Anda di halaman 1dari 22

21.

Mastitis
Mastitis adalah suatu kondisi peradangan pada payudara yang dapat disertai dengan
infeksi bakteri (Pevzner & Dahan, 2020). Infeksi parenkim pada kelenjar mammae sebagai
komplikasi antepartum jarang terjadi, namun diperkirakan penyakit ini berkembang pada
sepertiga wanita menyusui. (Cunningham, et al., 2015). Infeksi payudara selama menyusui
merupakan fenomena umum yang membutuhkan penanganan segera dan tepat. Tanpa
pengobatan yang tepat, peradangan dapat menyebabkan penghentian menyusui (Pevzner &
Dahan, 2020).
a. Epidemiologi
Prevalensi keseluruhan mastitis pada ibu menyusui adalah 5,1% dimana umumnya
terjadi pada 3 minggu setelah melahirkan, dan insiden-nya tinggi pada pasien dengan riwayat
seksio sesarea (5,8%) dibandingkan dengan pasien persalinan pervaginam (4,8%) (Blackmon,
Nguyen, & Mukherji, 2020; Dutta & Gowder, 2018). Faktor predisposisi antara lain
primipara (57%), status sosial ekonomi rendah (49%), pasien anemia (45%), pembengkakan
(engorgement) payudara (75%), puting pecah-pecah (44%), puting susu terbalik (13%),
pelekatan bayi yang buruk ke payudara (32%), jarang mengeluarkan ASI (7%), ASI berlebih
(37,5%) dan suplai ASI rendah (12,5%). Laporan kultur ASI menunjukkan pertumbuhan
Staphylococcus aureus (75%) dan MRSA (25%) pada pasien mastitis. Tujuh pasien
mengalami komplikasi abses payudara (4,4%) (Dutta & Gowder, 2018)
b. Patofisiologi
Mastitis terjadi karena kombinasi drainase ASI yang tidak adekuat disertai dengan
masuknya bakteri. Penyebab paling umum yang menyebabkan drainase ASI buruk termasuk
pemberian ASI yang jarang, produksi ASI berlebih, penyapihan anak terlalu cepat, terdapat
penyakit pada ibu atau anak, dan obstruksi duktus. Air susu yang tidak dikeluarkan secara
maksimal akan menetap (statis) dan organisme dapat tumbuh, menyebabkan infeksi.
Diperkirakan bahwa bakteri biasanya berasal dari mulut bayi, atau kulit ibu yang kemudian
masuk ke dalam ASI melalui retakan di putting (Blackmon, Nguyen, & Mukherji, 2020).
c. Diagnosis
Untuk menegakan diagnosis mastitis, umumnya dapat dilakukan secara klinis.
Adanya riwayat pembengkakan payudara ataupun obstruksi duktus laktiferus secara fokal
menandakan awal terjadinya mastitis. Mastitis laktasi ditandai dengan area payudara yang
fokal, kencang, eritematosa, bengkak, dan nyeri, ditambah demam ≥ 38,5oC. Penderita sering
mengalami gejala sistemik seperti menggigil, mialgia, dan malaise (Blackmon, Nguyen, &
Mukherji, 2020). Sementara pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan diagnostik tambahan
lainnya, seperti kultur bakteri dan uji sensitivitas bakteri dilakukan apabila tidak ada respon
terhadap antibiotik dalam 2 hari, mastitis yang terjadi berulang kali, mastitis yang didapat di
rumah sakit, pasien alergi terhadap antibiotik terapeutik biasa atau pada kasus yang parah
atau tidak biasa
d. Manajemen
 Terapi suportif
Pengeluaran ASI yang efektif, dalam kasus stasis ASI di lokasi yang lebih dalam di
jaringan payudara, langkah penanganan yang paling penting adalah pembuangan ASI yang
sering dan secara efektif. Ibu harus didorong untuk menyusui lebih sering, mulai dari
payudara yang sakit. Setelah menyusui, memeras ASI dengan tangan atau pompa dapat
berkontribusi pada pengosongan payudara yang baik, dan dengan demikian berkontribusi
pada penyembuhan; pijatan di area yang nyeri ke arah puting membantu mengosongkan
payudara dengan benar (Pevzner & Dahan, 2020). Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran
akan pentingnya pijat limfatik dalam pengobatan mastitis telah meningkat, ini dilakukan
dengan cara memijat permukaan kulit dari areola ke aksila dengan tujuan meningkatkan
drainase cairan menuju kelenjar getah bening aksila (Pevzner & Dahan, 2020).
Tidak ada bukti risiko pada bayi cukup bulan yang sehat untuk melanjutkan menyusui
dari ibu dengan mastitis, namun terkadang bayi menolak untuk menyusui karena produksi
ASI yang menurun pada payudara yang meradang, atau karena perubahan rasa ASI. Mastitis
mempengaruhi komposisi biokimia susu, dan akibatnya, susu menjadi lebih asin. Seorang
wanita yang tidak dapat menyusui karena penolakan bayi atau karena alasan lain harus
memompa atau memerah ASI dengan tangan, karena penghentian pengeluaran ASI secara
tiba-tiba dapat menyebabkan perkembangan abses (Pevzner & Dahan, 2020)
Kompres air panas atau mandi air panas segera sebelum menyusui atau memompa
ASI dapat memfasilitasi keluarnya ASI dari payudara. Sementara kompres dingin setelah
menyusui atau memompa dan di antara menyusui akan mengurangi kemungkinan nyeri atau
edema (Pevzner & Dahan, 2020). Selain mengeluarkan ASI yang efektif, istirahat, nutrisi,
dan minum cukup cairan merupakan langkah penting yang dapat membantu proses
penyembuhan (Pevzner & Dahan, 2020).
 Terapi farmakologis
Sebelum memberikan terapi farmakologis, penting untuk ditekankan bahwa terapi
suportif harus dilanjutkan bersamaan dengan terapi obat, karena terapi dengan obat saja tidak
cukup. Analgesik dapat diberikan agar nyeri tidak mengganggu refleks pengeluaran ASI,
karena ibuprofen memiliki sifat anti-inflamasi selain analgesia, ibuprofen memiliki
keunggulan dibandingkan parasetamol. Ibuprofen dengan dosis hingga 1,6 g per hari
dianggap aman untuk menyusui (Pevzner & Dahan, 2020). Antibiotik diberikan jika gejala
tidak membaik dalam 12-24 jam setelah pengobatan dimulai, durasi pengobatan yang biasa
adalah 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan dalam 48 jam, maka perubahan antibiotik harus
dipertimbangkan sambil menunggu hasil kultur. Penting untuk dicatat bahwa amoksisilin
tanpa klavulanat bukanlah pilihan pengobatan yang sesuai karena tingkat resistensi yang
tinggi (Pevzner & Dahan, 2020)

Gambar 3. Pilihan antibiotik untuk mastitis


e. Komplikasi
Salah satu komplikasi mastitis yang paling umum adalah penghentian menyusui dini,
hal ini umumnya disebabkan oleh rasa nyeri yang dirasakan pasien. Abses payudara adalah
komplikasi lain dari mastitis laktasi dan terjadi pada 3% sampai 11% pasien, yang biasanya
perkembangan abses payudara ini lebih sering terjadi jika mastitis tidak diobati lebih awal
(Blackmon, Nguyen, & Mukherji, 2020). Apabila mastitis berkembang menjadi abses, terapi
kombinasi drainase dan terapi antibiotik yang sesuai dibutuhkan untuk mencapai
penyembuhan. Setelah drainase abses, apabila menyusui pada sisi yang terdapat abses harus
dilakukan dengan postur di mana tidak ada kontak langsung antara mulut bayi dan luka. Jika
bayi tidak dapat diposisikan sedemikian rupa sehingga mulut tidak menyentuh luka, sangat
penting untuk mengeluarkan ASI dari payudara dengan cara memompa atau memerasnya
secara manual selain itu pengeluaran ASI secara terus menerus setelah drainase akan
mempercepat penyembuhan (Pevzner & Dahan, 2020).
Salah satu konsekuensi yang mungkin timbul dari terapi antibiotik mastitis mungkin
adalah pertumbuhan patologis kandida pada puting susu. Gejala utama kandidiasis pada
puting termasuk rasa terbakar, sensasi menusuk, atau nyeri pada tali pusat, yang terjadi
selama atau setelah menyusui, dan juga dapat dirasakan di antara sesi. Meskipun dermatosis
di area puting yang disebabkan kandida sering ditandai dengan penampilan puting susu
merah muda mengkilap dengan puting yang halus atau bersisik, puting dan payudara
mungkin juga memiliki penampilan yang normal (Pevzner & Dahan, 2020). Sediaan
antijamur topikal direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama, klotrimazol atau
mikonazol harus dioleskan ke puting susu setelah setiap menyusui atau setiap 3–4 jam. Salep
kombinasi steroid dapat dipertimbangkan dalam kasus nyeri dan komponen inflamasi yang
jelas (Pevzner & Dahan, 2020).

Daftar Pustaka
Blackmon, M., Nguyen, H., & Mukherji, P. (2020). Acute Mastitis. In StatPearls. Treasure
Island: Statpearls Publishing. Retrieved from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557782/
Cunningham, G., Leveno , K., Bloom, S., Spong , C., Dashe , J., Hoffman, B., . . . Sheffield,
J. (2015). Breast Infection. In Williams Obstetrics (pp. 691-692). New York:
McGraw-Hill Education.
Dutta, R., & Gowder, R. (2018). The Prevalence and Predisposing Factors of Mastitis in
Lactating Mothers in Puerperium. The New Indian Journal of Obgyn, 5(1), 28-32.
Pevzner, M., & Dahan, A. (2020). Mastitis While Breastfeeding: Prevention, the Importance
of Proper Treatment, and Potential Complications. Journal of Clinical Medicine, 1-6.
doi:10.3390/jcm9082328
22. Kehamilan Normal
Kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan
ovum dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Bila dihitung dari saat fertilisasi hingga
lahirnya bayi, kehamilan normal akan brlangsung dalam waktu 40 minggu atau 10 bulan
lunar atau 9 bulan menurut kalender internasional. Kehamilan terbagi dalam 3 trimester,
dimana trimester kesatu berlangsung dalam 12 minggu, trimester kedua 15 minggu (minggu
ke 13 – ke 27 ), dan trimester ketiga 13 minggu (minggu ke – 28 hingga minggu ke 40)
(Prawirohardjo, et al., 2014).
a. Proses Terjadinya Kehamilan
Untuk terjadinya kehamilan harus ada spermatozoa, ovum, pembuahan ovum (konsepsi), dan
nidasi (implantasi) hasil konsepsi. Setiap Spermatozoa terdiri atas tiga bagian yaitu kaput
atau kepala yang berbentuk lonjong agak gepeng dan mengandung bahan nukleus, ekor, dan
bagian yang silindrik (leher) menghubungkan kepla dan ekor. Dengan getaran ekornya
spermatozoa dapat bergerak cepat (Prawirohardjo, et al., 2014).
Dalam pertumbuhan embrional spermatogonium berasal dari sel-sel primitif tubulus-
tubulus testis. Setelah janin dilahirkan, jumlah spermatogonium yang ada tidak mengalami
perubahan sampai masa pubertas tiba. Pada masa pubertas sel-sel sperma togonium tersebut
dalam pengaruh sel-sel leydig mulai aktif mengadakan mitosis, dan terjadilah proses
spermatogenesis yang sangat kompleks. Setiap spermatogonium membelah dua dan
menghasilkan spermatosit primer. Spermatosit primer ini membelah dua da menjadi dua
spermatosit sekunder, kemudian spermatosit sekunder membelah dua lagi dengan hasil dua
spermatid yang masing-masing memiliki jumlah kromosom setengah dari jumlah yang khas
untuk jenis itu. Dari spermatid ini kemudian tumbuh spermatozoa (Prawirohardjo, et al.,
2014).
Ovum mempunyai diameter 0,1 mm ditengah-tengahnya dijumpai nukleus yang
berada dalam metafase pada pembelahan pematangan kedua, terapung-apung dalam
sitoplasma yang kekuning-kuningan disebut vitelus. Vitelus ini yang mengandung
karbohidrat dan asam amino. Ovum dilingkari oleh zona pelusida. Diluar zona pelusida ini
ditemukan sel-sel korona radiata, dan didalamnya terdapat ruang perivitelina, tempat benda-
benda kutub. Bahan-bahan dari sel-sel korona radiata dapat disalurkan ke ovum melalui
saluran-saluran halus di zona pelusida. Jumlah sel-sel korona radiata didalam perjalanan
ovum diampula tuba makin berkurang, sehingga ovum hanya dilingkari oleh zona pelusida
pada waktu berada dekat pada perbatasan ampula da ismus tuba, tempat pembuahan
umumnya terjadi (Prawirohardjo, et al., 2014).
1. Pembuahan
Jutaan spermatozoa ditumpahkan di forniks vagina dan disekitar porsio pada waktu
koitus. Hanya beberapa ratus ribu spermatozoa dapat terus ke kavum uteri dan tuba, dan
hanya beberapa ratus dapat sampai kebaian ampula tuba dimana spermatozoa dapat
memasuki ovum yang telah siap untuk dibuahi. Hanya satu spermatozoa yang mempunyai
kemampuan (kapasitasi) untuk membuahi.
Fertilisasi (pembuahan) adalah penyatuan ovum dan spermatozoa yag biasanya
berlangsung diampula tuba. Fertilisasi meliputi penetrasi spermatozoa kedalam ovum, fusi
spermatozoa dan ovum, diakhiri dengan fusi materi genetik. Hanya satu spermatozoa yang
telah mengalami proses kapasitasi mampu melakukan penetrasi membran sel ovum. Untuk
mencapai ovum, spermatozoa harus melewati korona radiata (lapisan sel diluar ovum) dan
zona pelusida suatu bentuk glikoprotein ekstra seluler), yaitu dua lapisan yang menutupi dan
mencegah ovum mengalami fertilisasi lebih dari satu spermatozoa.
Pada saat spermatozoa menembus zona pelusida terjadi reaksi korteks ovum. Granula
korteks didalam ovum berfusi dengan membran plasma sel, sehinga enzim didalam granula-
granula dikeluarkan secara eksositosis ke zona pelusida. Hal ini menyebabkan glikoprotein di
zona pelusida berkaitan satu sama lain membentuk suatu materi yang keras dan tidak dapat
ditembus oleh spermatozoa. Proses ini mencegah ovum dibuahi lebih dari satu sperma.
Spermatozoa yang telah masuk ke vitelus kehilana membran nukleusnya yang tinggal
hanya pronukleusnya, sedangkan ekor spermatozoa dan mitokondrianya berdegenerasi. Itulah
sebabnya seluruh mitokondria pada manusia barasal dari ibu (maternal). Masuknya
spermatozoa kedalam vitelus membangkitkan nukleus ovum yang masih dalam metafase
untuk proses pembelahan selanjutnya. Sesudah anafase kemudian timbul telofase, dan benda
utub kedua menuju ruang perivielina. Ovum sekarang hanya mempunyai pronukleus yang
haploid. Pronukleus spermatozoa juga telah mengandung jumlah kromosom yang haploid.
Kedua pronukleus dekat mendekati dan bersatu membentuk zigot yang terdiri atas
bahan genetik dari perempuan dan laki-laki. Pada manusia terdapat 46 kromosom, ialah 44
kromosom otosom dan 2 kromosom kelamin; pada seorang laki-laki satu X dan satu Y.
Sesudah pembelahan kematangan, maka ovum matang mempunyai 22 kromosom otosom
serta 1 kromosom X, dan suatu spermatozoa mempunyai 22 kromosom otosom serta 1
kromosom X atau 22 kromosom otosom serta 1 kromosom Y. Zigot sebagai hasil pembuahan
yang memiliki 44 kromosom otosom serta 2 kromosom X akan umbuh sebagai janin
perempuan, sedang yang memiliki 44 kromosom otosom serta 1 kromosom X dan 1
kromosom Y akan tumbuh sebaai janin laki-laki.
Dalam beberapa jam setelah pembuahan terjadi, mulailah pembelahan zigot. Hal ini
dapat berlangsung oleh karena sitoplasma ovum mengandung banyak zat asam amino dan
enzim. Segera setelah pembelahan ini terjadi, pembelahan-pembelahan selanjutnya berjalan
dengan lancar, dan dalam 3 hari terbentuk suatu kelompok sel yang sama besarnya. Hasil
konsepsi berada dalam stadium morula. Energi untuk pembelahan ini diperoleh dari vitelus,
hingga volume vitelus makin berkurang dan terisi seluruhnya oleh morula. Dengan demkian,
zona pelusida tetap utuh, atau dengan perkataan lain, besarnya hasil konsepsi tetap sama.
Dalam ukuran yag sama ini hasil konsepsi disalurkan terus sampai ke pars ismika dan pars
interstisialis tuba (bagian-bagian tuba yang sempit) dan terus disalurkan ke arah kavum uteri
oleh arus serta getaran silia pada permukaan sel-sel tuba dan kontraksi tuba (Prawirohardjo,
et al., 2014).
2. Nidasi
Pada hari keempat hasil konsepsi mencapai stadium blastula disebut blastokista, suatu
bentuk yang bagian luarnya adalah trofoblas da dibagian dalamnya disebut massa inner cell.
Massa inner cell ini berkembang menjadi janin dan trofoblas akan berkembang menjadi
plasenta. Dengan demikian, blastokista diselubungi oleh suatu simpai yang disebut trofoblas.
Tropoblas ini sangat kritis untuk keberhasilan kehamilan terkait dengan keberhasilan nidasi,
produksi hormon kehamilan, proteksi imunitas terhadap janin, peningkatan aliran darah
maternal kedalam plasenta, dan kelahiran bayi. Sejak trofoblas terbentuk, produksi hormon
hman chorionic gonadotropin (hCG) dimulai, suatu hormon yang memastikan bahwa
endometrium akan menerima (reseptif) dalam proses implantasi embrio.
Tropoblas yang mempunyai kemampuan menghancurkan dan mencairkan jaringan
menemukan endometrium dalam masa sekresi, dengan sel-sel desidua. Sel-sel desidua ini
besar-besar dan mengandung lebih banyak glikogen serta mudah dihancurkan oleh trofoblas.
Nidasi diatur oleh suatu proses yang kompleks antara trofoblas dan endometrium. Di satu sisi
trofoblas mempunyai kemampuan invasif yang kuat, disisi lain endometrium mengontrol
invasi trofoblas dengan menyekresikan faktor-faktor yan aktif setempat (lokal) yaitu inhibitor
cytokines dan protease. Keberhasilan nidasi dan plasentasi yang normal adalah hasil
keseimbangan proses antara trofoblas dan endometrium.
Dalam perkembangan diferensiasi trofoblas, sitotrofoblas yang belum berdiferensiasi
dapat berkembang dan berdiferensiasi menjadi 3 jenis, yaitu 1 sinsiotrofoblas yang aktif
menghasilkan hormon, 2 trofoblas jangkar ekstravili yang akan menempel pada
endometrium, dan 3 trofoblas yang invasif.
Invasi trofoblas diatur oleh pengaturan kadar hCG. Sinsisiotrofoblas menghasilkan
hCG yang akan mengubah sitotrofoblas menyekkresikan hormon yag non invasif. Trofoblas
yang semakin dekat dengan endometrium menghasilkan kadar hCG yang semakin rendah,
dan membuat trofoblas berdiferensiasi dalam sel-sel jangkar yang menghasilkan protein
perekat plasenta yaitu tropouteronectin.Trofoblas-trofoblas invasif lain yang lepas dan
bermigrasi kedalam ndometrium dan miometrium akan menghasilkan protease dan inhibitor
protease yang diduga memfasilitai proses invasi ke dalam jaringan maternal.
Dalam tingkat nidasi, trofoblas antara lain menghasilkan hormon human chorionic
gonadotropin. Produksi huma chorionic gonadotropin meningkat sampai kurang lebih hari
ke-60 kehamilan untuk kemudia turun lagi. Diduga bahwa fungsinya ialah mempengaruhi
korpus luteum untuk tumbuh terus, dan menghasilkan terus progesteron, sampai plasenta
dapat membuat cakup progenteron sendiri. Hormon korionik gonadotropin inilah yang khas
untuk menentukan ada tdaknya kehamilan. Hormon tersebut dapat ditemukan didalam air
kemih ibu hamil.
Blastokista dengan bagian yang mengandung massa inner cell aktif mudah masuk
dalam lapisan desidua, dan luka pada desidua kemudian menutup kembali. Kadang-
kadangpada saat nidasi yakni masuknya ovum kedalam endometrium terjadi perdarahan pada
luka desidua (tanda Hartman).
Pada umumnya blastokista masuk diendometrium dengan bagian mana massa inner-
cell berlokasi. Dikemukkan bahwa hal inilah yang menyebabkan tali pusat berpangkal sentral
atau parasentral. Bila sebaliknya dengan bagian lain blastokista memasuki endometrium,
maka terdapatlah tali pusat dengan insersio velamentosa. Umumnya nidasi terjadi di dinding
depan atau belakang uterus, dekat pada fundus uteri. Jika nidasi ini terjadi, barulah dapat
disebut adanya kehamilan.
Setelah nidasi berhasil, selanjutnya hasil konsepsi akan bertumbuh dan berkembang
didalam endometrium. Embrio ini selalu terpisahkan dari darah dan jaringa ibu oleh suatu
lapisan sitotrofoblas disisi bagian dalam dan sinsiotrofoblas disisi bagian luar. Kondisi ini
kritis ridak hanya untuk pertukaran nutrisi , tetapi juga untuk melndungi janin yag bertumbuh
dan berkembang dari serangan imunologik maternal. Bila nidasi telah berhasil terjadi,
mulailah diferensiasi sel-ssel blastokista. Sel-sel yang lebih kecil, yang dekat pada ruang
eksoselom, membentuk entoderm dan yolk sacsedangkan sel-sel yang lebih besar menjadi
ektoderm dan membentuk ruang amnion.
Pertumbuhan embrio terjadi dari embryonal plate yang selanjutnya terdiri atas tiga
unsur lapisan, yakni sel-sel ektoderm, mesoderm, dan entoderm. Sementara itu, ruang amnion
tumbuh dengan cepat dan mendesak eksoselom akhirnya dinding ruang amnion dan embrio
menjadi padat, dinamakan bodystalk, dan merupakan hubungan antara embrio dan dinding
trofoblas. Body stalk menjadi tali pusat. Dalam tali pusat sendiri yang berasal dari body stalk,
terdapat pembulu-pembuluh darah sehingga ada yang menamakannnyavaskular stalk. Dari
perkembangan ruang amnion dapat dilihat bahwa bagian luar tali pusat berasal dari lapisan
amnion . didalamnya terdapat jaringa lembek, selei wharton, yang berfungsi melindungi 2
arteria umbilikalis dan 1 vena umbilikalis yang berada di dalam tali pusat (Prawirohardjo, et
al., 2014)
3. Plasentasi
Plasentasi adalah proses pembentukan struktur dan jenis plasenta. Setelah nidasi
embrio kedalam endometrium, plasentasi dimulai. Pada manusia plasentasi berlangsung
sampai 12 – 18 minggu setelah fertilisasi.
Dalam 2 minggu pertama perkembangan hasil konsepsi, trofoblas invasif telah
melakukan penetrasi ke pembuluh darah endometrium. Terbentuklah sinus intertrofoblastik
yaitu ruangan-ruangan yang berisi darah maternal dari pembuluh-pembuluh darah yang
dihancurkan. Pertumbuhan ini berjala terus, sehingga timbul ruangan-ruangan interviler
dimana vili korialis seolah-olah terpung-apung diantara ruangan-ruangan tersebut sampai
terbentuknya plasenta.
Tiga minggu pascafertilisasi sirkulasi darah janin dini dapat diidentifikasi dan dimulai
pembentukan vili korialis. Sirkulasi darah jain ini berakhir dilengkung kapilar (capilarry
loops) didalam vili korialis yang ruang intervilinya dipenuhi dengan darah meternal yang
dipasok oleh arteri spiralis dan dikeluarkan melalui vena uterina. Vili korialis ini akan
bertumbuh menjadi suatu massa jaringan yaitu plasenta.
Lapisan desidua yang meliputi hasil konsepsi kearah kavum uteri disebut desidua
kapsularis yang terletak antara hasil konsepsi dan dinding uterus disebut desidua basalis
disitu plasenta akan dibentuk. Desidua yang meliputi dinding uterus yang lain adalah desidua
pariealis. Hasil konsepsi sendiri diselubungi oleh jonjot-jonjot yang dinamakan vili korialis
dan berpangkal pada korion. Sel-sel fibrolas mesodermal tumbuh disekitar embrio dan
melapisi pula sebelah dalam tropoblas. Dengan demikian, terbentuk chorionic membrane yag
kelak menjadi korion. Selain itu, vili korialis yang behubungan dengan desidua basalis
tumbuh dan bercabang-cabang dengan baik, disinni orion disebut korion frondosum. Yang
berhubungan dengan desidua kapsularis kurang mendapat makanan, karena hasil konsepsi
bertumbuh kearah kavum uteri sehingga lambat-laun menghilang; korion yag gundul ini
disebut korion laeve.
Darah ibu dan janin dipisahkan oleh dinding pembuluh darah janin dan lapisan
korion. Plasenta yang demikian dinamakan plasenta jenis hemokorial. Disini jelas tidak ada
pencampuran darah antara janin dan darah ibu. Ada juga sel-sel desidua yang tidak dapat
dihancurkan oleh tropoblas dan sel-sel ini akhirnya membentuk lapisan fibrinoid yang disebut
lapisan Nitabuch. Ketika proses melahirkan, plasenta terlepas dari endometrium pada lapisan
Nitabuch ini (Prawirohardjo, et al., 2014).
b. Fisiologi kehamilan
 Uterus
Pada wanita tidak hamil, berat uterus kira-kira 70 g dan padat, kecuali untuk cavum
uteri 10 mL atau kurang. Selama kehamilan, rahim diubah menjadi organ otot berdinding
tipis dengan kapasitas yang cukup untuk menampung janin, plasenta, dan cairan amnion.
Volume total isi rata-rata sekitar 5 L tetapi mungkin 20 L atau lebih. Pada akhir kehamilan,
rahim telah mencapai kapasitas 500 sampai 1000 kali lebih besar dibandingkan pada keadaan
tidak hamil. Peningkatan berat uterus yang sesuai sedemikian rupa sehingga, menurut istilah,
berat organ hampir 1.100 g. Hipertrofi uterus di awal kehamilan mungkin dirangsang oleh
kerja estrogen dan mungkin progesteron (Cunningham G. F., et al., 2015).
 Serviks
Pada satu bulan pertama setelah pembuahan, serviks mulai mengalami pelunakan dan
sianosis. Perubahan ini diakibatkan oleh peningkatan vaskularisasi dan edema pada seluruh
serviks, bersama dengan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar serviks (Cunningham G. F., et al.,
2015).
 Ovarium
Ovulasi berhenti selama kehamilan, dan pematangan folikel baru ditangguhkan. Korpus
luteum tunggal yang ditemukan pada wanita hamil berfungsi maksimal selama 6 hingga 7
minggu pertama kehamilan — 4 hingga 5 minggu pascovulasi — dan setelah itu
berkontribusi relatif sedikit terhadap produksi progesteron (Cunningham G. F., et al., 2015).
 Payudara
Pada minggu-minggu awal kehamilan, wanita sering mengalami nyeri payudara dan
parestesia. Setelah bulan kedua, payudara membesar, dan pembuluh darah halus menjadi
terlihat tepat di bawah kulit. Puting susu menjadi jauh lebih besar, berpigmen lebih dalam,
dan lebih ereksi. Setelah beberapa bulan pertama, cairan kental dan kekuningan (kolostrum)
sering kali dapat keluar dari puting dengan pijatan lembut. Selama bulan yang sama, areola
menjadi lebih luas dan berpigmen lebih dalam (Cunningham G. F., et al., 2015).
 Kulit
Dimulai setelah pertengahan kehamilan, garis-garis kemerahan biasanya muncul di
kulit perut dan kadang-kadang di kulit di atas payudara dan paha. Ini disebut striae
gravidarum atau stretch mark. Garis tengah kulit dinding perut anterior (linea alba)
mengalami pigmentasi coklat kehitaman untuk membentuk linea nigra. Angioma, yang
disebut vascular sppider, berkembang pada sekitar dua pertiga wanita kulit putih dan sekitar
10 persen wanita kulit hitam. Terutama umum pada wajah, leher, dada bagian atas, dan
lengan, ditandai dengan peninggian kecil kulit merah, dengan radikula bercabang dari lesi
sentral. Perubahan-perubahan ini kemungkinan besar merupakan konsekuensi dari
hiperestrogenemia (Cunningham G. F., et al., 2015).
 Hematologi
Rata-rata hipervolemia yang terkait dengan kehamilan normal rata-rata 40 sampai 45
persen di atas darah tidak hamil. Volume darah ibu mulai meningkat selama trimester
pertama setelah 32 sampai 34 minggu. Hipervolemia akibat kehamilan memiliki beberapa
fungsi penting. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan metabolisme uterus yang membesar dan
sistem vaskularnya yang sangat hipertrofi. Kedua, memberikan nutrisi dan elemen yang
melimpah untuk mendukung pertumbuhan plasenta dan janin yang cepat. Volume
intravaskular yang meningkat juga melindungi ibu dan janin, dari efek merugikan dari
gangguan aliran balik vena dalam posisi terlentang dan tegak. Terakhir, hipervolemia
melindungi ibu dari efek samping kehilangan darah terkait proses kelahiran (Cunningham G.
F., et al., 2015).
 Kardiovaskular
Selama kehamilan dan masa nifas, jantung dan sirkulasi mengalami adaptasi fisiologis
yang luar biasa. Perubahan fungsi jantung tampak selama 8 minggu pertama kehamilan.
Curah jantung meningkat pada minggu kelima dan mencerminkan penurunan resistensi
vaskular sistemik dan peningkatan denyut jantung. Dibandingkan dengan pengukuran
sebelum hamil, tekanan darah sistolik brakialis, tekanan darah diastolik, dan tekanan darah
sistolik sentral semuanya secara signifikan lebih rendah 6 sampai 7 minggu dari periode
menstruasi terakhir. Denyut nadi istirahat meningkat sekitar 10 kali/menit selama kehamilan.
Antara minggu ke 10 dan 20, ekspansi volume plasma dimulai, dan preload meningkat
(Cunningham G. F., et al., 2015).
 Respirasi
Kapasitas residu fungsional (FRC) menurun sekitar 20-30% atau 400-700 mL selama
kehamilan. Kapasitas ini terdiri dari volume cadangan ekspirasi, yang menurun 15-20% atau
200-300 mL, dan volume sisa yang menurun 20-125% atau 200-400 mL. FRC dan penurunan
volume sisa akibat peningkatan diafragma, dan penurunan yang signifikan diamati pada bulan
keenam dengan penurunan progresif selama kehamilan. Kapasitas inspirasi, volume
maksimum yang dapat dihirup dari FRC, meningkat 5-10% atau 200-250 mL selama
kehamilan. Kapasitas paru total, yaitu kombinasi FRC dan kapasitas inspirasi tidak berubah
atau menurun kurang dari 5 persen saat aterm. Kecepatan pernapasan pada dasarnya tidak
berubah, tetapi volume tidal dan ventilasi menit istirahat meningkat secara signifikan seiring
dengan kemajuan kehamilan. Ventilasi menit yang meningkat disebabkan oleh peningkatan
dorongan pernapasan terutama karena aksi stimulasi progesteron, volume cadangan ekspirasi
yang rendah, dan alkalosis pernapasan terkompensasi, yang akan dibahas lebih rinci
selanjutnya. (Cunningham G. F., et al., 2015)
c. Diagnosis
 Anamnesis
Kehamilan dicurigai apabila dari hasil anamnesis didapatkan, haid yang terhenti, mual dan
muntah pada pagi hari, sering BAK, pengerasan dan pembesaran payudara, dan puting susu
lebih hitam (Kemenkes RI, 2013)
 Pemeriksaan fisik/obstetrik
Periksa tanda vital ibu (tekanan darah, nadi, suhu, frekuensi napas), ukur berat badan, tinggi
badan, serta lingkar lengan atas (LLA) pada setiap kedatangan. Pemeriksaan payudara
mungkin ditemukan puting susu dan areola menjadi lebih menghitam dan dari pemeriksaan
ekstremitas perlu diperhatikan adanya edema dan varises (Kemenkes RI, 2013).
Pemeriksaan obstetrik :
o Abdomen :
- Observasi adanya bekas operasi
- Mengukur tinggi fundus uteri
- Melakukan palpasi dengan manuever Leopold I-IV
- Mendengarkan bunyi jantung janin (120-160 x/menit).
o Vulva/vagina
- Observasi varises, kondilomata, edema, haemoroid atau abnormalitas lainnya
- Pemeriksaan vaginal toucher : memperhatikan tanda-tanda tumor
- Pemeriksaan inspekulo untuk memeriksa serviks, tanda-tanda infeksi,
ada/tidaknya cairan keluar dari osteum uteri.
 Pemeriksaan penunjang
- Tes kehamilan menunjukkan HCG (+)
- Pemeriksaan darah : golongan darah ABO dan Rhesus pada trimester 1, Hb
dilakukan pada trimester 1 dan 3, kecuali bila tampak adanya tanda-tanda anemia berat.
- Pemeriksaan lain : kadar glukosa dara dan protein urin sesuai indikasi
- Pada ibu hamil dengan faktor risiko, dianjurkan untuk dilakukan
pemeriksaan : BTA, TORCH, sifilis, malaria dan HIV dilakukan pada trimester 1 terutama
untuk daerah endemik untuk skrining faktor risiko.
- USG sesuai indikasi.
 Penegakan Diagnostik (Assesment)
Diagnosis klinis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik/obstetrik, dan
pemeriksaan penunjang.
Tanda tak pasti kehamilan : tes kehamilan menunjukkan HCG (+).
Tanda pasti kehamilan :
 Bunyi jantung janin / BJJ (bila umur kehamilan / UK >8 minggu) dengan BJJ
normal 120-160 kali per menit
 Gerakan janin (bila UK > 12 minggu)
 Bila ditemukan adanya janin pada pemeriksaan USG dan pemeriksaan
obstetrik
Kehamilan normal apabila memenuhi kriteria di bawah ini :
 Keadaan umum baik
 Tekanan darah <140/90 mmHg
 Pertambahan berat badan sesuai minimal 8 kg selama kehamilan (1 kg per
bulan) atau sesuai IMT ibu
 Edema hanya pada ekstremitas
 BJJ = 120-160 x/menit
 Gerakan janin dapat dirasakan setelah usia 18-20 minggu hingga melahirkan
 Ukuran uterus sesuai umur kehamilan
 Pemeriksaan fisik dan laboratorium dalam batas normal
 Tidak ada riwayat kelainan obstetrik
d. Manajemen
Untuk ibu hamil normal, maka perlu dianjurkan untuk melakukan ANC rutin untuk
mengevaluasi kehamilannya. Kemudian memberikan edukasi mengenai hal hal dibawah ini :
(Kemenkes RI, 2013)
a) Memberikan nasihat dan petunjuk yang berkaitan dengan kehamilan,
persalinan, kala nifas, dan laktasi
b) Tanda-tanda bahaya yang perlu diwaspadai : sakit kepala lebih dari biasa,
perdarahan per vaginam, gangguan penglihatan, pembengkakan pada
wajah/tangan, nyeri abdomen (epigastrium), mual dan muntah berlebihan,
demam, janin tidak bergerak sebanyak biasanya
c) Pemberian makanan bayi, ASI eksklusif, dan IMD
d) Penyakit yang dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin misalnya
hipertensi, TBC, HIV, serta infeksi menular seksual lainnya
e) Perlunya menghentikan kebiasaan yang berisiko bagi kesehatan, seperti
merokok dan minum alkohol
f) Program KB terutama penggunaan kontrasepsi pascasalin
g) Minum cukup cairan
h) Peningkatan konsumsi makanan hingga 300 kalori/hari dari menu seimbang.
Contoh : nasi tim dari 4 sendok makan beras, ½ pasang hati ayam, 1 potong
tahu, wortel parut, bayam, 1 sendok teh minyak goreng, dan 400 ml air.
i) Latihan fisik normal tidak berlebihan, istirahat jika lelah
j) Ajarkan metode mudah untuk menghitung gerakan janin dalam 12 jam,
misalnya dengan menggunakan karet gelang 10 buah pada pagi hari pukul
08.00 yang dilepaskan satu per satu saat ada gerakan janin. Bila pada pukul
20.00 karet gelang habis, maka gerakan janin baik
k) Selain memberiksan konseling dan edukasi, ibu hamil juga perlu diberikan
supkemen zat besi (suplemen besi 60 mg/hari), asam folat (250 mcg 1-2
kali/hari) dan imunisasi TT (Kemenkes RI, 2013).
Daftar Pustaka
Cunningham, G. F., Leveno, K., Bloom, S., Spong, C., Dache, J., Hoffman, B., . . . Seffield,
J. (2015). Maternal Physiology. In Williams Obstetrics (pp. 46-72). New York:
McGraw-Hill Education.
Kemenkes RI. (2013). Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan
Rujukan. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Prawirohardjo, S., Saifuddin, A. B., Rachimhadhi, T., Wiknjosastro, G. H., , , & . (2014).
Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo (4th ed.). Jakarta: PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
23. Cracked Nipple
a. Definisi
Nyeri pada putting merupakan masalah yang sering ditemukan pada ibu menyusui dan
menjadi salah satu penyebab ibu memilih untuk berhenti menyusi bayinya. Cracked nipple
adalah lesi makroskopik pada ujung dan areaola payudara, lesi dapat berbentuk seperti
cekungan, kulit terkelupas, adanya luka, eritema, edema, dan blister.
b. Epidemiologi
Sebanyak 80-90% ibu mengalami nyeri pada putting, dan 26% diantaranya adalah lecet
pada putting yang disbeut nipple crack. Menurut Niazi et al (2018), sebanyak 35% ibu
berhenti menyusui bayinya pada usia 5 bulan karena keluhan ini. Pada studi oleh Santos et
al (2016) di Amerika, 32 % mengalami putting lecet pada 1 bulan pertama setelah
postpartum,
c. Etiologi
a. Kesalahan teknik menyusui adalah bentuk paling banyak.
b. Infeksi Staphylococcus aureus dan Candida albicans.
c. Kemungkinan lainnya adalah, frenulum yang pendek, membersihkan putting
menggunakan bahan iritan (sabun, alkohol, krim atau zat iritan lainnya untuk
mencuci putting susu)
d. Diagnosis
a. Anamnesis: nyeri pada putting susu dan neri bertambah bila menyusui bayi
b. Pemeriksaan Fisik: dapat ditemukan lecet pada putting susu (hiperemi, blister, edma
dsb). Tanda infeksi Candida yaitu hiperemi, berkilat, dan nyeri. dapat juga ditemui
tanda-tanda mastitis (demam, edema pada payudara) bila terjadi komplikasi
e. Tatalaksana
a. Non Medikamentosa
 Teknik menyusui yang benar, cek perlekatan sudah benar atau belum
 Puting harus kering
 Mengoleskan Colostrum/ASI yang keluar di sekitar putting susu dan membiarkan
kering
 Bila lecet sangat berat diistirahatkan selama 24 jam
 Mengompres dengan kain basah dan hangatselama 5 menit. Terutama bila terjadi
bendungan payudara.
b. Medikamentosa
 Topikal ointment, solusio, atau spray seperti ointment collagenase, hydrogel,
dexpanthenol dan lanolin
 Paracetamol tab 3-4x/hr untuk menghilangkan nyeri
 Bila ada infeksi, diatasi infeksinya diberikan ointment yang mengandung antibacterial
seperti 15 g 2% Muciprocin, ointment antijamur 15g 2% miconazole, dan
hidrokortison sering diresepkan untuk terapi dan sebagai prevensi infeksi.
f. Komplikasi
Cracked Nipples yang tidak ditatalaksana akan menimbulkan nyeri berat, perdarahan
pada puting, inadekuat produksi dari ASI, Mastitis, dan Abses payudara. Nyeri da
produksi ASI yang berkurang akan menimbulkan stress pada ibu dan akhirnya akan
berhenti karena inhibisi dari oksitosin. Pada bayi yang tidak sengaja menuyusi dan
menelan darah pada putting yang lecet akan menyebabkan muntah darah.
g. Prognosis
Cenderung baik bila ditatalaksana secepat mungkin dan pemberian konseling tentang
cara menyusui yang baik dan benar dapat mengurangi rekurensi.

Daftar Pustaka
Prawirohardjo S dkk, (2018), Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo, Edisi keempat
cetakan ketiga, Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Niazi A, Rahimi VB, Soheili-Far S, et al., (2018), A Systematic Review on Prevention and
Treatment of Nipple Pain and Fissure: Are They Curable? Journal of
Pharmacopuncture.21(3):139-150. doi:10.3831/KPI.2018.21.017
Santos et al. (2016), Prevalence and factors associated with cracked nipples in the first
month postpartum. BMC Pregnancy and Childbirth 16:209
24. Inverted Nipple
a. Definisi
Menurut Cadwell dan Maffei bentuk putting dibagi menjadi 3 macam. Flat nipple atau
puting datar, yaitu puting yang tidak menonjol sama sekali, kedua yaitu inverted nipple, yaitu
puting yang tonjolannya ke dalam seperti terbentuk lekukan di tengah aerola. Bentuk puting
selanjutnya yaitu exverted nipple, dimana puting yang menonjol ke luar. Inilah puting yang
dimiliki sebagian besar wanita.
b. Etiologi & Epidemiologi
Nipple inversion terjadi pada 2-10% populasi wanita di seluruh dunia, dengan umur rata-
rata yang diambil dari 24 studi adalah 29,5 thn (range usia dari 16-75 thn). Kondisi ini dapat
disebabkan karena kongenital ataupun didapat, baik bilateral ataupun unilateral. Berdasarkan
penelitian oleh Magialardi et al (2020), kondisi kongenital adalah keadaan paling banyak
(93,9%) dimana berdasar pada hypoplasia dan retraksi dari ductus laktiferus yang dihasilkan
oleh jaringan ikat pada dasar putting. Kondisi didapat (6,1%) biasanya karena kondisi
sekunder dari kanker mammae, periductal mastitis, operasi mammae, atau karena menyusui.
c. Diagnosis
Pada anamnesis ditemukan adanya kesulitan pada ibu untuk menyusui bayi, putting susu
yang tertarik, dan bayi sulit menyusui pada ibu. Diagnosis Klinis dibagi menurut
klasifikasinya. Pembagian Inverted Nipple menurut Han dan Hong (1999) dibagi menjadi 3
derajat/grade. Dari studi yang dilakukan oleh Mangialardi et al (2020), ditemukan betuk
paling banyak adalah inverted nipple grade II
a. Grade I
 Putting tampak datar atau masuk ke dalam
 Puting dapat dikeluarkan dengan mudah dengan tekanan jari pada atau sekitar
areola
 Terkadang dapat keluar sendiri tanpa manipulasi
 Saluran ASI tidak bermasalah, dan dapat menyusui dengan biasa
 Tidak ada fibrosis atau minimal
b. Grade II
 Dapat dikeluarkan dengan menekan areola, namun kembali masuk saat
tekanan dilepas
 Terdapat kesulitan menyusui
 Saluran ASI dapat mengalami retraksi namun pembedahan tidak diperlukan
 Terdapat fibrosis derajat sedang
 Pada pemeriksaan histologi ditemukan stromata yang kaya kolagen dan otot
polos.
c. Grade III
 Puting sulit untuk dikeluarkan pada pemeriksaan fisik dan membutuhkan
pembedahan untuk dikeluarkan
 Saluran ASI terkonstriksi dan tidak memungkinkan untuk menyusui
 Dapat terjadi infeksi, ruam, atau masalah kebersihan
 Secara histologis ditemukan atrofi unit lobuler duktus terminal dan fibrosis
yang parah
d. Tatalaksana
a. Non-Medikamentosa
Ada dua cara yang dapat digunakan untuk mengatasi puting datar/terbenam, yaitu:
 Penarikan puting secara manual/dengan tangan. Puting ditarik-tarik dengan lembut
beberapa kali hingga menonjol
 Menggunakan spuit ukuran 10-20 ml, bergantung pada besar puting. Ujung spuit
yang terdapat jarum dipotong dan penarik spuit (spuit puller) dipindahkan ke sisi bekas
potongan. Ujung yang tumpul di letakkan di atas puting, kemudian lakukan penarikan
beberapa kali hingga puting keluar. Lakukan sehari tiga kali; pagi, siang, dan malam masing-
masing 10 kali
b. Tindakan Operatif
Biasanya dilakukan pada grade III, dan umumya paling baik dilakukan operasi
dengan mempertahankan ductus laktiferus untuk mempertahankan proses menyusui. Tujuan
dari tindakan opertaif adalah menstabilisasi projeksi dari puting pada dasar areola tanpa
menganggu proses menyusui.
e. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi sangat jarang (sekitar 1,7%). Komplikasi yang tercatat pada kasus
inverted nipple adalah pengelupasan pada areolar, ulkus areolar, infeksi superfisial, nekrosis
parsial atupun komplit pada putting, depigmentasi areolar, dislokasi kawat retractor.
Daftar Pustaka
Prawirohardjo S dkk, (2018), Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo, Edisi keempat
cetakan ketiga, Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Mangialardi, ML et al, (2020), Surgical Correction of Inverted Nipples, Plastic and
Reconstructive Surgery Global Open, July 2020 Volume 8(7) pp 1-16
Nabulsi, M., Ghanem, R., Abou-Jaoude, M., & Khalil, A. (2019). Breastfeeding success with
the use of the inverted syringe technique for management of inverted nipples in
lactating women: a study protocol for a randomized controlled trial. Trials,
20(1)
25. Gangguan Ejakulasi
a. Definisi
Ejakulasi dini dalam bahasa Cina disebut juga zaoxie, proses keluarnya cairan
ejakulat (berupa semen atau mani). Ejakulasi terjadi sekitar 2 sampai 10 menit dari
dimulainya hubungan seksual. Ejakulasi dini (ED) merupakan gangguan atau disfungsi
seksual pria yang paling sering dijumpai.
b. Etiologi
a. Faktor psikologis, meliputi : seksual pertama kali, terburu-buru ingin mencapai klimaks
atau orgasme, teknik seksual, frekuensi aktivitas seksual, rasa bersalah, cemas,
penampilan seksual, problematika hubungan, dan penjelasan psikodinamika.
b. Faktor biologis, meliputi : ketidaknormalan kadar hormon seks dan kadar
neurotransmiter, ketidaknormalan aktivitas refleks sistem ejakulasi, permasalahan tiroid
tertentu, peradangan dan infeksi prostat atau saluran kemih, ciri (traits) yang diwariskan,
teori evolutionary, sensitivitas penis, reseptor dan kadar neurotransmiter pusat, degree of
arousability, kecepatan refleks ejakulasi.
c. Patofisiologi
Ejakulasi dipicu oleh serabut eferen dopamin, sehingga menghasilkan beberapa
tahapan :
 Tahap Pertama, terjadi kontraksi otot polos prostat, seminal vesicles, vas deferens and
epididymis. Kejadian ini meningkatkan volume semen yang didorong menuju uretra
posterior dengan kontrol sistem saraf simpatetik, memproduksi emisi (pengeluaran atau
pancaran semen).
 Tahap Kedua, kontraksi ritmis dasar panggul dan otot bulboischiocavernosus
dikendalikan oleh saraf para simpatis yang mengesampingkan (override) saraf simpatis.
Hal ini mendorong cairan semen keluar melalui uretra, menghasilkan ejakulasi
 Tahap Ketiga, tahap ini berupa orgasme
d. Pemeriksaan Penunjang
 Intravaginal ejaculation latency time (IELT)
 Kombinasi IELT dengan patient-reported outcome (PRO)
 Premature Ejaculation Diagnostic Tool (PEDT)
e. Terapi
Farmakoterapi merupakan dasar terapi ED primer. Terapi obat (klomipramin,
sertralin, paroksetin, dan sildenafi) menghasilkan skor IELT yang lebih baik daripada terapi
behavioural.

Daftar Pustaka
Anurogo Dito. (2019). Ejakulasi Dini.
Ridwan. (2016). Disfungsi Seksual

Anda mungkin juga menyukai