2017
MODUL 05
Modul 5 Hidrologi dan Hidrolika Sungai
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
pengembangan Modul Hidrolika dan Hidrologi Sungai sebagai materi inti/substansi
dalam Pelatihan Pengendalian Banjir. Modul ini disusun untuk memenuhi
kebutuhan kompetensi dasar Aparatur Sipil Negara (ASN) di bidang SDA.
Modul hidrolika dan hidrologi sungai disusun dalam 3 (tiga) bagian yang terbagi
atas Pendahuluan, Materi Pokok, dan Penutup. Penyusunan modul yang
sistematis diharapkan mampu mempermudah peserta pelatihan dalam memahami
hidrolika dan hidrologi sungai. Penekanan orientasi pembelajaran pada modul ini
lebih menonjolkan partisipasi aktif dari para peserta.
Akhirnya, ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada Tim
Penyusun dan Narasumber, sehingga modul ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penyempurnaan maupun perubahan modul di masa mendatang senantiasa
terbuka dan dimungkinkan mengingat akan perkembangan situasi, kebijakan dan
peraturan yang terus menerus terjadi. Semoga Modul ini dapat memberikan
manfaat bagi peningkatan kompetensi ASN di bidang SDA.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................ii
DAFTAR TABEL......................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................v
PETUNJUK PENGGUNAAN...................................................................................vi
PENDAHULUAN......................................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................................1
B. Deskripsi Singkat................................................................................................1
C. Tujuan Pembelajaran.........................................................................................1
D. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok..................................................................2
E. Estimasi Waktu...................................................................................................2
MATERI POKOK 1 HIDROLOGI DAN HIDROLIKA SUNGAI................................3
1.1 Banjir Rencana...................................................................................................3
1.1.1 Hubungan Empiris Curah Hujan-Limpasan...........................................3
1.1.2 Cara Hidrograf Satuan Synder............................................................17
1.1.3 Pengamatan Langsung di Lapangan..................................................18
1.1.4 Debit Dominan.....................................................................................19
1.1.5 Periode Ulang......................................................................................21
1.1.6 Cara Sederhana Perhitungan Debit Banjir..........................................27
1.2 Aliran Steady dan Unsteady.............................................................................30
1.2.1 Aliran Tunak (Steady Flow).................................................................30
1.2.2 Aliran Tidak Tunak (Unsteady Flow)...................................................47
1.3 Flood Routing...................................................................................................56
1.4 HEC-HMS, HEC RAS......................................................................................57
1.5 Latihan..............................................................................................................58
1.6 Rangkuman......................................................................................................58
PENUTUP...............................................................................................................59
A. Simpulan..........................................................................................................59
B. Tindak Lanjut....................................................................................................59
EVALUASI FORMATIF..........................................................................................60
A. Soal..................................................................................................................60
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi iii
Modul 5 Hidrologi dan Hidrolika Sungai
DAFTAR TABEL
12
15
16
28
DAFTAR GAMBAR
4
11
14
15
17
19
25
29
29
30
32
34
36
38
40
41
42
49
51
52
54
55
PETUNJUK PENGGUNAAN
Deskripsi
Modul hidrolika dan hidrologi sungai ini terdiri dari 1 (satu) materi pokok yang
membahas hidrolika dan hidrologi sungai.
Persyaratan
Dalam mempelajari modul ini, peserta pelatihan diharapkan dapat menyimak
dengan seksama penjelasan dari pengajar, sehingga dapat memahami dengan
baik materi yang merupakan materi inti/substansi dari Pelatihan Pengendalian
banjir. Untuk menambah wawasan, peserta diharapkan dapat membaca terlebih
dahulu materi yang berkaitan dengan hidrolika dan hidrologi sungai dari sumber
lainnya.
Metode
Dalam pelaksanaan pembelajaran ini, metode yang dipergunakan adalah dengan
kegiatan pemaparan yang dilakukan oleh Pengajar/Widyaiswara/Fasilitator,
adanya kesempatan diskusi dan On The Job Training (OJT).
Alat Bantu/Media
Untuk menunjang tercapainya tujuan pembelajaran ini, diperlukan Alat
Bantu/Media pembelajaran tertentu, yaitu: LCD/projector, Laptop, white board
dengan spidol dan penghapusnya, bahan tayang, serta modul dan/atau bahan
ajar.
Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti seluruh rangkaian pembelajaran, peserta diharapkan mampu
memahami hidrologi dan hidrolika sungai.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi vii
Modul 5 Hidrologi dan Hidrolika Sungai
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pegawai Negeri Sipil mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka
pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana
tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dengan semakin bertambahnya volume dan kompleksitas tugas-
tugas lembaga pemerintahan dan silih bergantinya regulasi yang begitu cepat
perlu upaya-upaya preventif untuk memperlancar tugas-tugas yang harus
diemban oleh Pegawai Negeri Sipil.
B. Deskripsi Singkat
Mata pelatihan ini membekali peserta pelatihan dengan pengetahuan/wawasan
mengenai hidrologi dan hidrolika sungai, melalui metode ceramah interaktif,
diskusi dan On The Job Training (OJT). Keberhasilan peserta pelatihan dinilai dari
kemampuan memahami hidrologi dan hidrolika sungai.
C. Tujuan Pembelajaran
1. Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti seluruh rangkaian pembelajaran, peserta diharapkan
mampu memahami hidrologi dan hidrolika sungai.
2. Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti pembelajaran, peserta diharapkan mampu menjelaskan
hidrologi dan hidrolika sungai.
E. Estimasi Waktu
Alokasi waktu yang diberikan untuk pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk
mata pelatihan “Hidrologi dan Hidrolika Sungai” ini adalah 10 (sepuluh) jam
pelajaran (JP) atau sekitar 450 menit.
DAS kurang dari 200 acres atau + 81 ha (Subarkah, 1980; Grigg, 1996),
dengan persamaan:
Q=0 .278 CIA 1.1
dimana:
C = koefisien run-off (dari tabel atau dengan rumus) besarnya antara 0 - 1.
I = intensitas maksimum selama waktu konsentrasi (mm/jam)
A = luas daerah aliran (km2)
Q = debit maksimum (m3/detik)
2. Metode weduwen
Qn =α∗β∗qn∗ A 1.3
dimana:
4 .1
α=1−
βq+7 1.4
t +1
120+ t +9 A
β=
120+ A 1.5
Rn 67. 65
q n=
240 t + 1. 45 1.6
−0 . 125 −0. 25
t=0 .25 LQ I 1.7
dimana:
Qn = debit banjir (m3/det) dengan kemungkinan tak terpenuhi n%
Rn = curah hujan harian maksimum (mm) dengan kemungkinan tak terpenuhi
n%
= koefisien limpasan air hujan (angka pengaliran atau koefisien run-off (tak
berdimensi)
= koefisien pengurangan daerah untuk curah hujan DAS
Debit puncak dapat dicari dengan interpolasi dari grafik. Untuk sungai yang
panjangnya lebih besar dari Persamaan 1.9, harga debit puncak yang diambil
dari grafik tersebut terlalu tinggi. Harga-harga debit puncak Q o dari grafik
tersebut dapat dipakai sebagai harga awal untuk proses perhitungan yang
dilakukan berulang-ulang pada langkah b dan langkah c.
100
90
80 R = 80 m m
70
60
50
40
30
20
10
9
8
7
6
3
2
A d a la m k m
1
2 3 4 5 6 8 10 20 30 40 50 60 80 100
3
Q d a la m m /d t
100
90
80
R = 120 m m
70
60
50
40
30
01
0 .0 0
0 .0 0 0 2
20
0 .0 0 0 3
0 .0 0
05
1 =
1
0 .0 0
2
0 .0 0
0 . 0 00 0 3
5
0.
0 .0 1
0 02
0 . 0. 05 3
0.
0 .1
10
9
8
7
6
3
2
A d a la m k m
1
4 5 6 8 10 20 30 40 50 60 80 100 200 300
3
Q d a la m m / d t
100
90
80
R = 160 m m
70
60
50
40
30
20
10
9
8
7
6
3
2
A d a la m k m
1
6 8 10 20 30 40 50 60 80 100 200 300 400
3
Q d a la m m /d t
100
90
80
R = 200 m m
70
60
50
40
30
20
10
9
8
7
6
3
2
A d a la m k m
1
8 10 20 30 40 50 60 80 100 200 300 40 0 600
3
Q d a la m m /d t
100
90
80
R = 240 m m
70
60
50
40
30
20
10
9
8
7
6
3
2
A d a la m k m
1
10 20 30 40 50 60 80 100 200 300 400 600 800
3
Q d a la m m / d t
3. Metode melchior
Q=α∗β∗q∗A 1.10
dimana:
Q = debit maksimum (m3/detik)
= koefisien limpasan air hujan (angka pengaliran atau koefisien run-off (tak
berdimensi) tergantung tata guna lahan seperti dalam
.
= angka reduksi (tak berdimensi)
q = intensitas hujan terpusat maksimum di DAS m3/det/km2.
A = luas DAS (km2)
Tabel 1.1 - Besarnya nilai untuk berbagai jenis tata guna lahan
Kelompok hidrologis tanah
No. Tanah Penutup
C D
1. Hutan lebat (vegetasi dikembangkan dengan baik) 0,60 0,70
2. Hutan dengan kelebatan sedang (vegetasi 0,65 0,75
dikembangkan dengan cukup baik)
3. Tanaman ladang dan daerah-daerah gundul 0,75 0,75
(terjal)
Kelompok D:
(Potensi limpasan air hujan tinggi), tanah dengan laju infiltrasi sangat rendah,
terutama terdiri dari tanah lempung dengan potensi mengembang (expansive)
yang tinggi, tanah dengan muka air tanah yang tinggi dan permanen, tanah
dengan lapis lempung penahan (claypan) atau dekat permukaan serta tanah
dangkal diatas bahan yang hampir kedap air. Laju transmisi air jenis tanah ini
sangat lambat.
Angka q diambil mulai dari intensitas hujan rata-rata sampai waktu terjadinya
debit puncak. Periode ini adalah waktu konsentrasi T terhitung dari mulainya
hujan turun. q disebut juga sebagai intensitas hujan terpusat (point raiinfall)
lalu dikonversi menjadi luas daerah hujan βq. Dalam Gambar I.3 luas daerah
curah hujan βq (m3/dt/km²) diberikan sebagai fungsi waktu dan luas untuk
curah hujan sehari sebesar 200 mm.
20 F=15
20 2
10
0
25
F = Daerah h ujan dala mkm
30
15
0 40
Sa h ih /b e rla ku u ntu k
q D ae ra h hu j an d al a m m 3/d t/k m2
5 50
F =1 c ura h hu j a n s eh a ri R (1)
2
20
0
4
d a ri 2 0 0 m m /h a ri
75 6
25
0 10
100
15
30
0
20
25
150
40
0
40
0 200 50
50
0
250 75
300 100
75
0
400 150
1000 200
500
300
750
1500 400
2000 1000 500
5 2500
1500 750
3500
2000
2500 1000
1500
5000 3500
2000 F= 1
7500 5000 2500 50100
7500 3500
10000 5000
500
10000 1000
10000 2500
5000
0 F=10000
0 1 5 3 0 4 5 60 1 2 3 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Lamanyadalamjam
q Da era h hu j an da l am m 3/dt/km 2
4
F=1
50
100
3 F=1
500 10
0
2 500
10
00
25
00
50
00 25
00
1 75
00 5000
10
000 1000
0
0
14 15 1 6 17 1 8 19 2 0 20 2 2 2 4 2 5 28 3 0 3 2
3 4 36 3 8 4 0 42 44 46 48
L am a ny a d al a m j a m
Contoh penentuan luas ellips F dalam suatu DAS diilustrasikan dalam Gambar
I.4.
13.8km
13.8 km
20.0km 20.0km
+ 750m
+700 m
H = 6 00 m
+ 10 0 m
datu m + 0 m
0. 1L 0.9 L
L =50 km
Bilamana hujan kurang dari sehari maka perbandingan untuk waktu hujan
kurang dari sehari (atau kurang dari 24 jam) dengan hujan maksimum disebut
2. Hubungan F dan 2 oleh Melchior ditunjukkan dalam Tabel 1.2.
Pada kondisi ini maka angka reduksi yang dipakai adalah = 1x2.
Dimana:
Β1 = angka reduksi untuk hujan sehari
β2 = angka reduksi untuk hujan kurang dari sehari
T L=C t ( L. Lca ) 0. .3
1.13
Ds
T p=T L +
2 1.14
TL
Ds = =0 . 182T L
5. 5 1.15
640 C p A
Q p=
TL 1.16
dimana:
TL = time lag dalam jam yaitu interval waktu yang diperlukan untuk
mencapai puncak dari pusat hujan efektif.
L = panjang aliran dari titik terjauh dari A sampai outlet (mil)
Lca = jarak antara centroid dengan mulut aliran (mil)
CL = koefisien (1.8 - 2.2)
Qp = debit (cfs)
A = luas daerah tangkapan (mil2)
Dokumentasi pengamatan langsung ditunjukkan dalam Gambar I.6. Cara ini cukup
efektif untuk dipakai sebagai pembanding dengan metode-metode perhitungan
yang dipakai.
Ranga Raju, 1977). Data yang diambil baik dari lab maupun lapangan merupakan
data dengan kondisi aliran seragam, saluran lurus, penampang seragam dan debit
konstan untuk waktu yang lama. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis ulang
atau justifikasi dengan kondisi data primer yang ada.
Sungai aluivial alami menunjukkan banyak karakteristik untuk saluran stabil yang
ideal. Di samping itu, sungai alam akan membawa air dan sedimentasi dengan
variasi debit yang cukup besar. Sebagai contoh, di daerah hulu perbedaan debit
maksimum dan minimum akan nampak jelas terutama pada waktu musim
penghujan dan musim kemarau. Rasio perbedaan debit bisa mencapai angka
hingga 1.000 kali. Sehingga dengan perbedaan ini perlu pengetahuan untuk
justifikasi aplikasi hubungan dan perbedaan tersebut karena dengan perbedaan
debit yang besar akan menyulitkan penentuan sebuah debit yang representatif
dalam mengkaji karakteristik aliran.
Banyak metode telah dikembangkan untuk pemilihan debit representatif ini. Salah
satu metode adalah konsep debit dominan. Menurut Inglis (1947) adalah debit dan
gradien (kemiringan) dominan yang mana saluran kembali setiap tahun. Pada
kondisi ini kesimbangan terjadi dengan kecenderungan berubah relatif sangat
kecil. Kondisi ini dapat dipandang sebagai efek yang integral dari semua kondisi
yang bermacam-macam dalam tempo yang relatif panjang.
Beberapa definisi debit dominan dalam beberapa cara telah diungkap banyak
pakar, diantaranya:
Sebagai debit yang steady (tunak) secara hipotetis yang mana debit ini akan
menghasilkan produk yang sama dengan bermacam-macam debit pada kondisi
nyata di lapangan dalam kaitannya dengan dimensi sungai rata-rata (Inglis,
1947).
Blench (1956) mendefinisikan debit dominan sebagai debit dengan
kemungkinan terjadi sama atau lebih besar 50 % waktu (dapat disebut debit
dengan kala ulang 2 tahunan).
Sebagai contoh bila dipakai data 10 tahun terakhir dengan 2011 sebagai waktu
data yang terakhir, maka data diambil mulai pada Tahun 2001 sampai Tahun
2011. Pada tahun ini misal data curah hujan harian maksimum terjadi pada 20
Januari, maka dari Tahun 2011 diperoleh satu data. Bila rentang waktu 10 tahun
maka akan diperoleh 10 data curah hujan harian maksimum mulai dari Tahun
2001 sampai Tahun 2011. Sesudah data dikompilasi maka dilakukan analisis
secara statistik.
Pengertian Q25 tidak berarti terjadi banjir setiap 25 tahun. Analisis periode ulang
debit menggunakan ilmu statistik dalam menentukan besaran tersebut, yaitu
dalam konsep analisis kemungkinan (probability). Pemahamam analisis itu
diungkapkan dalam dua contoh berikut: ambil sebuah dadu, kemudian lemparkan
dadu itu. Bila menginginkan angka dua yang keluar, maka dengan mudah sekali
kita lihat bahwa kemungkinannya adalah 1/6 atau enam belas dua pertiga persen.
Kapan akan keluar angka dua, tidak diketahui waktunya. Contoh berikutnya, bila
kita akan bepergian mengendarai mobil, maka pada saat sebelum berangkat kita
tidak tahu apa yang bakal terjadi di tengah jalan (uncertainty). Yang kita harapkan
adalah semoga dapat selamat sampai tujuan. Dari pernyataan “semoga dapat
selamat sampai tujuan”, secara tersirat kita sudah mempunyai padangan atau bisa
menerima bahwa kecelakaan mungkin bisa terjadi. Artinya kita bisa menerima
adanya unsur risk factor (Kodoatie, 1995a dan 2001a).
Di sini terlihat bahwa, semakin besar dan banyak usaha atau tindakan kita, maka
semakin kecil peluang/kemungkinan terjadinya kecelakaan, walaupun tidak bisa
kita jamin 100 % selamat. Tetapi, biaya atau dana yang kita butuhkan menjadi
semakin besar. Batasan usaha dan tindakan kita, bergantung pada kemampuan
khususnya dana yang kita miliki. Bisa saja kita membuat mobil yang super kuat,
namun dari kacamata ekonomi tidak layak (feasible).
Ada dua prinsip dasar yang harus dipahami. Pertama, misal intensitas hujan I
dianalisis dengan periode ulang dua puluh lima tahunan kemungkinan atau
peluang untuk I setiap tahunnya adalah 1/25 atau empat persen. Untuk I lima
puluh tahunan, kemungkinan terjadi setiap tahunnya adalah 1/50 atau dua persen,
dan untuk I seratus tahunan 1/100 atau satu persen. Kemungkinan atau peluang
yang terjadi setiap tahunnya akan semakin kecil bila kala ulangnya semakin besar.
Kedua bila kita menggunakan I rencana dengan kata ulang dua puluh lima
tahunan (I25) pada perencanaan sungai, tidak berarti tahun berulangnya adalah
tiap dua puluh lima tahun, tetapi terdapat kemungkinan dalam seribu tahun
misalnya akan terjadi empat puluh kejadian dengan I sama atau lebih besar dari I
dengan kala ulang dua puluh lima tahunan.
Debit merupakan fungsi dari I, sehingga bila kita memakai I dengan kala ulang
dua puluh lima tahunan (I 25) maka debit juga dengan kala ulang dua puluh lima
tahunan (Q25). Pengertian Q25 adalah sama dengan pengertian I 25, yaitu bahwa Q25
tidak berarti tahun berulangnya adalah tiap dua puluh lima tahun, tetapi terdapat
kemungkinan dalam seribu tahun misalnya akan terjadi empat puluh kejadian
dengan Q sama atau lebih besar dari Q dengan kala ulang dua puluh lima
tahunan. Demikian pula dalam waktu seratus tahun akan terjadi 4 kejadian
dengan Q sama atau lebih besar dengan Q 25. Kapan terjadinya tidak diketahui,
namun setiap tahun besar kemungkinannya adalah 1/25 atau 4% (Kodoatie,
1995a dan 2001a). Dengan kata lain Q25 tidak berarti banjir berulang yang terjadi
setiap 25 tahun demikian pula untuk Q 5 tidak berarti banjir berulang setiap 5 tahun
sekali.
Misal debit rencana dipakai debit dengan priode (kala) ulang 100 tahun maka
besarnya kemungkinan terjadi banjir dengan debit besaran sesuai kala ulang
tersebut (Q100) yang terjadi setiap tahunnya sama dengan 1/100 atau 1%. Untuk
kala ulang 25 tahun kemungkinan terjadi banjir dengan debit besaran sesuai kala
ulang tersebut (Q25) sama dengan 1/25 atau 4%.
Dari uraian tersebut, maka kala ulang dapat didefinisikan sebagai interval waktu
dari suatu peristiwa yang mencapai suatu harga tertentu atau melampaui harga
tersebut. Umumnya data hidrologi yang dipakai sebagai dasar perhitungan I
rencana, adalah data curah hujan harian maksimum tahunan yang hanya terjadi
sekali setiap tahunnya. Maka fungsi waktunya adalah tahunan.
Sebagai contoh untuk pengendalian banjir suatu daerah, sungai yang menjadi
sumber terjadi banjir di desain untuk:
Periode ulang 100 Q100 dengan biaya pengendalian banjir untuk peninggian
tanggul sungai Rp. 250 Milyard.
Daerah yang dilindungi secara skematis ditunjukkan dalam Gambar I.7. Semakin
besar periode ulang maka biaya yang dibutuhkan juga makin besar, namun
kemungkinan banjir terlampau (melimpas tanggul) tiap tahun makin kecil karena
tanggul semakin tinggi dan besar, sehingga dapat dikatakan bahwa untuk:
Q100 biaya Rp. 250 Milyard dan kemungkinan banjir terlampau tiap tahun adalah
1/100 = 1 %.
Q50 biaya Rp. 125 Milyard dan kemungkinan banjir terlampau tiap tahun adalah
1/50 = 2 %.
Q25 biaya Rp. 75 Milyard dan kemungkinan banjir terlampau tiap tahun adalah
1/100 = 4 %.
daerah yang
1 adalah tinggi tanggul untuk Q100
diamankan
2 adalah tinggi tanggul untuk Q50
3 adalah tinggi tanggul untuk Q25
Gambar I.7 - Sketsa dan contoh daerah yang terkena banjir dan
tanggul pengaman (pelindung)
Mengingat besaran intensitas I (mm/jam) yang disebabkan oleh curah hujan R
(mm) merupakan hasil dari suatu proses alam yang mengikuti siklus hidrologi,
besarnya tidak bisa diduga, hanya Tuhan Yang Maha Esa yang tahu. Ramalan
cuaca di televisi setiap hari, sebenarnya juga telah mengakui keterbatasan
manusia untuk menganalisis peristiwa alam secara eksak. Hujan yang terjadi di
kota-kota di Indonesia, yang bisa menyebabkan banjir, oleh badan meteorologi
diramal. Istilah “diramal”, mengandung konotasi bisa terjadi dan bisa tidak. Di sini
kita berbicara lagi tentang kemungkinan (probability).
Namun dari data atau peristiwa lampau yang kita rekam, hujan-hujan terbesar
yang menyebabkan banjir maksimum bila dilihat proses fenomenanya akan
mempunyai kejadian berulang. Data lampau yang ada, kita proses berdasar
analisis hidrologi untuk meramal dan memperkirakan besarnya debit dengan
periode ulang yang kita inginkan.
Secara ideal, dalam kajian studi kelayakan suatu proyek analisis yang dilakukan
banyak sekali dan sangat beragam, namun pada prinsipnya dapat dikelompokan
menjadi enam aspek. Yaitu aspek-aspek teknis, ekonomi, sosial-budaya, hukum,
kelembagaan dan lingkungan. Aspek-aspek itu berpengaruh terhadap manfaat
dan terhadap sumber dana yang ada. Analisis teknis akan menghasilkan kekuatan
dan stabilitas dari bangunan yang direncanakan, sehingga dapat diketahui umur
bangunan, aspek ekonomi akan mengkontribusi keuntungan (benefit) yang
diperoleh dari pembuatan proyek tersebut, aspek sosial-budaya akan memberikan
jawaban manfaat dan risiko/respon positif dan negatif terhadap masyarakat.
Aspek hukum berupa norma, standard, pedoman dan manual (NSPM), aspek
kelembagaan berupa peran-peran institusi serta aspek lingkungan mempelajari
dampak positif dan negatif akibat adanya proyek tersebut. Semua aspek tersebut,
dianalisis dan dioptimasi sehingga muncul suatu pertanyaan apakah proyek
tersebut layak dilaksanakan.
Pengendalian banjir tidak berarti suatu daerah bebas banjir, tetapi lebih mengarah
kepada usaha untuk mengurangi risiko banjir serta penanggulangannya. Usaha-
usaha sistem pengendalian banjir, juga menelusuri kajian analisis seperti di atas
dengan memakai tolok ukur periode ulang tertentu.
Dari analisis teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dikaitkan dengan
analisis risiko (risk of failure), para penentu kebijakan dan perencana berusaha
untuk mendapatkan nilai yang optimal sehingga dapat dihitung periode ulang yang
akan dipakai.
Di Jakarta misalnya, dipakai debit banjir rencana (dihitung dari I rencana) dengan
periode ulang 50 tahunan (Q50). Karena dengan padatnya penduduk dan segala
fasilitas serta utilitasnya, risiko kerugian jiwa, harta benda, dan materi akan lebih
besar bila dibandingkan dengan suatu daerah rural yang sedikit atau bahkan tak
ada penduduknya. Di daerah itu bisa dipakai kala ulang yang lebih kecil, misalnya
Q 5 tahunan (Q5); karena bila terjadi banjir lebih besarpun, risiko kerugiannya
secara ekonomi dan sosial akan lebih kecil.
Persamaan tersebut hanya berlaku untuk luas DAS kurang dari 100 km 2. Untuk
luas DAS yang lebih besar dari 1.000 km2 atau bahkan di atas 10.000 km2, tidak
menghasilkan solusi yang akurat.
Beberapa pendekatan perhitungan debit dengan luas DAS lebih dari mulai dari <
10 km2 sampai > 10.000 km2 diuraikan berikut ini.
Tabel 1.4 - Hubungan luas DAS dan debit ekstrim di Canada (Watt, 1989)
DAS Debit DAS Debit
No. No.
km2 m3/det km2 m3/det
1 7 127 12 11.300 6.300
2 69 428 13 15.100 7.640
3 117 500 14 17.200 5.660
4 181 1.180 15 19.200 9.460
5 347 807 16 19.700 4.670
6 800 1.280 17 35.200 8.810
7 1.130 1.250 18 43.500 6.630
8 1.340 1.840 19 50.200 9.200
9 3.480 2.400 20 65.300 8.290
10 5.050 2.790 21 186.000 15.500
11 9.350 7.930 22 277.000 16.200
Bila tabel tersebut dibuat grafik maka hasilnya ditunjukkan dalam Gambar I.8.
Gambar I.9 adalah grafik hubungan debit maximum dengan luas DAS untuk lebih
dari 150 lokasi pengamatan di sungai-sungai Canada yang disuper imposed dan
dibuat Plot Creager (Watt, 1989; Creager et al., 1945). Gambar I.10 menunjukkan
variasi hubungan debit tahunan maximum dengan luas DAS untuk sungai-sungai
di Quebec, Canada.
Gambar I.8 - Hubungan luas DAS dan debit ekstrim di Canada (Watt, 1989)
Gambar I.10 - Variasi hubungan debit tahunan maximum dengan luas DAS
untuk sungai-sungai di Quebec, Canada (Watt, 1989)
∂v ∂y
v +g =g ( S o −S f )
∂x ∂x 1.19
Kedua persamaan di atas berlaku pada aliran terbuka dengan asumsi sebagai
berikut:
Aliran tunak (steady flow)
Satu dimensi (percepatan vertikal dapat diabaikan)
Saluran terbuka
tidak termampatkan konstan
Saluran prismatik dan persegi panjang
Kemiringan dasar saluran sangat kecil (sin tan dan d y)
Saluran lurus
Tidak ada aliran lateral
Lebar saluran konstan
Dari Persamaan Persamaan 1.18 kita dapat mengatakan bahwa debit aliran
konstan. Dari Persamaan 1.19 aliran pada saluran terbuka dapat dibagi lagi
menjadi:
aliran seragam tunak (steady uniform flow)
aliran tidak seragam tunak (unsteady uniform flow):
- aliran berubah cepat (steady rapidly varied flow)
- aliran berubah lambat laun (steady gradually varied flow)
Pada sub-bab ini akan dijelaskan lebih rinci masing-masing jenis aliran untuk
kondisi tunak. Persamaan yang dipakai, aplikasi di lapangan dan contoh-contoh
perhitungan sederhana juga akan akan diberikan.
Namun dari segi teoritis aliran seragam tunak sangat penting untuk dipakai
sebagai dasar perencanaan saluran. Pada saluran irigasi aliran seragam
tunak dipakai sebagai salah satu alat untuk mendesain saluran stabil dan
ekonomis. Untuk mempermudah analisis perhitungan sedimentasi, aliran pada
saluran/ sungai terbuka diasumsikan sebagai aliran seragam tunak.
Konfigurasi dasar saluran yang berbeda-beda sepanjang saluran (yang
mengakibatkan perlawanan aliran berbeda-beda) juga mempengaruhi analisis
aliran ini.
Kesimpulan dari uraian di atas ialah bahwa tingkat akurasi dalam perhitungan
aliran ini tidak bisa mencapai 100%. Pengalaman lapangan dari seorang ahli
hidrolik cukup berpengaruh dalam perencanaan saluran ekonomis dan stabil.
d. Analisis sensitivitas
Analisis ini adalah melakukan perhitungan desain untuk suatu jangkauan
nilai n tertentu. Dari hasil yang cukup banyak maka dapat dipilih
perencanaan yang mempunyai banyak (dominan) nilai n yang hampir sama
untuk dipakai pada aplikasi pembangunannya.
2
Q=cd √ 2 g bh 3/ 2
3 1.29
Experiment menunjukkan bahwa Q 60% Qt dan umumnya besarnya Cd
0.61 (Hicks, 1990) Rechbock (1929) mengusulkan besarnya cd adalah (lihat
Gambar I.15)
h h
c d ≃0 . 611+0 . 08 <5
w untuk w 1.30
Untuk w ~ (besar sekali/tak terhingga) C d 0.611 dan dengan g =
9.81m/detik2 maka Persamaan 1.29 dapat ditulis menjadi
Q≃1 ,71bh 3/ 2 1.31
dH
=−S f
dx atau dH=−S f dx 1.38
Persamaan 1.36 menunjukkan bahwa aliran dari x 1 ke x2 menyebabkan
kehilangan total energi sebesar H=LSf seperti ditunjukkan dalam gambar
berikut ini. Persamaan untuk kondisi ini adalah
H 1=H 2 + LS f 1.39
[ ( )]
1−
y
1.45
b. Analisis Kualitatip Macam-Macam Profil Aliran
Mari kita analisis Persamaan 1.45 yang kita tulis lagi
dy S o −S f
=
dx 1−Fr 2
Ada beberapa kemungkinan kondisi ekstrim yang dapat kita analisis yaitu
1) Bila y = yc maka Fr = 1, kita dapat mengatakan bahwa
dy S o−S f
= → ~
dx 1−1 (tak terhingga) 1.46
H2 terjadi bila: yo ~ > y > yc dan dy/dx < 0 kondisi batas di hilir
H3 terjadi bila: yo ~ > yc > y dan dy/dx > 0 kondisi batas di hulu
2) Kemiringan landai (mild slope) yo >yc
Ada tiga kondisi yang terjadi yaitu:
M1 terjadi bila: y > yo > yc dan dy/dx > 0 kondisi batas di hilir
M2 terjadi bila: yo > y > yc dan dy/dx < 0 kondisi batas di hilir
M3 terjadi bila: yo > yc > y dan dy/dx > 0 kondisi batas di hulu
3) Kemiringan kritis yo = yc
Ada tiga kondisi yang terjadi yaitu:
C1 terjadi bila: y > yc dan dy/dx > 0 kondisi batas di hilir
C2 terjadi bila: y = yc dan dy/dx < 0 kondisi batas di hulu
C3 terjadi bila: y < yc dan dy/dx > 0 kondisi batas di hulu
4) Kemiringan curam (steep slope) yo < yc
Ada tiga kondisi yang terjadi yaitu:
S1 terjadi bila: y > yc >yo dan dy/dx > 0 kondisi batas di hilir
S2 terjadi bila: yc > y > yo dan dy/dx < 0 kondisi batas di hulu
S3 terjadi bila: yc > yo >y dan dy/dx > 0 kondisi batas di hulu
5) Kemiringan berlawanan (adverse slope) So < 0
Ada tiga kondisi yang terjadi yaitu:
A1 terjadi bila: y ~ > yc dan dy/dx = 0 kondisi batas di hilir
A2 terjadi bila: y > yc dan dy/dx < 0 kondisi batas di hilir
A3 terjadi bila: yc > y dan dy/dx > 0 kondisi batas di hulu
Secara skematis kelima kondisi tersebut diilustrasikan berikut ini.
b) detail potongan 1 - 2
Gambar I.17 - Profil aliran sungai dengan bendung
dimana
hf1-2 = kehilangan energi dari potongan 1 sampai potongan 2 (= L S f) x
cukup jauh sehingga geseran cukup signifikan S o, Sw dan Sf tidak lagi saling
sejajar. Persamaan umum yang dipakai adalah persamaan kontinuitas dan
momentum untuk aliran tunak berubah perlahan. Dari persamaan
kontinuitas kita tahu bahwa debit sepanjang aliran adalah tetap. Persamaan
momentum dengan melihat Gambar 1.17 dapat ditulis kembali sebagai
berikut
H 1=H 2 + LS f 1.50
y n+ αn + z n = y n−1 + α n−1
+ z n−1 −LS f
2g
⏟ ⏟ 2g
Hn H
n−1 1.52
Karena kondisi batas adalah daerah hilir, maka perhitungan dimulai dari
bagian paling hilir sungai yaitu bendung. Kita hitung parameter-
parameter geometris hidrolik dari aliran ini, seperti Q, n atau f, v, elevasi
dasar saluran pada bendung, tinggi muka air pada bendung (biasanya
diketahui). Cek kondisi aliran dengan menghitung bilangan Froude.
Dari data geometris yang diketahui kita dapat menghitung besarnya
total energi Hb pada bendung dengan dua cara: yaitu Hb yang dihitung
dari titik bendung yang ditinjau ialah Hb1 dan Hb yang dihitung
berdasarkan Persamaan 1.52 yaitu Hb2. Kedua cara ini dapat ditulis
persamaannya
v
b2
H b = y b +z b +α b
1 2g kita iterasi sampai Hb1 =
H b 2=H n=H n−1 −Δ xS f Hb2
∫ f dy( y ) =∫ dx
y x1
1 1.56
atau
y2
dy
x 2−x 1 =∫
S o −S f
y1
( 1−F 2
r
) 1.57
4) Metode langkah langsung (direct step method)
dE
=S o −S f
dx 1.58
Untuk potongan melintang prismatik yang seragam, maka dapat dipakai
cara ini. Langkah perhitungannya adalah sebagai berikut (Hicks, 1990):
tentukan suatu harga y
Hitung E, v, R (untuk saluran/sungai lebar)
Tentukan Sf dengan memakai Persamaan Chezy atau Manning,
τo v2
Sf = =
ρ gR c ¿ gR (Chezy) 1.59
atau
v 2 n2
S f = 4/3
R (Manning) 1.60
Tentukan harga x dengan persamaan
ΔE
Δx =
( So−S frata−rata ) 1.61
dimana Sfrata-rata dihitung dari rata-rata Sf dari kedalaman air yang
lama dan yang baru
Dari Persamaan 1.61 kita dapat menghitung besarnya xn+1 dengan
persamaan
En+1 −En
X n+1 =x n
S fn+1 −S fn
( So−
2 ) 1.62
Semua variabel-variabel dari Persamaan 1.62 diketahui kecuali xn+1
5) Cara langkah standar (standard step method)
Untuk potongan melintang yang tidak prismatik dapat dipakai cara ini.
Langkah-langkah perhitungannnya adalah sebagai berikut (Hicks,
1990)
kita pilih suatu harga x untuk menghitung elevasi muka air/stage h
(= y + z) dengan mengambil suatu harga h sembarang.
kemudian kita lakukan perhitungan dengan cara coba-coba (trial and
error)
kemudian kita hitung variabel geometris hidrolik yang lainnnya
seperti luas potongan melintang A , kecepatan rata-rata aliran v,
energi spesifik E dan total energi H.
kita hitung besarnya kemringan geser Sf dan kemiringan geser rata-
7) HEC-RAS
∂v ∂v ∂y
+v +g −g ( So −S f )=0
∂t ∂x ∂x 1.72
∂ y 5 1 2/ 3 ∂y
+
∂t 3 n (
y S 1/2
o ∂x )
=0
1.81
atau
∂y 5 ∂y
+ v =0
∂t 3 ∂ x 1.82
atau
∂y ∂y
+αv =0
∂t ∂x 1.83
Dari Persamaan 1.81 dan Persamaan 1.82 maka
= 3/2, bila kita memakai Persamaan Chezy
= 5/3 bila kita memakai Persamaan Manning
Persamaan 1.83 dapat ditulis
Dy ∂ y ∂ x ∂ y
= + =0
Dt ∂t ∂t ∂ x 1.84
dimana
∂x
=αv
∂t =c (celerity) dan tergantung dari persamaan yang dipakai (=3/2
untuk Chezy, dan = 5/3 untuk Manning)
Dy ∂x
=0 =αv
Karena Dt , maka sepanjang ∂t , kedalaman y konstan.
Gelombang kinematik hanya menyebabkan pergeseran gelombang dari waktu
tn = 0 ke waktu tn+1 = T. Puncak gelombang setelah waktu tn+1 tidak akan
melebihi puncak gelombang pada waktu t n. Gelombang kinematik umumnya
terjadi pada daerah atas (upland) karena lebar dasar saluran umumnya lebih
kecil dibanding di daerah hilir (low land), namun mempunyai So yang lebih
besar.
∂x
=αv
∂t =c (celerity)
Persamaan 1.87 dapat dikatakan bahwa
D ( y) ∂x
≠0 =αv
Dt pada kurva ∂t 1.88
Kecepatan rata-rata dengan cara Manning untuk aliran gelombang kinematik
dan gelombang difusive dapat ditulis
1
v = R2/3 S 1/ 2
n o untuk gelombang kinematik 1.89
1/2
1 dy
n (
v= R2/3 S o −
dx ) untuk gelombang difusive 1.90
Aliran yang terjadi akibat gelombang-gelombang tersebut diilustrasikan
sebagai berikut
a. gelombang kinematik
b. gelombang difusive
Gambar I.19 - Perbedaan proses gelombang kinematik dan difusive
1 2/3
Qk = Av=A R S 1/2
n o untuk gelombang kinematik 1.93
1/2
1 2/3 dy
Qd = Av= A { ( )}
n
R S o−
dx untuk gelombang difusive 1.94
Qk pada potongan 1-2 konstan karena v1 = v2, namun Qd pada potongan 1-2
tidak lagi konstan akibat v2 > v1. Hal ini menimbulkan proses aliran seragam
kurva debit Q dan kedalaman air y (uniform flow rating curve) untuk
gelombang kinematis namun aliran histeristis (loop rating curve) untuk
gelombang difusive. Bila digambarkan kurva hubungan debit dan kedalaman
airnya seperti berikut ini.
c≡√ gy 1.96
Percepatan gelombang c dapat juga dikatakan mewakili kedalaman air y,
karena hubungan kedua variabel itu proporsional yaitu makin besar c maka y
juga makin besar.
Evaluasi dari Persamaan 1.96 didapat
∂ ( v +2 c ) ( v+ c ) ∂ ( v +2 c )
+ =g ( S o −S f )
∂t ∂x 1.97a
∂ ( v −2 c ) ( v−c ) ∂ ( v−2 c )
+ =g ( S o −S f )
∂t ∂x 1.97b
Persamaan (1.97) dapat ditulis menjadi
D ( Ai) ∂ ( Ai) ∂ ( Ai)
= +B i = g ( S o −S f )
Dt ∂t ∂x 1.98
dimana
Ai = bagian yang merambat
Bi = kecepatan perambatan
kritis (Fr > 1) maka v > c akan terjadi gerakan gelombang ke arah hilir.
dx
= ( v +c )
Demikian juga untuk Persamaan 1.99 yang positip dengan dt ,
perambatan akan berjalan ke arah hilir (down stream). Sehingga dapat
dikatakan bahwa Persamaan 1.99 menimbulkan dua jenis gelombang, satu ke
hulu dan satunya ke hilir. Gambar berikut ini menunjukkan sketsa karakteristik
dari gelombang dinamik tersebut.
D()
=0 g (S o− S f )
pada persamaan 1.99 besaran Dt , atau pengaruh sangat
kecil dan dapat diabaikan ( 0). Pada waktu terjadi kehancuran konstruksi
waduk (dam break) misalnya hal tersebut bisa terjadi dan aliran air pada saat
itu menjadi aliran tidak tunak berubah cepat untuk jangkauan yang pendek
seperti yang diuraikan pada sub-bab berikut ini. Namun pada kenyataannya
gelombang bersifat dinamis dan untuk jangkauan x yang jauh sifat-sifat aliran
dinamis lebih dominan sehingga karakteristik alirannya berupa kurva yang
bergerak ke arah hulu dan hilir dan cukup sulit untuk dipecahkan secara
numerik.
Seperti halnya aliran dinamis, garis aliran (stream lines) tidak lagi linier namun
berbentuk kurva. Profil muka air menjadi tidak menerus (discontinuous) dalam
jangkauan yang pendek. Melihat Persamaan 1.101 dengan tidak ada unsur
geseran (Sf = 0), maka persamaan karakteristik mirip dengan Persamaan
1.102 yang dapat ditulis
D ( v±2 c ) dx
=gS o = ( v±c )
Dt pada dt 1.103
Karena jangkauan (x) adalah pendek, maka (v+c) adalah jauh lebih besar
daripada (gSo). Sehingga Persamaan 1.103 dapat disederhanakan menjadi
D ( v±2 c ) dx
=0 = ( v±c )
Dt pada dt 1.104
Perubahan inflow dan outflow akibat adanya faktor tampungan: pada suatu waduk
terdapat inflow banjir (I) akibat adanya aliran banjir dan outflow (O) apabila muka
air waduk naik di atas spillway (terdapat limpasan).
I > O → tampungan waduk naik → elevasi muka air waduk naik
I < O → tampungan waduk turun → elevasi muka air waduk turun
Pada penelusuran banjir berlaku persamaan kontinuitas:
I - O = S/t
Dimana: S adalah perubahan tampungan air di waduk
Persamaan kontinuitas pada periode t = t2 - t1 adalah:
I 1+ I 2 O1 +O2
( 2 ) (
∗ Δt−
2 )
∗Δt=S2 −S1
Ditentukan kondisi awal waduk (muka air waduk) pada saat dimulai routing
(penelusuran). Hal ini diperhitungkan terhadap kondisi yang paling berbahaya
dalam rangka pengendalian banjir.
Menentukan periode waktu peninjauan t 1, t2, ..... dst, periode waktu (t 2-t1)
semakin kecil adalah semakin baik.
Data lain sebagai pendukung yang diperlukan.
Selanjutnya perhitungan dilakukan dengan tabel, seperti contoh dibawah
(dengan cara analitis langkah demi langkah).
dan seterusnya
maupun DAS alami. Hidrograf yang dihasilkan dari program ini dapat digunakan
untuk studi ketersediaan air, drainase perkotaan, peramalan aliran, pengaruh
urbanisasi, perancangan pelimpah bendungan, mitigasi dampak banjir,
pengelolaan daerah genangan, hidrologi lahan basah, dan operasi sistem seperti
waduk, dsb.
1.5 Latihan
Diketahui:
Luas daerah aliran sungai A = 50 km2
Panjang sungai L = 12.5 km
Kemiringan sungai I = 0.071
Curah hujan harian R = 140 mm
Hitung debit banjir rencana dengan menggunakan Metode Weduwen dan Metode
Melchior!
1.6 Rangkuman
Dalam hal pengendalian banjir penting juga untuk memahami hidrologi dan
hidrolika sungai. Hidrologi dan hidrolika sungai memberikan
wawasan/pengetahuan mengenai banjir rencana, aliran steady dan unsteady,
flood routing serta HEC-HMS dan HEC RAS.
PENUTUP
A. Simpulan
Modul ini menjelaskan mengenai hidrologi dan hidrolika sungai dalam
pengendalian banjir. Untuk menentukan banjir rencana ada banyak metode
perhitungan. Beberapa metode perhitungan banjir rencana tersebut, diantaranya:
Hubungan empiris curah hujan–limpasan (Metode-metode: Rasional,
Weduwen, Melchior, dsb.).
Dengan menggunakan hidrograf satuan untuk menghitung hidrograf banjir.
Dengan pengamatan langsung di lapangan.
Selain itu, juga dijelaskan perhitungan aliran steady dan unsteady, flood routing
serta HEC-HMS dan HEC RAS.
B. Tindak Lanjut
Sebagai tindak lanjut dari pelatihan ini, peserta diharapkan mengikuti kelas
lanjutan untuk dapat memahami detail pengendalian banjir dan ketentuan
pendukung terkait lainnya, sehingga memiliki pemahaman yang komprehensif
mengenai pengendalian banjir.
EVALUASI FORMATIF
A. Soal
1. Berikut ini merupakan jenis-jenis aliran steady, kecuali...
a. aliran seragam tunak (steady uniform flow)
b. aliran seragam tidak tunak (steady varied flow)
c. aliran tidak seragam tunak (unsteady uniform flow):
d. aliran berubah cepat (steady rapidly varied flow)
e. aliran berubah lambat laun (steady gradually varied flow)
2. Beberapa metode perhitungan banjir rencana yang merupakan hubungan
empiris curah hujan – limpasan adalah, kecuali...
a. Rasional
b. Weduwen
c. Melchior
d. Hidrograf Banjir
e. Flood routing
3. Diketahui:
Luas daerah aliran sungai A = 50 km2
Panjang sungai L = 12.5 km
Kemiringan sungai I = 0.071
Curah hujan harian R = 140 mm
Debit banjir rencana dengan menggunakan Metode Weduwen adalah...
a. 253
b. 254
c. 255
d. 256
e. 257
4. Diketahui:
Luas daerah aliran sungai A = 50 km2
Panjang sungai L = 12.5 km
Kemiringan sungai I = 0.071
Curah hujan harian R = 140 mm
Debit banjir rencana dengan Metode Melchior adalah...
a. 168
b. 169
c. 170
d. 171
e. 172
5. Fitur HEC-RAS terdiri dari empat komponen hitungan hidraulika satu dimensi,
kecuali...
a. Hitungan profil muka air aliran permanen
b. Simulasi aliran tak permanen
c. Simulasi proses hujan-aliran/limpasan (rainfall-runoff)
d. Hitungan transpor sedimen (mobile bed, moveable boundary)
e. Analisis kualitas air
Diharapkan dengan materi yang diberikan dalam modul ini, peserta dapat
memahami hidrologi dan hidrolika sungai. Proses berbagi dan diskusi dalam kelas
dapat menjadi pengayaan akan materi hidrologi dan hidrolika sungai. Untuk
memperdalam pemahaman terkait materi hidrologi dan hidrolika sungai,
diperlukan pengamatan pada beberapa modul-modul mata pelatihan terkait atau
pada modul-modul yang pernah Anda dapatkan serta melihat variasi-variasi
modul-modul yang ada pada media internet. Sehingga terbentuklah pemahaman
yang utuh akan pengendalian banjir.
Kodoatie, Robert J., 2012. Tata Ruang Air Tanah. xxvi + 514 = 540 Halaman.
Penerbit Andi, Yogyakarta.
Kodoatie, Robert J., 2013. Rekayasa Manajemen Banjir Kota. Penerbit Andi,
Yogyakarta.
Kodoatie R. J. dan Syarief R. 2013. Pengelolaan Sumber daya Air Terpadu. Andy,
Yogyakarta.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 4 Tahun 2015
tentang Penetapan Wilayah Sungai.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 26 Tahun 2015
tentang Pengalihan Alur Sungai dan/atau Pemanfaatan Ruas Bekas Sungai.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 27 Tahun 2015
tentang Bendungan.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 28 Tahun 2015
tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai, dan Garis Sempadan Danau.
Suripin, 2001. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Andi Offset, Yogyakarta.
GLOSARIUM
KUNCI JAWABAN
Berikut ini merupakan kumpulan jawaban atau kata kunci dari setiap butir
pertanyaan yang terdapat di dalam modul. Kunci jawaban ini diberikan dengan
maksud agar peserta pelatihan dapat mengukur kemampuan diri sendiri.
Adapun kunci jawaban dari soal latihan pada setiap materi pokok, sebagai
berikut :
Latihan Materi Pokok 1
Diketahui:
Luas daerah aliran sungai A = 50 km2
Panjang sungai L = 12.5 km
Kemiringan sungai I = 0.071
Curah hujan harian R = 140 mm
Debit banjir rencana dengan menggunakan Metode Weduwen
Asumsi 1 : ambil t = 2.9
2. 9+1
120+ 2. 9+9 50
β= =0. 802
120+50
140 67 . 65
q= =0 . 07
240 2. 9+1 . 45
4.1
α=1 =0 . 713
0 . 802 x 9 .07 +7
Asumsi 2: ambil t = 3
3+1
120+ 3+9 50
β= 0 . 804
120+50
140 67 . 65
q= =8. 87
240 3+1. 45
4.1
α=1− =0. 71
0 .804 x 8 .87+7
Q=0.71x 0.804 x8.87 x50=253 m3 /det
−0. 125 −0. 25
t=0 .25 x 12. 5 x 253 .17 0 .071 =3 .03
1) Ambil:
To = 2.67 jam
F = 82 km2
(diperoleh qo = 9)
140
Qo = 0.52 x 9 x 50 x 200 = 164 m3/det
To = 0.186 x 12.5 x 163.8 0.071-0.4 = 2.41
-0.2
2) Ambil:
To = 2.40 jam
F = 82 km2 (diperoleh qo = 9.4)
140
Qo = 0.52 x 9.4 x 50 x 200 = 171 m3/det
To = 0.186 x 12.5 x 171.06-0.2 0.071-0.4 = 2.89 ok