Anda di halaman 1dari 34

kontrak bisnis

(perjanjian)
A. Pengertian, syarat sah, asas, dan sumber hukum kontrak
B. Resiko, wanprestasi, dan keadaan memaksa
C. Macam-macam kontrak dan berakhirnya kontrak
D. Perjanjian menurut prinsip ekonomi syari'ah
E. Bentuk dan penulisan kontrak
Pengertian

• Black’s Law Dictionary: perjanjian antara dua orang atau


lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu hal yang khusus.
• Pasal 1313 KUH Perdata: “Suatu Persetujuan adalah suatu
perbuatan dengan mana seorang atau lebih mengikatkan diri
terhadap satu orang lain atau lebih”.
syarat sah kontrak
• Ps1320 KUH Perdata:
1. Kecakapan.
2. Kesepakatan.
3. Suatu hal/ objek: barang & jasa
4. Suatu sebab/ causa) yang halal (tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, dan
ketertiban umum).
Nomer 1&2: syarat subjektif, Nomer 3&$: syarat objektif.
• Konsekwensi: batal
• Syarat subjektif konsekwensi: perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau sepanjang perjanjian tersebut
belum atau tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku.
• Syarat objektif konsekwensi: batal demi hukum.
• Tidak cakap:
1.Belum dewasa: Kurang 21 tahun/ belum menikah.
2. Di bawah pengampuan: sakit jiwa, memiliki daya pikir yang rendah, serta orang yang
tidak mampu mengatur keuangannya sehingga menyebabkan keborosan yang berlebih.
3. Badan hukum: cakap, sesuai kedudukan/jabatan.
• Kata sepakat: keadaan para pihak yang membuat perjanjian harus sepakat atau setuju
mengenai hal-hal pokok atau materi yang diperjanjikan, kesepakatan harus dicapai dengan
tanpa ada paksaan, penipuan atau kekhilafan.
• Perjanjian dapat mengandung cacat hukum atau kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi
hal-hal:
1. Paksaan (dwang): perbuatan yang tidak adil atau ancaman yang menghalangi
kebebasan kehendak para pihak yang terlibat di dalam kontrak. Paksaan dibuat
dengan tujuan agar pada akhirnya pihak lain memberikan haknya. Ancaman: tindakan
intimidasi mental. Selain itu paksaan juga bisa dikarenakan oleh pemerasan atau
keadaan di bawah pengaruh terhadap seseorang yang mempunyai kelainan mental.
2. Penipuan (bedrog): tindakan tipu muslihat. Menurut Pasal 1328 KUH Perdata
dengan tegas menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan perjanjian.
3. Kesesatan atau Kekeliruan (dwaling): salah satu pihak atau beberapa
pihak memiliki persepsi yang salah terhadap objek atau subjek yang terdapat dalam
perjanjian. Ada 2 (dua) macam kekeliruan. Pertama, error in person, yaitu kekeliruan
pada orangnya, misalnya, sebuah perjanjian yang dibuat dengan artis terkenal tetapi
kemudian perjanjian tersebut dibuat dengan artis yang tidak terkenal hanya karena
dia mempunyai nama yang sama. Kedua, error in substantial yaitu kekeliruan yang
berkaitan dengan kerakteristik suatu benda, misalnya seseorang yang membeli lukisan
Basuki Abdullah, tetapi setelah sampai di rumah orang itu baru sadar bahwa lukisan
yang di belinya tadi adalah lukisan tiruan dari Basuki Abdullah.
4. Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheiden):
ketika seseorang dalam suatu perjanjian dipengaruhi oleh suatu hal yang
menghalanginya untuk melakukan penilaian (judgment) yang bebas dari pihak lainnya,
sehingga ia tidak dapat mengambil putusan yang independen. Penekanan tersebut
dapat dilakukan karena salah satu pihak memiliki kedudukan khusus (misalnya
kedudukan yang dominan atau memiliki yang bersifat fiduciary dan confidence).
• Suatu hal tertentu: Ps 1333 KUH Perdata ayat 1: perjanjian
harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling
sedikit dapat ditentukan jenisnya. Perjanjian harus memiliki
suatu pokok persoalan, bisa berupa benda & jasa, dan
memuat hak & kewajiban kedua pihak.
• Suatu sebab (causa) hukum yang halal: tidak boleh
memperjanjikan sesuatu yang dilarang undang-undang atau
yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai kesopanan
ataupun ketertiban umum.
asas kontrak
• Adalah sumber bagi sistem hukum yang inspiratif mengenai nilai-nilai etis,
moral, dan sosial masyarakat:
1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) Ps 1338:1;
• Memberikan kebebasan untuk membuat atau tidak membuat
perjanjian;
• Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
• Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya,
• Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
2. Asas Konsensualisme (concsensualism) Ps 1338 ayat (2); sepakat:
mengharuskan adanya kata sepakat diantara para pihak yang
membuat kontrak.
3. Asas Iktikad Baik (good faith) Ps 1338 ayat (3):
• Pengertian subjektif: sikap batin seseorang pada saat dimulainya suatu
hubungan hukum berupa perkiraan bahwa syarat-syarat yang telah
diperlukan telah dipenuhi, di sini berarti adanya sikap jujur dan tidak
bermaksud menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dapat merugikan
pihak lain.
• Pengertian obyektif. Itindakan seseorang dalam melaksanakan perjanjian
yaitu pada saat melaksanakan hak dan kewajiban dalam suatu hubungan
hukum. Pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas ketentuan yang
benar: mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Hakim
diberi wewenang untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian, jangan sampai
pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.
• Akibat pelanggaran asas itikad baik: perjanjian itu dapat dimintakan
pembatalan di pengadilan.
4. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda) Ps 1338 (1):
• Para pihak memenuhi apa yang telah merupakan ikatan
mereka satu sama lain dalam kontrak yang mereka buat.
• Menimbulkan kepastian hukum bagi para pihak .
sumber hukum kontrak
A. Civil law:
1. Sumber Hukum Materil: hubungan sosial, kekuatan politik, stuasi sosial ekonomi, tradisi
(pandangan keagamaan dan kesusilaan), hasil penelitian ilmiah, perkebangan
internasional, dan keadaan geografis.
2. Sumber Hukum Formil: Undang-undang, perjanjian antar negara, yurisprudensi, dan
kebiasaan.
B. Anglo saxon (Common Law):
1. Sumber hukum primer: Keputusan hakim (Judicial Opinion), Statuta, dan peraturan lainnya.
2. Sumber hukum Sekunder: Restatement (Menyerupai uu , meliputi; black letter, pernyataan-
pernyataan dari “aturan umum”) & Legal Commentary/Komentar Hukum/ pendapat atau
ajaran-ajaran dari para pakar tentang hukum kontrak
resiko, wanprestasi, keadaan memaksa

• Resiko: kewajiban memikul kerugian jika terjadi sesuatu dengan objek kontrak.

• Wanprestasi: keadaan dimana seorang telah lalai untuk memenuhi kewajiban yang
diharuskan oleh Undang-Undang:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
• Masing-masing pihak yang merasa dirugikan akibat wanprestasi yang dilakukan pihak
lain berhak menggugat ke Pengadilan untuk menuntut ganti rugi, berupa penggantian
biaya, kerugian dan bunga jika ada. Dasar hukumnya Pasal 1243 dan Pasal 1244
KUHPer.
• Penipuan atau wanprestasi: Waktu dan serangkaian kebohongan.
• Keadaan memaksa; overmacht; force majeur ( KUHPer Ps 1244, 1245, 1444,
1445), memenuhi unsur:
1. Peristiwa yang tidak terduga.
2. Tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.
3. Tidak ada itikad buruk dari debitur.
4. Adanya keadaan yang tidak disengaja oleh debitur.
5. Keadaan itu menghalangi debitur berprestasi.
6. Jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan.
7. Keadaan di luar kesalahan debitur.
8. Debitur tidak gagal berprestasi (menyerahkan barang).
9. Kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapapun (baik debitur maupun pihak lain).
10. Debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian.
• Langsung membatalkan perjanjian atau hanya menunda pelaksanaannya
• Force majeur:
1. Force majeur absolut: kewajiban benar-benar tidak dapat
dilaksanakan seluruhnya, misalnya ketika objek benda hancur
karena bencana alam. Pemenuhan prestasi tidak mungkin
dilaksanakan oleh siapapun juga atau oleh setiap orang.
2. Force majeur relatif: perjanjian masih mungkin u dilaksanakan
namun dengan pengorbanan atau biaya yang sangat besar dari
pihak debitur. Harga bahan baku impor menjadi sangat tinggi
atau pemerintah tiba-tiba melarang membawa barang objek
perjanjian keluar dari suatu pelabuhan.
• Akibat force majeur: pengakhiran perjanjian atau penundaan
kewajiban.
macam-macam kontrak
• Dilihat dari hubungan dan kondisi bisnis yang terjadi pada suatu perusahaan:
A. Hubungan bisnis antara perusahaan dengan kontraktor dan mitra bisnis:
1. Perusahaan menjadi pemilik (yang memberikan order kerja) dan kontraktor menjadi
pemborong (yang menerima order kerja). Mulai Perjanjian Pemborongan hingga
Engineering Procurement Construction Contract atau EPC Contract (proyek
infrastruktur yang kompleks dan berskala besar).
2. Hubungan dengan mitra bisnis, perusahaan mempunyai kepentingan yang sama dalam
suatu proyek atau obyek kerjasama bisnis tertentu. Dalam hal suatu proyek, maka
kedua belah pihak melakukan: (i) suatu kerjasama operasi (joint operation; seperti:
Joint Operation Agreement atau Production Sharing Agreement), atau (ii) penyertaan
modal saham (joint venture) dengan mendirikan suatu perusahaan usaha patungan
(joint venture company), yang perjanjiannya disebut Joint Venture Agreement.
3. Dalam obyek kerjasama bisnis tertentu dapat mencakup hal-hal yang sangat luas dan
beragam: ada struktur transaksi pembiayaan proyek, proses alih teknologi atau
pengetahuan tertentu, kepentingan pengembangan/jaringan bisnis, kepentingan
penelitian dan pengembangan serta rekayasa mengenai obyek tertentu, kepentingan
hak milik intelektual.
B. Hubungan bisnis antara perusahaan dengan pemasok:
perjanjian dengan para pemasok barang atau jasa bagi
kepentingan produksi atau operasi bisnis sehari-hari. Biasanya
disebut Supply Agreement.
c. Hubungan bisnis antara perusahaan dengan distributor,
retailer/agen penjualan: perusahaan tidak melakukan penjualan
langsung melalui divisi pemasaran dan penjualannya, maka ia
akan menunjuk pihak lain yaitu distributor atau retailer atau
agen penjualan. Biasanya disebut Distribution Agreement dan
Sales Representative Agreement.
D. Hubungan bisnis antara perusahaan dengan konsumen atau
debitur: konsumen tidak mampu membayar tunai, maka
perusahaan dapat melakukan pembiayaan sendiri terhadap
konsumen yang bersangkutan dengan melakukan perjanjian
jual beli dengan cicilan (Purchase With Installment) atau sewa
beli (Hire Purchase Agreement).
E. Hubungan bisnis antara perusahaan dengan para pemegang
saham: Shareholder Agreement.
F. Hubungan bisnis antara perusahaan dengan kreditur yang
memberikan fasilitas kredit atau pinjaman
kasus

• Apakah Force Majeure dan Hardship dapat Diterapkan


Sebagai Alasan Penundaan atau Pembatalan Prestasi dalam
Kontrak Saat Pandemi?
• Bagaimana solusi untuk debitur dan kreditur terkait
pemenuhan prestasi pada masa pandemi Covid-19 ini?
• Ketentuan force majeure, yaitu Pasal 1244 dan 1245.
• Ps1244 KUHPer: “Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan
bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau
tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal
yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada
itikad buruk kepadanya.”
• Ps1245 KUHPer: “Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila karena
keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang
untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu
perbuatan yang terlarang baginya.”
• Ps1244 KUHPer: force majeure: hal yang tak terduga
• Ps1245 KUHPer hal memaksa: hanya boleh, jika keadaannya menjadi tidak mungkin/
impossible/keadaan memaksa/pelaksanaan prestasi menjadi tidak mungkin,”
• Unsur-unsur keadaan memaksa:
1. Halangan pelaksanaan prestasi /prestasi tidak dapat terlaksana (non
performance).
2. Terjadi di luar kesalahan debitur (tidak ada itikad buruk).
3. Debitur tidak dapat dipertanggungjawabkan/ bukan menjadi bagian dari
resiko yang harus ditanggung oleh debitur.
• Doktrin rebus sic stantibus (perubahan keadaan) baru mempunyai implikasi
hukum pada abad pertengahan yang menjadi bagian dari hukum gereja (canon
law).
• Muncul kembali ketika adanya krisis yang sangat parah akibat perang dunia
kedua.
• Menjadi dasar hukum terjadinya hardship (kesulitan).
• Unsur-unsur hardship (kesulitan):
1. Peristiwa yang secar a fundamental mengubah
keseimbangan.
2. Peristiwanya terjadi atau baru diketahui oleh pihak yang
dirugikan setelah perjanjian disepakati.
3. Peristiwanya secara rasional tidak diprediksi pada saat
perjanjian disepakati.
4. Peristiwanya diluar kontrol pihak yang dirugikan.
5. Resiko dari peristiwa yang terjadi tidak diduga oleh pihak
yang dirugikan.
• Persamaannya: force majeure maupun hardship: peristiwa yang
tidak diduga dan diharapkan terjadi pada saat perjanjian
disepakati, hal tersebut terjadi di luar kesalahan dan resiko
debitur.
• Perbedaan:
1. force majeure menghalangi pelaksanaan prestasi debitur,
sedangkan hardship secara fundamental mengubah
keseimbangan perjanjian.
2. Akibat force majeure tidak terlaksananya perjanjian, akibat
hardship memberikan hak kepada pihak yang dirugikan
untuk menuntut renegosiasi perjanjian.
• 5 Unsur Penting dari Klausula force majeure yang Lazim dalam Perjanjian:

1. Keterlambatan atau tidak terpenuhinya pelaksanaan perjanjian ini disebabkan oleh


hal-hal atau keadaan-keadaan yang tidak terduga yang berada di luar kekuasaan.
2. Prestasi terlambat atau tidak terpenuhi disebabkan hal-hal yang berada di luar
kekuasaan para pihak, yang antara lain memiliki unsur sebagai berikut: ada
kondisi yang tidak dapat dihindari, bukan karena kesalahan dan/atau kelalaian
para pihak, pihak yang terpengaruh akan berusaha melindungi kepentingan
selama keadaan force majeure.
3. Kriteria force majeure: terbuka, tidak sempit karena ada frasa ”termasuk tetapi
tidak terbatas”.
4. Pembebasan dari tanggung jawab selama berlangsungnya Keadaan force
majeure.
5. Para pihak merundingkan tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk
menyelesaikan pelaksanaan perjanjian yang tertunda akibat force majeure.
• Merujuk pada ketentuan 1244 dan 1245 unsur force majeure dalam keadaan Covid-19 ini
sudah terpenuhi. Pertama Pasal 1244 “sesuatu hal yang tak terduga”.
• Saat ini keadaan semua sama-sama susah, perlu kearifan
para pihak untuk mencari win-win solution untuk melakukan
renegosiasi.
• Keppres No. 12/2020 tentang penetapan status bencana
nasional untuk wabah virus corona (Covid-19) menjadi dasar
hukum yang kuat untuk menentukan penetapan status force
majeure.
berakhirnya kontrak
• Selesai atau hapusnya sebuah kontrak yang dibuat antara
dua pihak, yaitu pihak kreditur dan pihak debitur tentang
suatu hal:
1. Dilaksanakan Objek Perjanjian
2. Kesepakatan Kedua Belah Pihak
3. Pemutusan Kontrak Secara Sepihak
4. Putusan Pengadilan
• Pasal 1381 KUHPerdata, prinsipnya pengakhiran perjanjian dapat terjadi karena
terpenuhinya prestasi atau perikatan yang disepakati dan syarat-syarat tertentu dalam
perjanjian dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian:
1. Pembayaran
2. Penawaran pembayaran, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3. Pembaharuan hutang
4. Perjumpaan Hutang atau kompensasi
5. Percampuran Hutang
6. Pembebasan Hutang
7. Musnahnya barang yang terhutang
8. Kebatalan atau pembatalan
9. Berlakunya suatu syarat batal
10. Lewatnya waktu
perjanjian menurut prinsip ekonomi syari'ah
• Pada dasarnya hampir sama dengan asas hukum perjanjian berdasarkan hukum positif yang diatur dalam
KUHPerdata; perbedaan:
1. Nilai objek tidak berubah (konstan); tidak dikenal adanya prinsip time value of money.
2. Trasparan; tidak ada tipu muslihat, semua hak dan kewajiban masing-masing pihak diungkap secara tegas dan
jelas dalam akad perjanjian. Pengungkapan hak dan kewajiban ini terutama yang berhubungan dengan risiko
• Persamaan dengan bisnis konvensional:

3. Teknis penerimaan uang.


4. Mekanisme transfer.
5. Teknologi komputer.
6. Syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan: KTP, NPWP, Proposal, Laporan keuangan, dll.
• Perbedaan:

1. Aspek legal.
2. Struktur organisasi.
3. Usaha yang dibiayai.
4. Lingkungan kerja, dll.
aspek legal transaksi menurut hukum
syari'ah
• Sumber hukum: Al-Qur'an, Al-Hadits, Ijma', Qiyas, dan sumber hukum lainnya yang diakui dalam Islam.

• Akad: ikatan, mengikat(al-rabth); menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada
yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.
• Akad meneurut jumhur 'Ulama: pertalian antara Ijab dan Kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan
akibat hukum terhadap objeknya
• Rukun perjanjian (akad):

1. Ijab (penawaran) & qabul (penerimaan).


2. Shighat al-aqad (pernyataan untuk mengikatkan diri)
3. Al-Ma’qud alaih/mahal a-aqad (objek akad), harus memenuhi persyaratan berupa telah ada pada waktu akad
diadakan, dibenarkan oleh syara’, dapat ditentukan dan diketahui, serta dapat diserahkan pada waktu akad terjadi.
4. Al-Muta’aqidain/al-‘aqidain (pihak-pihak yang berakad), harus mempunyai kecakapan melakukan tindakan hukum
dalam pengertian telah dewasa dan sehat akalnya, apabila melibatkan anak-anak maka harus diwakili oleh seorang
wali yang harus memenuhi persyaratan berupa kecakapan, persamaan agama antara wali dengan yang diwakili,
adil, amanah, dan mampu menjaga kepentingan orang yang berada dalam perwaliannya.
5. Maudhu’ al-aqad (tujuan akad), harus ada pada saat akad akan diadakan, dapat berlangsung hingga berakhirnya
akad dan dibenarkan secara syariah, dan apabila bertentangan akan berakibat pada ketidakabsahan dari
perjanjian yang dibuat.
• Syarat subyek akad dan obyek akad.

1. Subyek akad:
• Badan hukum
• Pribadi-pribadi baik manusia:
A. aqil (berakal/dewasa)
B. tamyiz (dapat membedakan) sebagai tanda kesadaran.
C. mukhtar (bebas melakukan transaksi/bebas memilih).
2. Obyek akad:
A. Telah ada pada waktu akad diadakan, karena sebab akibat hukum akad tidak mungkin
bergantung pada sesuatu yang belum ada.
B. Dapat menerima hukum akad/dibenarkan oleh syariah
C. Dapat ditentukan dan diketahui, obyek akad harus diketahui dengan jelas fungsi, bentuk
dan keadaannya oleh para pihak.
D. Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi, obyek berupa jasa, obyek tersebut benar-
benar di bawah kekuasaan yang sah dari pihak yang berakad. Obyek ini telah wujud, jelas
dan dapat diserahkan pada saat terjadinya akad.
• Syarat sahnya perjanjian:

1. Tidak menyalahi hukum syariah; prinsipnya bebas membuat perjanjian tetapi dibatasi tidak
bertentangan dengan syariah Islam baik yang terdapat dalam Alquran maupun Hadist.
Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka akan mempunyai konsekuensi yuridis perjanjian yang
dibuat batal demi hukum. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai
syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kausa
halal.
2. Harus sama ridha dan ada pilihan, syarat ini mengandung pengertian perjanjian harus
didasari pada kesepakatan para pihak secara bebas dan sukarela, tidak boleh mengandung
unsur paksaan, kekhilafan maupun penipuan. Apabila syarat ini tidak terpenuhi dan belum
dilakukan tindakan pembatalan maka perjanjian yang dibuat tetap dianggap sah. Syarat
sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kesepakatan (konsensualisme).
3. Harus jelas dan gamblang, sebuah perjanjian harus jelas apa yang menjadi obyeknya, hak
dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Apabila syarat ini tidak terpenuhi
maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum sebagai konsekuensi
yuridisnya. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan adanya obyek tertentu.
• Apabila salah satu syarat tidak dapat terpenuhi mempunyai konsekuensi yuridis terhadap perjanjian
tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
• Asas-asas hukum perjanjian dalam konteks Hukum Islam :

1. Al-Hurriyah (kebebasan), QS. Al-Baqarah ayat 256. Asas ini mengandung pengertian para pihak bebas
membuat suatu perjanjian atau akad (freedom of making contract). Asas al-hurriyah ini dikenal sebagai
asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata.
2. Al-Musawah (persamaan atau kesetaraan), QS Al-Hujurat ayat 13. asas ini mengandung pengertian
bahwa para pihak dalam perjanjian mempunyai kedudukan yang sama yaitu mempunyai kesetaraan atau
kedudukan yang seimbang dalam menentukan term of condition dari suatu akad. Asas ini menunjukkan
bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law) dan
yang membdakan kedudukan seseorang di sisi Allah adalah derajat ketakwaannya.
3. Al-Adalah (keadilan), perjanjian yang dibuat senantiasa mendatangkan keuntungan yang adil dan
berimbang dan tidak boleh mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak.
4. Al-Ridha (kerelaan), QS. An-Nissa ayat 29, segala transaksi yang dilakukan atas dasar kerelaan antara
masing-masing pihak dan didasarkan pada kesepakatan bebas dari para pihak dan tidak boleh
mengandung unsur paksaan, tekanan, dan penipuan. Asas ini dikenal dengan asas konsensualisme
dalam hukum Perdata.
5. Ash-Shidq (kebenaran dan kejujuran), QS. Al-Ahzab ayat 70, setiap muslim wajib untuk berkata benar
dan jujur terutama dalam hal melakukan perjanjian dengan pihak lain, sehingga kepercayaan menjadi
sesuatu yang esensial demi terlaksananya suatu perjanjian atau akad.
6. Al-Kitabah (terulis), QS. Al-Baqarah ayat 282-283, setiap perjanjian hendaknya dibuat secara tertulis
untuk kepentingan pembuktian jika di kemudian hari terjadi sengketa dan dalam pembuatan perjanjian
tersebut hendaknya disertai dengan adanya saksi-saksi serta prinsip tanggung jawab individu. Bentuk
tertulis ini dimaksudkan apabila terjadi sengketa di kemudian hari terdapat alat bukti tertulis mengenai
sengketa yang terjadi.
• Akad/perjanjian dalam sektor ekonomi:

1. Akad Mu’awadah Tabarru’; tujuan mendapatkan imbalan berupa keuntungan:


A. Jual beli (al-murabahah dengan mark up, salam, isthisna).
B. Bagi hasil (al-mudharabah dan al-musyarakah).
C. Akad yang berdasarkan prinsip sewa-menyewa (ijarah dan ijarah wa isthisna).
2. Akad Tabarru’; transaksi nonprofit:
A. Al-qard (menolong)
B. Ar-rahn (gadai)
C. Hiwalah (pemindahan utang)
D. Wakalah (tanggungan)
E. Kafalah (tanggungan)
F. Wadi’ah (titipan)
G. Hibah, hadiah, waqaf, dan shodaqah.
bentuk & penulisan kontrak
A. Bagaimanakah format perjanjian tertulis (kontrak) yang
standar?
B. Hal-hal apa sajakah yang minimal diatur di dalam suatu
perjanjian (kontrak)?
C. Bagaimanakah suatu perjanjian (kontrak) dikategorikan
cacat hukum?
D. Kiat-kiat apa sajakah yang diperlukan di dalam membuat
suatu perjanjian (kontrak) agar menghindari konflik atau
perselishan?
A. Pada dasarnya, tidak ada format baku atau standar tertentu yang ditentukan
dalam pembuatan suatu perjanjian/kontrak karena Indonesia menganut asas
kebebasan berkontrak (lihat Pasal 1338 KUHPer).
B. Pada dasarnya suatu perjanjian dapat dibuat secara bebas di antara para
pihak yang mengikatkan diri.
C. Pasal 1320 KUH Perdata: sepakat, cakap, sebab tertentu, halal.
D. Klausula eksonerasi (pengecualian); pada perjanjian kredit bank,
mencantumkan syarat sepihak. Klausula ini menyatakan bahwa Bank sewaktu-
waktu diperkenankan untuk mengubah (menaikan/menurunkan) suku bunga
pinjaman (kredit) yang diterima oleh Debitur, tanpa pemberitahuan atau
persetujuan dari debitur terlebih dahulu. Dengan kata lain, ada kesepakatan
bahwa debitur setuju terhadap segala keputusan sepihak yang diambil oleh
Bank untuk mengubah suku bunga Kredit, yang telah diterima oleh Debitur
pada masa/jangka waktu perjanjian kredit berlangsung.

Anda mungkin juga menyukai