi yang disebutkan

dalam kontrak tersebut harus masuk akal dan tidak boleh berlebihan.

Kapankah diukur layak atau tidaknya jumlah suatu ganti rugi. Untuk itu ada

dua teori, yaitu sebagai berikut :

1. Teori Konvensional

Teori konvensional mengajarkan bahwa ukuran layak atau

tidaknya suatu penetapan jumlah ganti rugi dalam suatu kontrak

haruslah dilihat layak pada saat kontrak dibuat (ditandatangani). Teori

yang konvensional ini menimbulkan dua konsekuensi sebagai berikut :

37
Ibid, h. 151.
53

a. Klausula ganti rugi dalam kontrak tersebut tetap dapat diberlakukan,

sungguhpun dalam kenyataannya kerugian yang diderita jauh lebih

rendah dari yang disebutkan dalam kontrak. Asalkan ketika dibuat

kontrak, jumlah tersebut dalam kontrak merupakan suatu antisipasi

yang rasional pada saat itu.

b. Jika ketika dibuat kontrak, jumlah ganti rugi dalam kontrak tersebut

dianggap terlalu berlebihan, klausula tersebut tidak dapat diterapkan,

meskipun kemudian ternyata memang terjadi kerugian yang sangat

besar di luar yang diantisipasi.

2. Teori modern ( saat ini )

Teori modern lebih fleksibel mengajarkan bahwa besarnya jumlah

ganti rugi yang disebut dalam suatu kontrak dianggap layak jika dilihat

baik pada waktu dibuatnya (ditandatangani) suatu kontrak, ataupun jika

dilihat pada saat terjadinya kerugian. Teori ini membawa dua

konsekuensi hukum yaitu sebagai berikut :

a. Jika kerugian ternyata lebih kecil ketimbang yang diperkirakan,

sedangkan jumlah ganti rugi dalam kontrak telah diantisipasi secara

layak dan jumlahnya lebih besar, maka klausula dalam kontrak

tersebut dapat dilaksanakan (sungguhpun jumlahnya lebih besar).

Jadi dalam hal ini yang dilihat adalah jumlah pada saat kontrak

dibuat.
54

b. Jika klausula dalam kontrak menyebutkan jumlah yang terlalu tinggi

dari yang dapat diantisipasi secara layak, ketentuan kontrak tersebut

masih bisa dilaksanakan jika ternyata pada waktu wanprestasi

terjadi, ternyata memang di luar dugaan bahwa kerugiannya terlalu

besar.

Terlepas dari semua hal tersebut, seorang debitur dapat tidak memenuhi

prestasi dalam sebuah kontrak yang dilakukannya jika ada suatu peristiwa yang

tidak terduga pada saat pembuatan kontrak ( force majeure ), keadaan atau

peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara

si debitur tersebut tidak dalam beritikad buruk. Hal tersebut sesuai dengan pasal

1245 KUH Perdata yang berbunyi :

Tidaklah biaya ganti rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran
keadaan memaksa atau apabila lantaran suatu kejadian tak disengaja si
berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan,
atau lantaran hal - hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

Apabila dilihat dari sasaran yang terkena force majeure, maka force majeure

sering dibeda – bedakan sebagai berikut :38

1. Force majeure yang obyektif

Force majeure yang bersifat obyektif ini terjadi atas benda yang

merupakan obyek kontrak tersebut. Artinya keadaan benda tersebut

sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi dipenuhi prestasi sesuai

kontrak, tanpa adanya unsur kesalahan dari pihak debitur. Misalnya

benda tersebut terbakar. Karena itu, pemenuhan prestasi sama sekali

38
Ibid, h. 115.
55

tidak mungkin dilakukan karena yang terkena adalah benda yang

merupakan obyek dari kontrak, maka force majeure seperti ini disebut

juga dengan physical impossibility.

2. Force majeure yang subyektif

Sebaliknya, force majeure yang bersifat subyektif terjadi

manakala force majeure tersebut terjadi bukan dalam hubungannya

dengan obyek (yang merupakan benda) dari kontrak yang bersangkutan,

tetapi dalam hubungannya dengan perbuatan atau kemampuan debitur

itu sendiri. Misalnya jika si debitur sakit keras sehingga tidak mungkin

berprestasi lagi.

4. Penyelesaian Pelanggaran MoU Sebagai Kontrak yang Melibatkan Antar

Negara

Pada saat Memorandum of Understanding dapat dianggap sebagai kontrak

yang mengikat para pihak, maka ketika terjadi pelanggaran klausul dalam

Memorandum of Understanding pihak yang dirugikan dapat melakukan tuntutan

hukum kepada pihak yang dianggap merugikan. Akan tetapi ketika para pihak

dalam Memorandum of Understanding adalah pemerintah antar negara

kemanakah tuntutan hukum dapat diajukan sedangkan dalam MoU tidak diatur.

Sedangkan para pihak biasanya menghindari dari proses litigasi, selain disebabkan

oleh banyaknya waktu yang terbuang, mereka tidak ingin berhadapan dengan

proses hukum negara lain yang sama sekali asing bagi mereka, serta ada keragu-

raguan bahwa peradilan setempat akan bersikap tidak objektif. Para hakim dari

negara yang bersangkutan akan mengutamakan kepentingan-kepentingan dari


56

pada pemerintah negara dari mana mereka merupakan hakim.39Maka salah

satunya adalah melalui arbitrase internasional. Pengertian Arbitrase menurut para

ahli sendiri adalah sebagai berikut :

Yahya Harahap berpendapat arbitrase merupakan salah satu metode

penyelesaian sengketa. Sengketa yang harus diselesaikan tersebut berasal dari

sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut:

a) Perbedaan penafsiran ( disputes ) mengenai pelaksanaan perjanjian,

berupa:

1) Kontraversi pendapat ( Controversy );

2) Kesalahan pengertian ( misunderstanding );

3) Ketidaksepakatan ( disagreement ).

b) Pelanggaran perjanjian ( breach of contract ) termasuk didalamnya adalah:

1) Sah atau tidaknya kotrak;

2) Berlaku atau tidaknya kontrak;

c) Pengakhiran kontrak ( termination of contract );

d) Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan atau melawan

hukum.

Menurut Abdurrachman arbitrase dimaksudkan sebagai memeriksa sesuatu,

atau mengambil keputusan mengenai faedahnya. Proses yang oleh suatu

perselisihan antara dua pihak yang bertentangan diserahkan kepada satu pihak

39
Sudargo Gautama, capita Selecta Hukum Perdata Internasional, Alumni Bandung,
1983, h. 57.
57

atau lebih yang tidak berkepentingan untuk mengadakan pemeriksaan dan

mengambil suatu keputusan terakhir. Pihak yang tidak berkepentingan atau

arbitator tersebut, dapat dipilih oleh pihak-pihak itu sendiri, atau boleh ditunjuk

oleh suatu badan yang lebih, tinggi yang kekuasaannya diakui oleh pihak-pihak

itu. Pelaksanaan prosedur arbitration kedua belah pihak yang bertentangan itu

sebelumnya telah menyetujui akan menerima keputusan arbitrator

Dari beberapa definisi yang ada tentang pengertian arbitrase, Munir Fuady

menyimpulkan terdapat beberapa karakteristik yuridis dari arbitrase. Karateristik

yuridis tersebut adalah sebagai Berikut :

a. Adanya kontraversi diantara para pihak;

b. Kontraversi tersebut diajukan kepada arbiter;

c. Arbiter diajukan oleh para pihak atau ditunjuk oleh badan tertentu;

d. Arbiter adalah pihak diluar badan peradilan umum;

e. Dasar pengajuan sengketa ke arbitrase adalah perjanjian;

f. Arbiter melakukan pemeriksaan perkara;

g. Setelah memeriksa perkara, arbiter akan memberikan putusan arbitrase

tersebut dan mengikat para pihak.

Sudargo Gautama memberikan pengertian arbitrase internasional secara

agak luas menurutnya arbitrase akan bersifat Internasional jika beberapa hal

terpenuhi, yaitu : Pertama, apabila para pihak yang membuat klausul arbitrase atau

perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian itu mempunyai tempat usaha (

places of business ) mereka di negara-negara yang berbeda. Kedua, jika tempat

arbitrase yang ditentukan dalam perjanjian arbitrase ini letaknya diluar negara
58

tempat para pihak mempunyai tempat usaha mereka. Ketiga, apabila suatu tempat

di mana bagian terpenting kewajiban atau hubungan dagang para pihak harus

dilaksanakan atau tempat di mana obyek sengketa paling erat hubungannya ( most

closely connected ), memang letaknya diluar negara tempat usaha para pihak.

Keempat, apabila para pihak secara tegas telah menyetujui bahwa obyek

perjanjian mereka ini berhubungan dengan lebih dari satu negara. Maka ketika

terjadi pelanggaran klausul dalam MoU gugatan dapat dilakukan ke badan

arbitrase yang disepakati para pihak.

Anda mungkin juga menyukai