Anda di halaman 1dari 80

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PT TELEKOMUNIKASI INDONESIA

DENGAN METODE ECONOMIC VALUE ADDED PERIODE 2003 - 2009

Tesis

untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai gelar

MAGISTER MANAJEMEN

Oleh

UCOK HALOMUANTA SIREGAR

NPM 0621011066

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN


PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS LAMPUNG
2011
2

ABSTRAK

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PT TELEKOMUNIKASI INDONESIA


DENGAN METODE ECONOMIC VALUE ADDED (EVA)
PERIODE 2003 – 2009

Oleh

UCOK HALOMUANTA SIREGAR

Penilaian atau pengukuran kinerja keuangan merupakan salah satu faktor yang

penting dalam menilai suatu perusahaan, karena hasil dari pengukuran kinerja

tersebut akan menggambarkan kondisi kesehatan keuangan perusahaan tersebut

yang nantinya akan digunakan oleh manajemen perusahaan, investor maupun

calon investor untuk pengambilan keputusan.

Bagi investor dan calon investor, suatu perusahaan dianggap baik apabila tingkat

pengembalian yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut melebihi risiko dan

jumlah modal yang telah diinvestasikannya atau dengan kata lain memiliki nilai

tambah (value added).

Pengukuran kinerja keuangan tradisional seperti Return on Investment (ROI),

Return on Equity (ROE), Return on Asset (ROA), Price to Earning Ratio (PER),

dan lainnya hanya mengukur tingkat pengembalian yang diterima terhadap modal

yang dikeluarkan tanpa mempertimbangkan risiko investasi (biaya modal)


3

sehingga sulit untuk mengetahui apakah suatu perusahaan telah berhasil

menciptakan value atau tidak.

Pada tahun 1989, Stern Stewart & Co mengembangkan metode baru guna

mengukur kinerja perusahaan yang dikenal dengan Economic Value Adde (EVA).

Konsep dari metode EVA sederhana, yaitu suatu perusahaan dikatakan dapat

meningkatkan kesejahteraan para pemegang sahamnya jika tingkat

pengembaliannya lebih besar dari biaya modalnya.

Penelitian yang dilakukan terhadap PT Telekomunikasi Indonesia bertujuan untuk

menganalisis kinerja perusahaan selama periode 2003 – 2009 dengan

menggunakan metode EVA. Dengan demikian, dari hasil perhitungan tersebut

dapat diketahui bagaimana kinerja TELKOM selama kurun waktu tersebut,

apakah telah memberikan nilai tambah bagi para investor atau sebaliknya

menggerus kekayaan para investor.

Berdasarkan perhitungan kinerja keuangan TELKOM dengan metode EVA untuk

periode 2003 – 2009, diketahui selama kurun waktu tersebut TELKOM selalu

menghasilkan nilai EVA yang positif dengan kecenderungan yang meningkat dari

tahun ke tahun. Hal tersebut menandakan manajemen TELKOM berhasil

menciptakan nilai tambah bagi para pemegang sahamnya. Adanya penurunan

nilai EVA pada tahun 2004, 2005, dan 2008 tidak mengindikasikan kinerja yang

buruk karena masih berada dalam daerah positif, lebih jauh penurunan tersebut

disebabkan oleh faktor diluar kendali manajemen (eksternal).


4

ABSTRAC

THE FINANCIAL PERFORMANCE ANALYSIS OF PT TELEKOMUNIKASI


INDONESIA WITH ECONOMIC VALUE ADDED METHOD (EVA) FOR
THE PERIOD 2003 – 2009

By

UCOK HALOMUANTA SIREGAR

The financial performance measurement is one of important factor in assessing a

company because the result will depict the health condition of company's

financial, which later will be applied by company management, investor and also

investor candidate for decision making.

For investor and investor candidate, a company thought well of if rate of return

yielded by the company exceeds risk of the capitals which has been invested or in

other word the company has added value.

The traditional measurement of the financial performance like Return on

Investment (ROI), Return on Equity (ROE), Return on Asset ROA), Price to

Earning Ratio (PER) and other, only measures rate of return received to legal

capital released without considering investment risk (capital charges) so that

difficult to know has a company successfully creates value or no.


5

In the year 1989, Stern Stewart & Co. developed new method to measure

company financial performance recognized as Economic Value Added (EVA).

The concept from EVA’s method simple, that is a company is told able to increase

the prosperity of the its shareholders if company’s rate of return bigger than its

capital charges.

The research done to PT Telekomunikasi Indonesia aims to analyse company

performance during time line 2003 - 2009 by using EVA method. Thereby, from

result of the calculation is knowable how TELKOM’s performance during the

range of time, has the company given added value to all investor or on the

contrary reduce the investors wealth.

Based on calculation result of the TELKOM’s financial performance with EVA

method for time line 2003-2009 known, during the range of time TELKOM always

yields positive EVA value with trend increasing from year to year. This thing

indicates that TELKOM’s management successfully creates value added to its

shareholder. The decline of the EVA value in the year 2004, 2005, and 2008

doesn't indicate that the company has bad performance because the EVA value

still staying in positive area, farther the decline has caused by the external factor

that outside management control.


6

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 16 Mei 1974, anak ketujuh dari tujuh

bersaudara pasangan H. Imran Siregar Alm dan Hj. Siti Amsyah Nasution Alm.

Pendidikan yang telah ditempuh adalah; Sekolah Dasar Muhammadiyah LV

Jakarta lulus tahun 1987, Sekolah Menengah Pertama 10 PGRI lulus tahun 1990,

Sekolah Menengah Atas Negeri 8 Jakarta lulus tahun 1993, Program Diploma 3

STAN Jakarta lulus tahun 1996, kemudian melanjutkan ke Program Diploma IV

STAN Jakarta lulus tahun 2003.

Sejak tahun 1997, penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Departemen

Keuangan Republik Indonesia pada Direktorat Jenderal Pajak, penempatan saat

ini adalah pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tanjung Karang sebagai tenaga

fungsional pemeriksa pajak.

Penulis telah dikaruniai tiga orang putri bernama Melodi Akita Siregar, Nada

Anggita Siregar, dan Tsamara Syauqina Siregar, hasil dari pernikahan dengan

Vina Magliana S.SI.


7

Kupersembahkan kepada :

“yang tercinta alm Mama dan papa yang telah mencurahkan kasih sayangnya sepanjang

hidupnya kepadaku semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada

mereka serta kepada istri dan anak-anakku yang selalu mendoakan, mengiringi langkahku

dan mewarnai hidupku”


8

PRAKATA

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya

sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Kinerja

Keuangan PT Telekomunikasi Indonesia dengan Metode Economic Value Added

Periode 2003 – 2009”. Tesis ini disusun untuk memenuhi sebagian dari syarat-

syarat guna mencapai gelar Magister Manajemen di Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan berkat dukungan dari banyak

pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan rasa

hormat yang tulus atas bantuan yang telah diberikan kepada :

1. Bapak Irham Lihan selaku ketua Program Magister Manajemen Universitas

Lampung, dan Bapak Rinaldi Bursan sebagai Sekretaris Program Magister

Manajemen Universitas Lampung.

2. Ibu Sri Hasnawati selaku pembimbing utama, dan Bapak Nurdiono/Bapak

Rinaldi Bursan selaku pembimbing kedua dalam penyusunan tesis ini yang

telah meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan dan dukungan

penuh sehingga tesis ini dapat memberikan pengalaman berharga bagi penulis.

3. Seluruh Dosen pengajar Program Magister Manajemen Universitas Lampung

yang telah memberikan didikan dan bimbingan kepada penulis selama masa

studi.
9

4. Semua staf akademik, staf administrasi, dan staf perpustakaan yang bertugas

dalam satu kesatuan keluarga besar Program Magister Manajemen Universitas

Lampung.

5. Rekan-rekan MM UNILA angkatan 2006 yang telah membantu dan mengisi

selama masa studi.

6. Istriku tercinta (Vina Magliana) dan anak-anakku tersayang (Melodi Akita

Siregar, Nada Anggita Siregar, Tsamara Syauqina Siregar) yang telah banyak

memberikan semangat dan dukungan selama masa studi.

Akhir kata, penulis mengharapkan kritik dan saran yang berguna untuk perbaikan

tesis ini, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, Agustus 2011

Penulis

Ucok Halomuanta Siregar


10

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL .................................................................................. vi

DAFTAR GAMBAR .............................................................................. vii

I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1

1.2. Perumusan Masalah ............................................................... 4

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian .............................................. 5

1.4. Manfaat Penelitian ................................................................. 5

1.5. Kerangka Pemikiran .............................................................. 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 8

2.1. Analisis Rasio ........................................................................ 9

2.2. Economic Value Added ....................................................... 12

2.2.1. Penyesuaian Akuntansi .............................................. 14


2.2.2. Metode Perhitungan .................................................. 17
2.2.3. Net Operating Profit After Tax (NOPAT) ................. 18
2.2.4. Biaya Modal (Cost of Capital) ................................... 19
2.2.5. Invested Capital ......................................................... 22
2.2.6. Strategi Menciptakan Nilai Tambah Ekonomis ......... 23
2.2.7. Keunggulan dan Kelemahan Economic Value Added 24

III. METODELOGI PENELITIAN ..................................................... 28

3.1. Tahapan Analisis .................................................................. 28

3.2. Obyek Penelitian .................................................................. 29


11

3.3. Pengumpulan Data ............................................................... 29

3.4. Proses Pengolahan Data ........................................................ 29

3.5. Analisis Hasil Pengolahan Data ............................................. 32

IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN ................................................. 33

4.1. Tinjauan Industri Telekomunikasi ........................................... 33

4.2. Profil PT Telekomunikasi Indonesia ........................................ 34

4.3. Economic Value Added PT Telekomunikasi Indonesia ........... 38

4.3.1. Perhitungan Modal TELKOM ...................................... 38

4.3.2. Perhitungan NOPAT TELKOM .................................... 41

4.3.3. Biaya Modal atas Hutang TELKOM ............................. 43

4.3.4. Biaya Modal atas Saham TELKOM .............................. 44

4.3.5. Biaya Modal Rata-rata Tertimbang TELKOM .............. 46

4.3.4. Perhitungan EVA TELKOM ......................................... 48

4.3.5. Analisis EVA TELKOM Tahun 2003 – 2009 ................ 51

V. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 63

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
12

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Beberapa Penyesuaian dalam EVA ................................................ 17

2.2 Perhitungan NOPAT ...................................................................... 18

2.3 Perhitungan Invested Capital ........................................................ 22

4.1. Perhitungan Modal TELKOM ...................................................... 40

4.2 Perhitungan NOPAT TELKOM .................................................... 42

4.3 Biaya Modal atas Hutang TELKOM .............................................. 43

4.4 Biaya Modal atas Saham TELKOM ............................................... 45

4.5 Biaya Modal Rata-rata Tertimbang TELKOM ............................... 47

4.6 Perhitungan Nilai EVA TELKOM ................................................. 49

4.7 Persentase Nilai EVA TELKOM Dibanding dengan


Invested Capital-nya ......................................................................... 50
13

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

4.1 Modal TELKOM Tahun 2003 - 2009 ...................................... 40

4.2 NOPAT TELKOM Tahun 2003 – 2009 ................................... 42

4.3 Biaya Modal atas Hutang TELKOM ........................................ 44

4.4 Biaya Modal atas Saham TELKOM ....................................... 45

4.5 Biaya Modal Rata-rata Tertimbang TELKOM ........................ 47

4.6 EVA TELKOM Tahun 2003 – 2009 ........................................ 50


14

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perusahaan publik merupakan perusahaan yang modalnya berasal dari investor

(pemegang saham), sebagai perusahaan publik, kinerja perusahaan tidak lagi

hanya dipertanggungjawabkan ke pihak intern perusahaan, melainkan juga kepada

investor sebagai penyedia dana. Untuk menutupi risiko yang harus ditanggung

pemegang saham sebagai akibat melakukan investasi pada portfolio yang

mengandung risiko, tingkat pengembalian yang harus dihasilkan perusahaanpun

harus lebih tinggi sehingga mampu menutupi risiko yang ditanggung. Pada saat

ini, perusahaan-perusahaan tidak hanya harus dapat bersaing dalam pasar

perdagangan, namun juga dalam pasar modal, jika tidak maka akan ditinggalkan

investor. Menanggapi masalah ini, kebutuhan akan pengukuran kinerja yang

memperhatikan kepentingan dan harapan pemegang saham tidak dapat dipungkiri

lagi.

Beberapa metode tradisional yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja

perusahaan adalah Return on Investment (ROI), Return on Equity (ROE), Return

on Asset (ROA), Price to Earning Ratio (PER), Residual Income (RI), dan lain-

lain. Metode tersebut mengukur kinerja perusahaan berdasarkan tingkat

pengembalian yang diterima terhadap modal yang dikeluarkan. Kelebihan dari


15

penggunaan metode tersebut adalah karena mudahnya dalam proses

perhitungannya, selama data yang dibutuhkan tersedia dengan lengkap.

Sedangkan kelemahannya adalah bahwa rasio-rasio yang dihasilkan berasal data-

data akuntansi yang telah terdistorsi oleh nilai buku (historical cost) serta metode-

metode akuntansi tertentu, dimana hal tersebut menyebabkan perbedaan hasil

antara satu perusahaan dengan perusahaan lain, sehingga sulit untuk

membandingkannya dengan perusahaan lain. Kelemahan lainnya adalah metode

tersebut tidak mempertimbangkan risiko dan jumlah modal yang telah

diinvestasikan dalam perhitungannya sedangkan pemegang saham jelas-jelas

selain memperhatikan pengembalian juga memperhatikan risiko serta nilai tambah

yang dapat dihasilkan.

Salah satu teknik untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan yang dapat

mengatasi masalah tersebut di atas adalah Economic Value Added (EVA) yang

dikembangkan pada tahun 1989 oleh Stern Stewart & Co. Konsep dari metode

EVA sederhana, yaitu suatu perusahaan dikatakan dapat meningkatkan

kesejahteraan para pemegang sahamnya jika tingkat pengembaliannya lebih besar

dari biaya kapitalnya. Hal ini dapat diindikasikan dengan positifnya nilai dari

EVA. Sebaliknya, jika nilai dari EVA negatif mengindikasikan tingkat

pengembaliannya lebih kecil dari biaya kapitalnya.

PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (“TELKOM”) merupakan perusahaan

penyelenggara layanan informasi dan telekomunikasi (InfoComm) yang memiliki

layanan paling lengkap dan jaringan terbesar di Indonesia. TELKOM


16

menyediakan layanan telepon tidak bergerak kabel (fixed wireline) dan telepon

tidak bergerak nirkabel (fixed wireless), layanan telepon selular, data dan internet,

jaringan dan interkoneksi, baik secara langsung maupun melalui anak perusahaan.

Sampai dengan 31 Desember 2009, jumlah pelanggan TELKOM mencapai 105,1

juta pelanggan, yang terdiri dari 8,4 juta pelanggan telepon tidak bergerak kabel,

15,1 juta pelanggan telepon tidak bergerak nirkabel, dan 81,6 juta pelanggan

telepon selular. Pertumbuhan pelanggan mencapai 21,2% pada tahun 2009.

Saham TELKOM sampai dengan 31 Desember 2009, dimiliki oleh Pemerintah

Republik Indonesia (52,47%), dan pemegang saham publik (47,53%). Dengan

komposisi kepemilikan saham seperti tersebut, TELKOM disamping sebagai

perusahaan milik negara (BUMN) juga merupakan perusahaan milik publik, baik

lokal maupun asing dimana dalam hal ini pemerintah dan masyarakat selaku

investor selalu menginginkan adanya imbal hasil yang sepadan dengan modal

yang telah ditanamkan sehingga manajemen TELKOM dituntut untuk dapat terus

memberikan dan meningkatkan nilai tambah bagi para pemegang sahamnya.

Pengukuran kinerja keuangan TELKOM saat ini yang dipublikasi ke masyarakat

masih menggunakan metode tradisional yakni rasio-rasio keuangan yang belum

mampu menunjukkan secara langsung kepada para pemegang saham apakah

manajemen TELKOM telah bekerja dengan baik serta memberikan nilai tambah

yang terus meningkat bagi para investor baik jika dibandingkan dengan biaya

kapitalnya ataupun dengan nilai pasarnya.


17

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas maka penulis mengangkat

masalah tersebut dalam tesis yang berjudul “Analisis Kinerja Keuangan PT

Telekomunikasi Indonesia dengan Metode Economic Value Added Periode

2003 - 2009”.

1.2. Perumusan Masalah

Investor dalam menanamkan dananya pada suatu perusahaan mengharapkan

tingkat return yang maksimum pada tingkat risiko tertentu. Alat untuk mengukur

kinerja keuangan perusahaan yang selama ini selalu digunakan dan dijadikan satu-

satunya ukuran untuk menilai kinerja perusahaan selama ini yaitu rasio keuangan

memiliki banyak kelemahan dan tidak dapat memberikan gambaran yang tepat

mengenai kinerja keuangan perusahaan kepada investor.

Oleh karena itu diperlukan ukuran alternatif yang dapat memberikan gambaran

yang lebih tepat mengenai kinerja keuangan perusahaan utamanya bagi para

investor untuk mengambil keputusan yang dianggap paling tepat untuk

mengimplementasikan investasinya terhadap suatu perusahaan. Ukuran alternatif

tersebut adalah Economic Value Added (EVA) dimana dalam perhitungannya

selain mempertimbangkan tingkat pengembalian juga mempertimbangkan risiko

dan jumlah modal yang diinvestasikan untuk menentukan pengaruhnya pada nilai

pemegang saham.

Ukuran-ukuran kinerja yang digunakan dan dipublikasi kepada publik oleh

TELKOM selama ini masih menggunakan rasio keuangan, yang mengandung


18

banyak kelemahan dan tidak dapat memberikan gambaran yang tepat bagi

investor apakah perusahaan telah memberikan nilai tambah secara ekonomis atas

modal yang telah diinvestasikannya ke dalam perusahaan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka permasalahan utama yang akan dibahas

dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah kinerja PT Telekomunikasi Indonesia jika dianalisis dengan

menggunakan metode EVA?

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang sudah dirinci sebelumnya, maka dapat

dikemukakan tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui dan menganalisis kinerja PT Telekomunikasi Indonesia dengan

menggunakan metode EVA.

1.4. Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian antara lain adalah :

1. Untuk Manajemen:

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

manajemen mengenai bagaimanakah kinerja perusahaan jika diukur

dengan menggunakan konsep EVA.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan bagi

manajemen terhadap pengukuran kinerja keuangan yang dilakukan selama

ini.
19

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi

manajemen untuk menggunakan EVA sebagai salah satu alat untuk

mengukur kinerja keuangan perusahaan dengan tujuan investor

memperoleh informasi yang lebih lengkap mengenai kinerja keuangan

perusahaan.

d. Hasil penelitian in diharapkan dapat juga menjadi bahan pertimbangan

bagi manajemen dalam mengambil suatu kebijakan dalam rangka

meningkatkan kinerja perusahaan.

2. Untuk investor :

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai

kinerja keuangan TELKOM jika diukur dengan metode EVA.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang cara

perhitungan dengan metode EVA sebagai alternatif menilai kinerja

perusahaan.

1.5. Kerangka Pemikiran

Menjadi kewajiban bagi pengelola perusahaan untuk memberikan nilai tambah

kekayaan kepada para pemegang saham, baik pemegang saham publik maupun

pemilik (pemegang saham mayoritas) perusahaan. Sebab, mereka mau

menggelontorkan dananya untuk membeli saham perusahaan dengan satu

harapan: kekayaan mereka terus bertambah karena mendapatkan keuntungan dari

investasi itu.
20

Pertanyaannya, benchmark (acuan) apa yang bisa dipakai oleh investor bahwa

suatu perusahaan telah menciptakan kekayaan lebih dibandingkan perusahaan

lain?

Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka pemikiran penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Investor selalu menginginkan imbal hasil yang sepadan atas modal yang

ditanamkannya.

2. Untuk menilai apakah perusahaan telah memberikan tambahan kekayaan bagi

investor maka diperlukan alat untuk mengukurnya, dimana dengan metode

tradisional yang ada hasil yang didapat belum dapat memberikan gambaran

yang tepat atas kinerja perusahaan dalam menciptakan nilai tambah bagi

investor.

3. Metode EVA merupakan jawaban atas kelemahan metode tradisional dimana

fokus penilaian yang digunakan untuk mengukur laba ekonomi dalam suatu

perusahaan, yang menyatakan bahwa kesejahteraan hanya dapat tercipta jika

perusahaan bisa memenuhi semua biaya operasi (operating cost) dan biaya

modal (cost of capital).


21

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tujuan utama dari manajemen keuangan seharusnya adalah untuk

memaksimalkan harga saham dalam jangka panjang, dan bukannya untuk

memaksimalkan ukuran-ukuran akuntansi seperti laba bersih atau laba per saham

(EPS). Namun, data-data akuntansi memang mempengaruhi harga saham, dan

untuk memahami mengapa sebuah perusahaan beroperasi seperti caranya

sekarang dan untuk meramalkan kemana arahnya, kita perlu mengevaluasi

informasi akuntansi yang dilaporkan di dalam laporan keuangan.

Laporan keuangan akan melaporkan posisi perusahaan pada satu titik waktu

tertentu maupun operasinya selama suatu periode di masa lalu. Akan tetapi, nilai

sebenarnya dari laporan keuangan terletak pada kenyataan bahwa laporan tersebut

dapat digunakan untuk membantu meramalkan keuntungan dan dividen di masa

depan. Dari sudut pandang investor, meramalkan masa depan adalah hakikat dari

analisis laporan keuangan, sedangkan dari sudut pandang manajemen, analisis

laporan keuangan akan bermanfaat baik untuk membantu mengantisipasi kondisi-

kondisi di masa depan maupun sebagai titik awal untuk melakukan perencanaan

langkah-langkah yang akan meningkatkan kinerja perusahaan di masa mendatang.


22

2.1. Analisis Rasio

Rasio-rasio keuangan dirancang untuk membantu kita mengevaluasi suatu laporan

keuangan. Dengan melakukan analisis perbandingan terhadap rasio-rasio kinerja

perusahaan, kita dapat memberikan suatu dasar keputusan. Analisis ini dapat

mengungkapkan hubungan yang menyatakan kondisi dan tren yang sering tidak

terlihat atau tidak diperhatikan dalam pemeriksaan komponen tersendiri dari rasio

tersebut. Rasio-rasio keuangan dibagi menjadi 5 kategori utama yaitu : rasio

likuiditas, rasio manajemen aktiva, rasio manajemen utang, rasio profitabilitas,

dan rasio nilai pasar. (Brigham & Houston, 2006 : 94)

2.1.1. Rasio Likuiditas

Aktiva likuid (liquid asset) adalah aktiva yang diperdagangkan dalam suatu

pasar yang aktif sehingga akibatnya dapat dengan cepat diubah menjadi kas

dengan harga pasar yang berlaku, dan posisi likuiditas sebuah perusahaan akan

berhubungan dengan pertanyaan “apakah perusahaan dapat melunasi utang-

utangnya pada saat jatuh tempo dalam waktu satu tahun atau beberapa tahun

kemudian?” Rasio likuiditas yang digunakan secara umum sebagai indikator

tentang likuiditas adalah rasio lancar (current ratio) yang dihitung dengan membagi

aktiva lancar dengan kewajiban lancar.

2.1.2. Rasio Manajemen Aktiva

Rasio manajemen aktiva (asset management ratio), mengukur seberapa efektif

perusahaan mengelola aktivanya. Rasio-rasio ini dirancang untuk menjawab


23

pertanyaan “apakah jumlah total dari tiap-tiap jenis aktiva seperti yang

dilaporkan di dalam neraca terlihat wajar, terlalu tinggi, atau terlalu rendah jika

dibandingkan dengan tingkat penjualan saat ini dan proyeksinya?” Berikut

beberapa rasio yang digunakan untuk menganalisis manajemen aktiva :

1. Rasio perputaran persediaan (Inventory Turnover Ratio) yang dinyatakan

sebagai penjualan dibagi persediaan.

2. Rasio jumlah dari penjualan belum tertagih (day sales outstanding),

digunakan untuk menilai piutang, dan dihitung dengan membagi piutang

dengan jumlah hari penjualan rata-rata untuk menemukan berapa hari

penjualan masih dicatat dalam piutang.

3. Rasio perputaran aktiva tetap (fixed assets turnover ratio) mengukur

seberapa efektifkah perusahaan mempergunakan pabrik dan peralatannya,

dan dihitung dengan membagi penjualan dengan aktiva tetap bersih.

4. Rasio perputaran total aktiva (total assets turnover ratio), mengukur

perputaran dari seluruh aktiva perusahaan, rasio ini dihitung dengan cara

membagi penjualan dengan total aktiva.

2.1.3. Rasio Manajemen Utang

Rasio solvabilitas ini digunakan untuk menunjukkan kemampuan perusahaan

dalam memenuhi kewajiban keuangannnya apabila perusahaan tersebut dilikuidasi

baik keuangan jangka pendek maupun jangka panjang. Berikut beberapa rasio yang

digunakan untuk menganalisis manajemen utang :


24

1. Rasio total utang terhadap aktiva, umumnya disebut sebagai rasio utang (debt

ratio), akan mengukur persentase dari dana yang diberikan oleh para kreditor,

yang dihitung dengan membagi total utang dengan total aktiva.

2. Rasio kelipatan pembayaran bunga (time interest earned), dihitung dengan

cara membagi laba sebelum bunga dan pajak dengan beban bunga.

2.1.4. Rasio Profitabilitas

Profitabilitas adalah hasil akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan yang

dilakukan oleh perusahaan. Rasio profitabilitas (profitability ratio) akan

menunjukkan kombinasi efek dari likuiditas, manajemen aktiva, dan utang pada

hasil-hasil operasi. Adapun untuk menganalisis tingkat profitabilitas suatu

perusahaan dapat digunakan :

1. Margin laba atas penjualan (profit margin on sales), yang dihitung dengan

membagi laba bersih dengan penjualan, akan menunjukkan laba per nilai

rupiah penjualan.

2. Tingkat pengembalian total aktiva (return on total assets – ROA), rasio antara

laba bersih terhadap total aktiva mengukur tingkat pengembalian total aktiva

setelah beban bunga dan pajak.

3. Tingkat pengembalian ekuitas saham biasa (return on equity-ROE) adalah

rasio laba bersih tehadap ekuitas saham biasa.

2.1.5. Rasio Nilai Pasar

Rasio nilai pasar (market value ratio) akan menghubungkan harga saham

perusahaan pada laba, arus kas, dan nilai buku per sahamnya. Rasio-rasio ini
25

dapat memberikan indikasi kepada manajemen mengenai apa yang dipikirkan

oleh para investor tentang kinerja masa lalu dan prospek perusahaan di masa

mendatang.

Rasio nilai pasar yang digunakan secara umum yaitu rasio harga/laba (price

earning ratio-PE) yang menunjukkan berapa banyak jumlah uang yang rela

dikeluarkan oleh para investor untuk membayar setiap rupiah laba yang

dilaporkan.

2.2. Economic Value Added (EVA)

Alat analisis yang dikenal sebagai Economic Value Added (EVA) pertama kali

dikembangkan oleh perusahaan konsultan Stern dan Stewart pada tahun 1989.

Konsep ini diperkenalkan melalui bukunya yang sangat terkenal yaitu “The Quest

for Value” yang selanjutnya menjadi salah satu pedoman utama bagi

penulis dalam melakukan perhitungan nilai EVA pada tesis ini. Investasi yang

dilakukan oleh perusahaan banyak sekali yang hanya mengejar penjualan agar

kelangsungan hidup perusahaan dapat terus berlangsung. Para pemimpin

perusahaan hanya menggunakan NPV atas proyek yang dilakukan memberikan

hasil positif. Tetapi NPV yang positif tersebut belum memberikan nilai

tambah terhadap perusahaan dan dibutuhkan bagaimana investasi tersebut

memberikan nilai tambah terhadap perusahaan. Oleh karenanya, EVA dapat

disebut sebagai alat pengukur hasil yang diperoleh perusahaan atas tindakan

investasi yang dilakukan, dimana ukurannya yaitu investasi yang dilakukan

tersebut harus dapat memenuhi seluruh biaya yang dikeluarkan perusahaan.


26

Struktur mendasar dari EVA menurut Joel M. Stern sebenarnya sama dengan

residual income, yaitu investor mendapatkan tingkat pengembalian atas

investasinya lebih besar terhadap risiko yang dihadapinya. Residual income

bernilai nol jika tingkat pengembalian operasi perusahaan sama dengan tingkat

pengembalian atas risiko. Adapun tingkat pengembalian atas risiko tersebut

merupakan biaya modal yang mencakup hutang dan ekuitas (Ehrbar, Al., 1998 :

xi).

EVA digambarkan sebagai alat pengukur produktivitas penting yang

merefleksikan semua dimensi dimana manajemen dapat meningkatkan nilai.

Para ekonom sering menyebut EVA sebagai economic profit. Hal ini dikarenakan

EVA merupakan keuntungan yang masih ada setelah dikurangi dengan biaya

investasi yang dikeluarkan untuk mendapatkan keuntungan tersebut (Stern,

2001 : 15). EVA merupakan metode pengukuran keuntungan sebenarnya dari suatu

perusahaan dan untuk mengontrol perusahaan secara baik berdasarkan pandangan

investor (Makelainen, 2005).

EVA tidak hanya digunakan sebagai pengukur kinerja saja, namun digunakan

sebagai kerangka manajemen keuangan dan sistem kompensasi manajemen

untuk pedoman pengambilan keputusan dalam perusahaan dari tingkat yang

terendah hingga tingkat puncak (Ehrbar, Al., 1998 : 1). Ini disebabkan EVA

memiliki beberapa komponen yaitu sistem pengukuran kinerja, sistem manajemen

dan sistem kompensasi. Jika perusahaan ingin mendapatkan seluruh potensi


27

dari EVA seharusnya perusahaan mengimplementasikan seluruh komponen dari

EVA tersebut (Stern, Joel M. & Shiely, John S., 2001: 203).

EVA dikatakan memperkirakan kinerja ekonomi lebih baik daripada pengukuran

akuntansi tradisional seperti laba pada aset (ROA) karena EVA mengukur laba

dollar dalam tahun tertentu diatas tingkat minimal yang diperlukan untuk

mengkompensasi investor atas risiko pada investasi modal. Sistem EVA yang

dipasarkan oleh Stern Stewart membuat sejumlah ”penyesuaian ekuitas” yang

mengubah nilai buku akuntansi dalam pengukuran yang lebih akurat dari dana

berisiko yang disebut nilai buku ekonomis sebagai bagian dari perhitungan EVA

(Cordeiro, 2001 : 57).

2.2.1. Penyesuaian Akuntansi

Sebelum menghitung EVA, Young dan O’Byrne menyatakan bahwa perlu

dilakukan penyesuaian akuntansi (Young, 2001 : 205). Penyesuaian ini dilakukan

untuk menghilangkan distorsi yang ditimbulkan oleh standar akuntansi keuangan

dan untuk menghitung besarnya laba yang sebenarnya diperoleh oleh perusahaan.

Penyesuaian yang dilakukan adalah dengan menambahkan perubahan periodik

dan cadangan ekuivalen ekuitas (equity equivalent reserve) ke laba operasi setelah

pajak yang akan membuat nilai buku modal berubah menjadi nilai modal yang

sebenarnya dimiliki oleh perusahaan, dan NOPAT akan menjadi lebih akurat dalam

merefleksikan aliran kas yang dihasilkan dari kegiatan operasi perusahaan.


28

Ekuivalen ekuitas menghilangkan distorsi pada laporan keuangan yang berdasarkan

accrual ke cash accounting, menuju perspektif pemegang saham secara lebih realistis

dan juga dari succesfull effort ke full cost accounting.

Berikut ini beberapa penyesuaian ekuivalen ekuitas ( Bennet, 1991 : 112-117) :

1. Deferred Income Tax Reserve

Merupakan kumulatif perbedaan pajak yang dicatat secara akuntansi dengan

pajak yang benar-benar dibayar. Deferred taxes pada dasarnya tidak pernah

dibayarkan sehingga dapat diperlakukan sebagai penambah ekuitas. Dengan

menambahkan peningkatan deferred taxes ke dalam earning, NOPAT hanya

akan dibebani dengan pajak yang benar-benar dibayar. Penyesuaian ini

menghasilkan perhitungan yang benar-benar menyatakan aliran kas yang

ada.

2. LIFO Reserve

LIFO reserve adalah perbedaan nilai persediaan dengan menggunakan metode

LIFO dan FIFO. Metode LIFO menilai persediaan berdasarkan nilai historisnya

sehingga tidak mencerminkan nilai yang berlaku pada saat laporan keuangan

dibuat, sedangkan metode FIFO menghasilkan nilai persediaan yang

mendekati nilai pasar pada saat laporan dibuat. Menambahkan LIFO reserve

ke modal sebagai ekuivalen ekuitas mengubah penilaian persediaan dari

metode LIFO menjadi FIFO sehingga menghasilkan perkiraan biaya yang

benar-benar terjadi.
29

3. Akumulasi Amortisasi Goodwill

Berdasarkan metode akuntansi, goodwill diamortisasikan selama periode

maksimal 40 tahun. Amortisasi pada dasarnya dilakukan agar matching

principle dalam akuntansi terpenuhi. Pada dasarnya nilai goodwill dari tahun

ke tahun tidak berkurang. Karena itu, akumulasi amortisasi goodwill ini akan

ditambahkan kembali pada modal dan NOPAT. Dengan menambahkan

akumulasi dari goodwill ke dalam ekuivalen ekuitas dan amortisasi per periode

ke dalam NOPAT, maka aliran kas yang sebenarnya akan terlihat jelas.

4. Unrecorded Goodwill

Unrecorded goodwill adalah perbedaan nilai buku perusahaan yang diakuisisi

dengan nilai pasar dan saham. Goodwill tidak dapat tercatat semuanya jika

menggunakan teknik pooling of interest, karena dengan teknik ini biaya yang

tercatat oleh pihak pembeli adalah nilai buku akuntansi dari penjual. Untuk

itu, goodwill yang tidak tercatat ini ditambahkan ke dalam modal.

5. Intangible

Biaya riset (R&D) seharusnya dikapitalisasi pada neraca sebagai ekuivalen

ekuitas dan diamortisasi selama periode keberhasilan proyek. Dengan

alasan yang sama dengan akumulasi amortisasi goodwill, maka

kapitalisasi bersih dari intangible ditambahkan pada modal, dan

perubahannya ditambahkan pada NOPAT.

6. Succesfull Effort to Full Cost

Untuk merubah succesfull effort menjadi full cost diperlukan penyesuaian

yaitu dengan menghilangkan laba atau rugi yang bukan berasal dari
30

kegiatan operasi. Akumulasi dari laba atau rugi tersebut ditambahkan ke

dalam modal.

7. Other Equity Equivalent Reserve

Penyesuaian lain juga dapat dilakukan untuk menghasilkan perhitungan yang

benar-benar menyatakan arus kas yang ada, misalnya bad debt reserve,

inventory obsolence reserve, warranties, deferred income reserves.

Penyesuaian dalam EVA yang tersebut di atas dapat dilihat pada tabel 2.1. berikut

ini:

Tabel 2. 1.
Beberapa penyesuaian dalam EVA

Add to Capital : Add to NOPAT :


Equity equivalents Increase in equity equivalents
Deferred tax reserve Increase in deferred tax reserve
LIFO reserve Increase in LIFO reserve
Cumulative goodwill amortization Goodwill amotization
Unrecorded goodwill Unrecorded Goodwill
(Net) capitalized intangibles Increase in (net) capitalized intangibles
Full cost reserve Increase in full-cost reserve
Cumulative unusual loss (gain) AT Unusual loss (gain) AT
Other reserve : Increase in other reserves
Bad debt reserve
Inventory obsolescence reserve
Warranty reserve
Deferred income reserve

Sumber : The quest for value, Steward, G.Bennet

2.2.2. Metode Perhitungan

EVA mengukur kinerja perusahaan dengan memperhitungkan seluruh biaya

modal yang digunakan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan. EVA

dirumuskan sebagai berikut (Ehrbar, Al., 1998 : 3) :

EVA = NOPAT ─ (Cost of Capital x Invested Capital) ....(2.1)


31

Dimana:

NOPAT = Net Operating Profit After Tax


Cost of Capital = Perhitungan Cost of Capital menggunakan Weighted
Averaged Cost of Capital (WACC)
Invested Capital = Jumlah dana yang tersedia bagi perusahaan untuk
membiayai usahanya dan merupakan penjumlahan dari
total hutang dan modal saham
Untuk keperluan analisis, lebih mudah menggunakan rumusan :

EVA = Spread EVA dikalikan invested capital

EVA = (r – rwacc) * invested capital

Dimana :

r = NOPAT/Invested Capital, atau dikenal dengan ROIC


rwacc (c*) = Biaya modal rata-rata tertimbang

2.2.3. Net Operating Profit After Tax (NOPAT)

NOPAT merupakan laba operasi perusahaan setelah dikurangi pajak (Young,

2001, 54). Dalam konsep EVA, NOPAT terlebih dahulu disesuaikan dengan

penyesuaian-penyesuaian yang disebut ekuivalen ekuitas untuk mengeliminasi

berbagai distorsi akuntansi. Cara penghitungan NOPAT yang telah disesuaikan :

Tabel 2.2
Perhitungan NOPAT
Laba bersih
Perubahan ekuivalen ekuitas
──────────────────── +
Laba bersih yang disesuaikan
Bunga hutang setelah pajak
──────────────────── +
NOPAT
Sumber : EVA and VBM, S.David Young & Stephen F.O’Byrne
32

2.2.4. Biaya Modal (Cost of Capital)

Cost of Capital merupakan biaya kesempatan yang mencerminkan pengembalian

yang diharapkan investor dari investasi lain dengan risiko serupa (Young, 2001 :

161). Perhitungan cost of capital sangatlah penting bagi perusahaan dimana biaya

modal merupakan tingkat pengembalian yang harus didapatkan untuk memberi

kepuasan kepada investor dalam suatu level risiko tertentu. Apabila pendapatan

perusahaan tetap sama dengan biaya modal, maka harga sahamnya diperkirakan

akan tetap sama.

Cost of Capital yang dipakai adalah dengan menggunakan WACC yang

merupakan penjumlahan biaya dari setiap komponen modal (hutang jangka

pendek, hutang jangka panjang, dan ekuitas pemegang saham) yang diproporsikan

terhadap nilai pasar di dalam struktur modal perusahaan (Young, 2001, 43). Cost

of Capital dapat dirumuskan sebagai berikut :

kWACC = ke E/V + Kd (1-t)D/V ……………………………..(2.2)

Dimana :

kWACC = Weighted averaged after tax cost of capital


ke = Risk adjusted cost of equity
Kd = Before tax cost of debt
T = Marginal tax rate
E = Market value of the firm’s equity
D = Market value of the firm’s debt
V = Total market value of he firm’s securities (D+E)
33

2.2.4.1. Cost of Equity

Biaya ekuitas merupakan tingkat pengembalian yang diharapkan oleh investor

dari sebuah equity investment dalam suatu perusahaan. Terdapat beberapa

pendekatan dalam melakukan perhitungan biaya ekuitas, antara lain adalah Model

Penetapan Aktiva Modal (CAPM), Pendekatan Imbal Hasil Obligasi Plus Premi

Risiko, dan Pendekatan Imbal Hasil Dividen Plus Tingkat Pertumbuhan, atau

Arus Kas Terdiskonto. (Brigham & Houston, 2006 : 475)

Pendekatan-pendekatan di atas masing-masing memiliki kelebihan serta

kelemahan. namun dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan CAPM

yang menurut Young (2001 : 185) “selama belum ada model yang lebih baik

secara konsep maupun praktis maka CAPM terus digunakan dalam menghitung

Cost of Equity sebagai bagian dari perhitungan WACC”.

Dalam memformulasikan CAPM, Bodie, et. al (2005 : 356) menjelaskan bahwa

ada beberapa asumsi yang harus dibuat yaitu :

1. Terdapat banyak investor, masing-masing dengan jumlah kekayaan yang

sangat kecil dibandingkan total kekayaan seluruh investor.

2. Seuruh investor merencanakan untuk satu periode investasi yang identik.

3. Investasi dibatasi hanya pada aset keuangan yang diperdagangkan secara

umum seperti saham dan obligasi, dan pada kesepakatan pinjaman dan

pemberian pinjaman yang bebas risiko.

4. Investor tidak membayar pajak atas imbal hasil dan juga tidak terdapat biaya

transaksi atas perdagangan sekuritas.


34

5. Seluruh investor berusaha mengoptimalkan imbal hasil risiko yang rasional.

6. Seluruh investor menganalisis sekuritas dengan cara yang sama dan

mempunyai pandangan ekonomi yang sama tentang dunia yang dihadapinya.

CAPM dirumuskan sebagai berikut

re = rf + β (rm ─ rf) ………………………………(2.3)


Dimana :

re = tingkat pengembalian yang diharapkan atau tingkat biaya


ekuitas dari modal yang diinvestasikan
rf = tingkat bunga bebas risiko yaitu tingkat bunga yang
biasanya diperoleh dari suku bunga surat berharga yang
dikeluarkan oleh pemerintah
Β = Indikator volatilitas risiko perusahaan relatif terhadap
pasar yang menggambarkan risiko perusahaan secara
spesifik (systematic risk)
(rm ─ rf) = Market risk premium, yaitu besarnya tingkat pengembalian
yang diharapkan oleh investor karena melakukan investasi
dengan aset bebas risiko

2.2.4.2. Cost of Debt

Umumnya suatu perusahaan memperoleh modalnya bukan hanya dari dalam

perusahaan itu sendiri dalam bentuk equity, tetapi juga dari luar perusahaan dalam

bentuk debt. Komponen dari cost of debt adalah tingkat bunga yang harus

dibayarkan oleh perusahaan atas obligasi yang dikeluarkan maupun oleh pinjaman

yang diterima perusahaan. Tidak semua hutang mengandung bunga, jadi biaya

hutang hanya terdiri dari hutang-hutang yang mengandung biaya bunga.


35

Adanya hutang oleh perusahaan menyebabkan pajak yang dibayarkan lebih kecil,

karena beban bunga merupakan tax deductible expense. Cost of debt adalah beban

bunga setelah dikurangi penghematan pajak yang didapat oleh perusahaan akibat

adanya hutang. Cost of debt dirumuskan sebagai berikut :

After tax cost of debt = Kd (1-t) ………………………….(2.4)


Dimana :

kd = biaya hutang sebelum pajak


t = tingkat pajak

2.2.5. Invested Capital

Invested Capital atau modal yang diinvestasikan adalah seluruh pendanaan

perusahaan yang merupakan penjumlahan dari ekuitas pemegang saham, seluruh

hutang yang mengandung bunga baik jangka pendek maupun jangka panjang dan

kewajiban jangka panjang lainnya yang telah disesuaikan (Young, 2001: 54). Cara

penghitungan Modal yang telah disesuaikan :

Tabel 2.3
Perhitungan Invested Capital
Jumlah Ekuitas
Perubahan Ekuivalen Ekuitas
──────────────────── +
Jumlah Ekuitas Disesuaikan
Jumlah hutang yang mengandung bunga
──────────────────── +
Invested Capital
Sumber : EVA and VBM, S.David Young & Stephen F.O’Byrne
36

2.2.6. Strategi Menciptakan Nilai Tambah Ekonomis

Economic Value Added (EVA) merupakan suatu ukuran yang memperhitungkan

semua unsur yang terkait dengan penciptaan nilai. EVA dihasilkan dari selisih

(spread) antara tingkat pengembalian dari modal r dengan biaya dari modal c*

yang kemudian dikalikan dengan nilai buku ekonomis dari modal yang digunakan

dalam menjalankan usaha: ( Bennet, 1991 : 136)

EVA = ( r – c* ) X capital

EVA = (rate of return – cost of capital) X capital

Meskipun disuatu jenis usaha terdapat banyak hal dimana orang dapat menciptakan

nilai, pada dasarnya hal-hal tersebut dapat dikelompokkan ke dalam salah satu dari

tiga kategori yang dapat diukur dengan peningkatan EVA dimana, EVA akan

meningkat apabila : ( Bennet, 1991: 137-138)

1. Tingkat pengembalian yang diperoleh dari modal yang ada meningkat, yang

berarti laba operasi bertambah tanpa tambahan modal baru.

2. Tambahan modal diinvestasikan ke dalam proyek-proyek yang tingkat

pengembaliannya melebihi biaya perolehan dari modal baru tersebut.

3. Melikuidasi modal atau mengurangi investasi pada investasi yang menghasilkan

tingkat kembalian dibawah biaya modalnya.

Hanya dengan cara-cara tersebutlah nilai dapat diciptakan, dan EVA telah

mencakup itu semua.

EVA merupakan sisa laba, atau laba operasi dikurangi biaya dari modal yang

digunakan. Akibat dari penggunaan EVA sebagai ukuran kinerja adalah


37

perusahaan dituntut oleh para investor untuk dapat menggunakan modal yang

menghasilkan pengembalian di atas biaya dari modal tersebut.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka ada beberapa strategi yang harus dilakukan

oleh perusahaan untuk dapat meningkatkan EVA. Strategi-strategi tersebut adalah :

1. Meningkatkan laba operasi dengan cara antara lain: menekan biaya,

menciptakan produk unggulan, serta meningkatkan efisiensi atas aset-aset.

2. Meningkatkan pertumbuhan EVA dengan melakukan investasi baru yang

tingkat pengembaliannya melebihi biaya modalnya meskipun terjadi penurunan

atas tingkat pengembaliannya.

3. Melakukan rasionalisasi serta keluar dari bisnis yang kurang menguntungkan

dengan cara : melikuidasi modal yang tidak produktif serta menghentikan

investasi pada proyek-proyek yang kurang menguntungkan.

2.2.7. Keunggulan dan Kelemahan Economic Value Added (EVA)

Pengukuran kinerja dengan menggunakan pendekatan Economic Value Added

(EVA) memiliki beberapa keunggulan, yaitu :

1. Konsep EVA memperhitungkan beban biaya modal yang timbul sebagai akibat

dari investasi yang dilakukan oleh perusahaan, yang mencakup biaya modal atas

utang dan biaya modal atas ekuitas. Dengan demikian, maka penghitungan nilai

perusahaan dengan menggunakan konsep EVA akan lebih akurat terhadap

penciptaan nilai tambah (value added) bagi perusahaan.


38

2. Menurut Stern Steward terdapat sekitar 120 distorsi potensial GAAP. Untuk

memperbaiki hal tersebut maka perlu dilakukan beberapa penyesuaian sehingga

menghasilkan nilai EVA yang dapat lebih diandalkan.

3. Perhitungan EVA dapat digunakan untuk melihat kemampuan penciptaan nilai

dari satu divisi pada suatu perusahaan atau dari perusahaan secara keseluruhan.

Secara teori EVA dapat dihitung jika diketahui NOPAT, yaitu komponen laba

perusahaan yang diperoleh dari kegiatan operasional, modal yang

diinvestasikan, dan biaya modal rata-rata tertimbang (WACC).

4. Tidak mengurangi minat para manajer untuk melakukan investasi, dalam hal ini

R&D, karena dana tersebut akan dikapitalisasi dan masuk ke dalam neraca

sehingga tidak mengurangi laba.

5. EVA berguna untuk menyelaraskan tujuan antara manajer/karyawan dengan

pemegang saham/pemilik perusahaan serta menentukan bonus bagi para

manajer/karyawan untuk mencari dam mengimplementasikan investasi yang

memberikan nilai tambah bagi perusahaan.

Disamping memiliki keunggulan, pengukuran kinerja dengan menggunakan

pendekatan Economic Value Added (EVA) juga memiliki beberapa kelemahan,

yaitu :

1. Pengukuran EVA menggunakan data-data historis, dan tidak bisa mengukur

hal-hal yang tidak berhubungan dengan keuangan.

2. EVA tidak mampu melakukan kontrol terhadap perbedaan ukuran antar divisi-

divisi yang ada pada suatu perusahaan. Hal ini mengakibatkan divisi yang besar
39

pada suatu perusahaan akan cenderung memiliki nilai EVA yang akan lebih

besar bila dibandingkan dengan divisi lain yang lebih kecil.

3. EVA dihitung berdasarkan metode akuntansi keuangan, sehingga para manajer

masih dapat memanipulasi nilai sebenarnya baik penerimaan pendapatan

maupun pengakuan beban.

4. EVA memiliki orientasi yang bersifat jangka pendek, sehingga tujuan dari

pengukuan kinerja yang berdasarkan pada pola hubungan antara kompensasi

dengan usaha pencapaian pekerjaan tidak berjalan dengan baik. Sebagai contoh,

jika seorang manajer berhasil menjalankan sebuah ide yang inovatif pada masa

sekarang, namun benefit dan pendapatan akan tetap dicatat pada tahun-tahun

mendatang, sehingga nilai EVA yang diperoleh saat ini menjadi relatif kecil.

Selain itu, manajer menjadi kehilangan kesempatan untuk memperoleh

kenaikan gaji, bonus, atau bahkan kehilangan kesempatan untuk memperoleh

promosi jabatan.

5. Perhitungan EVA dilakukan hanya berdasarkan hasil akhir dari suatu proses.

EVA tidak melihat akar permasalahan dan inefisiensi yang disebabkan oleh

suatu aktivitas dalam proses, sehingga EVA memberikan informasi yang

terbatas kepada para manajer yang bertanggungjawab terhadap suatu proses

aktivitas.

Berdasarkan uraian mengenai pengukuran kinerja dengan menggunakan rasio

keuangan serta pengukuran kinerja dengan metode economic value added (EVA) di

atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kelebihan utama pengukuran kinerja dengan

EVA dibanding dengan menggunakan rasio keuangan utamanya rasio profitabilitas


40

adalah bahwa EVA dalam perhitungannya telah mempertimbangkan biaya modal

atas hutang dan ekuitas serta EVA merupakan pengukuran kinerja yang dapat

berdiri sendiri tanpa memerlukan ukuran lain baik berupa perbandingan

(omparatives) maupun berupa kecenderungan (trends).

Sedangkan kelebihan pengukuran kinerja dengan menggunakan rasio keuangan

dibanding EVA terletak pada kemudahan dalam melakukan proses perhitungannya

serta mencari penyebab adanya perbedaan-perbedaan.


41

III. METODELOGI PENELITIAN

1.2. Tahapan Analisis

Untuk menghitung dan menganalisis nilai EVA TELKOM terdapat tiga tahapan

yang harus dilakukan sesuai yang tergambar dalam alur berikut ini :

INPUT
 Laporan Keuangan perusahaan periode 2003 – 2009
 Tingkat suku bunga SBI periode 2003 – 2009
 Nilai Beta Saham perusahaan periode 2003 – 2009
 Country Risk Premium menurut A. Damodaran

PROSES
 Menghitung Invested Capital
 Menghitung NOPAT
 Menghitung Cost of Capital (Cost of Debt & Cost of Equity)
 Menghitung Weighted Averaged Cost of Capital
 Menghitung EVA
 Melakukan analisis atas nilai EVA yang diperoleh

OUTPUT
 Hasil perhitungan EVA perusahaan periode 2003 – 2009
 Analisis kinerja perusahaan berdasarkan EVA periode 2003 -2009
42

3.2. Obyek Penelitian

Dalam penyusunan tesis ini, penulis mengambil objek penelitian perusahaan

telekomunikasi terbesar di Indonesia yang juga merupakan BUMN terbesar serta

memiliki kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia yaitu PT

Telekomunikasi Indonesia untuk periode 2003 sampai 2009.

3.3. Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah data sekunder yang

diperoleh dari website PT Telkom yaitu www.telkom.com, yang terdiri dari

laporan keuangan yang telah diaudit dan laporan tahunan untuk periode 2003 –

2009 dan untuk data harga saham diperoleh dari website Bursa Efek Indonesia

(BEI) . Untuk data Beta Saham perusahaan diperoleh dari website Damodaran

http://pages.stern.nyu.edu/~adamodar/, sedangkan data tingkat suku bunga SBI

diperoleh dari website Bank Indonesia yaitu www.bi.go.id, serta data Country Risk

Premium menurut Damodaran yang diperoleh dari website

http://pages.stern.nyu.edu/~adamodar/.

3.4. Proses Pengolahan Data

Proses dalam mengolah data untuk memperoleh nilai EVA bisa dirinci sebagai

berikut :

3.4.1. Perhitungan Nilai EVA

Nilai EVA diperoleh dari selisih antara Net Operating Profit After Tax (NOPAT)

dengan tingkat biaya modal yang telah dikalikan dengan total modal (capital
43

charge). Untuk itu terlebih dahulu diperlukan sejumlah perhitungan sebagai

berikut :

3.4.1.1. Perhitungan Total Modal

Total modal diperoleh dengan mengeluarkan komponen hutang yang tidak

mengandung bunga dari perhitungan jumlah kewajiban dan menambahkan

ekuitas dengan komponen-komponen yang ekuivalen dengan ekuitas.

Kewajiban dan ekuitas yang telah disesuaikan tersebut kemudian dijumlahkan

untuk memperoleh total modal.

3.4.1.2. Perhitungan NOPAT

Untuk memperoleh nilai NOPAT maka sebelumnya dilakukan penyesuaian

terlebih dahulu terhadap laporan keuangan perusahaan. Hal ini dilakukan

untuk menghilangkan distorsi akuntansi akibat penerapan standar maupun

perbedaan kebijakan akuntansi yang dianut antar perusahaan.

Laba Bersih xxx


Perubahan Ekuitas xxx +
Laba Bersih Disesuaikan xxx
Bunga Hutang setelah Pajak xxx +
NOPAT xxx

3.4.1.3. Perhitungan Tingkat Biaya Hutang

Tingkat biaya hutang diperoleh dengan membagikan beban bunga dengan

komponen hutang yang mengandung bunga yang datanya berasal dari laporan

keuangan perusahaan. Tingkat biaya hutang tersebut kemudian dikurangi oleh

faktor pajak dimana tingkat pajak yang digunakan adalah sebesar 30%.
44

3.4.1.4. Perhitungan Tingkat Biaya Ekuitas

Tingkat biaya ekuitas diperoleh dengan menggunakan rumus Capital Asset

Pricing Model (CAPM), yaitu : re = rf + β (rm-rf). Nilai rf diperoleh dari rata-rata

tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) selama periode 2003 -- 2009.

Untuk pencarian nilai beta, penulis mengambil data dari website Damodaran

untuk periode 2003 – 2009. Sementara untuk nilai market risk premium (rm-rf)

digunakan nilai country risk premium untuk Indonesia menurut A Damodaran

untuk periode 2003 – 2009.

3.4.1.5. Perhitungan Tingkat Biaya Modal Rata-rata Tertimbang

Biaya modal rata-rata tertimbang merupakan biaya keseluruhan dari sistem

pembiayaan yang digunakan perusahaan, yaitu gabungan antara biaya modal atas

ekuitas dengan biaya modal atas hutang.

kWACC = keE/V + Kd(1-t)D/V

Dimana :

kWACC = Weighted averaged after tax cost of capital


ke = Risk adjusted cost of equity
Kd = Before tax cost of debt
T = Marginal tax rate
E = Market value of the firm’s equity
D = Market value of the firm’s debt
V = Total market value of the firm’s securities (D+E)
45

3.5. Analisis Hasil Pengolahan Data

Sebelum melakukan analisis atas nilai EVA yang telah dihasilkan, terlebih dahulu

akan dilakukan analisis secara umum atas hasil yang didapat dari proses

perhitungan EVA yaitu berupa ; perhitungan modal, NOPAT, Biaya Hutang,

Biaya Ekuitas serta Biaya Modal Rata-rata Tertimbang untuk tahun 2003 – 2009.

Berikutnya penulis akan menganalisis secara detail faktor-faktor dominan apa saja

yang menjadi penyebab meningkatnya atau menurunnya nilai EVA pada tahun

2003 – 2009 baik dari segi strategi bisnis maupun aksi korporasi (corporate

action) yang dilakukan perusahaan dengan mengacu pada teori-teori keuangan

yang ada serta bagaimana perbandingan nilai EVA tersebut dari tahun ke tahun.
46

IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Tinjauan Industri Telekomunikasi

4.1.1. Industri Telekomunikasi di Indonesia

Sejak tahun 1961, layanan komunikasi di Indonesia telah diselenggarakan oleh

perusahaan milik negara. Seperti negara berkembang lainnya, perluasan dan

modernisasi infrastruktur telekomunikasi memainkan peranan yang penting di

dalam perkembangan ekonomi nasional secara umum. Selain itu, jumlah

penduduk yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang pesat telah mendorong

permintaan akan layanan telekomunikasi yang belum dapat terpenuhi.

Pada awalnya Pemerintah mempertahankan monopoli atas layanan

telekomunikasi di Indonesia. Reformasi saat ini telah menciptakan kerangka

regulasi yang mendorong tumbuhnya persaingan dan percepatan pembangunan

fasilitas dan infrastruktur telekomunikasi. Reformasi tersebut menghasilkan

regulasi baru yang berlaku mulai bulan September 2000, yang dimaksudkan untuk

meningkatkan persaingan dengan penghapusan monopoli, meningkatkan

transparansi dan memberi gambaran yang jelas tentang kerangka regulasi,

menciptakan peluang bagi aliansi strategis dengan mitra asing dan memfasilitasi

masuknya pemain baru dalam industri telekomunikasi.


47

Penetrasi sambungan telepon tidak bergerak di Indonesia masih rendah

berdasarkan standar internasional. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2009,

penetrasi sambungan telepon tidak bergerak di Indonesia (termasuk pelanggan

telepon tidak bergerak nirkabel) diperkirakan hanya sebesar 14,9% dan penetrasi

seluler diperkirakan sebesar 71,9%.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka terdapat beberapa kecenderungan yang

signifikan dalam industri telekomunikasi di Indonesia, antara lain yaitu :

 Pertumbuhan yang berkesinambungan. Industri telekomunikasi di Indonesia

akan terus tumbuh sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang

diharapkan akan meningkatkan permintaan layanan komunikasi.

 Migrasi ke jaringan nirkabel. Layanan nirkabel semakin populer sebagai

akibat dari semakin luasnya area cakupan, membaiknya kualitas jaringan

nirkabel, menurunnya harga telepon genggam dan meluasnya layanan

prabayar.

 Meningkatnya persaingan. Semakin kompetitifnya pasar telekomunikasi

Indonesia sebagai akibat dari reformasi peraturan pemerintah.

4.2. Profil PT Telekomunikasi Indonesia (TELKOM)

4.2.1. Sejarah Perusahaan dan Perkembangannya

Pada tahun 1884, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan perusahaan swasta

yang bergerak dibidang ekspedisi surat menyurat untuk domestik dan jasa layanan

telegraph Internasional. Jasa telepon mulai ada di Indonesia pada tahun 1882,

hingga tahun 1906 bentuk perusahaan adalah swasta tetapi telah mendapatkan izin
48

dari pemerintah selama 25 tahun. Pada tahun 1906 pemerintah kolonial Belanda

membentuk lembaga pemerintah untuk mengendalikan seluruh layanan pos dan

telekomunikasi di Indonesia.

Pada tahun 1961, sebagian besar dari layanan ini dialihkan kepada perusahaan milik

negara. Pemerintah memisahkan layanan pos dengan telekomunikasi pada tahun

1965 ke dalam dua Perusahaan milik Negara, yaitu PN Pos dan Giro, dan PN

Telekomunikasi, dan kemudian pada tahun 1974, PN Telekomunikasi terbagi

menjadi dua perusahaan milik Negara, Perusahaan Umum Telekomunikasi

(“Perumtel”) sebagai penyedia layanan telekomunikasi domestik dan internasional

serta PT Industri Telekomunikasi Indonesia (“PT INTI”) sebagai perusahaan

pembuat perangkat telekomunikasi. Pada tahun 1980, bisnis telekomunikasi

internasional dialihkan kepada PT Indonesian Satellite Corporation (“Indosat”).

Pada tahun 1991, status Perumtel berubah menjadi perseroan terbatas milik negara

dengan nama Perusahaan Perseroan (Persero) P.T Telekomunikasi Indonesia, yang

lebih dikenal dengan TELKOM. Sebelum tahun 1995, operasi bisnis TELKOM

dibagi ke dalam duabelas wilayah operasi, yang dikenal sebagai "Witel". Setiap

Witel memiliki struktur manajemen yang bertanggung jawab atas seluruh aspek

bisnis di wilayahnya masing-masing, mulai dari penyediaan layanan telepon

hingga manajemen dan keamanan properti.

Pada tahun 1995, duabelas Witel TELKOM diubah menjadi tujuh divisi regional

(Divisi I Sumatera; Divisi II Jakarta; Divisi III Jabar; Divisi IV Jateng dan DIY
49

Yogyakarta; Divisi V Jatim; Divisi VI Kalimantan; dan Divisi VII Indonesia

bagian Timur) serta satu Divisi Network. TELKOM melakukan kesepakatan

Kerja Sama Operasi (KSO) dengan mengalihkan hak untuk mengoperasikan lima

dari tujuh divisi regional (Divisi Regional I, III, IV, VI dan VII) kepada

konsorsium swasta. Dengan kesepakatan tersebut, maka mitra KSO akan

mengelola dan mengoperasikan divisi regional untuk periode waktu tertentu,

melaksanakan pembangunan sambungan telepon tidak bergerak dalam jumlah

yang telah ditetapkan dan pada akhir periode kesepakatan, mengalihkan fasilitas

telekomunikasi yang telah dibangun kepada TELKOM dengan kompensasi yang

besarnya telah disepakati. Pendapatan dari KSO akan dibagi antara TELKOM

dan mitra KSO.

Pada tanggal 14 November 1995, Pemerintah melakukan penjualan saham

TELKOM melalui penawaran saham perdana (Initial Public Offering). Saham

TELKOM tercatat di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (keduanya

telah melebur menjadi Bursa Efek Indonesia pada Desember 2007), dan saham

TELKOM dalam bentuk ADS tercatat di NYSE dan LSE. Selain itu saham

TELKOM juga terdaftar di bursa efek Tokyo dalam bentuk Public Offering

Without Listing. TELKOM saat ini merupakan salah satu perusahaan dengan

kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia, dengan nilai kapitalisasi mencapai sekitar

Rp 190.512 miliar per 31 Desember 2009. Pemerintah memiliki hak 52,47% dari

keseluruhan saham TELKOM yang dikeluarkan dan beredar. Pemerintah juga

memegang saham Dwiwarna TELKOM, yang memiliki hak suara khusus dan hak

veto atas hal-hal tertentu.


50

4.2.2. Visi, Misi, dan Tujuan

Visi TELKOM adalah “Menjadi perusahaan InfoComm terkemuka di kawasan

regional”, sedangkan misi TELKOM adalah menyediakan layanan InfoComm

terpadu dan lengkap dengan kualitas terbaik dan harga kompetitif serta menjadi

model pengelolaan korporasi terbaik di Indonesia.

Adapun Tujuan Bisnis TELKOM adalah menciptakan posisi unggul dengan

memperkokoh bisnis legacy dan meningkatkan bisnis new wave untuk

memperoleh 60% dari pendapatan industri pada tahun 2015.

4.2.3. Data Perusahaan

Sampai dengan 31 Desember 2009, TELKOM mempunyai kepemilikan langsung

di sembilan anak perusahaan langsung (direct subsidiaries) konsolidasian dan

delapan anak perusahaan asosiasi langsung yang tidak dikonsolidasi yang

bergerak dibidang pembangunan dan layanan telekomunikasi, keuangan, dan

properti.

Secara umum, organisasi TELKOM pada tahun 2009 terdiri dari Dewan

Komisaris, Direksi dan Unit Bisnis. Dewan Komisaris terdiri dari Komisaris

Utama dan empat Komisaris, dua di antaranya merupakan Komisari Independen.

bertugas mengawasi jalannya operasional perusahaan. Dalam menjalankan

tugasnya Dewan Komisaris dibantu oleh beberapa Komite yang mencakup

Komite Audit, Komite Nominasi dan Remunerasi, serta Komite Evaluasi dan

Monitoring Perencanaan Risiko. Direktur TELKOM berjumlah delapan orang


51

yang terdiri dari Direktur Utama (CEO), Direktur Network & Solution, Direktur

Konsumer, Direktur Enterprise & Wholesale, Direktur Keuangan (CFO) dan

Direktur Human Capital & General Affairs, Direktur Information & Supply (CIO)

serta Direktur Compliance & Risk Management.

Produk dan layanan TELKOMGroup berjumlah lebih dari 200 jenis yang

dikelompokkan berdasarkan portofolio bisnis, yang dapat dikelompokkan sebagai

berikut: sambungan telepon tidak bergerak kabel, sambungan telepon tetap

nirkabel, telepon selular, data & internet, dan jaringan & interkoneksi.

4.3. Economic Value Added (EVA) PT Telekomunikasi Indonesia

Untuk memperoleh nilai EVA suatu perusahaan, ada beberapa tahap perhitungan

yang harus dilakukan. Uraian dari tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut :

4.3.1. Perhitungan Modal TELKOM

Sebelum menghitung modal TELKOM tahun 2003 – 2009 terdapat beberapa

penyesuaian yang harus dilakukan terhadap modal perusahaan yang dihasilkan

dari pembukuan perusahaan agar dapat mencerminkan modal perusahaan yang

sebenarnya. Penyesuaian yang harus dilakukan meliputi pos-pos sebagai berikut :

kewajiban pajak tangguhan, akumulasi amortisasi goodwill, cadangan piutang tak

tertagih, dan cadangan atas persediaan yang usang.

Modal perusahaan untuk tahun 2003 – 2009 selalu mengalami kenaikan dari tahun

ke tahun, hingga pada akhir tahun 2009 modal perusahaan meningkat menjadi Rp.
52

84.431 milyar yang berarti telah meningkat sebesar 104% dibanding akhir tahun

2003. Rata-rata kenaikan adalah sebesar 13,15% per tahun. Faktor dominan yang

menyebabkan kenaikan modal TELKOM tahun 2003 – 2009 adalah terus

meningkatnya jumlah ekuitas dari tahun ke tahun yang berasal dari jumlah laba

bersih tahun berjalan setelah dikurangi pembayaran dividen. (Gambar 4.1)

Struktur modal TELKOM dari tahun 2003 hingga tahun 2009 mengalami

perubahan dalam komposisinya yaitu cenderung menurunkan rasio utang terhadap

ekuitas dari 45% : 55% menjadi 30% : 70%. Hal tersebut menunjukkan bahwa

TELKOM lebih mengandalkan ekuitas dalam pembiayaan perusahaan dibanding

menggunakan fasilitas pinjaman dan cenderung berusaha menjaga komposisi

tersebut tetap stabil (konservatif).

Kebijakan TELKOM untuk menggunakan utang lebih sedikit dimungkinkan

karena kemampuan profitabilitas (rasio laba bersih terhadap penjualan) dari

TELKOM yang cukup tinggi dalam rentang waktu 2003 – 2009 yaitu rata-rata

mencapai 20% per tahun. Namun jika dilihat dari karakteristik TELKOM yang

merupakan perusahaan telekomunikasi yang menyediakan layanan umum,

TELKOM memiliki struktur aktiva yang cocok sebagai jaminan pinjaman,

stabilitas penjualan dari tahun ke tahun serta pasar telekomunikasi di Indonesia

yang masih luas untuk dikembangkan, maka sangat memungkinkan untuk lebih

memanfaatkan fasilitas utang untuk membiayai pembangunan infrasruktur

TELKOM yang membutuhkan dana yang besar serta adanya manfaat pajak yang

besar jika menggunakan fasilitas utang tersebut.


53

Tabel 4.1
Perhitungan Modal TELKOM
(dalam jutaan rupiah)
year 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Debt :
Short-term bank loan 37.642 1.101.633 173.800 687.990 573.669 46.000 43.850
Current maturities of LTL 3.443.516 2.300.822 2.226.925 4.675.409 4.830.809 7.054.233 7.629.295
LTL net - of current maturities 11.834.517 13.213.864 11.332.468 10.249.038 10.595.319 13.240.900 14.565.742
Total Debt 15.315.675 16.616.319 13.733.193 15.612.437 15.999.797 20.341.133 22.238.887
Minority Interest 3.708.155 4.938.432 6.305.193 8.187.087 9.304.762 9.683.780 10.933.347
Shareholder's equity 17.312.877 18.128.036 23.292.401 28.068.689 33.748.579 34.314.071 38.989.747
Adjustments :
Deferred tax liabilities 3.546.770 2.927.567 2.391.810 2.665.397 3.034.100 2.904.873 3.343.201
Acc.goodwill amortization 973.704 1.846.034 2.764.187 3.708.590 4.758.067 6.324.335 7.570.659
Bad debt reserve 489.436 531.302 690.070 786.474 1.111.438 1.213.099 1.283.067
Inventory obsolescence 40.489 54.733 48.347 48.098 54.701 64.849 72.174
Equity Equivalent 5.050.399 5.359.636 5.894.414 7.208.559 8.958.306 10.507.156 12.269.101
Adjusted Common Equity 22.363.276 23.487.672 29.186.815 35.277.248 42.706.885 44.821.227 51.258.848

Capital 41.387.106 45.042.423 49.225.201 59.076.772 68.011.444 74.846.140 84.431.082


Sumber : Laporan Keuangan Perusahaan yang telah diolah

Gambar 4.1
Modal TELKOM Tahun 2003 – 2009

dalam miliar rupiah

90.000
80.000
70.000
60.000
50.000
40.000
30.000
20.000
10.000
-
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Tahun
54

4.3.2. Perhitungan NOPAT TELKOM

Seperti halnya dalam menghitung modal, untuk menghitung NOPAT TELKOM

juga harus dilakukan beberapa penyesuaian agar diperoleh NOPAT yang

mencerminkan nilai yang sebenarnya. Penyesuaian-penyesuaian tersebut dilakukan

atas pos-pos : kenaikan (penurunan) kewajiban pajak tangguhan, peningkatan

amortisasi goodwill, peningkatan (penurunan) cadangan piutang tak tertagih,

peningkatan (penurunan) cadangan persediaan yang usang.

NOPAT perusahaan untuk tahun 2003 – 2009 secara umum selalu mengalami

peningkatan kecuali untuk tahun 2008 dimana terdapat penurunan yang signifikan

yang disebabkan karena meningkatnya beban usaha sebesar 16,4% sementara

pendapatan usaha hanya meningkat 2,1% dibandingkan tahun 2007 serta

meningkatnya kerugian selisih kurs sebesar 447,5% akibat depresiasi rupiah di

tahun 2008. (Gambar 4.2)

Dalam dua tahun terakhir terjadi perlambatan pertumbuhan dari Laba Bersih

TELKOM yang disebabkan oleh menurunnya pertumbuhan pendapatan usaha

TELKOM dimana pada tahun 2003 – 2007 pendapatan usaha bisa tumbuh rata-

rata sebesar 23,45%, namun pada tahun 2009 hanya tumbuh sebesar 6,4% bahkan

di tahun 2008 pertumbuhannya hanya sebesar 2,1%. Ada beberapa faktor dominan

yang menyebabkan hal tersebut diantaranya adalah : semakin ketatnya persaingan

diantara perusahaan telekomunikasi yang ada di Indonesia; adanya penurunan tarif

layanan telekomunikasi; serta kondisi perekonomian global yang terpuruk dalam

krisis.
55

Tabel 4.2

Perhitungan NOPAT TELKOM


(dalam jutaan rupiah)
year 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Income Available to Common 7.590.705 8.570.869 11.057.537 14.953.678 17.667.830 14.673.113 15.976.212
Incr. deferred taxes 463.604 (619.203) (535.757) 273.587 368.703 (129.227) 438.328
Goodwill Amortization 785.714 872.330 918.153 944.403 1.049.477 1.566.268 1.246.324
Incr. in bad debt reserve (37.806) 41.866 158.768 96.404 324.964 101.661 69.968
Incr. in inventory obsolescence
reserve (13.306) 14.244 (6.386) (249) 6.603 10.148 7.325
Increase in Equity Equivalent 1.198.206 309.237 534.778 1.314.145 1.749.747 1.548.850 1.761.945

Adjusted Income Available


to common 8.788.911 8.880.106 11.592.315 16.267.823 19.417.577 16.221.963 17.738.157
Interest Expense 1.383.446 1.270.136 1.177.268 1.286.354 1.436.165 1.581.818 2.000.023
Tax Benefit of Interest Expense (415.034) (381.041) (353.180) (385.906) (430.850) (474.545) (600.007)
Interest Expense After Taxes 968.412 889.095 824.088 900.448 1.005.316 1.107.273 1.400.016
Minority Interest in subsidiaries
net income (loss) (1.503.478) (1.956.301) (3.063.971) (3.948.101) (4.810.812) (4.053.643) (4.644.072)

NOPAT 8.253.845 7.812.900 9.352.432 13.220.170 15.612.081 13.275.593 14.494.101


Sumber : Laporan Keuangan Perusahaan yang telah diolah

Gambar 4.2
NOPAT TELKOM Tahun 2003 – 2009

dalam miliar rupiah

16.000

14.000

12.000

10.000

8.000

6.000

4.000

2.000

-
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun
56

4.3.3. Biaya Modal atas Hutang TELKOM

Biaya modal atas hutang TELKOM diperoleh dari perbandingan antara beban

bunga dengan total hutang yang mengandung bunga setelah dikurangi dengan

unsur pajak. Perhitungan Biaya Modal atas Hutang TELKOM untuk tahun 2003 –

2009 adalah sebagai berikut :

Tabel 4.3
Biaya Modal atas Hutang TELKOM
t = 30%
year debt interest Interest (1-t) r d

(Rp) (Rp) (a) (b) ( c ) = (a) x (b)


2003 15.315.675 1.383.000 9,03% 70% 6,32%
2004 16.616.319 1.270.136 7,64% 70% 5,35%
2005 13.733.193 1.177.268 8,57% 70% 6,00%
2006 15.612.437 1.286.354 8,24% 70% 5,77%
2007 15.999.797 1.436.165 8,98% 70% 6,28%
2008 20.341.133 1.581.818 7,78% 70% 5,44%
2009 22.238.887 2.000.023 8,99% 70% 6,30%
Sumber : Laporan Keuangan Perusahaan yang telah diolah

Dari gambar 4.3 di atas terlihat bahwa tidak ada perubahan yang signifikan pada

biaya modal atas hutang TELKOM untuk tahun 2003 – 2009 yang cenderung

stabil dimana berkisar antara 5,35% sampai dengan 6,32%. Rata-rata biaya modal

untuk 7 (tujuh) tahun adalah 5,92%. Biaya modal atas hutang TELKOM yang

tertinggi terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 6,32%, sedang yang terendah

terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar 5,35%.

Jumlah hutang yang digunakan oleh TELKOM dari tahun 2003 – 2009 rata-rata

mengalami kenaikan sebesar 6,92% dimana kenaikan tertinggi terjadi pada tahun

2008 dengan kenaikan sebesar 27,13% atau Rp. 4.341 milyar sedangkan yang
57

terendah pada tahun 2005 dengan penurunan jumlah hutang sebesar 17,35% atau

sebesar Rp.2.883 miliar.

Gambar 4.3
Biaya Modal atas Hutang TELKOM

rd
6,40%

6,20%

6,00%

5,80%

5,60%

5,40%

5,20%

5,00%

4,80%
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun

4.3.4. Biaya Modal atas Saham TELKOM

Untuk menghitung biaya modal atas saham TELKOM digunakan metode Capital

Asset Pricing Model (CAPM) dengan formula sebagai berikut :

re = rf + β (rm ─ rf)

Dimana :

re = Biaya modal atas ekuitas (cost of equity)


rf = Risk free rate, diperoleh dengan menggunakan tingkat
rata-rata suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk
jangka waktu 1 (bulan) selama periode 2003 – 2009
β = Koefisien beta, diperoleh dengan mengambil indeks beta
TELKOM dari website Damodaran
(rm ─ rf) = Market risk premium, data ini diperoleh dari website
Damodaran untuk Negara Indonesia sebagai emerging
market with limited risk periode 2003 - 2009
58

Tabel berikut menyajikan hasil perhitungan Biaya Modal atas Saham PT Telkom dengan

menggunakan metode CAPM :

Tabel 4.4
Biaya Modal atas saham TELKOM

year rf β mrp = (rm-rf) re


2003 9,94% 1,26 8,25% 0,2034
2004 7,54% 1,24 8,25% 0,1777
2005 9,17% 1,83 7,50% 0,2290
2006 11,83% 1,68 5,25% 0,2065
2007 8,60% 1,48 4,50% 0,1526
2008 8,67% 0,73 7,88% 0,1442
2009 7,15% 0,53 4,50% 0,0954
Sumber : SBI, Bloomberg, Damodaran yang telah diolah

Gambar 4.4
Biaya Modal atas Saham TELKOM

re
25,00%

20,00%

15,00%

10,00%

5,00%

0,00%
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun

Biaya modal atas saham TELKOM tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar

22,90% yang disebabkan dari tingginya nilai beta saham perusahaan (sangat volatile)

dibandingkan indeks pasar saham, dimana pada tahun 2005 nilai saham perusahaan

meningkat sebesar 22,3% menjadi Rp.5.900 per lembar saham dibandingkan dengan
59

tingkat pertumbuhan indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta

sebesar 16,2% . Sedangkan biaya modal saham TELKOM yang terendah terjadi

ditahun 2009 yaitu sebesar 9,54%. Rata-rata biaya modal atas saham TELKOM

untuk tahun 2003-2009 yaitu sebesar 17,27%.

Jika dibandingkan antara Cost of Equity TELKOM dengan Cost of Debt-nya maka

terlihat Cost fo Equity TELKOM jauh lebih tinggi dibanding dengan Cost of Debt-

nya dengan selisih rata-rata selama periode 2003 – 2009 sebesar 11,35% lebih rendah

Cost of Debt-nya. Jika dilihat perkembangan dari tahun ke tahun Cost of Equity

TELKOM mengalami penurunan dalam 4 (empat) tahun terakhir sehingga pada

tahun 2009 selisih dengan Cost of Debt-nya hanya 3,24% saja. Hal ini dapat

menunjukkan 2 (dua) hal yaitu ; pertama adalah bahwa Cost of Debt TELKOM

merupakan sumber modal yang lebih murah dibandingkan dengan Cost of Equity-nya

sehingga komposisi modal perusahaan seharusnya lebih cenderung menggunakan

hutang dibanding dengan menggunakan ekuitasnya tentunya dengan

mempertimbangkan tingkat pertumbuhan penjualan serta laba perusahaan; kedua

yaitu bahwa Cost of Equity TELKOM dalam tahun terakhir mulai mendekati Cost of

Debt-nya seiring dengan semakin membaiknya kondisi perekonomian Indonesia dan

perkembangan harga saham TELKOM di Pasar Modal.

4.3.5. Biaya Modal Rata-rata Tertimbang TELKOM

Setelah memperoleh biaya modal atas utang dan biaya modal atas saham maka

untuk mengetahui biaya modal TELKOM (Cost of Capital) digunakan rumus biaya

modal rata-rata tertimbang (Weighted Averaged Cost of Capital) dimana biaya


60

hutang setelah dikurangi unsur pajak dikalikan dengan porsi hutang ditambah

dengan biaya modal atas saham dikalikan dengan porsi ekuitas. (Tabel 4.5)

kWACC = ke E/V + Kd (1-t)D/V

Dimana :

kWACC = Weighted averaged after tax cost of capital


ke = Risk adjusted cost of equity
Kd = Before tax cost of debt
T = Marginal tax rate
E = Market value of the firm’s equity
D = Market value of the firm’s debt
V = Total market value of he firm’s securities (D+E)

Biaya modal rata-rata tertimbang TELKOM yang tertinggi terjadi pada tahun 2005

yaitu sebesar 17,49% yang disebabkan oleh tingginya biaya modal atas saham

TELKOM (cost of equity) sedangkan yang terendah terjadi tahun 2009 yaitu sebesar

8,56%. Rata-rata biaya modal rata-rata tertimbang periode 2003-2009 adalah 13,40%

Tabel 4.5
Biaya Modal Rata-rata Tertimbang TELKOM
(dalam jutaan rupiah)
year 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Debt 15.315.675 16.616.319 13.733.193 15.612.437 15.999.797 20.341.133 22.238.887


Equity 22.363.276 23.487.672 29.186.815 35.277.248 42.706.885 44.821.227 51.258.848
D+E 37.678.951 40.103.991 42.920.008 50.889.685 58.706.682 65.162.360 73.497.735
D / D+E 0,4065 0,4143 0,3200 0,3068 0,2725 0,3122 0,3026
E / D+E 0,5935 0,5857 0,6800 0,6932 0,7275 0,6878 0,6974
Tax 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30 0,30
r d (1-t) 0,0632 0,0535 0,0600 0,0577 0,0628 0,0544 0,0630
re 0,2034 0,1777 0,2290 0,2065 0,1526 0,1442 0,0954
r wacc 0,1464 0,1262 0,1749 0,1608 0,1281 0,1162 0,0856
Sumber : Laporan Keuangan Perusahaan yang telah diolah
61

Gambar 4.5
Biaya Modal Rata-rata Tertimbang TELKOM

rwacc
20,00%

18,00%

16,00%

14,00%

12,00%

10,00%

8,00%

6,00%

4,00%

2,00%

0,00%
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun

4.3.6. Perhitungan EVA TELKOM

Sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa untuk memperoleh nilai EVA

dipergunakan rumus sebagai berikut :

EVA = NOPAT - (Cost of Capital x Capital)


EVA = (r - rwacc) * invested capital
dimana :

r = NOPAT/Invested Capital, atau dikenal dengan ROIC


rwacc = biaya modal rata-rata tertimbang

berdasarkan rumus di atas maka nilai EVA TELKOM untuk periode 2003-2009

adalah sebagai berikut : (Tabel 4.6)


62

Tabel 4.6
Perhitungan Nilai EVA TELKOM
(dalam jutaan rupiah)
year 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

NOPAT 8.253.845 7.812.900 9.352.432 13.220.170 15.612.081 13.275.593 14.494.101


Capital Invested 35.696.735 41.387.106 45.042.423 49.225.201 59.076.772 68.011.444 74.846.140
r (NOPAT/Capital) 0,2312 0,1888 0,2076 0,2686 0,2643 0,1952 0,1937
r WACC 0,1464 0,1262 0,1749 0,1608 0,1281 0,1162 0,0856
EVA 3.027.083 2.590.833 1.472.887 5.306.477 8.046.256 5.372.904 8.090.868
Sumber : Laporan Keuangan Perusahaan yang telah diolah

Return on Invested Capital (ROIC) TELKOM diperoleh dari NOPAT yang dibagi

dengan Invested Capital awal tahun. Modal awal tahun digunakan karena

diasumsikan bahwa investasi modal membutuhkan waktu setahun penuh untuk

dapat menjadi produktif.

Nilai EVA diperoleh dari selisih antara Return on Invested Capital (ROIC)

dengan biaya modal rata-rata tertimbang dan hasilnya dikalikan dengan

Invested Capital-nya. Apabila hasil selisih tersebut positif dimana ROIC lebih

besar dari biaya modal rata-rata tertimbang, maka akan menghasilkan nilai EVA

yang positif juga. Dan sebaliknya, apabila hasil selisih tersebut negatif, maka nilai

EVA-nya akan negatif.

Dari hasil perhitungan nilai EVA TELKOM untuk tahun 2003 – 2009, nilai EVA

yang dihasilkan setiap tahunnya selalu positif dan mempunyai tren atau

kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun kecuali di tahun 2008 terjadi

penurunan nilai EVA yang utamanya disebabkan krisis ekonomi dunia. Nilai

EVA yang tertinggi terjadi di tahun 2009 yaitu sebesar Rp. 8.090,9 miliar,

sedangkan yang terendah sebesar 1.472,9 miliar terjadi tahun 2005. (Gambar 4.6)
63

Gambar 4.6
EVA TELKOM Tahun 2003 – 2009

Tahun

2009

2008

2007

2006

2005

2004

2003

- 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000


dalam miliar rupiah

Apabila nilai EVA TELKOM periode 2003 sampai dengan 2009 dibandingkan

dengan Invested Capital-nya (Tabel 4.7) maka dapat terlihat bahwa rata-rata nilai

EVA dibanding Invested Capital adalah 8,73% dimana terendah terjadi di tahun

2005 sebesar 3,27% dan tertinggi terjadi di tahun 2007 sebesar 13,62%. Hal ini

menggambarkan kemampuan TELKOM untuk menghasilkan nilai tambah atas

modal yang diinvestasikannya.

Tabel 4.7
Persentase Nilai EVA TELKOM Dibanding Dengan Invested Capital-nya
(dalam jutaan rupiah)
year 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Nilai EVA 3.027.083 2.590.833 1.472.887 5.306.477 8.046.256 5.372.904 8.090.868


Invested Capital 35.696.735 41.387.106 45.042.423 49.225.201 59.076.772 68.011.444 74.846.140
Rasio 8,48% 6,26% 3,27% 10,78% 13,62% 7,90% 10,81%
Sumber : Diolah oleh penulis
64

4.3.7. Analisis EVA TELKOM Tahun 2003 – 2009

Dari hasil perhitungan EVA TELKOM di atas, diketahui bahwa TELKOM selalu

mencatatkan hasil yang positif dari tahun 2003-2009, dan sesuai dengan teori

disebutkan bahwa nilai EVA yang positip dapat dicapai apabila perusahan dapat

memenuhi 3 (tiga) kriteria, yaitu adanya pertumbuhan laba operasional yang lebih

besar dibanding pertumbuhan modal yang diinvestasikan, melakukan investasi-

investasi baru yang return-nya melebihi biaya modalnya, serta melakukan

likuidasi terhadap investasi yang kurang menguntungkan (return kurang dari

biaya modalnya).

Berdasarkan data keuangan TELKOM tahun 2003-2009 dan hasil penelitian yang

telah dilakukan, positifnya nilai EVA TELKOM pada periode tersebut lebih

cenderung disebabkan oleh tindakan yang memenuhi kriteria pertama dan kedua

dimana perusahaan selalu melakukan efisiensi usaha atas modal yang ada,

menciptakan produk baru serta melakukan investasi baru yang menguntungkan

dimana semuanya itu mendorong pertumbuhan pendapatan dan laba yang

melebihi pertumbuhan modal yang ditanamkan. Sedang pada periode tersebut

TELKOM tidak melakukan likuidasi atas investasi-investasi tahun sebelumnya

kecuali yang terjadi di tahun 2005 yang disebabkan oleh adanya peraturan

pemerintah yang menghentikan pemakaian frekwensi tertentu.

Pada tahun 2003 TELKOM mencatat nilai EVA positif sebesar Rp. 3.027,0 miliar

dimana nilai EVA tersebut diperoleh adanya pertumbuhan pendapatan usaha

TELKOM yang meningkat sebesar Rp.6.313,1 miliar atau tumbuh 30,3% menjadi
65

Rp.27.115,9 miliar dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan pendapatan usaha

tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan modal yang

diinvestasikan pada tahun 2003 yang hanya sebesar 15,9% (Rp.35.696,8 miliar

tahun 2002, dan Rp. 41.387,1 miliar tahun 2003), hal ini menunjukkan bahwa

perusahaan telah memberikan nilai tambah (value added) pada modal yang telah

ditanamkan dengan meningkatkan pertumbuhan pendapatan usaha sekaligus laba

usaha.

Adanya nilai tambah (value added) tersebut dipicu oleh adanya aksi korporasi

perusahaan yang sejalan dengan penciptaan nilai bagi perusahaan dimana return

yang dihasilkan lebih besar dari biaya modalnya dimana sesuai perhitungan

sebelumnya untuk tahun 2003 yaitu sebesar 8,48% (ROIC 23,12% - WACC

14,64%). Aksi korporasi yang dilakukan berupa akuisisi atas beberapa mitra usaha

TELKOM yang memberikan kontribusi pada pendapatan usaha perusahaan

sebesar Rp.2.504,8 miliar yang terdiri dari akuisisi atas 100% saham mitra

TELKOM pada Divre III yaitu PT Ariawest International (AWI) yang memberi

kontribusi sebesar Rp. 482,3 miliar serta pengambilalihan 15% saham PT

Pramindo Ikat Nusantara mitra KSO Divre I (Pramindo) yang menjadikan

TELKOM menguasai 45% saham Pramindo, dan memberikan kontribusi sebesar

Rp. 2.022,5 miliar pada tahun 2003.

Disamping akuisisi pada tahun 2003 TELKOM juga mengeluarkan produk baru

berupa jasa telepon mobilitas terbatas dengan teknologi fixed wireless acces

CDMA2000 1X (jasa telekomunikasi tetap nirkabel) dengan nama TELKOMFlexi


66

yang memberikan kontribusi pada kenaikan pendapatan Fixed Lines di tahun 2003

sebesar Rp.1.632,8 miliar (tumbuh 22,5%).

Dari sisi strategi, pada tahun 2003 untuk mengurangi biaya modal (Cost of

Capital) TELKOM menerapkan strategi “pay as you grow” yang merupakan

alternatif pembiayaan yang mewajibkan TELKOM untuk membayar proporsi

kecil dari total biaya di depan, dan melunasi sisanya setelah satuan sambungan

terpasang dan beroperasi. Strategi ini terbukti berhasil dimana berdasarkan

perhitungan cost of capital yang telah dibuat terjadi penurunan yang signifikan

yakni sebesar 7,87% dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 22,51% menjadi

hanya 14,64% di tahun 2003.

Tahun 2004 TELKOM juga mencatat nilai EVA yang positif yaitu sebesar Rp.

2.590,8 miliar, hasil tersebut diperoleh dari pertumbuhan pendapatan usaha

TELKOM yang meningkat sebesar Rp. 6.831,8 miliar atau tumbuh sebesar 25,2%

menjadi Rp.33.947,8 miliar dibanding tahun sebelumnya. Jika dibandingkan

dengan pertumbuhan dari modal yang diinvestasikan pada tahun 2004 yang hanya

sebesar 8,8% (Rp.41.387,1 miliar tahun 2003, dan Rp.45.042,4 miliar tahun 2004)

maka peningkatan pertumbuhan pendapatan usaha TELKOM jauh lebih besar,

yang berarti manajemen TELKOM pada tahun 2004 telah berhasil

mengoptimalkan modal yang ada dengan baik.

Jika nilai EVA TELKOM tahun 2004 dibandingkan dengan nilai EVA TELKOM

tahun 2003 maka terjadi penurunan nilai EVA, namun jika dianalisis lebih dalam
67

faktor penyebab menurunnya nilai EVA TELKOM tahun 2004 berasal dari

eksternal perusahaan dimana per Desember 2004 nilai rupiah terdepresiasi

terhadap Dolar AS dari Rp.8.440 per Dolar AS pada Desember 2003 menjadi

9.290 per Dolar AS pada Desember 2004 sehingga menyebabkan perusahaan

mengalami rugi selisih kurs tahun 2004 sebesar Rp.1.346,9 miliar yang

disebabkan karena depresiasi nilai Rupiah terhadap Dolar Amerika.

Adapun faktor dominan positifnya nilai EVA perusahaan di tahun 2004 adalah

adanya aksi korporasi perusahaan berupa akuisisi lanjutan yang memberikan nilai

tambah bagi perusahaan dimana tingkat kembalian yang dihasilkan lebih dari

biaya modal yang dikeluarkan yaitu sebesar 6,26% (ROIC 18,88% - WACC

12,62%). Hasil akuisisi tersebut memberikan kontribusi pada pendapatan usaha

TELKOM 2004 dengan total sebesar Rp. 4.377,2 miliar yang berasal dari akuisisi

Divre IV dari mitra KSO-nya PT Mitra Global Telekomunikasi Indonesia (MGTI)

yang memberikan kontribusi pendapatan usaha sebesar Rp.1.398,0 miliar,

kemudian TELKOM juga mengkonsolidasi pendapatan usaha dari Divre I yang

telah diakusisi pada tahun sebelumnya sebesar Rp.2.176,8 miliar, dan terakhir

TELKOM juga mengakuisisi PT Dayamitra Telekomunikasi, mitra KSO Divre VI

Kalimantan, sehingga kepemilikan TELKOM atas Dayamitra menjadi 100%,

yang juga memberi kontribusi pendapatan usaha sebesar Rp.802,4 miliar untuk

tahun 2004.

Pada tahun 2004 TELKOM juga meluncurkan produk baru berupa layanan akses internet

berkecepatan tinggi yang dinamakan TelkomSpeedy yang memberikan kontribusi pada


68

kenaikan pendapatan data dan internet di tahun 2004 sebesar Rp. 1.700,2 miliar (tumbuh

54,7%).

Di tahun 2004, TELKOM disamping masih melanjutkan program “pay as you grow”

untuk mengurangi biaya modalnya perusahaan juga melakukan serangkaian program

penerbitan hutang dan pembayaran kembali hutang. Program tersebut terbukti berhasil

dimana berdsarkan perhitungan biaya modal atas hutang (cost of debt) terjadi penurunan

sebesar 0,97% menjadi sebesar hanya 5,35%.

Nilai EVA TELKOM pada tahun 2005 adalah sebesar Rp. 1.472,9 miliar yang

meskipun masih positip (memiliki nilai tambah) namun terdapat penurunan yang

signifikan sebesar 43,15% dibanding tahun sebelumnya. Penurunan tersebut lebih

disebabkan oleh faktor eksternal perusahaan berupa adanya peraturan pemerintah

yang telah menetapkan pemakaian frekuensi 1900 MHz khusus bagi

penyelenggaraan jasa telepon seluler 3G dan pemakaian frekuensi 800 MHz

khusus untuk jaringan berbasis teknologi CDMA. Dampaknya adalah bahwa

perlengkapan Base Station System (BSS) milik TELKOM di wilayah Jakarta dan

Jawa Barat yang beroperasi pada frekuensi 1900 MHz dan merupakan bagian dari

sistem telepon tetap nirkabel TELKOM, tidak lagi dapat dipergunakan. Menyusul

peraturan pemerintah tersebut TELKOM mengkaji ulang nilai terpulihkan dari

unit penghasil kas yang terkait dengan aktiva jaringan tetap nirkabel ini, dan

mengakui kerugian penurunan nilai aktiva sebesar Rp. 616,8 miliar pada tahun

2005. Selanjutnya TELKOM mengubah estimasi umur ekonomis peralatan BSS

di Jakarta dan Jawa Barat yang meningkatkan biaya depresiasi sebesar Rp.159,0

miliar. Selain itu, TELKOM juga mengakui kerugian sehubungan dengan kontrak
69

yang tidak dapat dibatalkan atas pengadaan instalasi dan peralatan transmisi 1900

MHz di Jakarta dan Jawa Barat senilai Rp.79,4 miliar di tahun 2005. Kebijakan

tersebut juga menyebabkan beberapa fasilitas jaringan kabel TELKOM pada

segmen sambungan tetap yang terutama terdiri dari wireless local loop (WLL)

dan approach link yang beroperasi pada spektrum frekuensi tersebut tidak dapat

dapat digunakan. Oleh sebab itu, perusahaan telah mengubah sisa masa manfaat

aktiva-aktiva tersebut yang mengakibatkan kenaikan beban penyusutan sebesar

Rp.471,2 miliar pada tahun 2005.

Positifnya nilai EVA TELKOM pada tahun 2005 tersebut berasal dari hasil usaha

dan aksi korporasi yang melebihi biaya modal yang dikeluarkan (terdapat nilai

tambah) yaitu sebesar 3,27% (ROIC 20,76% - WACC 17,49%). Hal tersebut

tercermin dari adanya pertumbuhan dari pendapatan usaha TELKOM yang

tumbuh sebesar 23,2% dibanding tahun sebelumnya menjadi Rp.41.807,2 miliar

pada tahun 2005 yang masih lebih tinggi dibanding pertumbuhan modal

TELKOM yang tumbuh sebesar 9,3% (Rp.45.042,4 miliar tahun 2004, dan

Rp.49.225,2 miliar tahun 2005) yang berarti terjadi penambahan nilai pada

perusahaan. Pertumbuhan pendapatan yang tinggi di tahun 2005 antara lain

diperoleh dari hasil akuisisi mitra KSO TELKOM yaitu PT Mitra Global

Telekomunikasi Indonesia di tahun sebelumnya yang memberikan kontribusi

pendapatan usaha sebesar Rp. 1.653,2 miliar di tahun 2005.

Tahun 2006 nilai EVA TELKOM meningkat tajam menjadi Rp. 5.306,5 miliar

atau tumbuh sebesar 260% dibanding tahun sebelumnya. Ada 4 (empat) faktor
70

utama yang mendongkrak peningkatan EVA TELKOM di tahun 2006 yaitu ; 1)

konsolidasi pendapatan atas akuisisi PT Mitra Global Telekomunikasi Indonesia

sebesar Rp. 1.662,4 miliar; 2) konsolidasi pendapatan atas akuisisi PT Bukaka

Singtel International (mitra TELKOM Divre VII) sebesar Rp.796,5 miliar; 3)

efisiensi biaya usaha dimana pertumbuhan biaya usaha tahun 2006 sebesar

20,56% lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 27,26%;

dan 4) adanya apresiasi dari Rp.9.830 per Dolar AS pada tanggal 31 Desember

2005 menjadi Rp.9.020 per Dolar AS pada tanggal 31 Desember 2006. Dengan

adanya apresiasi tersebut TELKOM membukukan laba selisih kurs atas pinjaman

dalam mata uang Dolar AS sebesar Rp.836,3 miliar, meningkat sebesar

Rp.1.353,1 miliar atau 261,8% dari rugi 516,8 miliar pada tahun 2005;

Faktor pertama dan kedua berpengaruh positif terhadap pertumbuhan pendapatan

usaha TELKOM di tahun 2006 yang tumbuh sebesar 22,7%, yakni dari semula

Rp.41.807,2 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp.51.294,0 miliar pada tahun 2006.

Sedang faktor ketiga dan keempat menjadikan laba usaha TELKOM tumbuh

sebesar 35,42% dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan pendapatan usaha dan

laba usaha tersebut lebih tinggi dibanding pertumbuhan modal yang ditanamkan

pada tahun 2006 yang tumbuh sebesar 20,01% ( Rp. 49.225,2 miliar tahun 2005,

dan Rp. 59.076,8 miliar tahun 2006) yang berarti manajemen TELKOM telah

berhasil menciptakan dan memberikan nilai tambah bagi para pemegang

sahamnya.

Tahun 2007 TELKOM berhasil mencetak nilai EVA tertinggi dalam lima tahun

terakhir yaitu Rp.8.046,3 miliar meningkat sebesar Rp.2.739,8 miliar atau tumbuh
71

sebesar 51,6%. Faktor-faktor penyebab meningkatnya nilai EVA TELKOM dapat

dilihat dari sisi eksternal maupun internal. Faktor eksternal yang berpengaruh

yakni semakin membaiknya kondisi ekonomi Indonesia yang tercermin dari

indikator ekonomi makro diantaranya yaitu menurunnya rata-rata nilai suku bunga

SBI tahun 2007 untuk jangka waktu satu bulan sebesar 3,23% dari 11,83% pada

Desember 2006 menjadi 8,6% per Desember 2007 serta menurunnya premi risiko

atas portofolio pasar di Indonesia menjadi 4,5% di tahun 2007 yang berarti

menurun 0,75% dibanding tahun 2006. Hal tersebut menyebabkan turunnya biaya

modal atas saham (cost of equity) perusahaan menjadi 15,26% yang berarti turun

sebesar 5,39% dibanding tahun sebelumnya, serta berdampak pada turunnya biaya

modal rata-rata tertimbang (weighted average cost of capital) sebesar 3,27%

menjadi 12,81% di tahun 2007.

Dari sisi internal perusahaan faktor yang menyebabkan positifnya nilai EVA

TELKOM tahun 2007 yaitu adanya pertumbuhan signifikan atas pendapatan

usaha TELKOM yang meningkat sebesar Rp. 8.146,0 miliar atau tumbuh 15,88%

menjadi Rp. 59.440,0 miliar dibanding tahun sebelumnya. Jika dibandingkan

dengan pertumbuhan modal yang diinvestasikan pada tahun 2007 yang tumbuh

sebesar 15,12% (Rp. 59.076,8 miliar tahun 2006 dan Rp. 68.011,4 miliar tahun

2007) maka terdapat adanya nilai tambah dari modal yang telah diinvestasikan.

Hal tersebut sesuai pula dengan perhitungan tingkat pengembalian atas modal

yang ditanamkan yang dikurang dengan cost of capital-nya yaitu sebesar 13,62%

(ROIC 26,43% - WACC 12,81%).


72

Disamping disebabkan oleh pertumbuhan pendapatan usaha yang lebih besar

dibanding pertumbuhan modal, positifnya nilai EVA TELKOM tahun 2007 dari

sisi internal juga disebabkan oleh adanya efisiensi pada beban usaha dimana

pertumbuhan beban usaha hanya meningkat sebesar Rp.3.266,5 miliar atau 11,0%

dari Rp.29.700,8 miliar pada tahun 2006 menjadi Rp.32.967,3 miliar pada tahun

2007. Meskipun terjadi peningkatan jumlah beban usaha sebesar 11,0% di tahun

2007 namun kenaikan tersebut masih lebih rendah dibanding tahun 2006 yang

mencapai 20,6% yang berarti terdapat efisiensi dalam biaya usaha TELKOM

tahun 2007.

Tahun 2008 TELKOM mencatat nilai EVA sebesar Rp. 5.372,9 miliar yang

meskipun positif namun terdapat penurunan sebesar 33,22% dibanding tahun

sebelumnya. Faktor utama penyebab turunnya EVA TELKOM tersebut yaitu

adanya perlambatan pertumbuhan pendapatan usaha perusahaan yang hanya

tumbuh 2,1% sebaliknya beban usaha tumbuh 16,43% serta beban lainnya tumbuh

127%. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terdapat 3 (tiga) faktor yang

teridentifikasi sebagai penyebab kondisi tersebut di atas dimana ketiganya

merupakan faktor eksternal perusahaan yang tidak dapat dikendalikan manajemen

perusahaan yaitu :

1. Krisis moneter global yang berpengaruh terhadap perekonomian nasional

Krisis kredit, yang antara lain dipicu oleh masalah sub-prime mortgage di

Amerika Serikat, telah meningkat tajam sehingga menjadi krisis keuangan

global, yang berdampak di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Akibatnya, laju

inflasi meningkat, negara-negara pengimpor menurunkan pesanannya, dan nilai


73

ekspor ikut turun. Seluruh faktor tersebut mengakibatkan penurunan tingkat

pembelanjaan konsumen, yang telah berdampak negatif terhadap pendapatan

TELKOM.

2. Penurunan tarif interkoneksi

Pada tanggal 5 februari 2008, pemerintah mengeluarkan peraturan tentang

penyesuaian tarif mengacu pada rezim tarif interkoneksi berbasis biaya.

Berdsarkan peraturan ini TELKOM dan Telkomsel, bersama dengan sepuluh

penyedia jasa layanan telekomunikasi lainnya di Indonesia, wajib

menyesuaikan tingkat tarif interkoneksi masing-masing dengan skema baru

yang telah ditetapkan. Peraturan baru tersebut mengakibatkan tarif

interkoneksi TELKOM turun sebesar 17% yang berdampak negatif terhadap

rentabilitas perusahaan.

Meskipun terjadinya penurunan nilai EVA dibanding tahun sebelumnya, nilai

EVA TELKOM tahun 2008 masih positif yang berarti masih ada nilai tambah

yang dapat dihasilkan oleh manajemen TELKOM walaupun kondisi eksternal

sangat kurang menguntungkan. Dari hasil penelitian, positifnya nilai EVA

TELKOM antara lain disebabkan oleh tetap tumbuhnya pendapatan usaha

TELKOM sebesar Rp. 1.249,8 miliar menjadi Rp. 60.689,8 miliar atau tumbuh

2,1% dibanding tahun sebelumnya. Dengan pendapatan tersebut perusahaan

masih dapat menutup beban usaha dan beban lain-lain yang meningkat karena

faktor eksternal perusahaan dan masih tetap dapat memperoleh laba bersih

meskipun menurun sebesar 17,4% dibanding tahun sebelumnya yang berpengaruh

besar pada NOPAT perusahaan, yang jika dibandingkan dengan modal TELKOM

menghasilkan angka 19,52% lebih besar 7,90% dibanding nilai WACC-nya. Hal
74

lain yang juga menyebabkan positifnya EVA TELKOM adalah tetap stabilnya dan

dengan kecenderungan menurun atas nilai biaya modal rata-rata tertimbang

(WACC) TELKOM yang turun sebesar 1,19% menjadi 11,62%, dimana hal ini

menunjukkan kemampuan manajemen perusahaan dalam mengelola biaya

modalnya (capital management) sehingga meskipun terjadi penurunan

pertumbuhan pendapatan, laba usaha maupun NOPAT namun secara keseluruhan

tetap masih menghasilkan nilai EVA yang positif.

Tahun 2009 TELKOM mencatat nilai EVA yang tertinggi dalam kurun waktu

2003 sampai dengan 2009 yaitu sebesar Rp. 8.090,9 miliar yang berarti tumbuh

sebesar 50,59% dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan nilai EVA yang luar

biasa tersebut disebabkan oleh beberapa faktor utama, antara lain yaitu :

1. Penurunan nilai biaya rata-rata modal tertimbang (WACC) secara signifikan

Faktor ini menjadi faktor yang paling dominan penyebab tingginya EVA

TELKOM tahun 2009 karena terjadi penurunan sebesar 3,06% dibanding tahun

sebelumnya menjadi hanya 8,55%. Adanya penurunan yang signifikan dari

nilai WACC tersebut berasal dari penurunan nilai biaya modal atas saham (cost

of equity) dimana terjadi penurunan sebesar 4,89%. Hal tersebut terjadi karena

semakin rendahnya risiko saham TELKOM (nilai β) serta menurunnya nilai

market risk premium negara Indonesia (4,5%).

2. Efisiensi beban usaha dan beban luar usaha

Dibanding tahun sebelumnya dimana pendapatan usaha hanya tumbuh 2,1%

sedangkan beban usaha dan beban luar usaha tumbuh sebesar 16,43% dan

20,64%, di tahun 2009 dengan pertumbuhan pendapatan usaha TELKOM


75

sebesar 6,44%, beban usaha dan beban luar usaha TELKOM hanya meningkat

sebesar 9,41% dan 10,03% maka manajemen secara langsung maupun tidak

langsung telah melakukan efisiensi atas beban yang dikeluarkannya baik beban

usaha maupun beban luar usaha.


76

II. KESIMPULAN DAN SARAN

2.1. Kesimpulan

Dengan menggunakan data-data keuangan yang terdapat dalam laporan tahunan

serta laporan keuangan perusahaan selama periode tahun 2003 sampai dengan

tahun 2009, serta berdasarkan hasil perhitungan dan analisa yang telah dilakukan

pada BAB IV, maka kesimpulan yang yang dapat diperoleh adalah sebagai

berikut :

1. Kinerja TELKOM dengan menggunakan metode Economic Value Added

(EVA) secara keseluruhan sangat baik. Hal ini tercermin dari nilai EVA

yang selalu positip dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

2. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan metode EVA diketahui bahwa

EVA TELKOM yang tertinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar Rp

8.390 miliar sedangkan yang terendah terjadi di tahun 2005 sebesar Rp. 1.473

miliar.

3. Penurunan nilai EVA baik yang terjadi pada tahun 2004, 2005 dan 2008 tidak

mengindikasikan bahwa kinerja manajemen perusahaan buruk tapi lebih

disebabkan dari faktor di luar kendali perusahaan (eksternal) berupa

peraturan pemerintah dalam bidang telekomunikasi serta kondisi

perekonomian dunia.

4. Baiknya kinerja TELKOM yang dinilai dengan metode Economic Value

Added (EVA) disebabkan karena manajemen perusahaan baik secara

langsung maupun tidak langsung telah menerapkan strategi penciptaan nilai

dalam menjalankan perusahaannya terutama dari segi pengelolaan biaya


77

modalnya (capital management) dan pemilihan keputusan investasi yang

memberikan tingkat pertumbuhan yang tinggi serta menciptakan nilai tambah

bagi shareholders-nya.

2.2. Saran

Saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

1. Untuk lebih dapat meningkatkan nilai tambah bagi para shareholders-nya di

tahun mendatang serta mempertahankan posisinya sebagai pemimpin pada

industri telekomunikasi di dalam negeri sebaiknya TELKOM lebih aktif lagi

dalam melakukan ekspansi usahanya dengan melakukan akuisisi serta

investasi pada proyek-proyek yang menguntungkan dengan memanfaatkan

pembiayaan internal maupun eksternal perusahaan. Hal tersebut dapat

dilakukan karena masih sangat terbukanya peluang pasar baik di dalam

maupun di luar negeri serta tingginya pertumbuhan industri telekomunikasi

sehingga diharapkan TELKOM tetap dapat memenangkan persaingan dengan

perusahaan telekomunikasi lainnya yang saat ini semakin gencar melakukan

ekspansi usahanya.

2. Agar manajemen TELKOM dapat menambahkan ukuran kinerja

keuangannya dengan menggunakan metode EVA dalam publikasi laporan

tahunannya karena dapat memberikan informasi mengenai nilai tambah yang

dapat diberikan oleh perusahaan kepada investor maupun calon investor yang

dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan

investasi mereka.
78

3. Agar dalam melakukan pengukuran kinerja perusahaan tidak hanya

memperhatikan aspek kuantitatif saja, namun juga aspek-aspek kualitatif

seperti sumber daya manusia yang dimiliki, kebijakan politik, regulasi

pemerintah, kondisi persaingan dan perekonomian baik di dalam maupun

luar negeri sehingga dapat menggambarkan kinerja perusahaan secara lebih

komprehensif dan memberikan informasi yang lengkap bagi para investor

dan calon investor.


79

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bennet, Stewart G., (1991). The Quest for Value : A Guide for Senior Managers.
United States of America : HarperCollins Publishers Inc.

Bodie, Zvi, et. al., (2005). Investments, 6th edition, Boston : Irwin/McGraw-Hill

Brigham, E.F. dan J.F.Houston, (2004). Dasar-dasar Manajemen Keuangan.


Terjemahan oleh Ali Akbar Yulianto. 2006. Jakarta: Salemba Empat.

Cordeiro, Jame J., Kent, D. Donald, Jr., (2001), American Business Review.

Ehrbar, Al (1998). EVA : The Real Key to Creating Wealth. Canada : John Wiley &
Sons, Inc.

Hawkins, David F., 1998, Corporate Financial Reporting and Analysis., USA :
Irwin/McGraw-Hill

Makelainen, Esa. The Summary of EVA Theory. www.evanomics.com.

Manurung, Adler H., (2004), Penilaian Perusahaan : Pendekatan Sederhana


sampai Ekonometrika, Jakarta : PT. Adler Manurung Press

Ross, Stephen A, et al. (2005), Corporate Finance., 7th edition, Singapore : McGraw-
Hill

Savarese, Craig. (2000). Economic Value Added :The Practitioner’s Guide to


Measurement and Management Framework, Australia : Roert Coco.

Stern, Joel M. & Shiely, John S. (2001). The EVA Challenge : Implementing Value
Added Change in an Organization, Canada : John Wiley & Sons, Inc.

Tunggal, Amin W, (2008), Pengantar Konsep Economic Value Added (EVA) dan
Value Based Management (VAM), Jakarta : Harvarindo.

Tunggal, Amin W, (2008), Memahami Economic Value Added (EVA): Teori, Soal
dan Kasus, Jakarta : Harvarindo.
80

Weston, J. Fred, et al. (2004), Takeovers, Restructuring, and Corporate


Governance. 4th edition. New Jersey : Pearson Education Inc.

Wild, John J. et al,c(2007), Financial Statement Analysis. 9th edition. New York
: McGraw Hill / Irwin

Young, David S., & O’Byrne, Stephen F., (2001), EVA and Value Based
Management a Practical Guide to Implementation, New York : Mc Graw-Hill

Situs internet:

http://www.telkom.co.id/

http://www.bi.go.id/

http://www.bei.go.id/

http://pages.stern.nyu.edu/~adamodar/

Anda mungkin juga menyukai