Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini yang menarik di Indonesia dari tahun ke tahun yaitu adanya
perusahaan dalam melaporkan kegiatan perpajakannya terdapat perbedaan
ketidak sesuaian pada perhitungan laporan keuangannya. Ini menyatakan bahwa
Standar Akuntansi Keuangan seringkali tidak sama atau bertentangan dengan
peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia yang sering disebut dengan book
tax differences (BTD), yaitu perbedaan antara pendapatan kena pajak menurut
peraturan perpajakan dan pendapatan sebelum kena pajak menurut standar
akuntansi keuangan.

Ketidak sesuaian dan perbedaan prinsip serta kepentingan antara akuntansi


dan perpajakan mengharuskan perusahaan melakukan koreksi fiskal atau
penyesuaian terhadap laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan
fiskal yang berdasarkan ketentuan perpajakan. Penyusunan laporan keuangan
terdapat 2 metode standar yang digunakan, yaitu Standar Akuntansi Keuangan
(SAK) atau biasa disebut dengan laporan keuangan komersial dan yang kedua
menurut ketentuan peraturan Undang-undang Perpajakan disebut dengan laporan
keuangan fiskal. Laporan keuangan komersial atau bisnis ditujukan untuk
menilai kinerja ekonomi dan keadaan finansial dari sektor swasta, sedangkan
laporan keuangan fiskal lebih ditujukan untuk menghitung pajak. Penyebab
perbedaan laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal adalah
terdapat perbedaan prinsip akuntansi, perbedaan metode dan prosedur akuntansi,
perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya, serta perbedaan perlakuan
penghasilan. Atas perbedaan tersebut harus dilakukan suatu tahapan yang disebut
koreksi fiskal. Koreksi fiskal atau penyesuaian fiskal merupakan istilah
ketentuan pajak untuk menyatakan adanya perbedaan antara kaidah akuntansi
atau komersil dan ketentuan pajak mengenai pembukuan dalam pengakuan dan
biaya dalam rangka perhitungan penghasilan kena pajak.

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka yang menjadi


permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :

1
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah koreksi (rekonsiliasi) fiskal dalam perhitungan Pajak
Penghasilan Badan pada PT Perkebunan Nusantara IV?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui perhitungan koreksi fiskal terhadap laporan keuangan PT


Perkebunan Nusantara IV.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Laporan Keuangan


Laporan keuangan merupakan laporan tertulis yang memberikan informasi
kuantitatif tentang posisi keuangan dan perubahan-perubahannya, serta hasil yang
dicapai selama periode tertentu. Laporan keuangan dapat dijadikan media yang dapat
dipakai untuk meneliti kondisi kesehatan perusahaan, dimana laporan keuangan
tersebut terdiri dari neraca, perhitungan rugi laba, ikhtisar laba ditahan dan laporan
posisi keuangan.
Laporan keuangan menjadi penting karena memberikan input informasi yang bisa
dipakai untuk pengambilan keputusan. Banyak pihak yang berkepentingan terhadap
laporan keuangan, mulai dari investor atau calon investor, pihak pemberi dana atau
calon pemberi dana, sampai pada manajamen perusahaan itu sendiri.
Laporan keuangan diharapkan memberikan informasi mengenai profitabilitas, risiko
dan waktu dari aliran kas yang dihasilkan perusahaan. Informasi tersebut akan
mempengaruhi harapan pihak-pihak yang berkepentingan, dan pada giliran selanjutnya
akan mempengaruhi nilai perusahaan.
Menurut Machfoedz dan Mahmudi (2008:1.18) adalah hasil akhir dari proses
akuntansi. Proses akuntansi dimulai dari bukti transaksi, kemudian dicatat dalam harian
yang disebut jurnal, kemudian secara periodik dari jurnal dikelompokkan ke dalam
buku besar sesuai dengan transaksinya, dan tahap terakhir dan proses akuntansi adalah
penyusunan laporan keuangan.
Dalam Standar Akuntansi Keuangan dituliskan bahwa pengertian laporan keuangan
adalah bagian dari bagian dari proses pelaporan keuangan dan laporan keuangan
lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi
keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara, seperti sebagai laporan arus kas),
catatan, laporan keuangan lain, dan materi penjelasan yang bagian integral dari laporan
keuangan.
Laporan keuangan menurut Sundjaja dan Barlian (2001:47) adalah suatu laporan
yang menggambarkan hasil dari proses akuntansi yang digunakan sebagai alat
komunikasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan data keuangan atau aktivitas
perusahaan.

3
Laporan keuangan menurut Harnanto (2002:31) adalah hasil akhir dari proses
akuntansi, yang terdiri dari dua laporan utama yaitu neraca dan laporan perhitungan
laba rugi dan berupa laporan yang sifatnya sebagai pelengkap seperti laporan laba yang
ditahan serta laporan sumber dan penggunaan dana atau laporan perubahan posisi
keuangan.
Menurut Harahap (2013:105): “Laporan Keuangan menggambarkan kondisi
keuangan dan hasil usaha perusahaan pada saat tertentu atau jangka waktu tertentu.
Bagi para analis, Laporan Keuangan merupakan media yang paling penting untuk
menilai prestasi dan kondisi ekonomis suatu perusahaan.”
Menurut Kasmir (2016:7): “laporan keuangan adalah laporan yang menunjukan
kondisi keuangan perusahaan pada saat ini atau dalam suatu periode tertentu. Laporan
keuangan yang disajikan perusahaan sangat penting dan banyak pihak yang
memerlukan dan berkepentingan terhadap laporan keuangan yang dibuat perusahaan
tersebut, seperti para investor, kreditur, dan pihak manajemen sendiri.” Sedangkan
Menurut Fahmi (2011:2): “laporan keuangan merupakan suatu informasi yang
menggambarkan kondisi keuangan suatu perusahaan, dan lebih jauh informasi tersebut
dapat dijadikan sebagai gambaran kinerja keuangan perusahaan tersebut. Dengan kata
lain laporan keuangan merupakan suatu informasi yang menggambarkankondisi
keuangan suatu perusahaan dan informasi tersebut dapat dijadikan sebagai gambaran
kinerja keuangan dari perusahaan tersebut.”
Pengertian diatas tentang laporan keuangan diketahui bahwa tujuan dari laporan
keuangan yaitu untuk memberikan informasi keuangan suatu perusahaan secara
lengkap, baik kepada pemilik, manajemen, maupun pihak luar yang berkepentingan
terhadap laporan tersebut.

Laporan keuangan terdiri atas neraca, laporan laba rugi, serta laporan perubahan
modal. Akan tetapi untuk membantu menjelaskan kondisi perusahaan, dalam laporan
keuangan sering ditambahkan laporan sumber serta penggunaan kas, laporan biaya
produksi dan banyak lagi. Oleh karena itu, dalam berbisnis dengan pihak tertentu
sebuah perusahaan diminta memperlihatkan laporan keuangan mereka yang valid, dan
ada juga perusahaan yang menjaga dari perusahaan tandingan mereka.

Jadi dari penjelasan diatas dan definisi tentang laporan keuangan, kita dapat
menuliskan empat laporan dasar yang harus ada dalam laporan keuangan yaitu:
a. Laporan Laba Rugi
Sesuai dengan namanya, jenis laporan keuangan ini berfungsi untuk
membantu Anda mengetahui apakah bisnis berada dalam posisi laba atau rugi.
Apabila pendapatan perusahaan lebih besar daripada beban atau biayanya, maka
bisnis memperoleh laba. Sebaliknya, jika pendapatan cenderung lebih kecil dari
beban atau biayanya, maka kemungkinan besar bisnis mengalami kerugian.

4
Pada umumnya, ada dua cara yang digunakan untuk menyusun laporan laba
rugi, yaitu single step (cara langsung) dan multiple step (cara bertahap). Metode
single step relatif lebih mudah dibandingkan multiple step, Anda hanya perlu
menjumlahkan seluruh pendapatan dari atas sampai bawah menjadi satu
kelompok, kemudian menguranginya dengan total beban atau biaya dalam
periode yang berlaku.
Sedangkan, pada metode multiple step, pendapatan dipisah menjadi dua
kategori, yaitu pendapatan operasional (yang berasal dari kegiatan pokok)
perusahaan dan pendapatan non operasional (yang berasal dari luar kegiatan
pokok) perusahaan. Pembagian kategori tersebut juga berlaku pada beban atau
biaya.
b. Laporan Perubahan Modal

Dalam menjalankan operasional perusahaan, tentunya modal awal yang


ditanam akan mengalami perubahan. Perubahan ini terjadi karena modal harus
digunakan dalam menjalankan roda perusahaan, juga karena adanya penambahan
dari laba yang didapat, penggunaan modal untuk kepentingan pemilik
perusahaan, atau hal lainnya.
Laporan perubahan modal atau yang biasa disebut Capital Statement dalam
istilah akuntansi merupakan jenis laporan keuangan yang memberikan informasi
mengenai perubahan modal atau ekuitas perusahaan dalam periode tertentu.
Laporan perubahan modal ini berfungsi untuk menunjukkan seberapa besar
perubahan modal yang terjadi dan apa yang menyebabkan perubahan tersebut
terjadi.

c. Neraca (Balance Sheet)

Neraca adalah jenis laporan keuangan ini menyajikan akun-akun aktiva,


kewajiban, dan modal dalam satu periode. Neraca biasanya terdiri dari dua
bentuk, yaitu bentuk skontro/horizontal (account form) dan bentuk vertikal/stafel
(report form). Nilai modal pada neraca merupakan nilai yang tercatat pada
Laporan Perubahan Modal. Keseimbangan pada neraca dapat tercapai karena
pada Laporan Perubahan Modal sudah terdiri dari pendapatan dan biaya yang
tercatat pada Laporan Laba-Rugi.
1) Aktiva, merupakan harta yang dimiliki perusahaan dengan nilai manfaat
di masa depan (future economic benefit). Contohnya seperti truk, mobil kargo,
dan mobil pengangkat barang, untuk perusahaan ekspedisi. Aktiva terdiri dari
Aktiva Lancar (Current Assets) dan Aktiva Tetap Berwujud
(Tangiable Fixed Assets)

2) Kewajiban, terdiri dari Utang Lancar (Current Liabilities) dan Utang


Jangka Panjang (Long Term Liabilities).

5
3) Modal, adalah harta kekayaan perusahaan yang dimiliki oleh pemilik
perusahaan. Modal akan bertambah jika pemilik perusahaan menambahkan
investasinya ke dalam perusahaan dan jika perusahaan memperoleh
keuntungan. Sebaliknya, modal akan berkurang jika pemilik perusahaan
mengambil dana investasinya (prive) dan jika perusahaan mengalami
kerugian.
d. Laporan Arus Kas

Jenis laporan keuangan ini sangat penting untuk mengetahui perputaran arus
dana yang berada di perusahaan, kemana dana atau kas pergi dan dari mana kas
masuk. Hal ini supaya perusahaan dapat mengontrol dana atau kas perusahaan
yang dimiliki selama ini. Laporan arus kas atau Cash Flow berfungsi untuk
memberikan informasi mengenai arus kas masuk dan arus kas keluar.
Laporan mengenai arus kas masuk dapat dilihat dari beberapa sumber, yaitu
hasil dari kegiatan operasional dan kas yang diperoleh dari pendanaan atau
pinjaman. Sedangkan arus kas keluar dapat dilihat dari berapa banyak beban
biaya yang dikeluarkan perusahaan, baik untuk kegiatan operasional atau
investasi pada bisnis lain.
2.2 Laporan Keuangan Komesial dan Laporan Keuangan Fiskal
a. Pengertian Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan
Fiskal

Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai


peraturan perpajakan dan digunakan untuk keperluan penghitungan pajak.
Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak karena terdapat perbedaan
penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi (komersial) dengan laba
menurut perpajakan (fiskal). Laporan keuangan komersial atau bisnis ditujukan
untuk menilai hasil usaha (Income statement) dan keadaan keuangan  (Balance
Sheet) dari satu entitas.
Laporan keuangan fiskal ditujukan untuk menghitung penghasilan kena pajak
dan beban pajak yang harus dibayar ke Negara. Laporan keuangan komersil
berdasarkan prinsip akuntansi  yang berlaku umum, yaitu Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) atau standar lain, sedangkan untuk kepentingan
fiskal, laporan keuangan disusun berdasarkan Undang-undang dan Peraturan
Perpajakan lain. Perbedaan penggunaan standar atau prinsip dasar dalam
penyusunan Laporan Keuangan – terutama laporan rugi laba- , mengakibatkan
perbedaan perhitungan laba rugi suatu entitas (Wajib Pajak) antara laba rugi
komersil dan laba rugi fiskal, yang akan berakibat adanya perbedaan perbedaan
beban pajak komersial dan beban pajak seharusnya dibayar ke Negara.
b. Persamaan Akuntansi Komersial dan Akuntansi Fiskal

6
Menurut Erly Suandy (2011, hal 35), persamaan akuntansi komersial
dan akuntansi fiskal :
a. Aset/harta tetap yang memberikan manfaat lebih dari satu
periode tidak boleh langsung dibebankan pada tahun pengeluarannya
tetapi harus dikapitalisir dan disusutkan sesuai dengan masa
manfaatnya.
b. Aset/harta yang dapat disusutkan adalah aset tetap, baik
bangunan maupun bukan bangunan.
c. Tanah pada prinsipnya tidak disusutkan, kecuali jika tanah
tersebut memiliki masa manfaat terbatas.

c. Perbedaan Akuntansi Komersial dan Akuntansi Fiskal


Pada umumnya, perusahaan yang bergerak dibidang bisnis akan
menyusun laporan keuangan yang berbeda antara laporan keuangan
komersial dengan laporan keuangan yang dilampirkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang disampaikan ke
Direktorat Jendral Pajak. Perbedaan tersebut tidaklah dimaksudkan
untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti penyeludupan pajak, akan tetapi
lebih cenderung kepada penyesuaian dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Standar Akuntansi Keuangan (komersial) dan undang-undang
pajak sering memberikan spesifik dan sering berbeda, aturan yang
mana yang digunakan untuk melaporkan penghasilan dan tujuan pajak,
meskipun kedua pendapatan dilaporkan berdasarkan pada transaksi
dibawah fundamental yang sama. Beberapa perbedaan laporan pajak
dapat dilihat secara mekanis karena mereka berhubungan dengan suatu
perbedaan yang jelas di dalam peraturan. Contoh materi laporan pajak
yang berbeda dihasilkan oleh perbedaan yang jelas di dalam aturan-
aturan penyusutan, opsi saham, dan konsolidasi.
Salah satu alasan perbedaan akuntansi pajak dengan akuntansi
keuangan, antara lain karena tujuan akuntansi keuangan adalah
pemberian informasi penting kepada para manajer, pemegang saham,
pemberi kredit, serta pihak-pihak yang berkepentingan lainnya dan
merupakan tanggung jawab para akuntan untuk melindungi pihak-
pihak tersebut dari informasi yang menyesatkan. Sebaliknya, tujuan
utama system perpajakan (termasuk akuntansi pajak) adalah
pemungutan pajak yang adil dan merupakan tanggung jawab Direktorat
Jendral Pajak untuk melindungi para pembayar pajak dari tindakan
semena-mena.
Sejalan dengan tujuan dan tanggung jawab tersebut, prinsip yang
dianut oleh akuntansi keuangan adalah prinsip konservatif, sehingga
kemungkinan kesalahannya lebih cenderung kepada understatement
7
pelaporan penghasilan penghasilan atas assetnya dibandingkan dengan
pelaporan overstatement. Disamping perbedaan acuan yang dianut
dalam penyusunan laporan keuangan untuk kepentingan perpajakan,
dari sudut pandang Direktorat Jendral Pajak laporan keuangan yang
understatement tersebut tentunya tidak dapat dipakai sebagai dasar
menetapkan pajak yang terutang (Mohammad Zain, 2008:118-119).

Tabel 1.1 Perbedaan Akuntansi Komersial dan Akuntansi Fiskal


Akuntansi Komersial Akuntansi Fiskal

Masa Manfaat: Masa Manfaat:

a. Masa manfaat ditentukan asset a. Ditetapkan berdasarkan


berdasarkan taksiran umur
ekonomis maupun umur teknis. keputusan Menteri Keuangan.

b. Nilai residu telah

Lanjutan Tabel 1.1

8
b. Ditelaah ulang secara periodik. diperhitungkan.

c. Nilai residu bisa

diperhitungkan.

Harga Perolehan: Harga Perolehan:

a. Untuk pembelian menggunakan a. Untuk transaksi yang tidak


harga sesungguhnya. mempunyai hubungan istimewa
b. Untuk pertukaran asset tidak berdasarkan harga yang
sejenis menggunakan harga sesungguhnya.
wajar.
b. Untuk transaksi yang
c. Untuk pertukaran sejenis
berdasarkan nilai buku asset mempunyai hubungan istimewa
yang dilepas. berdasarkan harga pasar.
d. Asset sumbangan berdasarkan c. Untuk transaksi tukar-menukar
harga pasar adalah berdasarkan harga pasar.
d. Dalam rangka likuidasi atau
penggabungan adalah harga
pasar kecuali ditentukan lain
oleh Menteri Keuangan.
e. Jika direvaluasi adalah sebesar
nilai revaluasi.

Metode Penyusutan:
Metode Penyusutan:
a. Garus lurus.
a. Untuk asset tetap bangunan
b. Jumlah angka tahun.
adalah garis lurus.

9
Lanjutan Tabel 1.1
c. Saldo menurun/menurun ganda. b. Untuk asset tetap bukan
bangunan Wajib Pajak dapat
d. Metode jam jasa. memilih garis lurus atau saldo
menurun ganda asal diterapkan
e. Unit produksi. secara taat asas.
f. Anuitas.

g. Sistem persediaan

Perusahaan dapat memilih salah satu


metode yang dianggap sesuai, namun
harus diterapkan secara konsiten dan
harus ditelaah secara periodik.

Sistem Penyusutan: Sistem Penyusutan:

a. Penyusutan individual. a. Penyusutan secara individual


kecuali untuk peralatan kecil,
b. Penyusutan gabungan/kelompok. boleh secara golongan.

Saat dimulainya penyusutan: Saat dimulainya penyusutan:

a. Saat perolehan. a. Saat perolehan.

b. Saat penyelesaian. b. Dengan izin Menteri Keuangan


dapat dilakukan pada tahun
penyelesaian atau tahun mulai
menghasilkan.

10
d. Perbedaan Mengenai Konsep Penghasilan dan Pendapatan

Menurut IAI (2007:13) yang dimaksud dengan penghasilan adalah


“Kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk
pemasukan atau penambahan aset atu penurunan kewajiban yang menyebakan
kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal.” Konsep
penghasilan dari sudut pandang fiskal tidak jauh berbeda dengan konsep
akuntansi, yaiut: Segala tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh
Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia atau luar Indonesia yang dikonsumsi
atau menambah kekayaan Wajib Pajak dengan nama serta dalam bentuk apapun.
Fiskal membagi penghasilan kedalam 3 kelompok yang sesuai dengan UU No
36 Tahun 2008 Pasal 4 Tentang Pajak Penghasilan, yaitu:

1. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak Penghasilan

2. Penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan Final

3. Penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan

Pengelompokan penghasilan tersebut akan berakibat adanya perbedaan


mengenai konsep penghasilan antara SAK dan Fiskal. Penghasilan yang bukan
objek pajak berarti atas penghasilan tersebut tidak dikenakan pajak (tidak
menambah laba fiskal), lebih jelasnya tentang pengelompokkan penghasilan
tersebut diuraikan dalam UU No 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat 1,2 & 3
Tentang Pajak Penghasilan.

e. Perbedaan Konsep Biaya dan Bukan Biaya

Undang-Undang Pajak Penghasilan menganut pemajakan berbasis netto (net


basis of taxation) yang berarti pajak didasarkan pada penghasilan bruto (gross
income) dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran dan pengurangan lainnya
yang diperkenankan oleh undang-undang.

Secara komersial sebagaimana diatur dalam SAK bahwa dalam laporan laba
rugi biaya diakui apabila terjadi penurunan manfaat ekonomis pada masa
mendatang sehubung dengan penurunan asset atau peningkatan kewajiban yang
dapat diukur dengan modal. Alternatif lainnya, biaya juga diakui dengan
berdasarkan pada analisis hubungan antara biaya yang timbul dan penghasilan
tertentu yang diperoleh (Waluyo, 2008, hal 222).
Untuk tujuan perpajakan, yaitu atas dasar penerimaan dan pengaruh social
ekonomi, tidak seluruh biaya dapat dikurangkan terhadap penghasilan sehingga
apabila dibandingkan, komponen biaya menurut akuntansi komersial dapat
dikoreksi yang mempengaruhi penghasilan.

11
Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi Wajib

Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap dibagi dalam 2 golongan yaitu:

1. Beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1
(satu) tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1
(satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya
gaji, biaya administrasi dan bunga.
2. Beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun. Pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui
amortisasi.
Waluyo (2008, hal 223) juga menyebutkan, pengeluaran-pengeluaran yang
dilakukan oleh Wajib Pajak dapat pula dibedakan menjadi:
1. Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya (deductible
expenses) Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah
pengeluaran yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memlihara penghasilan yang
merupakan Objek Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam
tahun
pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut.

2. Pengeluaran yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya (nondeductible


expense)
Pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto atau
tidak dapat dibebankan sebagai biaya adalah pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak.
Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan


UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa untuk menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk
Usaha Tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan
kegiatan usaha, antara lain:
1) Biaya pembelian bahan;

2) Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,


honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang;
3) Bunga, sewa, dan royalty;
4) Biaya perjalanan;

12
5) Biaya pengolahan limbah;

6) Premi asuransi;

7) Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan;

8) Biaya administrasi;

9) Pajak kecuali Pajak Penghasilan;

b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan


amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.
e. Kerugian selisih kurs mata uang asing

f.Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di

Indonesia

g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan

h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:

1) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

2) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat


ditagih kepada Direktorat Jendral Pajak; dan
3) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri
atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau
adanya perjanjian tertulis menganai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang
bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau
khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
4) Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;

13
i.Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah
j.Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang
dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah

k. Biaya pengembangan insfrastruktur sosial yang ketentuannya diatur


dengan Peraturan Pemerintah

l.Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan

Peraturan Pemerintah; dan

m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya


diatur dengan Peraturan Pemerintah
Tidak setiap pengeluaran itu boleh dibebankan sebagai biaya sesuai
ketentuan perundang-undangan perpajakan. Pasal 9 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 mengatur bahwa untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap tidak boleh
dikurangkan yaitu:
a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti
dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:

1) Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan


usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak
opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak
piutang
2) Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan
sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
3) Cadangan pinjaman untuk Lembaga Penjamin Simpanan

4) Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan

5) Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan;


dan

6) Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat


pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah

14
industri, yang ketentuannya dan syarat-syaratnya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib
Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan
premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang
bersangkutan
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali
penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di
daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
f. Jumlah yang melebihi kewajiban yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan
g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan,
dan warisan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b,


kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m serta zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia,
yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah
h. Pajak penghasilan

i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi


Wajib

Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya

j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau


perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham
k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi
pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan
perundang-undangan dibidang perpajakan.

f. Perbedaan Konsep Penyusutan dan Nilai Persediaan

15
Perbedaan dalam konsep antara akuntansi dengan peraturan perpajakan
terutama menyangkut konsep penyusunan dan penilaian persediaan barang
dagangan.
a. Konsep Penyusutan

Perbedaan utama antara akuntansi dengan undang-undang perpajakan adalah


penentuan umur aktiva dan metode penyusutan yang boleh digunakan. Akuntansi
menentukan umur aktiva berdasarkan umur sebenarnya walaupun penentuan umur
tersebut tidak terlepas dari tafsiran Judgement.
Menurut Johar Arifin (2009, hal 132), metode menurut akuntansi komersial
mengacu pada PSAK No. 16 tentang Aset Tetap (Revisi 2011). Metode
penyusutan komersial antara lain:
1) Metode Garis Lurus (Straight line methoe) yaitu, menghasilkan
pembebanan yang tetap selama umur manfaat aset jika dinilai residunya tidak
berubah.
2) Metode Saldo Menurun (Diminishing balance method) yaitu,
menghasilkan pembebanan yang menurun selama umur manfaat aset.
3) Metode Jumlah Unit (Sum of the unit method) yaitu, menghasilkan
pembebanan berdasarkan pada penggunaan atau output yang
diharapkan dari suatu aset.

Ketentuan perpajakan hanya menetapkan dua metode penyusutan yang harus


dilaksanakan Wajib Pajak berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yaitu berdasarkan metode garis lurus dan
metode saldo menurun yang dilaksanakan secara konsisten, kemudian aktiva
(harta berwujud) dikelompokkan berdasarkan jenis harta dan masa manfaat
sebagai berikut:
Tabel 1.2 Kelompok Harta Berwujud, Metode, serta Tarif Penyusutan
Kelompok Masa Tarif Penyusutan
Harta Manfaat sebagaimana dimaksud dalam
Berwujud Aya Ayat
t (1) (2)
I. Buka
n bangunan 4 25% 50%
Kelompok Tahun 12,5 25%
1 8 % 12,5%
Kelompok Tahun 6,25 10%
2 16 %
Kelompok Tahun 5%
3 20
Kelompok Tahun 5%
4 10%

16
II. Bang 20
unan Tahun
Permanen 10
Tidak Tahun
Permanen
Sumber: UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 11 ayat (6)

Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tidak berwujud dan


pengeluaran lainnya yang mempunyai manfaat lebih dari 1 tahun dilakukan juga
dengan memakai 2 metode yaitu: metode garis lurus dan metode saldo menurun,
dengan pengelompokkan sebagai berikut:
Tabel 1.3 Kelompok Harta Tak Berwujud, Metode, serta Tarif
Amortisasi
Kelompo Masa Tarif Amortisasi
k Harta Tak Manfaat berdasarkan metode
Berwujud Garis Saldo
Lurus Menurun
Kelompo 4 25% 50%
k1 Tahun 12,5% 25%
Kelompo 8 6,25% 12,5%
k2 Tahun 5% 10%
Kelompo 16
k3 Tahun
Kelompo 20
k4 Tahun
Sumber: UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 11A ayat (2)

Penentuan masa manfaat, jenis harta, metode, serta tarif dimaksudkan untuk
memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan penyusutan maupun
amortisasi.
b. Konsep Nilai Persediaan

Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia, persediaan dan


pemakaian persediaan untuk menghitung harga pokok dinilai berdasarkan
perolehan (cost) yang dilakukan dengan metode rata-rata (average) atau
dengan metode mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama yang
dikenal dengan First In First Out (FIFO). Penggunaan metode tersebut
harus dilakukan secara konsisten.
Apabila kita meninjau secara akuntansi maka ada 3 jenis metode yang
dilakukan untuk menilai persediaan yang sesuai dengan SAK No. 14 Tahun
2007 yaitu dengan menggunakan rumus biaya masuk pertama keluar
pertama (FIFO), kemudian rata-rata tertimbang (weight average cost
method) dan masuk terakhir keluar pertama (LIFO). Kemudian untuk

17
barang yang lazimnya tidak dapat digantikan dengan barang lain (not
ordinary interchangeable) dan barang serta jasa yang dihasilkan dan
dipisahkan untuk proyek khusus harus diperhitungkan berdasarkan
identifikasi khusus terhadap biayanya masing-masing.

2.3 Pengertian Koreksi Fiskal


Koreksi atau penyesuaian yang harus dilakukan oleh wajib pajak sebelum
menghitung Pajak Penghasilan (PPh) bagi wajib pajak badan dan wajib pajak orang
pribadi (yang menggunakan pembukuan dalam menghitung penghasilan kena
pajak).
Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan perlakuan/pengakuan penghasilan
maupun biaya antara akuntansi komersial dengan akuntansi pajak.

Ada 2 pengertian rekonsiliasi fiskal menurut Agoes dan Trisnawati dan menurut
Setiawan dan Musri:

 Menurut Agoes dan Trisnawati, “Rekonsiliasi (koreksi) fiskal adalah proses


penyesuaian atas laba komersial yang berbeda dengan ketentuan fiskal untuk
menghasilkan penghasilan neto/laba yang sesuai dengan ketentuan pajak.”(Agoes
dan Trisnawati,2007:177)
 Menurut Setiawan dan Musri, “Rekonsiliasi fiskal adalah penyesuaian
ketentuan menurut pembukuan secara komersial atau akuntansi yang harus
disesuaikan menurut ketentuan pajak.” (Setiawan dan Musri, 2006:421)

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa rekonsiliasi fiskal atau koreksi
fiskal adalah salah satu cara untuk mencocokkan perbedaan-perbedaan yang
terdapat dalam laporan keuangan komersial (disusun berdasarkan Sistem Keuangan
Akuntansi) dengan laporan keuangan yang disusun berdasarkan sistem fiskal.
Rekonsiliasi fiskal merupakan lampiran SPT tahunan PPh badan yang berupa
kertas kerja berisi penyesuaian antara laba rugi komersial sebelum pajak dengan
laba rugi berdasarkan ketentuan perpajakan. Rekonsiliasi fiskal dilakukan terhadap
seluruh unsur penyusunan laporan laba rugi yang meliputi pendapatan dan beban.
Siti Resmi (2009, hal 397) dalam buku Perpajakn: Teori dan Kasus,
menuliskan bahwa teknik rekonsiliasi fiskal dilakukan dengan cara sebagai
berikut:

18
1. Jika suatu penghasilan diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui menurut
fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan sejumlah penghasilan
tersebut dari penghasilan menurut akuntansi, yang berarti mengurangi laba
menurut akuntansi.
2. Jika suatu penghasilan tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui menurut
fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah penghasilan
tersebut pada penghasilan menurut akuntansi, yang berarti menambah laba
menurut akuntansi.
3. Jika suatu biaya/pengeluaran diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui
sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan
dengan mengurangkan sejumlah biaya/pengeluaran tersebut dari biaya
menurut akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi.
4. Jika suatu biaya/pengeluaran tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui
sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan
dengan menambahkan sejumlah biaya/pengeluaran tersebut pada biaya
menurut akuntansi, yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi.
Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan pengakuan secara komersial dan
secara fiskal. Perbedaan tersebut dapat berupa:
a. Beda Waktu

Beda waktu merupakan perbedaan yang bersifat sementara karena


adanya ketidaksamaan waktu pengakuan penghasilan dan beban antara
peraturan perpajakan dengan Standar Akuntansi Keuangan. Beda waktu
terjadi karena adanya perbedaan waktu dan metode pengakuan penghasilan
dan beban tertentu menurut akuntansi dengan ketentuan perpajakan.
Perbedaan waktu ini mengakibatkan terjadinya pergeseran antara satu tahun
pajak ke tahun pajak lainnya. Perbedaan waktu dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu positif dan negatif. Perbedaan waktu positif terjadi
apabila pengakuan beban menurut SAK lebih lambat dari pengakuan beban
menurut ketentuan perpajakan (Erly Suandy, 2011, hal 79).
Beda Waktu (Time Difference) adalah perbedaan yang diakibatkan
karena bedanya saat pengakuan (waktu pengakuan) baik itu terhadap
pendapatan maupun beban (pendapatan/beban tangguhan), juga akibat
perbedaan beban penyusutan dimana pihak Ditjend Pajak menggunakan
metode penyusutan Garis Lurus (Straight Line Method) sementara
perusahaan mungkin menggunakan metode penyusutan yang lain, yang oleh
karenanya mengakibatkan adanya perbedaan alokasi beban penyusutan.
Prakiraan Umur ekonomis atas aktiva tetap juga turut memberi kontribusi
atas perbedaan tersebut. Dengan kata lain perbedaan metode yang
digunakan antara akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal. Dalam
Akuntansi Perpajakan ini disebut dengan BEDA WAKTU (Time
Difference).

19
Perincian Beda Waktu Menurut SAK dan Menurut Fiskal
No Jenis Perbedaan Menurut SAK Menurut Fiskal
1. Kerugian Piutang
Depresiasi dan Amortisasi Ada dua metode pengakuan : metode
cadangan dan langsung
a. Depresiasi dihitung dengan mempertimbangkan nilai residu
b. Umur ekonomis tergantung dari masing-masing aktiva tetap
c. Metode depresiasi dikelompokkan ke dalam tiga kriteria : berdasarkan
waktu, penggunaan, kriteria yang lainnya Metode yang diakui metode
langsung (yang diakui sebagai biaya hanya yang benar-benar tidak
tertagih)
a. Tidak memperhitungkan nilai residu
b. Umur ditentukan berdasarkan kelompok aktiva Tetap
c. Metode depresiasi yang digunakan ada dua : garis lurus dan saldo
menurun

b. Beda Tetap (Permanent Differences)

Menurut Anastasia Diana (2010, hal 362) perbedaan tetap adalah


“perbedaan antara ketentuan perpajakan dengan komersial yang
menyangkut perbedaan yang bersifat permanen dimana alokasi maupun
total jumlah berbeda. Dalam arti lain, suatu penghasilan atau biaya tidak
akan diakui untuk selamanya dalam rangka menghitung penghasilan kena
pajak (taxable income).”
Adapun contoh-contoh perbedaan permanen menurut Donald E. Kieso, Jerry J.
Weygandt, dan terry D. Warfield dalam bukunya Intermadiate Accounting yang
diterjemahkan oleh Herman Wibowo dan Ancella A. Hermawan, yaitu :
A. Pos-pos yang diakui untuk tujuan pelaporan keuangan tetapi tidak diakui
untuk tujuan pajak. Contohnya :
1. Bunga yang terima atas kewajiban Negara bagian kota.

2. Beban timbul dalam upaya memperoleh laba bebas pajak.

3. Penerimaan dari asuransi jiwa ditutup perusahaan untuk pejabat atau


karyawan utama.
4. Premi yang dibayar untuk asuransi jiwa yang ditutup oleh perusahaan
untuk pejabat atau karyawan utama (perusahaan sebagai penerima).
5. Denda dan beban yang timbul akibat pelanggaran hukum.

6. Beban kompensasi yang berhubungan dengan opsi saham

20
karyawan tertentu.

B. Pos-pos yang diakui untuk tujuan pajak tetapi tidak diakui untuk tujuan
pelaporan keuangan. Contohnya :
1. “Deplesi persentase” sumber daya alam yang melebihi harga
perolehannya.
2. Pengurangan untuk dividen yang diterima dari perusahaan Amerika

Serikat, biasanya 70% atau 80%.


Untuk keperluan perpajakan wajib pajak tidak perlu membuat pembukuan
ganda, melainkan cukup membuat satu pembukuan berdasarkan Standar
Akuntansi Keuangan (SAK), dan pada waktu mengisi SPT Tahunan PPh terlebih
dahulu harus dilakukan koreksi. Koreksi tersebut terdiri atas 2, yaitu koreksi fiskal
positif dan koreksi fiskal negatif.
a. Koreksi Fiskal Positif

Menurut Anastasia Diana (2010, hal 362) Koreksi Fiskal Positif adalah
“koreksi karena adanya perbedaan antara ketentuan perpajakan dengan
komersial yang mengakibatkan penghasilan kena pajak bertambah besar.”
Rekonsiliasi fiskal positif mengakibatkan pengurangan biaya yang diakui
dalam laporan rugi laba komersil menjadi semakin kecil atau yang berakibat
adanya penambahan penghasilan.

Koreksi fiskal positif merupakan koreksi yang menyebabkan penambahan


penghasilan kena pajak, dan PPh terutang. Bagian ini pun memiliki subjenis
lagi, diantaranya yaitu:

 Pembagian laba, dalam bentuk dividen. Dividen tersebut termasuk pada


dividen yang dibayarkan perusahaan asuransi kepada polis, ataupun
pembagia hasil usaha suatu koperasi.

 Biaya yang dibebankan, atau dikeluarkan kepada pemegang saham,


sekutu, ataupun anggota.

 Pajak penghasilan.

 Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan wajib pajak, atau pun orang
yang ditanggungnya.

 Gaji yang dibayar untuk anggota persekutuan, firma, atau perseroan


komanditer. Itu terjadi apabila modalnya tidak terbagi atas saham.
 Jumlah persedeiaan yang melebihi kapasitas, dihitung berdasarkan metode
yang ditetapkan dalam Pasal 10 UU Nomor 36 Tahun 2008.

21
 Jumlah penyusutan, melebihi jumlah kapasitas. Metode perhitungannya
berdasarkan pada Pasal 10 uu Nomor 36 Tahun 2008.

b. Koreksi Fiskal Negatif

Menurut Anastasia Diana (2011, hal 362) Koreksi fiskal negatif adalah
“koreksi karena adanya perbedaan antara ketentuan perpajakan dengan
komersial yang mengakibatkan penghasilan kena pajak bertambah kecil.”
Koreksi fiskal negatif mengakibatkan penambahan biaya yang diakui dalam
laporan rugi laba komersil menjadi semakin besar, atau yang berakibat
pengurangan penghasilan. Dalam bagian ini juga terbagi ke dalam beberapa
subjenis, diantaranya adalah:

 Pertama adalah penghasilan dari bunga deposito, bunga obligasi dan surat
utang negara, atau bunga simpanan yang dibayarkan koperasi kepada
anggotanya.

 Kemudian penghasilan dari hadiah undian.

 Terakhir, penghasilan dari pengalihan harta, seperti tanah atau bangunan,


usaha jasa konstruksi, usaha real estate, atau pun sewa tanah dan
bangunan.
 Warisan

 Harta yang termasuk dalam setoran tunai, diterima oleh sebuah


badan.Tujuannya untuk mengganti saham atau modal.

 Pembayaran yang dilakukan oleh pihak asuransi kepada peserta asuransi.

 Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu. Terkait hal ini, sudah


diatur dalam Peraturan Kementrian Keuangan.

 Jumlah persediaan yang kurang dari penetapan jumlah, yang diatur dalam
Pasal 10 UU Nomor 36 Tahun 2008.

 Penyusutan, yang jumlahnya kurang dari jumlah yang ditetapkan oleh


sebuah metode. Metode tersebut tertulis dalam Pasal 10 UU Nomor 36
Tahun 2008.
2.4 Fungsi Koreksi Fiskal
Berdasarkan pengertian rekonsiliasi fiskal diatas, dapat disimpulkan bahwa
rekonsiliasi fiskal/koreksi fiskal memiliki fungsi sebagai penyesuaian transaksi menurut
Sistem Akuntansi Keuangan dan menurut ketentuan fiskal/pajak (UU Perpajakan) yang
berlaku.

22
Rekonsiliasi fiskal perlu dilakukan agar sebelum data laporan keuangan komersial
dimasukkan ke dalam SPT tahunan PPh, maka data-data tersebut telah disesuaikan
dengan ketentuan fiskal, mengingat terdapat perbedaan besar diantara keduanya baik
beda waktu maupun beda tetap. Jadi rekonsiliasi fiskal yang dilakukan akan
menghasilkan output berupa hasil koreksi yang berpengaruh besar terhadap besarnya
laba kena pajak dan PPh terutang.

2.5 Rekonsiliasi Fiskal

a. Rekonsiliasi fiskal adalah proses penyesuaian atas laba komersial yang

berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan penghasilan neto/laba

yang sesuai dengan ketentuan pajak. Dalam membuat laporan keuangan fiskal,

perlu dilakukan rekonsiliasi atas laporan keuangan komersial. Rekonsiliasi

terhadap laporan keuangan komersial dibuat dengan mengidentifikasi

perbedaan-perbedaan menurut peraturan akuntansi yang berlaku disesuaikan

dengan peraturan pajak yang berlaku atas perkiraanperkiraan tertentu, yaitu

antara laba menurut perhitungan akuntansi perusahaan dengan laba menurut

perhitungan pajak. Hal ini dilakukan untuk dapat memperoleh penghasilan kena

pajak (PKP) yang menjadi dasar dari perhitungan pajak penghasilan.

Dalam rekonsiliasi fiskal terdapat koreksi fiskal positif dan koreksi fiskal
negatif. Koreksi Fiskal Positif adalah koreksi/penyesuaian yang akan
mengakibatkan meningkatnya laba kena pajak yang pada akhirnya akan
membuat PPh Badan Terhutangnya juga akan meningkat. Sedangkan koreksi
fiskal negatif adalah koreksi/penyesuaian yang akan mengakibatkan
menurunnya laba kena pajak yang membuat PPh badan terhutangnya juga akan
menurun.

b. Rekonsiliasi Laporan Keuangan Komersial ke Laporan Keuangan


Fiskal

Ketentuan perpajakan mempunyai kriteria tertentu tentang pengukuran dan


pengakuan terhadap unsur-unsur yang umumnya terdapat dalam laporan
keuangan. Ukuran tersebut dapat saja kurang sejalan dengan prinsip akuntansi
(komersial). Solusi antara penerapan Standar Akuntansi Keuangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan adalah dengan dilakukan
suatu rekonsiliasi.
23
Mohammad Zain (2008, hal 222) dalam buku Manajeman Perpajakan,
menuliskan bahwa untuk menyusun rekonsiliasi antara laporan keuangan
komersial dengan laporan keuangan fiskal, urutan penyusunannya dapat
dilakukan sebagai berikut:
a. Buat terlebih dahulu daftar penyusunan fiskal sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
b. Penyusutan fiskal tersebut kemudian dialokasikan sesuai dengan
pengalokasian yang dilakukan oleh perusahaan.
c. Susun rekonsiliasi harga pokok produksi.

d. Susun rekonsiliasi biaya operasional.

e. Susun rekonsiliasi pendapatan/beban lain-lain.

f. Susun rekonsiliasi laba rugi, yang dihimpun dan jumlah-jumlah akhir


masingmasing rekonsiliasi sebelumnya.
Mohammad Zain juga menyatakan bahwa banyaknya rekonsiliasi yang
harus disusun disesuaikan dengan tipe perusahaan dan laporan keuangan
perusahaan yang bersangkutan.

2.6 TEKNIK REKONSILIASI FISKAL


Teknik rekonsiliasi fiskal dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Jika suatu penghasilan diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui menurut
fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan sejumlah penghasilan
tersebut dari penghasilan menurut akuntansi, yang berarti mengurangi laba
menurut akuntansi.

2. Jika suatu penghasilan tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui menurut
fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah penghasilan
tersebut pada penghasilan menurut akuntansi, yang berarti menambah laba
menurut akuntansi.

3. Jika suatu biaya/pengeluaran diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui


sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan
dengan mengurangkan sejumlah biaya/pengeluaran tersebut dari biaya
menurut akuntansi, yang berarti manambah laba menurut akuntansi.

4. Jika suatu biaya/pengeluaran tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui


sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan
dengan menambah sejumlah biaya/pengeluaran tersebut pada biaya menurut
akuntansi, yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi.

24
Kertas kerja rekonsiliasi fiskal dapat dibuat dengan format sebagai berikut.
Format 1
Wajib Pajak X
Rekonsiliasi Fiskal
Tahun 20xx Tabel 1.4
Laba Bersih (menurut akuntansi komersial) xx
Koreksi Positif:
- xx
- xx
- xx
Total koreksi positif xx (+)
Koreksi Negatif:
- xx
- xx
Total koreksi negatif xx (-)
Laba (penghasilan) kena pajak (menurut fiskal) xx

Perbedaan dimasukkan sebagai koreksi positif apabila:


1. Pendapatan menurut fiskal lebih besar daripada menurut akuntansi atau suatu
penghasilan diakui menurut fiskal tetapi tidak diakui menurut akuntansi.

25
2. Biaya/pengeluaran menurut fiskal lebih kecil daripada menurut akuntansi atau suatu
biaya/pengeluaran tidak diakui menurut fiskal tetapi diakui menurut akuntansi.

Perbedan dimasukkkan sebagai koreksi negatif apabila:


1. Pendapatan menurut fiskal lebih kecil daripada menurut akuntansi atau suatu
penghasilan tidak diakui menurut fiskal (bukan Objek Pajak) tetapi diakui menurut
akuntansi.

2. Biaya/pengeluaran menurut fiskal lebih besar daripada menurut akuntansi atau suatu
biaya/pengeluaran diakui menurut fiskal tetapi tidak diakui menurut akuntansi.

3. Suatu pendapatan telah dikenakan pajak penghasilan bersifat final.

Format 2
Wajib Pajak X
Rekonsiliasi Fiskal
Tahun 20xx
Keterangan Menurut Koreksi Fiskal Menurut Fiskal
Akuntansi
Beda Tetap Beda Waktu
Pendapatan
-
-
Biaya-biaya:

-
-
Laba (penghasilan) Laba bersih Laba
sebelum (penghasilan)
pajak kena pajak

Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak badan dan Wajib Pajak orang pribadi
yang wajib menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan pendekatan
akuntansi (komersial). Rekonsiliasi fiskal dilakukan untuk mempermudah pengisian
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh dan menyusun laporan keuangan fiskal
sebagai lampiran SPT Tahunan PPh.
2.7 Contoh Kasus Koreksi Fiskal Pada PT PT. Perkebunan Nusantara IV
merupakan perusahaan yang bergerak pada bidang usaha agroindustri, dimana
dalam menjalankan aktivitas usahanya maka perusahaan perlu melakukan
perhitungan pajak penghasilan badan atas laporan keuangan yang sesuai dengan

26
UU. Perpajakan. Oleh karena itulah perlu dilakukan penerapan koreksi fiskal Hal
ini bertujuan untuk meneliti pajak penghasilan terutang yang sesuai dengan UU.
PT. Perkebunan Nusantara IV
Laporan Posisi Keuangan Komperatif
Per 31 Desember 2016
Tabel 1.5
KETERANGAN 31 Desember 2016 KETERANGAN 31 Desember 2016
ASET LIABILITAS
Aset Lancar Liabilitas Jangka Pendek
Kas dan setara kas 1.188.159.623.791 Hutang usaha 182.333.964.326
Piutang usaha 2.024.471.028 Beban yang masih harus dibayar 6.175.450.000
Piutang lain-lain 10.522.576.867 Hutang pajak 89.649.538.444
Piutang antar badan hukum
155.076.338.826 Uang muka penjualan 206.425.476.408
Persediaan bahan baku dan Pendapatan diterima dimuka jatuh
perlengkapan 151.105.417.118 tempo setahun 613.636.364
Persediaan hasil jadi 170.593.964.762 Hutang antar badan hukum 29.222.416.645
Bagian liabilitas jangka panjang
Biaya dibayar dimuka 8.028.097.066 yang akan jatuh tempo 536.000.000.000
Liabilitas imbalan kerja jangka
Pajak dibayar dimuka 324.130.123.586 pendek 315.621.655.246
Jumlah Aset Lancar 2.009.640.613.045 Liabilitas jangka pendek lainnya 354.039.355.274
Jumlah Liabilitas Jangka Pendek
1.720.081.492.707
Aset Tidak Lancar Liabilitas Jangka Panjang
Piutang PIR dan plasma 83.791.941.095 Hutang bank jangka panjang 2.821.900.000.000
Liabilitas imbalan kerja jangka
Penyertaan 439.004.322.967 panjang 2.012.724.573.132
Pendapatan diterima dimuka
Aset tanaman 5.272.733.873.065 jangka panjang 1.482.954.553
Jumlah Liabilitas Jangka Panjang
Aset tetap 4.911.640.144.578 4.836.107.527.685
Beban tangguhan 145.691.745.786 Jumlah Liabilitas 6.556.189.020.392
Panjar angsuran PPN dan
PPh 2.522.432.814 Ekuitas
Ekuitas yang dapat distribusikan
Taksiran Tagihan Pajak kepada pemilik entitas induk
Penghasilan 157.702.570.716
modal saham - Nilai nominatif
Aset tidak lancar lainnya 19.886.224.829 Rp.1.000.000
Modal dasar - 11.700.000 lembar
Aktiva pajak tangguhan 228.669.572.411 saham
Modal ditempatkan dan disetor
penuh saham 2.942.116 lembar
Jumlah Aset Tidak Lancar 11.261.642.828.261 saham 2.942.116.000.000

27
Modal lainnya
Saldo Laba : Ditentukan
pengguanannya 1.985.381.813.476
Penghasilan komprehensif lain 2.584.737.211.595
Belum ditentukan penggunaannya
(797.140.604.157)
Jumlah Ekuitas 6.715.094.420.914
JUMLAH LIABILITAS DAN
JUMLAH ASET 13.271.283.441.306 EKUITAS 13.271.283.441.306

Sumber: Data PT Perkebunan Nusantara IV

Berdasarkan laporan keuangan neraca diatas maka akan disajikan laporan perhitungan
laba rugi dengan periode 01 Januari s/d 31 Desember 2016 pada table berikut ini:

PT. Perkebunan Nusantara IV


Laporan Laba Rugi
Per 31 Desember 2016
Table 1.6

KETERANGAN 31 Desember 2016


PENDAPATAN
Penjualan Ekspor 93,308,532,380
Pungutan Ekspor -
Penjualan Ekspor Bersih 93,308,532,380
Penjualan Lokal 5,384,583,510,778
Jumlah Penjualan 5,477,892,043,158
HARGA POKOK PENJUALAN
Persedian awal 147,822,525,202
Biaya Tidak Langsung 374,119,013,366
Biaya Langsung 2,366,143,975,241
Biaya Penyusutan 460,280,576,603
Biaya Pengiriman ke Industri Hilir 7,581,809,527

Biaya Pengolahan di Industri Hilir 41,586,280,032


Persedian akhir (170,593,964,762)
Jumlah Harga Pokok Penjualan 3,226,940,215,209
Laba Kotor 2,250,951,827,949
BIAYA USAHA
Biaya Penjualan 140,996,390,521
Biaya Administrasi 960,472,892,919

28
Jumlah Biaya Usaha 1,101,469,283,440
Laba Usaha 1,149,482,544,509
BIAYA BUNGA 264,746,897,907
Laba Usaha setelah Biaya Bunga 884,735,646,602
PENDAPATAN (BIAYA) LAIN-LAIN
Pendapatan Lain-lain 105,351,119,020
Biaya Lain-lain (174,521,638,375)
Jlh. Pendapatan (Biaya) Lain-lain (69,170,519,355)
Laba Sebelum Pajak Penghasilan 815,565,127,247
Taksiran Pajak Penghasilan 260,087,542,404
Laba Setelah Pajak Penghasilan 555,477,584,843
Sumber: Data PT Perkebunan Nusantara IV

Perhitungan Pajak Penghasilan Rekonsiliasi Fiskal

Per 31 Desember 2016


Tabel 1.7
Pajak Tahun Berjalan Komersial Koreksi positif Koreksi negatif Fiskal
Laba sebelum pajak penghasilan 815,565,127,251 815,565,127,251
Beda waktu:
Penyusutan dan Amortisasi
Komersial 497,150,544,580
Fiskal (631,219,681,067)
Total (134,069,136,487) (134,069,136,487)
Penghapusan Nilai Buku Aset Tetap

Komersial 23,788,635,934
Fiskal (18,621,912,325)
Total 5,166,723,609 5,166,723,609
Biaya Gaji di TBM
Pemulihan upah 15,953,076,777
Fiskal (20,801,815,226)
Total (4,848,738,449) (4,848,738,449)
Penyisihan Penyertaan dan 11,181,001,960 11,181,001,960
piutang

Penghapusan piutang -
Beban Imbalan Kerja (PSAK-24) (74,465,512,201) (74,465,512,201)
Jumlah Beda Waktu (197,035,661,568) (197,035,661,568)
Beda Tetap:
Pengobatan 38,701,044,426 38,701,044,426 0

29
Pendidikan Jasmani dan Rohani 3,373,246,567 0 3,373,246,567
Kemalangan 6,933,167,612 6,933,167,612 0
Sosial lainnya 39,467,089,963 39,467,089,963
Pemeliharaan rumah 2,347,110,213 2,347,110,213
Bantuan/Sumbangan 21,720,286,583 21,720,286,583 0
Akomodasi tamu 6,767,898,677 6,767,898,677 0
Surat kabar dan majalah 2,104,711,000 2,104,711,000 0
Biaya Pensiunan 41,869,483,299 41,869,483,299
Pelatihan dan Pendidikan 710,609,894 710,609,894
Biaya CSR dan Bina Lingkungan
18,384,283,993 18,384,283,993
Denda pajak dan tambahan pajak 2,178,093,701 2,178,093,701 0
Biaya perjalanan, penginapan 9,860,218,618 9,860,218,618
Overhead Plasma Madina 3,871,284,059 3,871,284,059
Biaya Lain-lain 5,799,517,679 5,799,517,679
Bunga jasa giro dan deposito (27,644,955,974) (27,644,955,974)
Pendapatan yang telah dikenakan
(676,125,000) (676,125,000)
PPh Final

Bagian (Laba) Rugi anak perusahaan 49,133,270,752 49,133,270,752

Jumlah Beda Tetap 224,900,236,062 146,495034063


Jumlah rekonsiliasi pajak 27,864,574,494 (50,540,627,505)
Taksiran Penghasilan Kena Pajak
843,429,701,745 765,024,499,746

Taksiran Penghasilan Kena Pajak


(dibulatkan) 843,429,701,000 765,024,499,000

Sumber: Data PT Perkebunan Nusantara IV

Berdasarkan perhitungan pajak penghasilan yang telah direkonsiliasi diatas, dapat

dilihat bahwa perhitungan menurut fiskal terdapat taksiran penghasilan kena pajak yang

berbeda dengan taksiran penghasilan kena pajak menurut perusahaan. Menurut

perusahaan taksiran penghasilan kena pajak yaitu sebesar Rp. 843,429,701,000,

sedangkan menurut fiskal taksiran kena pajak yaitu sebesar Rp. 765,024,499,000. Dari

perbedaan tersebut maka terdapat selisih antara menurut pajak dan menurut fiskal

sebesar Rp. 78,405.202.000.

PT Perkebunan Nusantara

30
Perhitungan Penghasilan Kena Pajak
Table 1.8
Keterangan
Laba sebelum pajak penghasilan 815,565,127,251
Beda waktu:
Penyusutan dan Amortisasi (134,069,136,487)
Penghapusan Nilai Buku Aset Tetap 5,166,723,609
Biaya Gaji di TBM (4,848,738,449)
Penyisihan Penyertaan dan piutang 11,181,001,960
Beban Imbalan Kerja (PSAK-24) (74,465,512,201)
Jumlah Beda Waktu (197,035,661,568)
Beda Tetap:
Pendidikan Jasmani dan Rohani 3,373,246,567
Sosial lainnya 39,467,089,963
Pemeliharaan rumah 2,347,110,213
Bantuan/Sumbangan 21,720,286,583
Biaya Pensiunan 41,869,483,299
Pelatihan dan Pendidikan 710,609,894
Biaya CSR dan Bina Lingkungan 18,384,283,993
Biaya perjalanan, penginapan 9,860,218,618
Overhead Plasma Madina 3,871,284,059
Biaya Lain-lain 5,799,517,679
Bunga jasa giro dan deposito (27,644,955,974)
Pendapatan yang telah dikenakan PPh Final (676,125,000)
Bagian (Laba) Rugi anak perusahaan 49,133,270,752
Jumlah Beda Tetap 168,215,320,646
Jumlah rekonsiliasi pajak (28,820,340,922)
Taksiran Penghasilan Kena Pajak 786,744,786,329
PPh Terutang 191,256,124,750
Laba bersih setelah pajak 595,488,661,579
Sumber: Data PT Perkebunan Nusantara IV

Dari tabel diatas, laba kena pajak setelah dikoreksi fiskal terhadap laba akuntansi
sebesar Rp. 786,744,786,329, sehingga pajak penghasilan badan terutang tahun 2016
adalah Rp. 191,256,124,750. hal ini dapat ditentukan dengan perhitungan dibawah ini:
PPh terutang = 25% X Rp. 786,744,786,329

= Rp. 191,256,124,750

Perbandingan Perhitungan PPh Badan Menurut PT Perkebunan

31
Berdasarkan hasil analisis mengenai rekapitulasi fiskal maka akan disajikan
perhitungan PPh pasal 25 dan 29 yang dapat diuraikan sebagai
berikut :

a. Perhitungan PPh Pasal 29 dan 25 menurut perusahaan

1) Perhitungan PPh Pasal 29 menurut perusahaan dapat dihitung sebagai


berikut:
PPh terutang Rp. 210,857,425,250

Kredit pajak:

PPh Pasal 22 Rp. 91,371,615

PPh Pasal 23 Rp. 3,433,051,468

Jumlah kredit pajak (Rp 3,524,423,083)

Rp. 207,333,002,167
(Rp.132,560,940,312
PPh Pasal 25 yang telah dibayar
)
PPh kurang bayar (PPh Pasal 29)
Rp. 74,772,061,855
2) Perhitungan PPh Pasal 25 menurut perusahaan dapat dihitung sebagai
berikut:

PPh terutang menurut SPT Rp. 210,857,425,250

Kredit pajak:

PPh Pasal 22 Rp. 91,371,615

PPh Pasal 23 Rp. 3,433,051,468

Jumlah kredit pajak (Rp 3,524,423,083)

Jumlah utang pajak Rp. 207,333,002,167

Angsuran PPh Pasal 25 perbulan Rp 17,277,750,180

b. Perhitungan PPh Pasal 29 dan 25 menurut pajak PPh Pasal 29 sebagai berikut:

PPh terutang Rp. 191,256,124,750


Kredit pajak:
PPh Pasal 22 Rp. 91,371,615
PPh Pasal 23 Rp. 3,433,051,468

32
Jumlah kredit pajak (Rp 3,524,423,083)
Rp. 187,731,701,667
PPh Pasal 25 yang telah dibayar (Rp.132,560,940,312)
PPh kurang bayar (PPh Pasal 29) Rp. 55,170,761,355
c. Perhitungan PPh Pasal 25 menurut perusahaan dapat dihitung sebagai berikut:

PPh terutang menurut SPT Rp. 191,256,124,750

Kredit pajak:

PPh Pasal 22 Rp. 91,371,615

PPh Pasal 23 Rp. 3,433,051,468

Jumlah kredit pajak (Rp 3,524,423,083)

Jumlah utang pajak Rp. 187,731,701,667

Angsuran PPh Pasal 25 perbulan Rp. 15,644,308,472

Dari uraian diatas, dapat dihitung besarnya PPh kurang bayar sebagai berikut:
1) PPh Pasal 29

Besarnya PPh Pasal 29 yang kurang bayar dapat dihitung sebagai berikut:
PPh Pasal 29 menurut perusahaan Rp. 74,772,061,855

PPh Pasal 29 menurut pajak Rp. 55,170,761,355

PPh Pasal 29 kurang bayar Rp. 19,601,300,500 2)


PPh Pasal 25
Besarnya PPh Pasal 25 yang kurang bayar dapat dihitung sebagai berikut:
PPh Pasal 25 menurut perusahaan Rp. 17,277,750,180

PPh Pasal 25 menurut pajak Rp. 15,644,308,472

PPh Pasal 25 kurang bayar Rp. 1,633,421,708

33
Dari uraian diatas hasil perhitungan PPh Pasal 29 dan Pasal 25 menunjukkan bahwa
PPh Pasal 29 terdapat PPh kurang bayar sebesar Rp. 19,601,300,500, sedangkan
PPh Pasal 25 terdapat PPh kurang bayar sebesar Rp. 1,633,421,708. Untuk PPh
Pasal 29 dan Pasal 25 yang kurang bayar .
harus disetor ke kas negara.

34
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Setelah penulis melakukan analisis dan pembahasan pada bab II mengenai pendapatan
dan biaya yang perlu untuk dikoreksi fiskal, maka kesimpul yang dapat dikemukakan
penulisan adalah sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan pengakuan secara komersial dan secara fiskal. Perbedaan
tersebut dapat berupa beda waktu dan beda tetap
2. Koreksi Fiskal Positif adalah koreksi/penyesuaian yang akan mengakibatkan
meningkatnya laba kena pajak yang pada akhirnya akan membuat PPh Badan
Terhutangnya juga akan meningkat.
3. Koreksi fiskal negatif adalah koreksi/penyesuaian yang akan mengakibatkan
menurunnya laba kena pajak yang membuat PPh badan terhutangnya juga akan
menurun.

35
Daftar Pustaka
http://eprints.polsri.ac.id/3478/3/%283%29%20BAB%202.pdf
http://yabeshulu.blogspot.com/2016/03/laporan-keuangan-komersial-dan-laporan.html
https://zahiraccounting.com/id/blog/mengenal-laporan-keuangan-fiskal-dan-komersial/
https://ukirama.com/en/blogs/perbedaan-laporan-laba-rugi-fiskal-dan-komersial
http://www.wibowopajak.com/2012/01/pengertian-koreksi-fiskal.html
https://www.beecloud.id/pengertian-dan-fungsi-rekonsiliasi-fiskal-di-pelaporan-pajak/
https://jojonomic.com/blog/rekonsiliasi-fiskal/
https://tanyapajak1.wordpress.com/tag/koreksi-fiskal/
https://www.academia.edu/12473916/Perpajakan
Laporan Keuangan PT. Dayamega Pratama Tahun 2016.
Andriyanto, R.Weddie, Einde Evana. Perbedaan Laporan Keuangan Komersial
dengan Laporan Keuangan Fiskal, Jurnal Akuntansi Keuangan & Perpajakan
Vol. 1 No. 2, Maret 2008.
Resmi, Siti. 2009. Perpajakan: Teori dan Kasus, Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat.

Zain, Mohammad. 2008. Manajeman Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat.

36

Anda mungkin juga menyukai