Anda di halaman 1dari 13

4.

Prespektif Ontologi Ilmu dalam Penyelengaraan Pendidikan

Hakikat didalam Pendidikan itu sangatlah ditentukan oleh nilai-nilai,


motivasi atau dorongan serta tujuan dari pada pendidikan itu sendiri. Maka
dari itu hakikat pendidikan dapat dirumuskan sebagi berikut :
1. Pendidikan merupakan sebuah proses interaksi atau hubungan
manusiawi yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek didik
dengan kewibawaan pendidik;
2. Pendidikan merupakan sebuah usaha dalam penyiapan subjek didik
menghadapi lingkungan yang mengalami perubahan yang semakin pesat
dalam perkembangan zaman di era global;
3. Pendidikan dapat meningkatkan kualitas kehidupan pribadi atau
seorang manusia pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya;
4. Pendidikan itu dapat berlangsung seumur hidup;
5. Pendidikan merupakan sebuah kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip
ilmu.

Selain itu hakikat pendidikan juga mengarah kepada asas-asas seperti :


1. Asas atau pendekatan manusiawi atau humanistik serta yang meliputi
keseluruhan aspek atau potensi anak didik serta utuh dan bulat (aspek fisik-
nonfisik: emosi intelektual; kognitif-afektif psikomotor), sedangkan dalam
pendekatan humanistik merupakan pendekatan dimana anak didik dihargai
sebagai insan manusia yang potensial (mempunyai kemampuan kelebihan
kekurangannya), dengan penuh kasih sayang-hangat-kekeluargaan-
terbuka-objektif dan penuh kejujuran serta dalam berbagai suasana
kebebasan tanpa ada tekanan atau paksaan apapun itu.
2. Asas kemerdekaan dimana Memberikan kemerdekaan kepada anak didik,
tetapi bukan sebuah kebebasan yang leluasa, dan terbuka, melainkan
sebuah kebebasan yang dituntun oleh kodrat alam, baik dalam kehidupan
individu maupun sebagai anggota masyarakat.
3. Asas kodrat alam pada dasarnya manusia sebagai makhluk yang menjadi
satu dengan kodrat alam, tidak dapat lepas dari Namanya aturan main
(Sunatullah), setiap orang diberi keleluasaan, dibiarkan, dan dibimbing
untuk dapat berkembang secara wajar menurut kodratnya.
4. Asas kebudayaan berakar dari kebudayaan bangsa, namun mengikuti
kebudayaan dari luar yang telah maju sesuai dengan zaman. Kemajuan
dunia terus diikuti, namun kebudayaan sendiri tetaplah menjadi acuan
utama (jati diri).
5. Asas kebangsaan membina kesatuan kebangsaan, perasaan satu dalam suka
dan duka, perjuangan sebuah bangsa, dengan tetap menghargai bangsa lain,
serta menciptakan keserasian dengan bangsa lain.
6. Asas kemanusiaan mendidik anak menjadi manusia yang bermanusiawi
yang sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa

Jadi pada intinya, Hakikat Pendidikan itu adalah mendidik manusia agar
bisa menjadi manusia sehinggah hakikat atau inti dari pada pendidikan tidak
akan terlepas dari hakikat manusia, sebab urusan utama Pendidikan itu adalah
manusia. Wawasan yang dianut oleh pendidik tentang manusia akan
mempengaruhi strategi atau metode yang digunakan didalam melaksanakan
tugasnya, di samping konsep pendidikan yang dianut.

 Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Socrates ( 470- 399 SM )


Dalam sejarah filsafat, Socrates merupakan salah seorang pemikir besar kuno
yang gagasan filosofis dan metode pengajaraanya itu sangat mempengaruhi
teori dan praktik didalam pendidikan seluruh dunia barat. Socrates lahir di
Athena, merupakan putra dari seorang pemahat dan seorang bidan yang tidak
begitu dikenal, yaitu Sophonicus dan Phaenarete ( Smith, 1986:19 ). Prinsip
dasar pendidikan, menurut Socrates ialah metode dialektis. Metode ini di
gunakan Socrates sebagai acuan dasar teknis pendidikan yang direncanakan
untuk mendorong seseorang berpikir cermat, dan untuk menguji coba diri
sendiri dan untuk memperbaiki pengetahuannya. Seorang guru tidak boleh
memaksakan gagasan-gagasan atau pengetahuannya kepada seorang siswa,
karena seorang siswa dituntut untuk bisa mengembangkan pemikirannya
sendiri dengan berpikir secara kritis. Metode ini tidak lain digunakan untuk
meneruskan intelektualitas, mengembangkan kebiasaan-kebiasaan dan
kekuatan mental seseorang. Dengan kata lain, tujuan pendidikan yang benar
adalah untuk merangsang penalaran yang cermat dan disiplin mental yang akan
menghasilkan perkembangan intelektual yang terus menerus dan standar moral
yang tinggi.
 Pemikiran filsafat pendidikan menurut Plato (427-347 SM)
Plato dilahirkan dalam keluarga aristrokrasi di Athena, serikat 427 SM.
Ayahnya Ariston, merupakanketurunan dari raja pertama Athena yang pernah
berkuasa pada abad ke-7 SM. Sementara ibunya, Periction adalah keturunan
keluarga solon, seorang pembuat undang-undang, penyair, memimpin militer
dari kaum ningrat dan pendiri demokrasi Athena termuka. Menurut Plato,
pendidikan itu sangatlah perlu, baik bagi dirinya selaku individu maupun
sebagai warga negara. Negara wajib memberi pendidikan kepada setiap warga
negaranya. Namun demikian, setiap peserta didik harus diberi kebebasan untuk
mengikuti dan mengenyam pendidikan ilmu sesuai bakat, minat, dan
kemampuan masing-masing jenjang usianya. Sehingga pendidikan itu sendiri
akan memberikan dampak dan perubahan bagi kehidupan pribadi, bangsa, dan
negara. Menurut Plato, idealnya dalam sebuah negara pendidikan memperoleh
tempat yang paling utama dalam mendapatkan perhatian yang sangat mulia,
maka ia harus diselenggarakan oleh negara. Karena pendidikan itu sebenarnya
merupakan suatu tindakan pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan
ketidakbenaran. Dengan pendidikan, orang-orang akan mengetahui apa yang
benar dan apa yang tidak benar. Dengan pendidikan pula, orang-orang akan
mengenal apa yang baik dan apa yang jahat, apa yang patut dan apa yang tidak
patut (Raper,1988:110).
 Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Aristoteles (367-345 SM)
Aristoteles merupakan murid plato. beliau adalah seorang cendikiawan dan
intelek terkemuka, mungkin sepanjang masa. Umat manusia telah berutang
budi padanya oleh karena banyaknya kemajuan pemikiranya dalam filsafat dan
ilmu pengetahuan, khususnya logika, politik, etika, biologi, dan psikologi.
Aristoteles lahir tahun 394 SM, di Stagira, sebuah kota kecil di semenanjung
Chalcidice di sebelah barat laut Egea. Ayahnya, Nichomachus adalah seorang
dokter perawat Amyntas II, raja Macedonia, dan ibunya, Phaesta mempunyai
nenek moyang terkemuka. Menurut Aristoteles, agar orang dapat hidup baik
maka ia harus mendapatkan pendidikan. Pendidikan bukanlah soal akal
semata-mata, melainkan soal memberi bimbingan kepada perasaan- perasaan
yang lebih tinggi, yaitu akal, guna mengatur nafsu-nafsu. Akal sendiri tidak
berdaya, sehingga ia memerlukan dukungan perasaan yang lebih tinggi agar di
arahkan secara benar.
Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa, ilmu yang dibangun atas
dasar ontologi haruslah berlandaskan etika sehingga ilmu itu tidak bebas
nilai.

Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan


Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, filsafat sebagai hasih
pemikiran para ahli filsafat atau para filosof sepanjang kurun waktu dengan objek
permasalahan hidup di dunia, telah melahirkan berbagai macam pandangan.
Pandangan-pandangan para filosof itu, ada kalanya satu dengan yang lain hanya
itu bersifat saling menguatkan, tetapi tidak jarang pula yang berbeda atau
berlawanan. Hal ini antara lain disebabkan terutama oleh pendekatan yang dipakai
oleh mereka berbeda, walaupun untuk objek permasalahannya sama. Karena
perbedaan dalam system pendekatan itu, maka kesimpulan yang diharapkan
menjadi berbeda pula, bahkan tidak sedikit yang saling berlawanan. Selain itu
faktor zaman serta pandangan hidup yang melatarbelakangi mereka, serta tempat
di mana mereka bermukim juga ikut mewarnai pemikiran mereka.
Menyimak kembali sejarah pertumbuhan dan perkembangan filsafat, akan
menjadi jelas adanya perbedaan seperti diatas, begitu pula halnya dengan filsafat
pendidikan, bahwa dalam sejarahnya telah melahirkan berbagai pandangan atau
aliran (Filsafat Pendidikan Islam. 2008:19).
Untuk mengenal perkembangan pemikiran filsafat pendidikan, dibawah ini
bebrapa aliran-aliran filsafat dalam pendidikan, yaitu:
1. Aliran Progresivisme
Merupakan suatu aliran filsafat pendidikan yang sangat berpengaruh didalam
abad ke 20 ini. Pengaruh itu terasa diseluruh dunia terlebih di Amerika Serikat.
Usaha pembaruan di dalam lapangan pendidikan pada umumnya terdorong oleh
aliran progresivisme ini.
Biasanya aliran progresivisme ini dihubungkan dengan pandangan hidup liberal
“The Liberal Rood to Culture”. Yang dimaksud dengan ini adalah pandangan
hidup yang mempunyai sifat sebagai berikut: Fleksibel (tidak kaku, tidak menolak
perubahan, tidak terikat oleh suatu doktrin tertentu), Curious (ingin mengetahui,
ingin menyelidiki), toleran dan open-minded (mempunyai hati terbuka) (Theodore
Brameld, New York: 1956).
Heraclitus mengemukakan bahwa, sifat yang terutama dari realita ialah
perubahan. Tidak ada sesuatu yang tetap di dunia ini semuanya berubah-ubah
kecuali asas perubhan itu sendiri. Socrates berusaha mempersatukan epistemology
dan aksilogi. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kunci untuk kebijakan.
Protogoras seorang sophis, mengajarkan bahwa kebenaran dan norma atau nilai
(value) tidak bersifat mutlak, melainkan relative, yaitu bergantung kepada waktu
dan tempat.
Dalam abad ke 19 dan ke 20 ini tokoh-tokoh pramatisme terutama terdapat di
Amerika Serikat. Thomas Paine dan Thomas Jefferson memberikan sumbangan
pada pragmatisme karena kepercayaan mereka akan demokrasi dan penolakan
terhadap sikap yang dogunatis, terutama dalam agama. Charles S. Peirce
mengemukakan teori tentang pikiran dan hal berpikir, pikiran itu hanya berguna
atau berarti bagi manusia apabila pikiran itu bekerja yaitu memberikan
pengalaman manusia untuk berbuat. Perasaan dan gerak jasmaniah (perbuatan)
adalah manifestasi-manisfestasi yang khas dari aktivitas manusia dan kedua hal
itu tidak dapat dipisahkan, jika dipisahkan, perasaan dan perbuatan menjadi
abstrak dan dapat menyesatkan manusia. Tokoh pragmatisme yang lebih terkenal
ialah William James dan John Dewey. (Filsafat Pendidikan Islam. 2008: 22-24).
2. Aliran Essensialisme
Essensialisme muncul pada zaman Renaissans, dengan cirri-ciri utamanya yang
berbeda dengan progressisme. Perbedaan ini terutama dalam memberikan dasar
berpijak mengenai pendidikan yagn penuh fleksibilitas, dimana serba terbuka
untuk perbuatan, toleransi dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Bagi
essensialisme, pendidikan yang berpijak pada dasar pandangan itu mudah goyah
dan kurang terarah. Karena itu essensialisme memandang bahwa pendidikan harus
berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga
memberikan kestabilan dan arah yang jelas.
Essensialisme didasari oleh pandangan humanism yang merupakan reaksi
terhadap hidup yang mengarah pada keduniawian, serba ilmiah dan materialistic.
Imam Barnandib (1981), menyebutkan beberapa tokoh utama yang berperan
dalam penyebaran aliran esensialisme, yaitu:
- Desiderius Erasmus, humanis Belanda yang hidupa pada akhri abad ke 15
dan permulaan abad ke 16, yang merupakan tokoh pertama yang menolak
pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain. Erasmus berusaha agar
kurikulum sekolah bersifat humanistic dan bersifat internasional, sehingga bisa
mencakup lapisan menengah dan kaum Aristocrat.
- John AmosComenius (1592-1670) berpendapat bahwa pendidikan
mempunyai peranan penting membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan,
karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan.
- John Locke, tokoh di Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704 sebagai
pemikir dunia berpendapat bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan
situasi dan kondisi. Locke mempunyai sekolah kerja untuk anak-anak miskin.
- Johann Henrich Pestalozzi, sebagai seorang tokoh yang berpandangan
naturalis yang hidup pada tahun 1746-1827, mempunyai kepercayaan bahwa sifat-
sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat
kemampuan-kemampuan wajarnya.
- Johann Friederich Frobel (1782-1852) sebagai tokoh yang berpandangan
kosmis-sintesis dengan keyakinannya bahwa manusia adalah makhluk ciptaan
Tuhan yang merupakan bagian dari ala mini, sehingga manusia tunduk dan
mengikuti ketentuan hukum alam.
- Johann Friederich Herbert yang hidup pada tahun 1776-1841, sebagai salah
seorang murid Immanuel Kant yang berpandangan kritis, Herbert berpendapat
bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan hukum-
hukum kesusilaan dan inilah yang disebut dengan proses pencapaian tujuan
pendidikan oleh Herbert sebagai pengajaran yang mendidik.
William T. Harris, tokoh dari Amerika Serikat hidup pada tahun 1835- 1909.
Harris yang pandangannya dipengaruhi oleh Hegel berusaha menerapkan idealism
objektif pada pendidikan umum (Filsafat Pendidikan Islam. 2008: 22-24).
Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan
di akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian, dan segala
hal yang mampu menggerakan kehendak manusia. Maka dalam sejarah
perkembangannya, kurikulum essensialisme menerapkan berbagai pola
kurikulum, seperti pola idealism, realism dsb. Sehingga peranan sekolah dalma
menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan
kenyataan sosial yang ada di masyarakat (Imam Barnadib, Yogyakarta: hal. 38-
40).
3. Aliran Perennialisme
Perennialisme diambil dari kata Perennial, yang dalam Oxford Advanced Learnert
Dictionary of Current English diartikan sebagai continuing throughout the whole
year atau lasting for a very long time, abadi atau kekal. Dari makna yang
terkandung dalam kata itu, aliran perennialisme mengandung kepercayaan filsafat
yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Perennialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah
menimbulkan banyak krisis di berbagai kehidupan umat manusia. Untuk
mengatasi krisis ini, perennialisme memberikan jalan keluar berupa “Kembali
pada kebudayaan masa lampau”, oleh karena itu, perennialisme memandang
penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia
zaman modern ini kepada kebudayaan masa lampau bukanlah berarti nostalgia,
sikap yang membanggakan kesuksesan dan memulihkan kepercayaan pada nilai-
nilai asasi abad silam yang juga di perlukan dalam kehidupan abad modern.
Asas yang dianut perennialisme bersumber pada filsafat kebudayaan yang terikat
dua, yaitu (1) perennialisme yang theologies, bernaung di bawah supremasi gereja
katolik, dengan orientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas dan (2)
perennialisme sekuler berpegang teguh pad aide dan cita filosof plato dan
Aristoteles (Muhammad Noorsyam, hal.153).
Prinsip-prinsip pendidikan perennialisme tersebut perkembangannya telah
mempengaruhi system pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk
sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan tinggi.
4. Aliran Rekonstruksionalisme
Pada dasarnya, aliran rekonstruksionalisme adalah sepaham dengan aliran
perennialisme dalma hendak mengatasi krisis kehidupan modern. Hanya saja jalan
yang ditempuhnya berbeda dengan apa yang dipakai oleh perennialisme, tetapi
sesuai dengan istilah yang dikandungnya, yaitu berusaha membina suatu
consensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan
tertinggi dalam kehidupan manusia, restore to the original form.
Untuk mencapai tujuan ini, rekonstruksionalisme berusaha mencari kesepakatan
semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia
dalma suatu tatanan baru seluruh lingkungannya. Maka melalui lembaga dan
proses pendidikan, rekonstruksionalisme ingin merombak tata susunan lama dan
membangun tata susunan hidup yang sama sekali baru. Disini Nampak ada
kesamaan dengan Dewey dalam “Education as Reconstruction”. Dalam rangka
mewujudkan cita-cita pendidikan yang dimaksud diatas, diperlukan adanya kerja
sama semua bangsa-bangsa (Muhammad Noorsyam, hal.183).
Para penganut aliran rekonstruksionalisme berkenyataan bahwa bangsa-bangsa
didunia mempunyai hasrat yang sama untuk menciptakan satu dunia baru, dengan
satu kebudayaan baru di bawah satu kedaulatan dunia, dalam pengawasan
mayoritas umat manusia. Barangkali pikiran-pikiran rekonstruksionisme inilah
yang kemudian menjiwai pandangan pemuka-pemuka dunia, seperti yang
terumuskan dalam Nort-South: A Program For Survival (the Report of the
independent commission on international development issues under the
chairmanship of willy brandt-dialog utara selatan komisi Willy Brandt dalam
rangka menciptakan kelestarian dunia).
5. Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme bisa diartikan sebagai suatu reaksi dari sebagian terbesar reaksi
terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua.
Dengan demikian, eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran
filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia serta dengan
keadaan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang
dimiliki dan dihadapinya (Fuad Hasan: 1974 hal, 7-8).
Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham
eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri,
sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu:
Filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagaitema sentral. Maka,
disini, letak kesulitan merumuskan pengertian eksistensialisme sendiri tidak
memperoleh para filosof eksistensialisme sendiri tidak memperoleh perumusan
yang sama tentang eksistensialisme itu pendivinisi (Fernando, R Molina: 1969:
hal1).
Secara singkat, Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme adalah suatu
penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau ilmiah.
Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutlakan rasional. Dengan demikian,
aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi
sejarah yang ia alami dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta
spekulatif. Pandangan tentang pendidikan, disimpulkan oleh Van Clece Morris
dalam Existentialisme and Education, bahwa “Eksistensialisme tidak
menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk. Disinilah
mengapa aliran eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat
pendidikan (Paul Raubiczek: 1966:10).

Penerapan Ontologi Filsafat Pendidikan Menurut Beberapa Aliran


1. Pandangan Ontologi Progressivisme
Asal hereby atau asal keduniawian, adanya kehidupan realita yang amat luas tidak
terbatas, sebab kenyataan alam semesta adalah kenyataan dalam kehidupan
manusia. Pengalaman adalah kunci pengertian manusia atau segala
sesuatu,pengalaman manusia tentang penderitaan, kesedihan, kegembiraan,
keindahan dan lain-lain adalah realita manusia hidup sampai mati. Pengalaman
adalah suatu sumber evolusi maju setapak demi setapak mulai dari yang mudah-
mudah menerobos kepada yang sulit-sulit (Proses perkembangan yang lama).
Pengalaman adalah perjuangan sebab hidup adalah tindakan dan perubahan-
perubahan. Manusia akan tetap hidup berkembang jika ia mampu mengatasi
perjuangan , perubahan dan berani bertindak.
Aplikasi pandangan ini terhadap pendidikan adalah pada saat proses pembelajaran
agar anak dapat memahami apa yang dipelajari, mereka harus mengalami secara
langsung. Untuk mendapatkan pengalaman secara langsung anak dapat diajak
untuk melakukan berbagai kegiatan misalnya, eksperimen, pengamatan, diskusi
kelompok, observasi, wawancara, bermain peran dan lain-lain.

2. Pandangan Ontologi Essensialisme


Essensialisme adalah pendiddikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan
yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Essensialisme memandang bahwa
pendidikan berpijak pada nilai-nilai yang memilikki kejelasan dan tahan lama
yang memberikan kesetabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang
jelas.
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia
ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada ada pula.
Pendapat ini berarti bahwa bagaimana bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita
manusia haruslah disesuaikan dengan tata alam yang ada. Tujuan umum aliran
esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi
pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu
menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esenisalisme semacam
miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan
keagungan.
Aplikasinya dalam setiap kegiatan belajar mengajar guru diselipkan nilai-nilai
keagamaan antara lain saat sebelum dan sesudah pelajaran berlangsung dilakukan
berdo’a bersama menurut agama dan kepercayaan masing-masing.

3. Pandangan Ontologi Perennialisme


Perennialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
mengembalikan keadaan sekarang. Perennialisme memberikan sumbangan yang
berpengaruh baik teori maupun praktek bagi kebudayaan dan pendidikan jaman
sekarang.
Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang
kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan
keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluar yaitu berupa
kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji
ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat
perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Ontologi perennialisme menyatakan segala yang ada di alam ini terdiri dari materi
dan bentuk atau badan dan jiwa yang disebut dengan substansi, bila dihubungkan
dengan manusia maka manusia itu adalah potensialitas yang didalam hidupnya
tidak jarang dikuasai oleh sifat eksistensi keduniaan tidak jarang pula
dimilikkinya akal, perasaan dan kemauannya semua ini dapat diatasi. Maka
dengan suasana ini manusia dapat bergerak menuju tujuan (teologis) dalam hal ini
untuk mendekatkan diri pada supernatural (tuhan) yang merupakan pencipta
manusia itu sendiri dan merupakan tujuan akhir.
4. Pandangan Ontologi Rekontruksionisme
Dengan ontologi, dapat diterangkan bagaimana hakikat dari segala sesuatu. Aliran
rekonstruksionalisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, yang mana
realita itu ada dimana dan sama di setiap tempat. Aliran rekonstruksionisme
berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat
manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual
yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas
nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan
datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Kaitan aliran ini dengan pendidikan adalah pendidikan itu tidak diselenggrakan
secara terpusat melainkan secara universal. Mengingat situasi dan kondisi disetiap
tempat berbeda-beda. Di sini setiap sekolah berhak menentukan indicator sesuai
dengan situasi, lingkungan, serta kebutuhan peserta didik
Kewajiban pendidik melalui latar belakang ontologis ialah membina daya pikir
yang tinggi dan kritis. Implikasi pandangn ontologi di dalam pendiddikan ialah
bahwa pengalaman manusia yang harus memperkaya kepribadian bukanlah hanya
alam raya dan isinya dalam arti sebagai pengalaman sehari-hari, melainkan
sesuatu yang tak terbatas.
5. Hubungan antara Ontologi Ilmu dan Pendidikan

Telah kita ketahui bersama bahwa ilmu ontology itu adalah suatu kajian
ilmu yang berpusat pada pembahasan tentang hakikat. Ketika ilmu ontolgi
dikaitkan atau dihubungkan dengan filsafat pendidikan, maka akan munculah
suatu hubungan mengenai ilmu ontologi filsafat pendidikan. Ontologi adalah ilmu
yang menganalisis tentang objek materi dari ilmu pengetahuan.
Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang sadar akan tujuan yang ingin
dicapai. Disini bermakna bahwa ketika adanya pendidikan yang bermaksud untuk
mencapai tujuan, maka dengan ini tujuan menjadi hal yang penting dalam
penyelenggaraan pendidikan. Secara umum kita dapat katakan bahwa pendidikan
dapat membawa anak menuju ke arah kedewasaan, dewasa baik itu dari segi
jasmani maupun dari segi rohani. Dengan mengetahui makna pendidikan itu
sendiri, maka makna ilmu Ontologi dalam pendidikan itu sendiri merupakan
analisis tentang bagaimana objek materi dari ilmu pengetahuan. Berisi mengenai
hal-hal yang bersifat empiris atau sumber pengetahuan yang melalui penelitian
dimana itu bersifat kebenaran atau fakta dan bukan opini serta mempelajari
mengenai apa yang ingin diketahui oleh manusia dan objek apa yang ingin diteliti
ilmu. Dasar ontologi pendidikan adalah objek materi pendidikan dimana sisi yang
mengatur seluruh kegiatan kependidikan. Jadi hubungan ontologi dengan
pendidikan menempati posisi landasan yang terdasar dari fondasi ilmu dimana
disitulah teletak undang-undang dasarnya dunia ilmu.
Di atas telah disebutkan dan dapat kita fahami bahwa Pendidikan ditinjau
dari sisi ilmu ontologi berarti analisis tentang bagaimana hakikat keberadaan
pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan selalu berada dalam
hubungannya dengan eksistensi atau keberadaan kehidupan manusia. Tanpa
adanya pendidikan, manusia tidak akan mungkin bisa menjalankan tugas dan
kewajibannya di dalam menjalani kehidupan, pendidikan secara khusus
difungsikan untuk menumbuhkembangkan segala potensi atau kemampuan
kodrat (bawaan) yang ada dalam diri setiap manusia. Oleh sebab itu, dapat kita
fahami bahwa ilmu ontology pendidikan berarti pendidikan dalam hubungannya
atau kaitannya dengan asal-mula, eksistensi atau keberadaan, dan tujuan
kehidupan manusia. Tanpa manusia, pendidikan tak pernah ada.
Filsafat termasuk juga filsafat pendidikan, karena mempunyai fungsi
untuk memberikan petunjuk dan arah dalam melakukan pengembangan teori-
teori pendidikan a g a r menjadi ilmu pendidikan atau paedagogik. Suatu
praktek kependidikan yang didasarkan serta diarahkan kepada suatu filsafat
pendidikan tertentu, maka akan bisa menghasilkan serta menimbulkan bentuk-
bentuk dan gejala-gejala kependidikan yang tertentu pula. Hal ini adalah data-
data kependidikan yang ada didalam suatu masyarakat tertentu.
Di samping itu ilmu ontology dalam hubungannya dengan filsafat
pendidikan merupakan suatu kenyataan bahwa setiap masyarakat hidup
dengan pandangan filsafat hidupnya sendiri-sendiri yang berbeda diantara
satu dengan yang l ainnya, dan dengan sendirinya maka akan menyangkut
kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Di sinilah letak fungsi filsafat dan filsafat
pendidikan dalam memilih dan mengarahkan teori-teori pendidikan dan jika
perlu juga merevisi teori pendidikan tersebut, yang sesuai atau serta relevan
dengan kebutuhan, tujuan serta pandangan hidup dari masyarakat.
Peranan pendidikan di dalam kehidupan manusia, lebih-lebih dalam
zaman modern dimana sekarang dalam perkembangan iptek diera global ini
diakui sebagai sesuatu kekuatan yang dapat menentukan prestasi dan
produktivitas seseorang. Tidak ada suatu fungsi dan jabatan di dalam
masyarakat tanpa melalui proses pendidikan. Seluruh aspek didalam
kehidupan memerlukan proses pendidikan dalam arti demikian, terutama
berlangsung di dalam dan oleh lembaga-lembaga pendidikan formal (sekolah,
universitas). Akan tetapi scope pendidikan lebih dari padanya hanya kepada
pendidikan formal itu. Di dalam masyarakat keseluruhan terjadi pula proses
pendidikan kepribadian manusia. Proses pendidikan yang berlangsung
didalam kehidupan sosial yang disebut pendidikan informal ini, bahkan
berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Meskipun pengaruh pendidikan
informal ini tak terukur dalam perkembangan pribadi, tetapi tetaps saja diakui
adanya. Secara sederhana misalnya, orang yang tak pernah mengenyam
pendidikan formal, mereka yang buta huruf, namun mereka tetap saja dapat
hidup dan melaksanakan fungsi-fungi sosial yang sederhana. Alam dan
lingkungan sosial serta kondisi dan kebutuhan hidup telah mendidik mereka.
Akan tatapi, yang paling diharapkan adalah pendidikan formal yang relatif
baik, yang dilengkapi dengan suasana pendidikan informal yang relatif baik
pula. Ini ternyata dari usaha pemerintah, pendidik dan para orang tua untuk
membina masyarakat secara keseluruhan sebagai satu kehidupan yang sehat
lahir dan batin. Sebab, krisis apapun yang terjadi di dalam kehidupan
masyarakat akan berpengaruh atau berdampak negatif bagi manusia, terutama
anak-anak, genarasi muda yang akan menjadi penerus bangsa dimasa yang
akan dating.
DAFTAR PUSTAKA
Fernando R.Molina, The Sources of Eksistensialisme As Phylosopy, New Jer sey.
Fuad Hasan, Kita dan Kami, Bulan Bintang, Jakarta: 1974
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Yayasan Penerbit FIP IKIP Yogyakarta.
Kasttoff, Louis O. Element of Philosophy diterjemahkan oleh Soejono
Paul Roubiczek, Existentiation For and Againt, Cambridge, University Press,
1966.
Sahabuddin. Filsafat Pendidikan suatu Pengantar ke dalam Pemikiran,
Pemahaman, dan Pengamalan Pendidikan Bersendikan Filsafat. Ujung Pandang.
Program Pascasarjana IKIP, 1997.
Sarwan, HB. Filsafat Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Soemargono, Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992.
Theodore Brameld, The Pattern of Educational Philosopy, The Mac. Milan
Company. New York. 1956
Joe Park, Selected Readings in the Phylosopy of Education, New York,
Mac.Milan, Publisher co. Inc. 1974

Anda mungkin juga menyukai