Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak tunarungu merupakan salah satu klasifikasi dari anak yang
dikategorikan luar biasa yang mempunyai kelainan dalam pendengarannya
sehingga memberikan dampak negatif bagi perkembangannya, terutama dalam
kemampuan berbicara dan berbahasa. Namun demikian, mereka mempunyai hak
yang sama sebagaimana warga negara lainnya dalam memperoleh layanan
pendidikan untuk mengembangkan potensinya seoptimal mungkin.
Perkembangan layanan pendidikan bagi anak tunarungu dewasa ini sudah
mulai menunjukan kemajuan. Hal itu ditunjukkan dengan adanya anak tunarungu
yang belajar di sekolah biasa. Namun, mereka belum memperoleh layanan yang
memadai karena para guru biasa umumnya tidak dibekali dengan keilmuan
tentang siapa dan bagaimana layanan pendidikan bagi anak tunarungu.Untuk
menjamin bahwa anak tunarungu yang berada di sekolah biasa, termasuk di SD
biasa mendapat layanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristiknya maka
para guru seyogianya mempunyai wawasan tentang karakteristik dan kebutuhan
pendidikan anak tunarungu.
Menurut batasan dari Sri Moerdiani (1987: 27) dalam buku psikologi
anak luar biasa bahwa anak tuna rungu adalah mereka yang menaglami gangguan
pendengaran sedemikian rupa sehingga tidak mempunyai fungsi praktis dan
tujuan komunikasi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.
Adapun Moh Amin dalam buku Ortopedagogik umum mengemukakan
bahwa anak tuna rungu adalah mereka yang mengalami kekurangan atau
kehilangan kemampuan mendengar yang disebakan oleh kerusakan atau tidak
berfungsinya sebagian atau seluruh organ pendengaran yang mengakibatkan
hambatan dalam perkembanganya sehingga memerlukan bimbingan pendidikan
khusus. (1991: 1).
Ahli lainnya memberikan batasan mengenai tunarungu ditinjau dari segi
medis dan pedagogis sebagai berikut : “Tunarungu berarti kekurangan atau
kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan seluruh alat

1
2

pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan bahasa


sehingga memerlukan bimbingan dan pelayanan khusus”. ( Salim,1984 : 8)
Orang tuli adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan untuk
mendengar sehingga tidak dapat mengembangkan, biasanya pada tingkat 70 dB
ISO atau lebih besar sehinga menghalangi untuk mengerti pembicaraan orang lain
melalui pendengaranya sendiri tanpa mengunakan alat bantu dengar. Seseorang
dikatakan kurang mendengar adalah ketidak mampuan untuk mendengar sehingga
tidak dapat mengembangkan, bisanya pada tingkat 35 sampai 69 Db ISO tetapi
tidak menghalangi untuk mengerti pembicaraan orang lain melauli pendengaranya
sendiri tanpa atau menggunakan alat bantu dengar.
Pernyataan tersebut kurang lebih berarti bahwa tunarungu adalah suatu
istilah umun yang menunjukan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang
berat dan di golongkan kedalam bagian tuli dan kurang dengar.
 Orang tuli adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar
sehingga tidak dapat memproses informasi bahasa melalui pendengaran dengan
atau tanpa alat bantu dengar. Sedangkan orang kurang dengar adalah seseorang
yang pada umumnya menggunakan alat bantu dengar sisa pendengarannya  cukup
memungkinkan keberhasilan memproses informasi bahasa melalui
pendengarannya.
Semua individu memiliki karakteristik tertentu demikian pula anak-anak
yang mengalami ketunarunguan dan dampak yang paling mencolok yaitu
terhambatnya perkembangan bahasa dan bicara, mereka terbatas dalam kosa kata
dan pengertian kata-kata yang abstrak. Hal ini karena mereka hanya
memanfaatkan penglihatan dalam belajar bahasa. Belajar bahasa hanya melalui
penglihatan memiliki banyak kelemahan-kelemahan sehingga mereka tidak dapat
memanfaatkan intelegensinya secara maksimal, akibatnya mereka tampak bodoh.
Perkembangan bahasa anak tunarungu pada awalnya tidak berbeda
dengan perkembangan bahasa anak normal sekitar usia enam bulan anak
mencapai pada tahap meraban. Pada perkembangan ini semua anak mengalaminya
karena merupakan awal untuk belajar bahasa.
Anak yang sejak lahir mengalami ketunarunguan, pada saat bayi
mengulang-ulang bunyi bayi tidak dapat mendengar bunyi yang dikeluarkan
3

begitu pula ia tidak dapat mendengar respon yang dikeluarkan oleh orang tua atau
orang-orang yang dekat darinya.
Ada beberapa perbedaan karakteristik anatara anak tunarungu dengan
anak normal. Hal ini disebabkan keadaan mereka yang sedemikian rupa sehingga
mempunmyai karakter yang khas yang menyebabkan anak tunarungu
mendapatkan kesulitan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga
mereka perlu mendapat pembinaan yang khusus untuk mengatasi masalah
ketunarunguan.
Karakteristik yang khas dari anak tunarungu adalah sebagai berikut: (1)   
Fisik Jika dibandingkan dengan kecacatan lain nampak jelas dalam arti tidak
terdapat kelainan. Tetapi bila diperhatiakan lebih teliti mereka mempunyai
karakteristik seperti yang dikemukakan oleh Tati Hernawati (1990 : 1) sebagai
berikut : Cara berjalan kaku dan agak membungkuk hal ini terjadi pada anak
tunarungu yang mempunyai kelainan atau kerusakan pada alat keseimbangannya;
Gerakan mata cepat yang menunujukan bahwa ia ingin menguasai lingkungan
sekitarnya;    Gerakan kaki dan tangan yang cepat;    Pernapasan yang pendek dan
agak terganggu. Kelainan pernapasan terjadi karena tidak terlatih terutama pada
masa meraban yanmg merupakan masa perkembangan bahasa. (2) Bahasa dan
Bicara Perkembangan bahasa dan bicara berkaitan erat dengan ketajaman
pendengaran. Dengan kondisi yang disandangnya anak tunarungu akan
mengalami hambatan dalam bahasa dan bicaranya. Pada anak tunarungu proses
penguasaan bahasa tidak mungkin diperoleh melalui pendengaran. (3)
Intetelegensi Secara garis besar pendapat tentang intelegensi anak tunarungu di
klasifikasikan menjadi tiga bagian:      Pertama anak tunarungu dianggap sama
dengan anak normal,    Kedua, dianggap bahwa  intelegensi anak tunarungu lebih
rendah dari anak norma, bahwa anak tunarungu mengalami kekurangan potensi
intelektual pada segi non verbal. (4) Kepribadian dan emosi, Semua anak
memerlukan perhatian dan dapat diterima di lingkungan yang di tempati. tidak
terkecuali anak tunarungu, tetapi semua itu akan sulit didapatkan oleh anak
tunarungu karena mereka hanya dapat merasakan ungkapan tersebut melalui
kontak visual. Berbeda dengan anak normal yang dapat merasakan ungkapan yang
diberikan melalui nada suara yang diperoleh dengan cara mendengar. Hal ini akan
4

berpengaruh pada perkembangan emosi anak tunarungu. Karena keadaanya itu


anak tunarungu merasa terasing dan terisolasi dari lingkungannya. Sering terjadi,
ketidak mampuan mereka dalam berkomunikasi mengakibatkan suatu kekurangan
dalam keseluruhan pengalaman anak yang sebenarnya dasar bagi perkembangan,
sikap dan kepribadian.

B. Tujuan
1. Dapat memberikan pandangan positif pada masyarakat bagaimana
karakteristik dari anak tuna rungu.
2. Kita bisa lebih mengenal dan menganalisis bagaimana proses kognitif,
penguasaan dan penggunaan bahasa mereka saat kita berada dilingkungan
masyarakat.
3. Kita juga dapat mengetahui kesulitan dan dapat menggolongkan karakter
mereka masing-masing sesuai dengan kebutuhan yang mereka perlukan.
4. Memberi kontribusi kepada para calon-calon pendidik maupun guru-guru
ABK dalam memahami karakteristik terutama karakter anak tuna rungu.

C. Profil Siswa dan Orang Tua


1. Profil Siswa
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara langsung yang dilakukan penulis
profil siswa adalah sebagai berikut:
a. Indentifikasi anak
Nama : Juwita Ariani
Tempat dan tanggal lahir/umur : Harapan Baru. 12 Januari 2005
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status anak : Kandung
Anak ke dari jumlah saudara : Anak ke 1 dari 2 bersaudara
Nama sekolah : SDN 014 Loa Janan
Kelas : V ( Lima)
Alamat : Jln. Pandai RT 20 Loa Janan
5

Tinggal : Bersama dengan kedua orang tua


Keadaan Rumah : Baik
Tinggi Badan : 125 cm
Berat Badan : 40 kg
Golongan Darah :O
Penyakit yang pernah di derita : Step dan demam tinggi
Hoby : Nyayi
Cita – Cita : menjadi guru

b. Riwayat kelahiran
Perkembangan masa kehamilan : Normal
Penyakit pada masa kehamilan : Normal
Usia kandungan : 9 Bulan
Tempat kelahiran : Bidan Kampung
Penolong proses kelahiran :–
Gangguan pada saat bayi lahir :–
Berat bayi : 3 Kg
Panjang bayi : 50 Cm
Tanda-tanda kelainan pada bayi : Kejang-kejang, step
Perkembangan masa balita
Menetek ibunya hingga umur : 2 Tahun
Minum susu kaleng hingga umur : 2 Tahun
Imunisasi (lengkap/tidak) : Lengkap
Pemeriksaan/penimbangan rutin/tdk : Rutin s/d 5 Tahun
Kualitas makanan : Harus makan yang lembek
Kuantitas makan : Banyak
Kesulitan makan (ya/tidak) : Ya
c. Perkembangan fisik
Dapat berdiri pada umur : 3 Tahun
Dapat berjalan pada umur : 4 Tahun
Naik sepeda roda dua pada umur : 10 Tahun
Bicara dengan kalimat lengkap : Kurang jelas, mulai 2 arah
Kesulitan gerakan yang dialami : Jalan, Menulis
Status Gizi Balita (baik/kurang) : Baik
6

Riwayat kesehatan (baik/kurang) : Kejang kejang 1 minggu


Penggunaan tangan dominan : Kanan
d. Perkembangan bahasa
Ucapkan satu suku kata bermakna umur : 5 Tahun
Berbicara dengan satu kata bermakna umur : 6-7 Tahun
Hubungan dengan saudara : Lebih akrab dengan adik
Hubungan dengan teman : Baik
Hubungan dengan orangtua : Egois
Hobi : Menyanyi
Minat khusus : Belum Nyambung
e. Perkembangan pendidikan
Masuk TK umur : 5 Tahun
Lama Pendidikan di TK : 2 Tahun
Kesulitan selama di TK : Bersosialisasi
Masuk SD umur : 8 Tahun
Kesulitan selama di SD : Bersosialisasi dengan teman
Pernah tidak naik kelas : 1 kali dikelas 2
Pelayanan khusus yang pernah diterima anak : pemberian bimbel khusus
Prestasi belajar yang dicapai :–
Mata Pelajaran yang dirasa paling sulit : Bahasa Indonesia
2. Profil Orang Tua
Nama Ayah : Alfian
Umur : 55 Tahun
Pend.terakhir : SD
Nama Ibu : Sapiah
Umur : 57 Tahun
Pend.terakhir : SMP
Pekerjaan Ayah : Petani
Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Jln. Pandai RT 20 Loa Janan
7

2 Hasil Identifikasi
Ciri – ciri yang ditemukan pada 4 siswa tunarungu:
a. Tidak dapat berucap dengan jelas.
b. Menulisnya sudah cukup jelas.
c. Sudah bisa membaca dan menghitung dengan lancar
d. Kemampuan dalam mengaji lebih cepat.
e. Mudah curiga kepada teman.
f. Pintar menari .
g. Daya menghafal cepat
Ciri-ciri yang ditemukan pada siswi tunarungu dan tunagrahita,tunarungu dan low
vision :
a. Tidak dapat fokus dengan lama
b. Sering menggangu teman.
c. Lemah dalam kemampuan bahasa dan bicaranya.
d. Emosinya tidak stabil.
e. Kemapuan kognitifnya kurang.

4.      Pelayanan
a. Percakapan prefektif,
b. Latihan ini dilakukan dengan berinteraksi secara pelan – pelan siswa.
c. Menggunakan bahasa isyarat.
d. Berbicara dengan mengeja perkata.
e. Bicara dengan keras
f. Senam lidah,
 Terapi ini bertujuan agar lidah anak menjadi lentur dan diharapkan akan lebih
mudah mengucapkan kata. Hal ini dilakukan dengan cara mengusapkan madu
disekitar mulut kemudian siswa diminta untuk menjilati madu yang sudah
dioleskan pada sekitar mulut tadi.
8

BAB II
PENANGANAN OLEH GURU

A.    Kesulitan yang Dihadapi Anak


Masalah yang pertama – tama dihadapi anak – anak tunarungu ialah
masalah komunikasi. Tidak berfungsinya indra pendengaran sebagian atau
seluruhnya mengurangi atau menghilangkan kemampuan berkomunikasi. Intisari
daripada cacat pendengaran ialah rintangan yang hebat yang bersifat kejiwaaan
untuk memakai kata – kata, pikiran – pikiran, pendapat – pendapat serta hal – hal
yang halus dan mungil dalam bahasa.
Anak tunarungu tidak dapat memperoleh bahasa denga cara yang mudah.
Ia tidak dapat mengerti bahasa dan mempergunakan tanpa latihan yang khuus.
Bagi anak tunarungu yang masih kecil, dunia merupakan tempat dengan kegiatan
tanpa suara, mereka melihat apa yang terjadi di sekitarnya, tetapi mereka tidak
mengerti mengapa dan oleh sebab apa kejdian itu. Anak tunarungu tidak dapat
berkomunikasi dengan pengalamannya yang khusus karena mereka kehilangan
alat untuk itu, mereka idak mempunyai kata – kata untuk mengekspresikan
dirinya, untuk memrotes, untuk menolak, untuk berpartisipasi dalam percakapan,
menambh cita – cita dan mengungkapkan perasaannya. Dan oleh Karen itu
kesemuanya, maka merek frustasi, tidak bahagia, dan menarik diri dari pergaulan.
Ketunarunguan pada seseorang anak mempunyai kibat yang berunrun pada
kejiwaan dan kehidupannya. Anak tunarungu menderita kemerosotan nilai dalam
masyarakat dan perasaan tidak aman. Mereka tidak mendapat harga diri seperti
apa yang mereka haparkan karena orang lain tidak mengakui dan menerima
kehadirannya. Oleh karena itu mereka merasa tidak aman, mereka selalu bimbang
karena kegoncangan kedudukannya dalam masyarakat. Perpaduan antara
kemerosotan nilai diri dalam masyarakat dan perasaan tidak aman ini akan
menimbulkan perasaan nista dan tidak berguna sepanjang hidup mereka, sehingga
kadang – kadang mereka menunjukkan gejala tingkah laku yang ekstrim.
Penyelidikan di Inggris menimbulkan bahwa :
1.  Anak tunarungu mengalami kelambatan motorik yang mungkin disebabkan oleh
kerusakan pada labyrinth dan akhirnya mempengaruhi indera keseimbangan.
9

2.  Pada anak tunarungu lebih lazim terdapat tingkah laku yang ditandai oleh teknan
emosi, seperti tabiat suka marah, gelisah ketakutan yang menetap, kesulitan tidur,
dan ngompol, yang menyebabkan terletak pada hambatan dalam pengalaman dan
eksploitasi sosialnya.
3.  Anak tunarungu mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosial, dan ada sebagian
yang psikiatris.
4.  Perkembangan intelegensi nak tunarungu mengalami kelambatan karena kesulitan
pemakaian simbul – simbul dalam bahasa dan kebiasaan mereka memakai simbul
bukan bahasa “non linguistic symbol”.
5.  Pengaruh dan ancaman ketunarunguan terhadap perkembangan sosial dan emosi
tidak dapat dikatakan lebih ringan daripada pengaruh dan ancaman ketulian
terhadap perkembangan bahasa dan intelegensi.

Dapat disimpulkan bahwa maslah yang dihadapi anak tunarungu ialah masalah
komunikasi, masalah kepribadian dan masalah kehidupan leih lanjut, terutama
masalah pemilihan dan penempatan kerja. 

B.    Solusi Penanganan Oleh Guru


Penangan yang dilakukan guru di 014 Terhadap Hasan Basri di SDn 014 Loa
Janan
1.    Belajar Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Belajar melalui membaca ujaran adalah belajar dimana anak dapat memahami
pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya.
Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir. Di
antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di
bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang
pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi
apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang
ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi
pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang
struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-
bunyi yang “tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal
10

biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu


prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan
dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus
bergantung pada cara ini. Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila
digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat
gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
2.    Belajar Melalui Pendengaran.
Belajar melalui pendengaran dimana individu tunarungu dari semua tingkat
ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat
bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural
dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah
prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen
eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan
komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke
dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen
eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear
implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung
memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran.
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran
yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi
ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang
lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak
berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat
memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar.
Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu
jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor
tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang
maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang
dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan
baterai dan earmould yang tidak cocok.
3.    Belajar secara Manual
11

Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi


manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah
mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Komunikasi
manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang
bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik.
Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya
cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif. Komponen bahasa isyarat
meliputu:
a. Abjad jari ( finger spelling ), adalah jenis isyarat yang dibentuk dengan jari-
jari tangan untuk menggambarkan abjad atau untuk mengeja huruf dan angka.
b. Ungkapan badaniah/bahasa tubuh, meliputi keseluruhan ekspresi tubuh,
seperti sikap tubuh, ekspresi muka ( mimik ), pantomimik, dan gesti atau
gerakan yang dilakukan seseorang secara wajar dan alami.
c. Bahasa isyarat asli, yaitu suatu ungkapan manual dalam bentuk isyarat
konvensional yang berfungsi sebagai pengganti kata, yang disepakati oleh
kelompok atau daerah tertentu. Secara garis besar, bahasa isyarat asli
dibedakan menjadi 2, yaitu: (1)   Bahasa isyarat alamiah, (2)   Bahasa isyarat
konseptual Bahasa isyarat formal, yaitu bahasa nasional dalam isyarat yang
biasanya menggunakan kosakata isyarat dengan struktur bahasa yang sama
persis dengan bahasa lisan.
Ketiga metode pengajaran di atas dapat digabungkan dengan metode
pembelajaran yang sama dengan sekolah umum, contohnya metode tanya jawab,
demonstrasi, dan sebagainya. Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi
tidaklah mudah. Sebelum menempatkan anak tunarungu di kelas inklusi,
sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu:
a. Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum anak
tunarungu dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki
bahasa yang dapat menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas inklusi
dan mampu berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak
tunarungu mampu mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa
harus menjadi penonton di dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak
12

tunarungu hanya sebagai hiasan di kelas inklusi tanpa bisa mencerna dan
memahami pembelajaran yang diberikan oleh guru.
b. Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus
memiliki guru pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika
guru pendamping tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa dengan
bidang kajian yang sama dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas
inklusi.
c. Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat
mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang
diberikan dapat dipahami dengan mudah.
d. Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak
tunarungu seperti prinsip keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip
intersubyektivitas dan prinsip kekonkritan.
e. Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan
anak berkebutuhan khusus.
f. Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus.

C.     Alat Bantu/ Media yang digunakan di SDN 014 Loa Janan
Anak Tuna Rungu memiliki keterbatasan dalam berbicara dan
mendengar, media pembelajaran yang cocok untuk Anak Tuna Rungu adalah
media visual dan cara menerangkannya dengan bahasa bibir/gerak bibir.
Media pembelajaran yang dapat digunakan untuk Anak Tuna Rungu dalam
sebuah makalah yang berjudul “Media Pembelajaran Bina Komunikasi
Persepsi Bunyi Dan Irama ( BKPBI) adalah sebagai berikut:
1. Media Stimulasi Visual
a. Cermin artikulasi, yang digunakan untuk mengembangkan feed back visual,
dengan melihat/mengontrol gerakan organ artikulasi diri siswa itu sendiri,
maupun dengan menyamakan gerakan/posisi organ artikulasi dirinya dengan
posisi organ artikulasi guru.
b.   Benda asli maupun tiruan
c. Gambar, baik gambar lepas maupun gambar kolektif.
13

d. Pias kata gambar disertai tulisan


2. Media Stimulasi Auditoris
a. Speech Trainer, yang merupakan alat elektronik untuk melatih bicara anak
dengan hambatan sensori pendengaran
b. Alat musik, seperti: drum, gong, suling, piano/organ/ harmonika, rebana,
terompet, dan sebagainya.
c. Tape recorder untuk memperdengarkan rekaman bunyi- bunyi latar
belakang, seperti : deru mobil, deru motor, bunyi klakson mobil maupun
motor, gonggongan anjing dsb.
d. Berbagai sumber suara lainnya , antara lain : Suara alam : angin menderu,
gemercik air hujan, suara petir. Suara binatang : kicauan burung,
gongongan anjing, auman harimau, ringkikan kuda. Suara yang dibuat
manusia : tertawa, batuk, tepukan tangan, percakapan, bel, lonceng, peluit
Sound System, yaitu suatu alat untuk memperkeras suara.
e. Media dengan sistem amplifikasi pendengaran, antara lain ABM, Cochlear
Implant dan loop system.
Di lapangan media yang digunakan,misalnya dalam mata pelajaran
matematika dengan tema mengenalkan jam,guru membawa tiruan jam dinding
sambil menerangkan dengan bahasa bibir guru juga menuliskannya di papan
tulis agar anak dapat lebih memahami apa yang guru jelaskan. Dalam
pembelajaran IPA, PPKN, Guru juga mempergunakan gambar. Dalam
pembelajaran IPS pun demikian, menggunakan media gambar dalam materi
kenampakkan dari permukaan bumi dari gambar tersebut guru menjelaskan
kepada anak sehingga anak dapat memahami bagaimana bentuk kenampakkan
dari permukaan bumi tersebut.
14

BAB III
DAMPAK KELAINAN

A. Dampak Terhadap Anak

Tuna rungu Ketunarunguan yang terjadi dapat berdampak bagi Individu


itu sendiri, keluarga, masyarakat, dan penyelenggara pendidikan. Berikut
penjabarannya:
1.      Bagi Anak Tunarungu Sendiri
Sehubungan dengan karakteristik tunarungu yaitu miskin dalam kosakata,
sulit memahami kata – kata abstrak, sulit mengartikan kata – kata yang
mengandung kiasan, adanya gangguan bicara, maka hal – hal itu merupakan
sumber masalah pokok bagi anak tersebut.
2.      Bagi Keluarga
Lingkungan keluarga merupakan faktor yang mempunyai pengaruh
penting dan kuat terhadap perkembangan anak terutama anak luar biasa.

Anak ini mengalami hambatan sehingga mereka akan sulit menerima


norma lingkungannya. Berhasil tidaknya anak tunarungu melaksanakan tugasnya
sangat tergantung pada bimbingan dan pengaruh keluarga. Tidaklah mudah bagi
orang tua untuk menerima kenyataan bahwa anaknya menderita kelainan/cacat.
Reaksi pertama saat orang tua mengetahui bahwa anaknya menderita tunarungu
adalah merasa terpukul dan bingung. Reaksi ini kemudian diikuti dengan reaksi
lain.
Reaksi – reaksi yang tampak biasanya dapat dibedakan atas bermacam –
macam pola, yaitu:
         Timbulnya rasa bersalah atau berdosa.
         Orang tua menghadapi cacat anaknya dengan perasaan kecewa karena tidak
memenuhi harapannya.
         Orang tua malu menghadapi kenyataan bahwa anaknya berbeda dari anak –
anak lain.
         Orang tua menerima anaknya beserta keadaanya sebagaimana mestinya.
15

         Sikap orang tua sangat tergantung pada reaksi terhadap kelainan anaknya itu.
Sebagai reaksi orang tua atas sikap – sikapnya itu maka:
         Orang tua ingin menebus dosa dengan jalan mencurahkan kasih sayangnya
secara berlebih – lebihan terhadap anaknya.
         Orang tua biasanya menolak kehadiran anaknya.
         Orang tua cenderung menyembunyikan anaknya atau menahannya di rumah.
         Sikap – sikap orang tua ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
perkembangan kepribadian anaknya. Sikap – sikap yang kurang mendukung
keadaan anaknya tentu saja akan menghambat perkembangan anak, misalnya
dengan melindunginya atau dengan mengabaikannya.
3.      Bagi masyarakat
Pada umumnya orang masih berpendapat bahwa anak tunarungu tidak
dapat berbuat apapun. Pandangan yang semacam ini sangat merugikan anak
tunarungu. Karena adanya pandangan ini biasanya dapat kita lihat sulitnya anak
tunarungu untuk memperoleh lapangan pekerjaan. Disamping pandangan karena
ketidkamampuannya tadi, ia sulit bersaing dengan orang normal.
Kesulitan memperoleh pekerjaan di masyarakat mengkibatkan timbulnya
kecemasan, baik dari anak itu sendiri maupun dari keluarganya, sehingga lembaga
pendidikan dianggap tidak dapat berbuat sesuatu karena anak tidak dapat bekerja
sebagaimana biasanya. Oleh karena itu, masyarakat hendaknya dapat
memperhatikan kemampuan yang dimiliki anak tunarungu walaupun hanya
merupakan sebagian kecil dari pekerjaan yang telah lazim dilakukan oleh orang
normal.
4.      Bagi Penyelenggara Pendidikan
Perhatian akan kebutuhan pendidikan bagi anak tunarungu tidaklah dapat
dikatakan kurang karena terbukti bahwa anak tunarungu telah banyak mengikuti
pendidikan sepanjang lembaga pendidikan itu dapat dijangkaunya.
Persoalan baru yang perlu mendapat perhatian jika anak tunarungu tetap
saja harus sekolah pada sekolah khusus (SLB) adalah jika anak – anak tunarungu
itu tempat tinggalnya jauh dari SLB, maka tentu saja mereka tidak akan dapat
bersekolah. Usaha lain muncul dengan didirikannya asrama disamping sekolah
16

khusus itu. Rupanya usaha itu tidak dapat diandalkan sebagai satu – satunya cara
untuk menyekolahkan mereka.
Usaha lainnya yang mungkin akan dapat mendorong anak tunarungu dapat
bersekolah dengan cepat adalah mereka mengikuti pendidikan pada sekolah
normal/biasa dan disediakan program – program khusus bila mereka tidak mampu
mempelajari bahan pelajaran seperti anak normal
.
B. Dampak Terhadap Orang Tua

Orang tua adalah adalah orang-orang yang melengkapi budaya


mempunyai tugas untuk mendefinisikan apa yang baik dan apa yang dinggap
buruk. Sehingga anak akan merasa baik bila tingkah lakunya sesuai dengan
norma tingkah laku yang diterima di masyarakat.
Orang yang paling banyak menanggung beban akibat ketuna runguan
adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Oleh sebab itu dikatakan bahwa
penanganan anak tuna rungu merupakan resiko psikiatri keluarga. Keluarga
anak tuna rungu berada dalam resiko, mereka menghadapi resiko yang berat.
Saudara-saudara anak tersebut pun menghadapi hal-hal yang bersifat
emosional.
Saat yang kritis adalah ketika keluarga itu pertama kali menyadari
bahwa anak mereka tidak normal seperti anak lainnya. Jika anak tersebut
menunjukkan gejala-gejala kelainan fisik (misalnya mongol), maka kelainan
anak dapat segera diketahui sejak anak dilahirkan. Tetapi jika anak tersebut
tidak mempunyai kelainan fisik, maka orang tua hanya akan mengetahui dari
hasil pemeriksaan. Cara menyampaikan hasil pemeriksaan sangatlah penting.
Orang tua mungkin menolak kenyataan atau menerima dengan beberapa
persyaratan tertentu.
Dalam memberitahukan kepada orang tua hendaknya dilakukan
terhadap keduanya (suami-istri) secara bersamaan. Dianjurkan agar sejak
awal sudah diperkenalkan dengan orang tua lain yang juga mempunyai anak
cacat. Orang tua hendaknya menyadari bahwa mereka tidak sendirian.
Lahirnya anak cacat (tuna rungu) selalu merupakan tragedi.
17

Adapun saat-saat kritis itu terjadi ketika:


1) Pertama kali mengetahui bahwa anaknya cacat,
2) Memasuki usia sekolah, pada saat tersebut sangat penting kemampuan
masuk sekolah sebagai tanda bahwa anak tersebut normal,
3) Meninggalkan sekolah,
4) Orang tua bertambah tua sehingga tidak mampu lagi memelihara anaknya
yang cacat.

   Pada saat-saat kritis seperti ini biasanya orang tua lebih mudah
menerima saran dan petunjuk. Setelah kejutan yang pertama, orang tua ingin
mengetahui mengapa anaknya tuna rungu. Mereka dan anak-anaknya yang
normal ingin mengetahui apakah sesudah melahirkan anak yang tuna rungu
mereka dapat melahirkan anak normal.
   Pada umumnya masyarakat kurang mengacuhkan anak tuna rungu,
bahkan tidak dapat membedakannya dari orang gila. Orang tua biasanya tidak
memiliki gambaran mengenai masa depan anaknya yang tuna rungu. Mereka
tidak mengetahui layanan yang dibutuhkan oleh anaknya yang tersedia di
masyarakat. Saudara-saudaranya ketika memasuki usia remaja menghadapi
hal-hal yang menyangkut emosional kehadiran saudaranya yang tuna rungu
dirasakan sebagai beban baginya. Dilihat dari sudut tertentu, baik juga
seandainya anak tuna rungu dipisahkan di tempat-tempat penampungan.
Tetapi bila dilihat dari sudut lain, pemisahan seperti ini dapat pula
mengakibatkan ketegangan orang tua, terlebih bagi ibu yang sudah terlalu
menyayangi anaknya.
Peranan orang tua dapat dikatakan sebagai orang yang memegang
peranan penting dalam perkembangan seseorang anak. Juga tidak terlepas
terhadap pandangan orang tua pada penyandang tuna rungu. Dengan
demikian orang tua anak tuna rungu juga mempunyai peran yang sama
dengan orang tua pada umumnya. Namun bagi orang tua yang memiliki anak
tuna rungu umumnya mereka lebih membutuhkan perhatian yang lebih ketat
terhadap perkembangan anak tuna rungu. Hal ini diasumsikan karena anak
18

tuna rungu mempunyai perkembangan dan pertumbuhan yang jauh berbeda


dengan anak normal.
Dalam kasus terhadap ananda stania, keluarga sekarang lebih jauh bisa
menerima kelainan pada anak nya, walaupun masih ada orang yang
menghina, tetapi mereka sadar bahwa anak mereka adalah pemberian dan
amanah dari Tuhan yang maha Esa, jadi mereka (orang tua) sekarang lebih
bisa tenang dalam kehidupan sehari-hari karena ananda stania merupakan
anugerah yang sangat berharga bagi keluarga nya.

C. Dampak Terhadap Masyarakat

Istilah tuna rungu (intellectual disability) atau dalam perkembangan


sekarang lebih dikenal dengan istilah developmental disability, sering keliru
dipahami oleh masyarakat, bahkan sering terjadi pada para professional dalam
bidang pendidikan luar biasa didalam memahami konsep tuna rungu. Perilaku
tuna rungu yang kadang-kadang aneh, tidak lazim dan tidak cocok dengan
situasi lingkungan seringkali menjadi bahan tertawaan dan olok-olok orang
yang berada didekat mereka. Keanehan tingkah laku tuna rungu dianggap oleh
masyarakat sebagai orang sakit jiwa atau orang gila. Tuna rungu
sesungguhnya bukan orang gila, perilaku aneh dan tidak lazim itu sebetulnya
merupakan manifestasi dari kesulitan meraka didalam menilai situasi akibat
dari rendahnya tingkat kecerdasan. Dalam pengertian lain terdapat
kesenjangan yang signifikan antara kemampuan berfikir dengan
perkembangan usia.
19

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seorang anak dikatakan tuna rungu berdasarkan karakteristik seperti
lamban, kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yag baru,
kemampuan bicaranya sangat kurang, cacat fisik dan perkembangan gerak,
kurang dalm kemampuan menolong diri sendiri, .tingkah laku dan interaksi
yang tidak lazim
Masalah yang dihadapi anak tuna rungu sangat kompleks.
Perkembangan fungsi intelektual anak tuna rungu yang rendah dan disertai
dengan perkembangan prilaku adaptif yang rendah pula akan berakibat
langsung pada kehidupan mereka sehari-hari, sehingga banyak menghadapi
kesulitan dalam hidupnya
Tidak ada yang sia-sia dalam penciptaan Tuhan. Hanya saja manusia
butuh kecerdasan untuk membaca setiap penciptaan yang Tuhan kehendaki.
Begitu pula ketika kita diamanahi anak yang istimewa, seperti Juwita Ariani,
misalnya. Kita tak boleh patah arang untuk mendidiknya. Dibalik kekurangan
yang ada pada seseorang, tersimpan potensi yang luar biasa jika kita mau
menggali dan memberinya ruang.
Tuna rungu ringan yang menimpa pada Juwita Ariani merupakan
gangguan keterbelakangan mental yang terjadi akibat perkembangannya
terganggu pada waktu balita, yaitu Dia sering sakit-sakitan hingga suhu
20

badanya meningkat, panas. Sehingga dari hasil diagnosa dokter, ada syaraf-
syaraf Juwita Ariani yang terganggu. Dan ini berdampak pada perkembangan
mental-intelektualnya yang berada dibawah rata-rata anak pada umumnya.
Jika melihat tulisan-tulisan tangan Juwita Ariani dan nilai-nilai yang
diperolehnya, penulis menilai bahwa Juwita Ariani masih punya peluang
untuk dapat berkembang dengan layak. Support orang tua,Guru, teman-teman
dan lingkunganlah yang ia butuhkan untuk menjadikan dirinya sebagai
manusia yang dapat memberikan manfaat terhadap sesama.
Dan bagaimana untuk berhati-hati ketika merawat balita merupakan hal
yang patut menjadi perhatian kita disini. Karena masa depan anak harus
dipersiapkan dari nol. Jika dalam perjalanan perkembangannya ada yang kita
abaikan, maka hasilnya akan dapat mengganggu proses perkembangan
selanjutnya. 

B. Saran
Setelah disusunnya laporan tentang tuna rungu, diharapkan semua
pihak lebih membuka mata dan tidak memandang remeh anak-anak ini.
Karena sejatinya mereka sama dengan kita. Mereka membutuhkan apa yang
kita butuhkan. Mereka merasakan apa yang kita rasakan. Sayangilah mereka,
berkawanlah dengan mereka. Biarkan mereka memperoleh hak untuk menjadi
manusia yang seutuhnya. Dengan menjalani pendidikan sebagaimana
mestinya.
21

Dokumentasi Observasi

Anda mungkin juga menyukai