Anda di halaman 1dari 41

PERPAJAKAN I

KUMPULAN RANGKUMAN MATERI PERPAJAKAN I

DOSEN PENGAMPU :
DRS. CHRISTIAN MANGIWA, AK.

DISUSUN OLEH
NAMA : REZKY APRILIANTI
NIM : A031191120
MATA KULIAH : PERPAJAKAN I KELAS C
RMK FILOSOFI PEMUNGUTAN PAJAK

 Pengertian Dan Fungsi Pajak


Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal
(kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum. Berikut adalah tinjauan pajak pada berbagai aspek yaitu : Aspek
Ekonomi, Aspek Hukum, Aspek Keuangan, dan Aspek Sosiologi.
Pajak memiliki beberapa fungsi yaitu :
 Fungsi Penerimaan (Budgeteir). Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang
diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran – pengeluaran pemerintah. Contoh,
dalam APBN, pajak sebagai sumber penerimaan dalam negeri.
 Fungsi Mengatur (Reguler). Pajak berfungsi sebagai alat mengatur atau melaksanakan
kebijakan dibidang sosial dan ekonomi. Contoh, minuman keras dan barang mewah
dikenakan pajak yang lebih tinggi.

 Pengertian Hukum Pajak


Hukum pajak adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang meliputi kewenangan
pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada
masyarakat melalui kas negara. Kedudukan hukum pajak setara dengan hukum tata negara,
Hukum administrasi (hukum tata usaha), dan Hukum pidana, yang mana semuanya
merupakan bagian dari hukum public.
Dalam Sistematika, hukum pajak terbagi atas dua yaitu :
 Hukum pajak normal, memuat ketentuan2 yang mendukung ketentuan hukum pajak
material yg diperlukan untuk merealisasikan hukum material. Seperti : UU No. 27 th
2007 tg KUP, UU No. 17 th 1997 tg Badan penyelesaian sengketa pajak, dan UU No.
19 tg 1997 tg Penagihan pajak dg surat paksa.
 Hukum pajak material, yang terbagi atas subjek pajak, wajib pajak, objek pajak, dan
tarif pajak. Seperti : UU No. 36 th 2008 tg PPh, UU No. 42 th 2009 tg PPN, UU No.
28 th 2009 tg Pajak daerah, dan UU No. 13 th 1985 tg Bea materai.

 Pengelompokan Pajak
Pajak dapat di kelompokan dalam beberapa kelompok yaitu :
 Menurut sifatnya
o Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan pihak
lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh,
Pajak Penghasilan.
o Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebannya dapat dilimpahkan ke pihak
lain. Contoh, Pajak Pertambahan Nilai.
 Menurut obyeknya
o Pajak subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya
yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan dari
Wajib Pajak. Contoh, Pajak Penghasilan.
o Pajak objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya,
tanpa memperhatikan keadaan diri WP. Contoh, PPN & PPnBM
 Menurut sifat pemungutnya
o Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga negara. Yaitu, PPh, PBB P3, Bea Materai, dll.
o Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah daerah dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh, Pajak Hotel, Pajak Reklame, dll.
 Asas-Asas Pemungutan Pajak
Asas pemungutan pajak dapat dibagi menjadi:
 Asas Domisili (Asas tempat tinggal) yaitu pengenaan pajak atas seluruh
penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya;
 Asas Sumber, yaitu pengenaan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak;
 Asas Kebangsaan, yaitu pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu
negara.
Teori yang mendukung pemungutan pajak antara lain:
 Teori asuransi, menyamakan pembayaran premi dengan pembayaran pajak;
 Teori kepentingan, pembebanan ini harus didasarkan pada kepentingan setiap
orang pada tugas pemerintah termasuk perlindungan jiwa dan hartanya;
 Teori gaya pikul, dasar keadilan pemungutan pajak terletak dalam jasa- jasa yang
diberikan oleh negara kepada masyarakat berupa perlindungan jiwa dan harta
bendanya;
 Teori bakti disebut juga teori kewajiban pajak mutlak, yaitu negara mempunyai
hak mutlak untuk memungut pajak;
 Teori asas daya beli, penyelenggaraan kepentingan masyarakat yang dianggap
sebagai dasar keadilan pemungutan pajak yang bukan kepentingan individu atau
negara.

 Cara-Cara Pemungutan Pajak


Cara pengenaan/pemungutan pajak dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel, yaitu:
 Stelsel nyata (riil stelsel), pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan)
yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir
tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat
diketahui;
 Stelsel anggapan (fictive stelsel), pengenaan pajak didasarkan pada suatu
anggapan yang diatur oleh undang-undang. Sebagai contoh, penghasilan suatu
tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak
telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan;
 Stelsel campuran, Merupakan kombinasi antara Stesel nyata dan Stelsel anggapan.
Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian
pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya.
Apabila besarnya pajak menurut kenyataannya lebih besar daripada pajak
menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah kekurangannya. Demikian
pula sebaliknya, apabila lebih kecil maka kelebihannya dapat diminta kembali.

RMK FILOSOFI PEMUNGUTAN PAJAK (Part 2)

 Tarif
Tarif pajak dikenal 4 macam yaitu:
 Tarif pajak proporsional / sebanding (mis. PPN tarif 10%, PPh Psl 26 20%)
 Tarif Pajak Progresif
 Tarif Progresif Proporsional (mis tarif PPh yang berlaku 1983 s/d 1994)
 Tarif Progresif Progresif (mis tarif PPh yang berlaku 1995 s/d 2000)
 Tarif Progresif Degresif
 Tarif Pajak Degresif
 Tarif Pajak Tetap (misalnya Bea Materai)

 Sistem Pemungutan Pajak dapat dibagi menjadi:

 Official Assesment System, Sistem ini merupakan sistim pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada Pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang;

 Self Assesment System, Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi
wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus
dibayar;

 Withholding System, Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak memberi


wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak
yang terutang oleh Wajib Pajak.
Berakhirnya Utang Pajak, jika :
- Pembayaran/Pelunasan;
- Kompensasi;
- Daluwarsa;
- Pembebasan/ Penghapusan

 Perlawanan Terhadap Pajak dapat dibedakan menjadi:


Perlawanan terhadap pajak dapat dibedakan menjadi:
 Perlawanan Pasif
Perlawanan pasif berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan
mempunyai hubungan erat dengan struktur ekonomi.
 Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif secara nyata terlihat pada semua usaha dan perbuatan yang
secara langsung ditujukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk
menghindari pajak.
KUTAP 1 : NPWP, NPPKP,SPT, TATA CARA PEMBAYARAN DAN PELAPORAN
PAJAK

A. Ketentuan Umum
Saat melakukan pembayaran pajak, seluruh Wajib Pajak atau badan harus mengetahui
ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Pembayaran pajak sudah tertuang di dalam Pasal
10 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Tata
Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.
Dalam Pasal 10 Ayat 2 UU KUP, telah ditetapkan tata cara pembayaran, penyetoran
pajak dan pelaporan, serta tata cara mengansur dan mendunda pembayaran pajak yang diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Ketentuan tersebut juga sesuai dengan
diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan
Jatuh Tanggal Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran
Pajak dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, hingga Tata Cara
Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.

Tahapan-Tahapan Tata Cara Perpajakan


- Tahap 1: Wajib pajak melakukan pemungutan pajak dengan system self –assessment.
- Tahap 2 : Penelitian Dan Pemeriksaan SKPKB, SKPN, SKPLB, SKPKBT, dan STP.
- Tahap 3 : Keberatan, Pembetulan, Penghapusan, Pengurangan Dan Peninjauan Kembali.
- Tahap 4 : Banding Ke Pengadilan Pajak.

B. NPWP, NPPKP, dan SPT

1. NPWP
NPWP atau singkatan dari Nomor Pokok Wajib Pajak merupakan sebuah nomor yang
diberikan untuk wajip pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang digunakan
sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban
perpajakan. Orang yang memiliki NPWP harus melaporkan penghasilan pajak dengan Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT), dan harus menyetorkan pajaknya tersebut.
Adapun NPWP mempunyai beberapa fungsi antara lain:
 Sebagai sarana pada proses administrasi perpajakan.
 Untuk pengenal diri atau Identitas Wajib Pajak pada pelaksanaan hak dan kewajiban
perpajakan.
 Dicantumkan pada semua dokumen perpajakan
 Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi
perpajakan.

Beberapa fungsi atau manfaat kepimilikan NPWP untuk karyawan antara lain sebagai
berikut : Mempermudah Pengajuan Kredit Bank, Mempermudah Membuka Rekening
Tabungan, Mengurus Pengembalian Pajak, Pengajuan Pengurangan Pembayaran Pajak, dan
Potongan Pajak Lebih Rendah.
Tujuan NPWP dibuat adalah agar Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya terkait dengan perpajakan. Seperti pajak kendaraan, pajak barang mewah,
pajak penghasilan dan jenis pajak lainnya.
NPWP terdiri dari dua jenis yakti NPWP pribadi dan NPWP Badan. NPWP Pribadi Dimiliki
oleh setiap orang atau setiap yang memiliki penghasilan di Indonesia. Sedangkan NPWP
Badan Dimiliki oleh setiap badan atau perusahaan yang mempunyai penghasilan di
Indonesia.

2. NPPKP
Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) merupakan nomor identitas Pengusaha Kena Pajak
(PKP) yang disematkan saat pengusaha dikukuhkan sebagai PKP lewat surat pengukuhan
PKP. Jika pengusaha sudah mendapat nomor pengukuhan PKP (NPPKP) berarti PKP tersebut
dinyatakan sudah resmi menjadi PKP dan dengan demikian terikat kewajiban-kewajiban
perpajakan yang diperuntukan bagi PKP.
PKP (NPPKP) ini berbeda dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) meski keduanya
berfungsi sebagai identitas perpajakan. Perbedaannya adalah, NPWP merupakan identitas
wajib pajak, baik pribadi maupun badan yang merupakan identitas atau bukti kepesertaan
dalam melakukan hak dan kewajiban perpajakan. Sedangkan nomor pengukuhan
PKP (NPPKP) lebih menitikberatkan pada identitas wajib pajak perorangan atau badan yang
terikat pada kewajiban perpajakan untuk PKP. Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) memiliki
fungsi sebagai berikut:
 Sebagai identitas PKP yang bersangkutan, selain tentunya NPWP.
 Sebagai penanda bagi PKP yang memiliki untuk melaksanakan hak dan kewajiban di
bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
 Sebagai pengawasan administrasi perpajakan
Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) ini tertera dalam surat pengukuhan PKP bersama
dengan identitas wajib pajak lainnya, seperti Nama, NPWP, Klasifikasi Lapangan Usaha
(KLU), status usaha hingga kewajiban pajak.

3. Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)

SPT merupakan salah satu jenis surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk dapat
melaporkan perhitungan atau juga pembayaran pajak, objek pajak atau bukan objek pajak dan
atau harta dan sebuah kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. SPT juga memuat suatu informasi seputar jumlah pajak terutang serta pelunasan
pajak yang telah dilakukan dalam periode tertentu. Segala informasi yang dapat dituliskan
dalam SPT harus benar, lengkap, dan jelas. Ada beberapah Fungsi SPT antara lain :
 Bagi Wajib Pajak. Berfungsi sebagai sarana untuk dapat melaporkan suatu
pertangungjawaban atas penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang.
 Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Berfungsi sebagai suatu sarana untuk dapat
melaporkan dan mempertanggung-jawabkan perhitungan jumlah Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang sebenarnya terutang.
 Bagi Pemotong atau Pemungut Pajak. Berfungsi sebagai suatu sarana untuk dapat
melaporkan dan mempertanggung-jawabkan pajak yang dipotong atau juga dapat
dipungut dari pihak lain dan penyetorannya.
 Bagi Petugas Pajak. Berfungsi sebagai suatu sarana untuk dapat menguji kepatuhan
wajib pajak dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan.

Batas Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yaitu:


 Untuk pada surat pemberitahuan masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir
dari masa pajak. Khusus untuk sebuah pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai
dapat disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya masa pajak.
 Untuk sebuah surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan wajib pajak orang
pribadi wajib, paling lama 3 (tiga) bulan setelah pada akhir tahun pajak.
 Untuk suatu surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan wajib pajak badan, ini
yang paling lama 4 (empat) bula setelah akhir tahun pajak.

Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) terbagi atas beberapa jenis yaitu:


 SPT (Surat Pemberitahuan) Masa. Merupakan sebuah Surat Pemberitahuan untuk suatu
Masa Pajak. Surat ini oleh wajib pajak dapat digunakan untuk bisa melaporkan
perhitungan atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu masa pajak pada suatu
saat. Jenis pajak yang harus dilaporkan setiap bulan melalui SPT Masa ini terdiri
sebagai berikut : Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh
Pasal 25, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15., Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Pajak Atas Penjualan Barang Mewah (PPnBM), dan Pemungut PPN.
 SPT (Surat Pemberitahuan) Tahunan. SPT Tahunan yaitu salah satu jenis Surat
Pemberitahuan untuk waktu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. Surat ini oleh wajib
pajak dapat digunakan untuk bisa melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak
terhutang dalam satu tahun pajak.

C. Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak


Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga
dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa
berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa
kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum atau pajak merupakan kewajiban kenegaraan
dan pengabdian peran aktif warga negara dalam upaya pembiayaan pembangunan nasional
kewajiban perpajakan setiap warga negara diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan-
peraturan pemerintah. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksananya
Pembayaran dan pelaporan Pajak dapat dilakukan dengan menggunakan fasilitas sisiem
pembayaran online, dilaksanakan melalui Teller Bank Persepsi/Devisa Persepsi online atau
menggunakan fasilitas alat transaksi yang disediakan oleh Bank Persepsi/ Devisa Persepsi
online. Syarat-syarat dalam pemungutan pajak yaitu : Pemungutan pajak harus adil,
Pengaturan pajak harus berdasarkan UU, Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian,
Pemungutan pajak harus efesien, dan Sistem pemungutan pajak harus sederhana.
Pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
 Fungsi anggaran (budgetair)  Fungsi stabilitas
 Fungsi mengatur (regulerend)  Fungsi redistribusi pendapatan

Secara singkat pajak dapat dimanfaatkan untuk mendanai:


- Pembangunan fasilitas & infrastruktur - Pendidikan
- Alokasi Dana Umum - Pertahanan dan Keamanan
- Pemilihan Umum ( PEMILU) - Kelestarian lingkungan hidup
- Penegakan hukum - Kelestarian budaya
- Subsidi pangan dan BBM - Transportasi massal.
- Pelayanan Kesehatan

Batas waktu penyetoran dan pelaporan pajak diatur sesuai dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010.
KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN: SURAT KETETAPAN
PAJAK, PENAGIHAN PAJAK, KEBERATAN & BANDING, PEMBUKUAN &
PENCATATAN DAN PEMERIKSAAN, PENYIDIKAN & KETENTUAN PIDANA.

A. Ketentuan Umum
Berikut beberapa perubahan uu tentang ketentuan umum Pajak :
- UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
- UU No 9 thn 1994 (Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983).
- UU No 16 thn 2000 (Perubahan Kedua Atas UU No 6 thn 1983).
- UU No 28 thn 2007 (Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983).
- PP Pengganti UU RI No 5 thn 2008 (Perubahan Keempat Atas UU No 6 Tahun 1983).

B. Surat Ketetapan Pajak


Ketika ada kekeliruan dalam pengisian SPT / ditemukannya data pajak yang tidak
dilaporkan, maka Ditjen Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak (SKP). Secara garis
besar, SKP berfungsi sebagai sarana untuk menagih kekurangan pajak, mengembalikan jika
ada kelebihan bayar pajak, memberitahukan jumlah pajak terutang, mengenakan sanksi
administrasi perpajakan, serta menagih pajak. Fungsi SKP ini terbagi sesuai jenisnya yang
akan dibahas pada poin selanjutnya. Ada beberapa jenis Surat Ketetapan Pajak yaitu :
1. Surat Tagihan Pajak (STP). Yaitu surat untuk menagih pajak dan/atau sanksi
administrasi berupa bunga dan/atau denda.
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Dalam UU RI No 16 Thn 2009,
SKPKB adalah surat yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit
pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, serta
jumlah pajak yang masih harus dibayar.
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB). Yaitu surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar
daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang.
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Yaitu surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak.
5. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT). Yaitu surat ketetapan
pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
Sederhananya, SKPKBT merupakan koreksi atas SKP yang diterbitkan sebelumnya.
Pembetulan Ketetapan Pajak. Anda dapat mengajukan permohonan kepada Direktur
Jenderal Pajak untuk membetulkan Surat Ketetapan atau keputusan yang dapat diminta untuk
dibetulkan. Hal-hal yang dapat diajukan pembetulan terhadap ketetapan pajak tersebut
meliput : Kesalahan Tulis, Kesalahan Hitung, dan Kekeliruan dalam penerapan ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan 

C. Keberatan Dan Banding

 Keberatan. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat Jenderal
Pajak atas suatu : Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
(SKPLB),Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), dan pemotongan atau pemungutan
pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Wajib Pajak hanya dapat mengajukan keberatan terhadap materi atau isi
dari surat ketetapan pajak, yang meliputi jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau terhadap materi atau isi
dari pemotongan atau pemungutan pajak. Dalam hal terdapat alasan keberatan selain
mengenai materi atau isi dari surat ketetapan pajak atau pemotongan atau pemungutan
pajak, alasan tersebut tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan.
 Banding. Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat Keputusan Keberatan
atas keberatan yang diajukannya, maka Wajib Pajak masih dapat mengajukan banding
ke Badan Peradilan Pajak. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh
Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan
Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

D. Pembukuan dan Pencatatan


Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan
huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau
dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. Buku, catatan, dan dokumen
yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan
data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line
wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat
tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan. Pembukuan
adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan
informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta
jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun
laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.

 Pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang melakuan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel
kas. Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan
dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat
asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan: stelsel pengakuan penghasilan;
tahun buku; metode penilaian persediaan; atau metode penyusutan dan amortisasi.
 Pencatatan. Wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang
tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

E. Pemeriksaan
Pemeriksaan adalah Serangkaian Kegiatan untuk Menghimpun, Mengolah Data,
Keterangan, dan/atau Bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan
suatu standar pemeriksaan Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, dan
tujuan lain dalam rangka melaksanakan Ketentuan peraturan per- UU perpajakan. Kewajiban
wajib pajak yang diperiksa adalah : Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku/ catatan/
dokumen, Memberikan kesempatan memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu,
dan Memberikan keterangan yang diperlukan. Tata cara pemeriksaannya yaitu di antaranya
mengatur tentang pemeriksaan ulang jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan
surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir
dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
F. Imbalan Bunga
Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan
kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar
sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
Imbalan bunga juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi berupa denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan/atau bunga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) berdasarkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Adminsitrasi atau Surat
Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian
atau seluruh permohonan Wajib Pajak.
G. Gugatan
Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung
Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan
Gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Putusan
Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan.

H. Kuasa wajib pajak


Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus
untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Seorang kuasa bukan konsultan pajak, persyaratan
menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dibuktikan dengan
kepemilikan sertifikat brevet atau ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan
yang diterbitkan oleh Perguruan tinggi negeri atau swasta dengan status terakreditasi A,
sekurang-kurangnya tingkat Diploma III yang dibuktikan dengan menyerahkan fotokopi
sertifikat brevet atau ijazah. seorang kuasa adalah konsultan pajak, persyaratan menguasai
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dibuktikan dengan kepemilikan Surat
Izin Praktek Konsultan Pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas nama
Menteri Keuangan dan menyerahkan fotokopi Surat Izin Praktek Konsultan Pajak
yang dilengkapi dengan Surat Pernyataan Sebagai Konsultan Pajak

I. Sanksi-Sanksi
Pasal 34 (Pejabat, tenaga ahli ), Pasal 36A (Pegawai pajak), Pasal 38 (Setiap orang
yang karena kealpaannya), Pasal 39 (Setiap orang yang dengan sengaja), Pasal 39A (Setiap
orang yang dengan sengaja (terkait faktur pajak), Pasal 41 (Sanksi bagi Pejabat yang karena
kealpaannya), Pasal 41A (Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang
diminta), Pasal 41B (Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulti
penyidikan), dan Pasal 41C (Sanksi bagi orang yang dengan sengaja).

 Peralihan. Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Thn Pajak 2001 sampai dengan
Thn Pajak 2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan UU No 6 thn 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagiamana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UU No 16 thn 2000. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada angka 1, daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak,
atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun Pajak
2013. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008.
PENGADILAN PAJAK
UU yang mengatur tentang pengadilan pajak adalah UU. nomor 14 tahun 2002.
Banding sebagaimana dimaksud dalam Pengadilan Pajak adalah Hak wajib pajak yang
telah diatur dalam Pasal 27 UU KUP.

A. Sejarah Pengadilan Pajak


Di Indonesia untuk pertama kalinya dibentuk institusi yg menangani sengketa Pajak,
yaitu Institusi Pertimbangan Pajak yang dibentuk pada Tahun 1915 (Stbl No. 707) yg
berkedudukan di Batavia (Jakarta). Kemudian disempurnakan Dengan stbl Nomor 29
Tahun 1927 tentang Ordonantie tot Regeling van het Bereop in Belasting zaken yg
berkedudukan di Batavia (Jakarta). Pada Tahun 1950 badan ini berganti nama menjadi
Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang bertugas memberi keputusan atas surat
permohonan banding tentang pajak-Pajak negara dan pajak-pajak daerah.
Kemudian sejak awal Tahun 1998 ditetapkan Undang-undang Nomor 17 Tahun
1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Dengan ditetapkannya UU ini maka
penangan banding pajak beralih ke Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Kemudian
dengan berlakunya UU Nomor 14 Tahun 2002 tanggal 12 April 2002 maka penyelesaian
sengketa Pajak dilakukan di Pengadilan pajak

B. Penjelasan Umum
Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.
Sengketa adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara WP/PP dgn
Pejabat yg berwenang sbg akibat dikeluarkannya keputusan yg dpt diajukan Banding atau
Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan per-UU-an perpajakan termasuk
Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Banding adalah upaya hukum yang dilakukan oleh WP atau Penanggung Pajak
terhadap suatau keputusan yang dapat diajukan banding berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.
Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak / Penanggung
Pajak terhadap pelaksanaan penagihan atau terhadap keputusan yang dapat diajukan
gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

C. Kedudukan Pengadilan Pajak


Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.
Pengadilan Pajak berkedudukan di Ibukota Negara. Sidang Pengadilan Pajak dilakukan di
tempat kedudukannya dan apabila dipandang perlu dapat dilakukan di tempat lain yang
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan. Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak
dilakukan oleh Mahkamah Agung; sedangkan Pembinaan organisasi, administrasi dan
keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan; dan Pembinaan tidak boleh mengurangi
kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.
Susunan Pengadilan Pajak terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris dan
Panitera; Pimpinan Pengadilan Pajak terdiri dari seorang Ketua dan paling banyak 5 (lima))
orang Wakil Ketua. Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan
memutus Sengketa Pajak.
Permohonan Gugatan diajukan oleh :
1. Ahli waris. 5. Pengampu (dalam hal pailit).
2. Wajib Pajak sendiri. 6. Pihak yang menerima
3. Seorang Pengurus. pertanggungjawaban (dlm hal,
4. Kuasa Hukum. Peleburan, pemekaran liquidasi, dll).

D. Persidangan
Pemeriksaan dalam persidangan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan cara biasa
jika memenuhi persyaratan formal dan juga dengan cara cepat.
Dengan acara cepat jika :
- Sengketa Pajak tertentu;
- Gugatan yang tidak diputus dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81
ayat (2);
- tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1)
atau putusan yg terdpt kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung, dalam putusan
Pengadilan Pajak;
- sengketa yang berdasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan wewenang
Pengadilan Pajak;
- Sengketa Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam point (a) adalah Sengketa Pajak
yang Banding atau Gugatannya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 37 ayat (1), Pasal 40
ayat (1) dan/atau ayat (6).

 Alat bukti dapat berupa : surat atau tulisan; keterangan ahli; keterangan para saksi;
pengakuan para pihak; dan/atau pengetahuan Hakim. (MINIMAL 2 ALT BUKTI)
 Putusan pengadilan dapat terbagi dalam beberapa jenis : menolak; mengabulkan
sebagaian atau seluruhnya; menambah Pajak yang harus dibayar; tidak dapat diterima;
membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung; dan/atau membatalkan.

Pelaksanaan putusan pengadilan adalah :


1. Putusan Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi
keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan per-UU- mengatur lain.
2. Apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian / seluruh Banding, kelebihan
pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga 2% sebulan untuk
paling lama 24 bulan, sesuai ketentuan peraturan per-UU perpajakan yang berlaku.
3. Salinan putusan / salinan penetapan Pengadilan Pajak dikirim kepada para pihak dengan
surat oleh Sekretaris dalam jangka waktu 30 hari sejak tanggal putusan Pengadilan Pajak
diucapkan, atau dalam jangka waktu 7 hari sejak tanggal putusan sela diucapkan.
4. Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh Pejabat yang berwenang dalam
jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal diterima putusan.
5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan Pajak dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
kepegawaian yang berlaku.
Peninjauan kembali :
1. Permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) hanya
dapat diajukan 1 kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak.
2. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan
pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak.
3. Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus, dan dalam hal sudah
dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi.
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan berikut :
a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan.
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan.
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut,
kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c;
d. Apabila mengenai suatu bagian tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebabnya;
e. Apabila terdapat suatu putusan yang tidak sesuai ketentuan peraturan UU yang berlaku.

E. Pokok-Pokok Perubahan UU

Pokok-pokok perubahan UU terbagi 2 Ketentuan lama dan usul perubahan.


 Penyelesaian sengketa dibidang perpajakan (mengubah pasal 2 ayat (2))
Ketentuan sekarang:
Gugatan diajukan ke Pengadilan Pajak terhadap :
a. Pelaksanaan SP, SPMP atau Pengumuman Lelang.
b. Keputusan yg berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain Pasal 25
ayat (1) & Ps. 26.
c. Keputusan Pembetulan Pasal 16 yang berkaitan dengan STP.
d. Keputusan sebagaimana dimaksud Pasal 36 yang berkaitan dengan STP.
Usulan Perubahan : Menambah objek gugatan yaitu Keputusan Pencegahan.
Alasan Perubahan : Meningkatkan kepastian hukum sehingga penanganan sengketa pajak
hanya dilakukan oleh badan peradilan pajak.

 Keberatan & Banding (Menambah Pasal 26A). usulan penambahan :


Untuk memberikan kesempatan yang luas kepada WP berkaitan dgn permohonan
keberatannya, dalam tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan keberatannya,
antara lain diatur WP dapat hadir untuk memberikan keterangan atau memperoleh
penjelasan.

Pasal 26A
Tata cara pengajuan & penyelesaian permohonan keberatan diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
Alasan penambahan : Untuk lebih memberikan keadilan bagi Wajib Pajak; Transparansi;
dan Peningkatan Pelayanan.

 Keberatan dan banding (Menambah Pasal 27 ayat (4A))


Usulan Penambahan : Apabila diminta oleh WP untuk pengajuan banding, DJP wajib
memberikan keterangan tertulis hal-hal yg menjadi dasar
Keputusan keberatan.
Alasan Penambahan : WP dapat menyusun banding dgn alasan yang kuat; Lebih
memberikan keadilan; dan Transparansi
PAJAK PENGHASILAN

Pajak penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Dasar hukum PPh adalah
UU no. 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan uu
no. 36 tahun 2008 dan pp, kep pres, kep menkeu, kep dirjen, se dirjen.

Subjek pajak terdiri atas orang pribadi , warisan yang belum terbagi, badan dan bentuk
usaha tetap (BUT). Subjek pajak juga terbagi atas subjek pajak dalam negeri dan luar negeri.
 Subjek pajak dalam negeri
Subjek pajak dalam negeri terdiri atas
 Orang pribadi : bertempat tinggal/berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12
bulan atau dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
bertempat tinggal di Indonesia.
 Badan : Yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
 Warisan yang belum terbagi.
 Subjek pajak luar negeri
Subjek pajak luar negeri yaitu,
 Orang pribadi yg tidak bertempat tinggal di indonesia / berada di indonesia tidak lebih
dari 183 hari dalam 12 bulan
 Badan yg tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di indonesia

Yang menjalankan Usaha atau kegiatan melalui But di Indonesia dan yang menerima
atau memperoleh Penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau kegiatan
melalui But di indonesia
Perbedaan WP dalam negeri dan luar negeri adalah :
Wajib pajak dalam negeri
 Dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari indonesia
dan dan luar indonesia.
 Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan netto
 Tarif pajak yang digunakan adalah tarif umum (tarif uu pph pasal 17).
 Wajib menyampaikan spt
Wajib pajak luar negeri
 Dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di
indonesia.
 Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto.
 Tarif pajak yang digunakan adalah tarif sepadan (tarif uu pph pasal 26).
 Tidak wajib menyampaikan spt.

 Bentuk usaha tetap


Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi sebagai
subjek pajak LN, atau oleh badan sebagai subjek pajak LN untuk menjalankan usaha atau
kegiatan di Indonesia. Bentuk usaha tetap dapat berupa :
 Tempat kedudukan manajemen
 Cabang perusahaan
 Kantor perwakilan
 Gedung kantor
 Pabrik
 Bengkel
 Gudang
 Ruang utk promosi dan penjualan
 Pertambangan dan penggalian sumber alam,
 wilayah kerja pengeboran untuk eksplorasi pertambangan
 Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan
 Proyek konstruksi/instalasi/perakitan
 Pemberian jasa yang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan
 Agen yang kedudukannya tidak bebas
 Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi luar negeri yang menerima premi atau
menanggung resiko di Indonesia
 Komputer, dedicated server, utk kegiatan usaha melalui internet.
 Tempat tinggal OP atau tempat kedudukan Badan yg ditetapkan oleh Dir.Jen. Pajak.

 Kewajiban pajak subjektif :


 Subjek pajak dalam negeri
Untuk orang pribadi dimulai saat dilahirkan dan/atau saat berada atau berniat tinggal di
Indonesia dan berakhir saat meninggal dan/atau meninggalkan indonesia untuk selamanya.
Untuk badan dimulai saat didirikan/berkedudukan di Indonesia dan berakhir saat
dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di indonesia.
 Subjek pajak luar negeri
Untuk yang selain BUT dimulai saat menerima/memperoleh penghasilan dari Indonesia
dan berakhir saat tidak lagi menerima/memperoleh penghasilan dari indonesia
Untuk yang BUT dimulai saat melakukan usaha/kegiatan melalui BUT di Indonesia dan
berakhir saat tdk lagi menjalankan usaha/kegiatan melalui BUT di indonesia.
 Warisan yg belum terbagi
Ini dimulai saat timbulnya warisan dan berakhir saat warisan selesai dibagikan.
Kewajiban pajak subjektif adalah kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang berada atau
bertempat tinggal di Indonesia dan hanya meliputi sebagian dari tahun pajak maka bagian
tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak.

 Yang tidak termasuk subjek pajak adalah :


 Badan perwakilan negara asing.
 Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing, dan orang-orang yg diperbantukan kpd mereka yg bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka dgn syarat bukan wni dan di indonesia tdk
menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tsb
serta negara ybs memberikan perlakuan timbal balik.
 Organisasi internasional yang ditetapkan oleh menkeu dgn syarat indonesia menjadi
anggotanya dan tdk menjalankan usaha / kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari indonesia selain pemberian pinjaman kpd pemerintah yg dananya berasal dari
iuran para anggota.
 Pejabat perwakilan organisasi internasional yg ditetapkan dgn kepmenkeu dgn syarat
bukan wni dan tdk menjalankan usaha / kegiatan/ pekerjaan lain utk memperoleh
penghasilan dari indonesia sesuai kmk no. 574/kmk.04/2000.

Untuk penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang
tuanya kecuali penghasilan dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha orang
yang mempunyai hubungan istimewa.
Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghassilan bruto yaitu :
a) Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun.
b) biaya yg dibebankan utk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.
c) Pembentukan dana cadangan kecuali cadangan untuk jenis usaha tertentu yang
ditetapkan keputusan menteri keuangan.
d) Premi asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwi guna, dan asuransi bea siswa yg
dibayar oleh wp orang pribadi.
e) Penggantian/ imbalan pekerjaan/jasa yg diberikan dalam bentuk natura dan
kenikmatan kecuali
- penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai
- di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang
ditetapkan kepmenkeu (kmk no. 466/kmk.04/2000)

 Penyusutan (Depresiasi)
Penyusutan (Depresiasi) adalah Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta
berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun harus dibebankan sebagai
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara
mengalokasikan pengeluaran tsb selama masa manfaat harta yang bersangkutan melalui
penyusutan (depresiasi).
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, tanah hak guna usaha,
dan hak pakai tidak boleh disusutkan, kecuali jika tanah tersebut berkurang karena digunakan
untuk memperoleh penghasilan, seperti perusahaan genteng, perusahaan keramik, dan
perusahaan batu bata.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan besarnya biaya penyusutan
adalah :
o saat dimulainya penyusutan, o kelompok masa manfaat dan tarif
o metode penyusutan, penyusutan, serta
o harga perolehan.

 Amortisasi
Amortisasi adalah Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan
pengeluaran lainnya termasuk perpanjangan hak-hak atas tanah yang mempunyai masa
manfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi dengan metode garis lurus maupun metode saldo
menurun. Dalam metode saldo menurun, nilai buku harta tak berwujud, atau hak-hak tersebut
diamortisasi sekaligus pada akhir masa manfaatnya.

 Penilaian persediaan
Untuk penilaian persediaan dapat di jelaskan sebagai berikut :
Pada perusahaan pabrikasi (manufaktur) terdapat 3 jenis persediaan, yaitu:
- persediaan barang jadi,
- persediaan barang dalam proses produksi, serta
- persediaan bahan baku dan bahan pembantu,
Perusahaan dagang hanya terdapat satu jenis persediaan yaitu persediaan barang
dagangan. Persediaan barang berupa peralatan atau bahan habis pakai tidak termasuk dalam
ketentuan ini karena merupakan barang-barang yang dipakai untuk kegiatan operasional
perusahaan. Penilaian persediaan barang didasarkan pada harga perolehan. Penilaian
pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok penjualan hanya boleh dilakukan dua
cara, yaitu:
 metode rata-rata (average), atau
 “metode masuk pertama keluar pertama” (first In first-out) FIFO
PAJAK PENGHASILAN: PPH PASAL 25 DAN PPH PASAL 29 (28A)

Apa itu PPh 25 dan PPh 29?

PPh Pasal 25 adalah pajak yang dikenakan untuk wajib pajak pribadi, perusahaan atau
badan hukum lainnya atas penghasilan yang didapatkan. Di mana, pajak ini dibayar secara
angsuran dengan tujuan meringankan beban wajib pajak, mengingat pajak terutang harus
dilunasi dalam jangka waktu satu tahun. Pembayaran ini harus dilakukan sendiri dan tidak
bisa diwakilkan.

Sedangkan, PPh 29 adalah PPh Kurang Bayar yang tercantum dalam SPT Tahunan
PPh, yaitu sisa dari PPh terutang dalam tahun pajak yang bersangkutan dikurangi kredit PPh
(PPh Pasal 21, 22, 23, dan 24) dan PPh 25. PPh pasal 29 ini terjadi ketika pajak yang terutang
untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak, maka kekurangan pajak
yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan.

Cara Membedakan PPh 25 dan PPh 29

Jika dilihat secara peraturan perundang-undangan perpajakan, PPh 25 dan PPh 29


hanya istilah yang menggambarkan Pasal dalam Undang-undang Pajak Penghasilan yang
mengaturnya. PPh pasal 25 berarti jenis setoran atau kewajiban yang diatur dalam Pasal 25
UU PPh. Sedangkan PPh 29 berarti jenis setoran atau kewajiban yang diatur dalam Pasal 29
UU PPh.

Untuk membedakannya, PPh 25 kata kuncinya angsuran,merupakan angsuran pajak


yang dibayarkan setiap bulan untuk tahun pajak yang bersangkutan, paling lambat dibayar
tanggal 15 bulan berikutnya dan pelaporan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Sedangkan PPh 29, kata kunci pelunasan, merupakan kekurangan pajak yang terutang
pada akhir tahun pajak, paling lambat dibayar sebelum SPT Tahunan PPh disampaikan.
Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya, dan
untuk Wajib Pajak Badan paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya.

Tarif Pajak

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WPOP-PT),PPh 25 yang sudah
dilunasi adalah 0.75 dikalikan jumlah penghasilan atau omzet per bulan. Sedangkan PPh 29
yang harus dilunasi adalah PPh yang masih terutang dikurangi PPh 25 yang sudah dilunasi.

Bagi Wajib Pajak Badan (WPB), Angsuran PPh 25 adalah PPh terutang tahun
sebelumnya dikalikan 12. Sedangkan PPh pasal 29 yang harus dilunasi adalah PPh yang
terutang angsuran PPh pasal 25.

Mekanisme Pembayaran Pajak

PPh pasal 25 dan PPh 29 sebenarnya serupa, karena keduanya sama-sama PPh Badan,
pajak atas laba perusahaan. Namun keduanya memiliki perbedaan. Di dalam praktiknya, PPh
badan dapat dicicil selama periode pajak tahun berjalan. Cicilan tersebut bagi wajib pajak
badan bertujuan untuk dapat meringankan beban pajak di akhir tahun. Sedangkan bagi
pemerintah, dengan adanya cicilan tersebut akan mempercepat uang masuk ke kas negara.
Nilai PPh badan tahun sebelumnya dapat dijadikan dasar, kemudian dibagi 12 bulan. Dari
situlah dapat ditemukan berapa nominal besaran rupiah yang harus dicicil setiap bulan.

Contoh Perhitungan

Sekarang tahun 2018. Diketahui, PPh badan tahun 2017 senilai Rp24 juta (laba kena
pajak 2017 dikalikan 25%). Nilai Rp24 juta tersebut kemudian dijadikan dasar untuk
mencicil PPh Badan tahun 2018. Caranya dibagi 12 bulan lalu dicicil setiap bulan, yang
berarti Rp2 juta setiap bulannya. Secara akuntansi, cicilan tersebut dijurnal sebagai berikut :

Uang Muka PPh Badan Rp2.000.000

Bank Rp2.000.000

Jurnal tersebut dilakukan setiap bulan sehingga ledger Uang Muka PPh Badan pada
akhir tahun 2018 nanti bersaldo Rp24 juta. Kemudian di akhir tahun 2018, setelah dihitung
PPh Badan 2018 secara riil, ternyata ditemukan nilai Rp27 juta (laba kena pajak 2018
dikalikan 25%). PPh Badan yang perlu dibayar sisa Rp3 juta karena yang Rp 24 juta sudah
dibayar sebelumnya. Maka jurnalnya menjadi sebagai berikut :

PPh Badan Rp27.000.000

Uang Muka PPh Badan Rp24.000.000

Bank Rp3.000.000

Mekanisme cicilan senilai Rp24 juta, itulah yang disebut PPh pasal 25, dan
pembayarannya dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) PPh pasal 25.
Sedangkan perhitungan riil pajak senilai Rp27 juta dan pembayaran senilai Rp3 juta, itulah
yang disebut PPh 29, dan pembayarannya dilakukan dengan menggunakan SSP PPh 29.

PPN dan PPn BM: Terminologi yang digunakan dan Subyek & obyek pajak
 Pengertian PPN Dan PPnBM
Pajak Pertambangan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
merupakan dua jenis pajak yang berbeda meski memiliki sejumlah unsur yang sama. Dari
pengertiannya saja, kita bisa simpulkan jika PPN dan PPnBM merupakan dua hal yang
berbeda. PPN merupakan pajak yang dikenakan terhadap pertambahan nilai yang muncul
karena pemakaian faktor-faktor produksi oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang
menyiapkan, menghasilkan dan memperdagangkan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena
Pajak (JKP). Sementara, PPnBM merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang masuk
golongan barang mewah. Pengenaan PPnBM dibebankan pada produsen atau PKP yang
menghasilkan atau mengimpor barang mewah.

 Objek Pajak PPN


Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalamDaerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
(UU No 11 Tahun 1994)
b. impor Barang Kena Pajak. (UU No 11Tahun 1994)
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabeanyang dilakukan oleh Pengusaha.
(UU No 18 Tahun 2000)
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujuddari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean. (UU No 11 Tahun 1994)
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dariluar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau (UU
No 11 Tahun 1994)
f. ekspor Barang Kena Pajak oleh PengusahaKena Pajak. (UU No 18 Tahun 2000)
Empat prinsip objek terkena PPN atau tidak terkena PPN yaitu : (1) Yang diserahkan
adalah barang kena pajak / jasa kena pajak, (2) Tindakan penyerahannya merupakan
penyerahan kena pajak, (3) Penyerahan di lakukan di daerah Pabean, (4) Penyerahan
dilakukan oleh pengusaha kena pajak.

 Objek PPnBM
PPnBM terutang hanya pada dua peristiwa yaitu pada saat impor BKP yang tergolong
mewah dan pada saat penyerahan BKP tergolong mewah oleh Pabrikan, yang berarti :
a. barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
b. barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
c. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi;
d. barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat serta mengganggu
ketertiban masyarakat seperti minuman beralkohol.

 Subjek Pajak PPN


Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah
pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
Pengusaha Kena Pajak, sering disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan JKP yang dikenakan pajak berdasarkan
UU Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha
Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha
Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha kecil
menurut UU PPN 1994 digolongkan sebagai bukan pengusaha kena pajak. Konsekuensinya
adalah apabila pengusaha kecil tersebut memilih menjadi pengusaha kena pajak, maka ia
mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti pengusaha kena pajak pada umumnya.

Prinsip PPnBM
 Pemungutannya hanya satu kali saja yaitu pada waktu impor BKP yang tergolong mewah
dan pada saat penyerahan BKP tergolong mewah oleh Pabrikan.
 Tidak mengenal istilah Pajak Masukan, karena itu PPnBM yang telah dibayar tidak
dapat dikreditkan dengan PPnBM yang terutang.
 PPnBM dapat ditambahkan ke dalam harga BKP yang bersangkutan (HPP) atau
dibebankan sebagai biaya sesuai dengan ketentuan UU PPh, artinya dapat dibebankan
atau disusutkan langsung.
Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang PPN, Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah dikenakan terhadap : Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang
dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah di
dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; impor Barang Kena Pajak
Yang Tergolong Mewah.

Dasar Pertimbangan Pengenaan PPnBM. Perlu keseimbangan pembebanan pajak antara


konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi; perlu
adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah; perlu
adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; dan perlu untuk mengamankan
penerimaan negara;

Dasar Pengenaan Pajak PPN. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah dasar yang dipakai
untuk menghitung pajak yang terutang, berupa: Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor,
Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

 7 Karakteristik PPN, antara lain :


1. Merupakan pajak tidak langsung. Artinya, beban pajak dialihkan kepada pihak lain,
yakni pihak yang mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi objek pajak.
2. Merupakan pungutan yang sifatnya objektif.
3. Multi stage tax. Artinya, PPN dikenakan pada seluruh rantai produksi dan distribusi.
4. Dihitung dengan metode indirect substraction.
5. Merupakan pajak atas konsumsi umum dalam negeri.
6. Bersifat netral.
7. Tidak menimbulkan pajak berganda.

 4 Karakteristik PPnBM, antara lain :


1. Merupakan pungutan tambahan. PPnBM merupakan pungutan tambahan yang
dikenakan pada barang mewah disamping PPN. Hal ini dimaksudkan agar konsumen
yang membeli barang mewah, yang notabene merupakan konsumen dengan daya beli
tinggi, memikul beban tambahan lebih tinggi dibanding konsumen daya beli rendah.
2. Hanya dikenakan satu kali. PPnBM hanya dikenakan satu kali, yaitu pada saat
impor/penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan pabrikan yang
menghasilan BKP yang tergolong mewah.
3. Tidak dapat dikreditkan. Karena sasaran PPnBM adalah konsumen, maka tujuan
memberi beban pajak tambahan tidak akan tercapai apabila PPnBM dapat dikreditkan
karena PPnBM yang dibayar akan masuk kembali ke kas perusahaan pedagang besar.
4. Jika diekspor, PPnBM yang dibayar pada saat perolehan dapat diminta kembali.
Meski PPnBM tidak dapat dikreditkan, tetapi apabila BKP yang tergolong mewah
diekspor, maka PPnBM yang dibayar berkaitan dengan perolehan BKP yang
tergolong mewah yang berhubungan langsung dengan BKP, dapat diajukan
permintaan restitusi.

 Keuntungan Sistem Pajak Pertambahan Nilai


Dibandingkan dengan sistem pajak peredaran maupun pajak penjualan yang bersifat
kumulatif, sistem PPN tentunya memiliki keuntungan-keuntungan yang dapat disebutkan
sebagai berikut : Tidak ada unsur pajak berganda, Netral dalam persaingan dalam negeri,
Netral dalam perdagangan internasional, Netral bagi pola konsumsi, dan Menghindarkan
penyelundupan pajak

 Perbedaan PPN dan PPnBM


Berdasarkan masing-masing karakteristiknya, secara garis besar terdapat tiga poin
perbedaan PPN dan PPnBM, yakni :
Jenis pungutan. Pada PPN, jenis pungutan yang dibebankan adalah pungutan atas nilai
tambah barang. Sementara, PPnBM merupakan pungutan tambahan yang dikenakan selain
PPN kepada barang yang sifatnya mewah.
Pengenaan Pajak. PPN dikenakan di setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur
distribusi, mulai dari tingkat pabrikan, tingkat pedagang besar hingga tingkat pedagang
pengecer. Sementara, PPnBM hanya dikenakan satu kali, yakni saat impor atau saat
penyerahan BKP di dalam negeri oleh pabrikan yang menghasilkannya.
Pengkreditan. PPN dapat dikreditkan melalui mekanisme pajak masukan dan pajak
keluaran. Sementara, PPnBM tidak dapat dikreditkan dengan PPN atau PPnBM lainnya.

 Mekanisme Pelaporan PPN dan PPnBM


Dalam hal pelaporan, PPN dan PPnBM menggunakan SPT Masa PPN atau bisa disebut
juga SPT Masa PPN 1111, yang merupakan form yang digunakan PKP untuk melaporkan
hitungan besaran pajak PPN dan PPnBM yang terutang. PKP yang memungut PPN dan/atau
PPnBM wajib menerbitkan faktur pajak sebagai bukti telah dipungutnya PPN dan/atau
PPnBM. Dalam prosesnya penerbit faktur pajak harus memiliki sertifikat elektronik dan
membuat e-Faktur. Sejak hadirnya e-Filing, PKP yang ingin melaporkan pajak, baik PPN
maupun PPnBM tidak perlu lagi menyampaikan SPT secara manual. Hal ini bahkan
ditetapkan melalui Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2015
PPN DAN PPnBM (MEKANISME PENGKREDITAN PPN)

Dasar Pengenaan Pajak PPN. Merupakan istilah yang mengacu pada penggunaan nilai
tertentu sebagai dasar perhitungan untuk menentukan besaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
yang harus dipungut. Nilai yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak PPN ini tidak
hanya satu macam, sebab pengenaan pungutan  PPN tidak bisa dipukul rata antara Barang
Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). Untuk BKP memiliki lebih dari satu nilai
yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak PPN. Pun demikian juga dengan JKP, yang
juga tak hanya berlandaskan satu nilai saja untuk menentukan dasar pengenaan pajak PPN.
Pungutan PPN dengan tarif yang ditetapkan didasarkan atas dasar pengenaan pajak
PPN yang meliputi lima nilai, yakni: Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai ekspor, dan
Nilai lain yang diatur oleh Menteri Keuangan

Harga Jual Sebagai Dasar Pengenaan Pajak PPN. Penggunaan harga jual sebagai dasar
pengenaan pajak PPN didasarkan atas Pasal 1 Ayat (18) UU PPN dan PPnBM. Dalam UU
PPN dan PPnBM, yang dimaksud dengan harga jual adalah nilai berupa uang. Nilai berupa
uang ini termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena
penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN dan PPnBM, serta
potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.

Penggantian Sebagai Dasar Pengenaan Pajak PPN. Dalam UU PPN dan PPnBM Pasal 1
Ayat (19), yang dimaksud dengan penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua
biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor
JKP atau ekspor BKP tidak berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU
PPN dan PPnBM serta potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak. Penggantian
juga termasuk nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa
karena pemanfaatan JKP dan/atau oleh penerima manfaat BKP tidak berwujud karena
pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

Nilai Impor dan Ekspor Sebagai Dasar Pengenaan Pajak PPN. Pengeritan nilai impor
dalam UU PPN dan PPnBm Pasal 1 Ayat (20) adalah, nilai berupa uang yang menjadi dasar
penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah peraturan yang
mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor BKP, tidak termasuk PPN dan
PPnBM yang dipungut menurut UU PPN dan PPnBM. Sementara, nilai ekspor adalah nilai
berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.

Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak PPN. Penggunaan nilai lain dimaksudkan
untuk mengindentikasi dasar pengenaan pajak PPN yang bisa dikenakan pada beberapa
transaksi tertentu, khususnya yang berada di luar klasifikasi dasar pengenaan pajak PPN pada
umumnya. Berdasarkan PMK No.75/PMK.03/2010, kategori perhitungan nilai lain sebagai
dasar pengenaan pajak PPN. Nilai lain PPN sebagai DPP dimaksudkan untuk menjamin rasa
keadilan dalam dua hal, yakni : (1) Harga jual, nilai penggantian, nilai ekspor yang sukar
diterapkan. Dan (2) Penyerahan BKP yang dibutuhkan masyarakat banyak, seperti air minum
dan listrik.

Pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pada dasarnya mekanisme pengkreditan


PPN memiliki konsep yang sederhana. “Jika pajak keluaran lebih besar dari pajak masukan,
maka selisihnya merupakan PPN yang harus dibayar.” “Jika pajak keluaran lebih kecil dari
pajak masukan, maka selisihnya merupakan kelebihan bayar PPN yang bisa dikompensasi
dengan masa pajak berikutnya atau dikenakan restitusi.” Pasal 9 UU Nomor 42 tahun 2009
mengatur lebih jauh mengenai mekanisme pengkreditan pajak masukan. Pasal ini mengatur
dimana pajak masukan dikreditkan dengan pajak keluaran untuk masa pajak yang sama.
Selain menerapkan mekanisme pengkreditan pajak yang tepat, penting untuk
menyetorkan SPT Masa PPN dalam jangka waktu yang ditetapkan, paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. Perlu diperhatikan juga, bahwa pajak masukan
yang dapat dikreditkan harus memenuhi persyaratan formal maupun material. Tidak semua
pajak masukan dapat dikreditkan, contohnya dalam faktur pajak tidak lengkap. Persyaratan
pengkreditan PM diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 16B UU PPN.

Faktur Pajak. Yaitu bukti pungutan pajak Pengusaha Kena Pajak (PKP), yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP). Artinya,
ketika PKP menjual suatu barang atau jasa kena pajak, ia harus menerbitkan Faktur Pajak
sebagai tanda bukti dirinya telah memungut pajak dari orang yang telah membeli barang/jasa
kena pajak tersebut. Barang/jasa kena pajak yang diperjualbelikan, telah dikenai biaya pajak
selain harga pokoknya.PKP adalah bisnis/perusahaan/pengusaha yang melakukan penyerahan
barang kena pajak dan/atau JKP yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Jenis-jenis Faktur Pajak :
1. Faktur Pajak Keluaran  5. Faktur Pajak Digunggung 
2. Faktur Pajak Masukan  6. Faktur Pajak Cacat 
3. Faktur Pajak Pengganti  7. Faktur Pajak Batal 
4. Faktur Pajak Gabungan 

Fungsi Faktur Pajak : Faktur Pajak sangat berguna bagi PKP. Dengan adanya faktur pajak
maka PKP memiliki bukti bahwa PKP telah melakukan penyetoran, pemungutan hingga
pelaporan SPT Masa PPN sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Pajak Keluaran. Yaitu Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP),
penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), ekspor BKP Berwujud, ekspor BKP Tidak Berwujud
dan/atau ekspor JKP.

Pengkreditan Pajak Masukan. Syarat faktur pajak yang dpt dikreditkan menurut UU PPN :
1. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran
dalam Masa Pajak yang sama.
2. Pajak Masukan yang belum dikreditkan pada Masa Pajak yang sama, masih boleh
dikreditkan di Masa Pajak berikutnya paling lama 3 bulan setelah berakhirnya Masa
Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum
dilakukan pemeriksaan.
3. Pajak Masukan yang dikreditkan harus memenuhi persyaratan formal dan material.
4. Pajak Masukan yang dikreditkan harus mencantumkan keterangan tentang penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak

Pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai-Barang Mewah (PPN-BM)


Secara umum, mekanisme pemungutan PPnBM terbagi menjadi dua:
1. Mekanisme pemungutan PPnBM oleh PKP penjual kepada PKP pembeli
2. Mekanisme pemungutan PPnBM oleh pemungut PPN/PPnBM
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa mekanisme pemungutan PPnBM adalah sama
dengan PPN, dimana PKP penjual yang menyerahkan BKP yang tergolong mewah
menerbitkan faktur pajak kepada PKP pembeli dan melaporkan pungutan PPN dan PPnBM
yang dilakukan dalam SPT masa pajak. Faktur pajak yang digunakan untuk transaksi ini
adalah faktur pajak dengan kode 01. Sementara, mekanisme pemungutan PPnBM oleh
pemungut PPN/PPnBM, yakni bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi pemerintah
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak
yang terutang oleh PKP atas penyerahan BKP kepada pemungut PPN/PPnBM, antara lain :
1. Mekanisme pemungutan PPN oleh bendaharawan pemerintah dan Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara (KPPN).
2. Mekanisme pemungutan PPN oleh pemegang kuasa/izin atau kontraktor.
3. Mekanisme pemungutan PPN oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Mekanisme Pemungutan PPnBM oleh Bendaharawan Pemerintah dan KPPN, yakni :


1. PKP rekanan pemerintah membuat faktur pajak dan Surat Setoran Pajak (SSP) pada
saat menyampaikan tagihan kepada bendaharawan Pemerintah atau KPKN baik untuk
sebagian maupun seluruh pembayaran.
2. Rekanan menerbitkan faktur pajak dengan kode transaksi 02.
3. Apabila pembayaran diterima sebelum penagihan atau sebelum penyerahan BKP,
faktur pajak wajib diterbitkan pada saat pembayaran diterima.
4. PKP rekanan mencantumkan jumlah PPnBM yang terutang pada faktur pajak.

Mekanisme Pemungutan PPnBM oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama, antara lain :
1. Rekanan membuat faktur pajak pada saat pemungutan
2. Rekanan membuat faktur pajak dengan kode faktur 030
3. Faktur pajak dibuat dalam tiga rangkap, masing-masing untuk kontraktor atau
pemegang kuasa, untuk rekanan dan untuk kontraktor atau pemegang kuasa yang akan
dilampirkan dalam SPT masa pajak.
Pada faktur pajak tersebut, kontraktor atau pemegang kuasa yang melakukan
pemungutan wajib membubuhkan cap yang menunjukan tanggal penyetoran PPnBM dan
kemudian menandatangani. Sementara, untuk SSP diisi dengan membubuhkan NPWP dan
identitas rekanan, namun yang menandatangani SSP adalah kontraktor atau pemegang
kuasa/pemegang izin selaku penyetor PPN/PPnBM atas nama rekanan.

Mekanisme Pemungutan PPnBM oleh BUMN. Rekanan BUMN membuat faktur pajak dan
SSP saat penyerahan BKP yang tergolong mewah kepada BUMN. Faktur pajak yang dibuat
oleh rekanan BUMN menggunakan kode faktur 03. Ketentuan mengenai faktur pajak terkait
mekanisme pemungutan PPnBM oleh BUMN adalah sebagai berikut:
1. Faktur pajak dibuat saat penyerahan.
2. Faktur pajak dibuat dua rangkap, untuk BUMN dan rekanan BUMN.
3. Pada faktur pajak yang dibuat, dibubuhi cap yang menunjukan tanggal penyetoran dan
ditandatangani oleh BUMN.

Sementara, ketentuan mengenai SSP adalah sebagai berikut:


1. Rekanan mengisi SSP dengan membubuhkan NPWP serta identitas rekanan BUMN,
tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh BUMN sebagai penyetor atas nama
rekanan
2. SSP dibuat 4 rangkap, masing-masing untuk :
o Rekanan BUMN o Untuk rekanan yang
o Untuk KPPN melalui bank dilampirkan pada SPT masa pajak.
persepsi atau kantor pos. o Untuk bank persepsi atau
kantor pos.

SSP yang dibuat oleh rekanan BUMN ini menggunakan kode akun pajak diisi 411211
dan kode jenis setoran 900.

PPN DAN PPN BM: KELOMPOK PEMUNGUT PPN, PENGERTIAN PENGECER & CARA
PERHITUNGAN PPN
Dalam sistem perpajakan di Indonesia, kita mengenal istilah pemungut PPN. Bagi
pemungut PPN, pemerintah menetapkan mekanisme pemungutan pajak yang berbeda
dibandingkan mekanisme pemungutan PPN pada umumnya.

Perbedaan mekanismenya terlihat jelas pada pihak yang berkewajiban memungut dan
melaporkan PPN. Jadi, jika terjadi kegiatan penyerahan BKP/JKP yang dilakukan PKP
rekanan kepada pemungut PPN, maka PPN akan dipungut oleh pemungut PPN dan tidak lagi
dipungut PKP penjual. Namun, PKP penjual tetap berkewajiban menerbitkan faktur sebagai
bukti adanya transaksi dan pemungutan PPN. Hanya saja, kewajiban untuk memungut,
menyetor, dan melaporkan pajak justru ada pada pembeli selaku pemungut PPN.

Pemungut PPN. Dalam pelaksanaannya terdapat 3 pemungut pajak, yaitu:

1. Badan Usaha Milik Negara


BUMN merupakan badan usaha yang sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara
dan berasal dari kekayaan negara. BUMN terdiri dari Persero, yang sahamnya minimal 51%
dimiliki oleh pemerintah, dan Perum, yang mana seluruh modalnya dimiliki pemerintah.

2. Kontraktor atau pemegang izin

Kontraktor atau pemegang izin/kuasa merupakan salah satu pemungut PPN. Yang
dimaksud kontraktor atau pemegang izin/kuasa dijelaskan dalam Pasal 1 PMK-
73/PMK.03/2010, yakni :

 Kontraktor yang memiliki kontrak kerja sama dengan pengusaha minyak dan gas
bumi.
 Kontraktor atau pemegang izin/kuasa pengusaha sumber daya panas bumi yang
meliputi kantor pusat, cabang, ataupun unitnya.

Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) merupakan pihak yang menjalin kontrak
dengan pemerintah RI, badan usaha tetap atau perusahaan pemegang hak pengelolaan dalam
suatu blok atau wilayah kerja dan memiliki hak untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi
gas dan minyak bumi di Indonesia.

3. Bendaharawan pemerintah

Bendaharawan pemerintah merupakan bendaharawan atau pejabat yang melakukan


pembayaran yang dananya berasal dari APBD/APBN. Bendaharawan pemerintah terdiri dari
bendaharawan pemerintah pusat dan daerah (provinsi, kabupaten, atau kota). Jadi, yang
dimaksud pemungut PPN dan PPnBM dari kalangan bendaharawan pemerintah adalah:

 Pejabat yang ditunjuk menteri atau ketua lembaga sebagai bendahara dan/atau
bendahara proyek.
 Direktorat Jenderal Anggaran yang sekarang menjadi Direktorat Jenderal
Perbendaharaan.
 Bendahara pemerintah pusat juga daerah.

PPN yang terutang atas transaksi penyerahan BKP/JKP dipungut oleh PKP Penjual.
Pembeli BKP/JKP wajib membayar kepada PKP Penjual sebesar harga jual ditambah PPN
(10%). Apabila pembeli BKP/JKP tersebut berstatus Pemungut PPN (Pembeli Khusus), PPN
yang terutang atas transaksi penyerahan BKP/JKP tidak dipungut oleh PKP Penjual,
melainkan disetor langsung ke kas negara oleh Pemungut PPN tersebut. Pemungut PPN
hanya membayar kepada PKP Penjual sebesar harga jual, sedangkan PPN-nya (10%) disetor
langsung ke kas negara. Dalam hal harga jual atau penggantian telah termasuk PPN, maka
PPN yang terutang atas penyerahan BKP/JKP tersebut dihitung dengan formula : 10/110 x
harga jual atau penggantian.

Pedoman Penghitungan PPn Masukan Bagi Pengusaha (45/PMK.03/2008)

Pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak yang
berdasarkan undang-undang pajak penghasilan memilih dikenakan pajak dengan
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto.

Pedagang Eceran

PPN Masukan untuk penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pedagang Eceran dengan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto, sebesar 80% dikalikan dengan Pajak Keluaran. Pajak
Keluaran dihitung dengan cara mengalikan nilai peredaran bruto dan atau penerimaan bruto
yang terutang Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak yang bersangkutan dengan tarif
Pajak Pertambahan Nilai.

Pengusaha Kena Pajak Orang Pribadi dengan jumlah peredaran bruto dan atau
penerimaan bruto selama 1 tahun buku tidak lebih dari Rp. 4.800.000.000. Menyerahkan
Barang Kena Pajak melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko, kios, atau dengan
cara penjualan yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, atau dengan cara penjualan
yang dilakukan dari rumah ke rumah; menyediakan Barang Kena Pajak yang diserahkan di
tempat penjualan secara eceran tersebut; melakukan transaksi jual beli secara spontan tanpa
didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak atau lelang dan pada
umumnya bersifat tunai, dan pembeli pada umumnya datang ke tempat penjualan tersebut
langsung membawa Barang Kena Pajak yang dibelinya.

Pengusaha Selain Pedagang Eceran

Untuk penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan Pengusaha Kena Pajak selain
Pedagang Eceran, sebesar 70% dikalikan dengan Pajak Keluaran. Untuk penyerahan Jasa
Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak, sebesar 40% dikalikan dengan Pajak Keluaran
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Cara Menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPnBM)

PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak dengan
Dasar Pengenaan Pajak (DPP).

Tarif PPN dan PPnBM

1. Tarif PPN adalah 10%.


2. Tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas:
 ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud;
 ekspor BKP Tidak Berwujud; dan
 ekspor Jasa Kena Pajak.
3. Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% dan paling tinggi 200%.
4. Tarif PPnBM atas ekspor BKP yang tergolong mewah adalah 0%.

Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang
terutang, berupa: Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain
yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), tidak
termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak.

Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP),ekspor Jasa
Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang
dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud.

Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan
per-UU Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN.

Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.

Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak
dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Contoh Cara Menghitung PPN dan PPnBM

1. PKP “A” menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00. Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp25.000.000,00 = Rp2.500.000,00. PPN
sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak “A”.
2. PKP “B” melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian
sebesar Rp20.000.000,00. PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B” = 10% x
Rp20.000.000,00 = Rp 2.000.000,00. PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan
Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “B”.
3. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor
sebesar Rp15.000.000,00. PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
= 10% x Rp15.000.000,00 = Rp 1.500.000,00.
4. Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah
dengan Nilai Impor sebesar Rp5.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
tersebut selain dikenai PPN juga dikenai PPnBM misalnya dengan tarif 20%.
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut adalah: Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00, PPN =
10% x Rp5.000.000,00 = Rp500.000,00, dan PPn BM = 20% x Rp5.000.000,00 =
Rp1.000.000,00
5. Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari suatu
BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif misalnya
35%. Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak
dapat dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam
harga BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya. Misalnya PKP
“D” menjual BKP yang dihasilkannya, maka penghitungan PPN dan PPn BM yang
terutang adalah : Dasar Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,00. PPN = 10% x
Rp50.000.000,00 = Rp5.000.000,00. PPn BM = 35% x Rp50.000.000,00 =
Rp17.500.000,00. PPN sebesar Rp500.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan
pajak masukan bagi PKP “D” dan PPN sebesar Rp5.000.000,00 merupakan pajak
keluaran bagi PKP “D”. Sedangkan PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 tidak dapat
dikreditkan. Begitu pun dengan PPnBM sebesar Rp17.500.000,00 tidak dapat
dikreditkan oleh PKP “X”.

RMK BEA MATERAI DAN PBB

A. Bea Materai

Dasar hukum pengenaan Bea Materai adalah undang undang no 123 tahun 1985 atau
disebut juga undang undang bea materai.UU ini berlaku sejak tanggal 1 januari 1986 .Selain
itu untuk mengatur pelaksanaanya ,telah dikeluarkan peraturan pemerintah no 7 tahun 1995
sebagaimanya telah diubah dengan peraturan pemerintah no. 24 tahun 2000 tentang
perubahan tarif bea materai dan besarnya batas pengenaan harga normal yang dikenakan bea
materai. Sebab sebab di keluarkanya UU no . 13 tahun 1985 tentang bea materai yakni : agar
lebih sempurna dan disederhanakan, lebih mudah dilaksanakan karena hanya mengenal 1
jenis bea materai tetap, dan objek lebih luas.

Prinsip umum pemungutan atau pengenaan bea materai antara lain : bea materai
dikenakan atas dokumen, dan satu dokumen hanya terhutang satu bea materai3 rangkap
/tindasan terutang bea materai sama dengan aslinya.

Bea Materai adalah pajak atas dokumen dokumen yang berisikan tulisan yang
mengandung arti dan maksud perbuatan ,keadaan atau kenyataan seseorang dan atau pihak-
pihak yang berkepentingan.

 Tarif Bea Materai Rp 6000 dikenakan diatas dokumen :


1. surat perjanjian dan surat surat lainya yang dibuat dengan tujuan digunakan sebagai
mana alat pembuktian mengenai perbuatan kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
2. akta akta termasuk salinannya
3. akta akta yang dibuat pejabat pembuat akta tanah termasuk rangkap rangkapannya
4. surat yang memuat jumlah yang mempunyai harga nominal lebih dari RP 1,000,000 (satu
juta rupiah) yang menyebutkan pnerimaan uangyang menyatakan pembukuan uang atau
penyimpanan uang dalam rekening di bank yang berisi pemberitahuan.
5. surat surat berharga seperti :weel promes dan aksep yang berharga nominalnya lebih dari
1.000.000,-
6. dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang harga nominalnya lebih dari 1.000.000
7. dokumen dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan.
8. surat surat biasa dan surat sur kerumah tanggan
9. surat surat yang semula tidak dikenakan bea materai berdasarkan tujuanya jika digunaan
untuk tujuan lain atau atau digunakan untuk orang lain, di maksud semula.
 Tarif Bea Materai RP 3000 diatas dokumen
1. surat yang memuat jumlah uang yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 250.000.
tetapi tidak lebih dari 1.000.000 (satu juta rupiah) yang menyebutkan penerimaan uang.
2. Yang menyatan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank
3. Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
4. Yang berisi pengakuan bahwa hutang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi.
5. surat surat berharga seperti:wewl ,promes dan aksep yang harga nominalnya lebih dari
250.000 tetapi tidak lebih dari 1.000.000
6. efek dengan nama dalam bentuk apapun sepanjang harga nominalnya leih dari RP
250.000 tetapi tidak lebih RP 1.000.000
7. cek dan bilyet giro dengan harga nominal berapa pun.
Apabila suatu dokumen mempunyai nominal tidak lebih dari Rp 250.000,- maka atas
dokumen tersebut tidak terutang bea materai / tidak dikenakan bea materai.

 Yang tidak dikenakan bea materai dokumen yang berupa ,antara lain
1. surat penyimpanan barang
2. konosemen
3. surat angkutan penumpang dan barang
4. keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen yang dimaksud dalam no.1, 2, 3
5. bukti pengiriman dan penerimaan uang
6. surat pengiriman barang untuk dijual natas tanggungan pengurim
7. surat surat lainya yang dapat disamakan dengan surat surat tersebut di atas
8. segala bentuk ijazah yang termasuk dalam pengertian ini adalah surat tanda tamat
belajar, tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti suatu pendidikan, latihan ,dll.
9. tanda terima gaji ,uang tunjangan dan pembayaran lainya yang ada kaitanya dengan
hubungan kerja serta surat menyurat di serahkan untuk mendaatkan pembayaran itu
10. Tanda bukti penerimaan uang Negara dari kas Negara ,kas pemerintah daerah dan bank.
11. kuitansi untuk semua jenis pajak dan penerimaan lainya yang dapat di samakan dengan
itu dari kas Negara kas pemerintah daerah dan bank
12. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi
13. dokumen yang menyebutkan tabungan , pembayaran uang tabungn kepada penabung
oleh bank koprasi dan badan badan usaha lainya yang bergerak di bidang tersebut
14. surat gadai yan diberikan olej perum pengadaian
15. tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek ,dengan nama dan dalam bentuk
apapunsaat terutang
16. dokumen yan dibuat oleh lebih dari satu pihak,adalah pada saat dokumen itu di serahkan
dan diterima oleh pihak untuk siapa saja dokumen itu dibuat jadi bukan pada saat di
tanda tangani.
17. dokumen yng di buat oleh lebih dari satu pihak adalah pada saat dokumenitu telah selesai
dibuat yang di tutup dengan penumbuhan tanda tangan dari bersangkutan

Pihak yang terutang bea materai. Pihak yang terutang bea materai adalah pihak yang
mendapat manfaat dari dokumen ,kecuali pihak pihak yang bersangkutan menentukan lain.

Cara pelunasan Bea Materai. Cara penggunaan benda materai


 Materai Tempel. Direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen
yang dikenakan bea materai.
 Kertas Materai. Dokumen ditulis diatas kertas materai.

Pemeteraian Kemudian adalah suatu cara pelunasaan bea materai dilakukan oleh
pejabat pos atas permintaan pemegang dokumen yang bea materainya belum dilunasi
sebagaimana mestinya. Pemeteraian Kemudian dilakukan yaitu dokumen yang semula tidak
terutang bea materai nya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinyadokumen yang
dibuat di luar negri.
Daluarsa dari kewajiban memenuhi bea materai di tetapkan 5 tahun terhitung sejak
dikeluarkan tanggal dokumen dibuat dengan demikian perihal daluarsa sudah ada kepastian
hukum.

B. Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB)


Dasar hukum pajak bumi dan bangunan adalah UU no 12 thn 1985 sebagaimana telah
dibandingkan undangan no 12 tahun 1994. Asas pajak bumi dan bangunan yaitu :
Memberikan kemudahan dan kesederhanaan, Adanya kepastian hukum, Mudah dimengerti
dan adil, dan Menghindari.

Surat Pemberitahuan Objek Pajak adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk
melaporkan data ojek menerut ketentuan undang undang pajak pajak bumi dan bangunan.

Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang adalah surat terutang yang digunakan oleh
direktorat jendaral pajak untuk memberitahukan besarnyapajak terutang kepada wajib
pajak .direktorat jendaral pajak menerbitkan SPPT berdasar SPOP wajib pajak.

Nilai jual objek pajak adalah harga rata-rata yang diperolh dari transaksi jual beli yang
terjadi secara wajar ,dan bagaimana tidak terdapat transaksi jual beli,nilai jual objek pajak di
tentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai jual objek
pajak pengganti

Objek Pajak

Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor faktor sebagai berikut :


Letak, Peruntukan, Pemanfaatan, Kondisi lingkungan, dll.

Dalam menentukan klasifikasi bangunan di perhatikan faktor-faktor sebagai berikut:


Bahan yang digunakan, Rekayasa, Letak, Kondisi lingkungan dan lain lain
Pengecualian Objek Pajak. Objek pajak yang tidak dikenakan pakak bumi dan bangunn
adalah objek pajak yang digunakan semata mata untuk melayani kepentingan umum dan
tidak mencari keuntungan.

Objek pajak yang digunakan oleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan,


penentuan mengenai pengenaan pajaknya di atur oleh lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah. Yang dimaksud dengan objek pajak adalah Objek Pajak yang diimiliki
digunakan oleh pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahaan.

Pajak bumi dan bangunan adalah pajak Negara yang sebagian besar penerimaanya
merupakan pendapatan yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga
dinikmati oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Subjek Pajak

Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai
suatu hak atas buni dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau memiliki menguasai
dan memeroleh manfaat atas bangunan dengan demikian tanda pembayaran /pelunasaan
pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak. Subjek pajak dimaksud dalam no.1 yang
dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.

Tarif Pajak

Tarif pajak yang dikenakan objek pajak adalah sebesar 0,5 %. Dasar Pengenaan Pajak yaitu :
 Dasar pengenaan pajak adalah nilai jual objek ajak
 Besarnya nilai jual objek pajak ditetapkan setiap tiga tahun oleh kepala kantor
wilayah direktorat jendral pajak atas nama mentri keuangan dengan mempertbangkan
pendapat gubernur /bupati /walikota daerah setempat.
 Dasar penghitungan pajak adalah yang di tetapkan serendah rendahnya 20%
 Besar presentase ditetapkan dengan peaturan pemerintah dengan memperhatikan
kondisi ekonomi nasional.
UU PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH– PBB P2 DAN BPHTB

A. Pengertian

Dalam pembahasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, akan dijumpai beberapa
pengertian-pengertian yang sudah baku, antara lain :

 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan
atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
 Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau
badan.
 Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan
deserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16
tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan peundanga-undangan yang
berlaku lainnya.

B. Dasar Hukum
Sebagai dasar hukum pengenaan Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan adalah
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2000 dan beberapa aturan pelaksanaannya

C. Subjek dan Objek

Subyek pajak atas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah orang pribadi
atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Oleh karena itu, subyek
pajak dibebani oleh kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-
undang BPHTB.

Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang meliputi :

1. Pemindahan hak karena :


a. jual beli
b. tukar-menukar
c. hibah
d. hibah wasiat
e. waris
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
h. penunjukan pembeli dala lelang
i. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
j. penggabungan usaha
k. peleburan usaha
l. pemekaran usaha
m. hadiah
2. Pemberian hak baru karena :
a. kelanjutan pelepasan hak yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi atau
badan hukum negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
b. di luar pelepasan hak yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi
atau badan hukum dari negara atau pemegang hak milik menurut peraturan
peundang-undangan yang berlaku.
D. Tarif

Tarif pajak yang dikenakan atas objek BPHTB adalah 5%.

E. Tata Cara Perhitungan, Penyetoran dan Pelaporan

Tata Cara Perhitungan

BPHTB = Tarif paja x NPOPKP

= 5 % x ( NPOP – NPOPTKP )

Perhitungan di atas dapat dibuat dengan urutan sebagai berikut :

Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)                                                 xxx

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)            xxx (-)

Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)                         xxx

BPHTB yang terutang/dibayar:

(5 % x NPOPKP )                                                                            xxx

Jika perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut karena waris/hibah wasiat/pemberian
hak pengelolaan, maka BPTHB yang harus dibayar adalah :

 BPHTB = 50 % x BPHTB yang terutang

Contoh :

Tuan Akbar membeli tanah dan bangunan dengan nilai perolehan objek pajak Rp
500.000.000.

Besarnya BPHTB yang terutang dihitung sebagai berikut :

NPOP                                                              Rp 500.000.000

NPOPTKP                                                      Rp   60.000.000 (-)
NPOPKP                                                        Rp 440.000.000

                                                                        ============

Pajak BPHTB yang terutang :

         5% x Rp 440.000.000 = Rp 22.000.000

Tata Cara Peyetoran dan Pelaporan

1. BPHTB yang terutang harus dibayar/dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak,
yaitu sama dengan saat terutangnya BPHTB.
2. Wajib pajak wajib membayar BPHTB yang terutang dengan tidak mendasarkan pada
adanya surat ketetapan pajak. Sistem pemungutan BPHTB adalah self assessment.
3. BPHTB yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan/atau Bank BUMN
atau Bank BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh MenKeu dengan
menggunakan Surat Setoran BPHTB.
4. Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
(SKBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah
BPHTB yang terutang kurang dibayar.
5. Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kuramg
Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan/atau data yang semula
Belem terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah BPHTB yang teritang
diterbitkannya SKBKBT.
6. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan BPHTB dan WP dikenakan
sanksi berupa denda dan/atau bunga apabila:
a. BPHTB yang terutang tidak atau kurang bayar
b. Dari hasil pemeriksaan Surat Setoran BPHTB terdapat kekurangan pembayaran
BPHTB sebagai akibat salah tulis atau salah hitung.
Pada saat WP memperoleh Surat Tagihan BPHTB jumlah yang harus dibayar oleh WP
adalah sebesar BPHTB terutang yang tidak atau kurang bayar dalam Surat Tagihan
BPHTB ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebukan untuk jangka
waktu paling lama 24 bulan Sejas saat terutangnya BPHTB.

F. Sanksi
Perlu diketahui juga, ada sanksi hukum yang berlaku bagi Pejabat Pembuat Akta
Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara kalau melanggar
peraturan.

 Pelanggaran mengenai penandatanganan akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau


Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak dapat dikenakan
denda Rp 7.500.000.
 Pelanggaran mengenai pelaporan pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan kepada Kepala Daerah paling lambat pada tanggal 10
bulan berikutnya dapat dikenakan denda Rp 250.000.
 Kepala kantor bidang pertanahan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan kalau melakukan pelanggaran pendaftaran Hak atas
Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan
bukti pembayaran pajak.

UU PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH – PAJAK DAN RETRIBUSI


DAERAH

A. PAJAK DAERAH
Pajak merupakan iuran masyarakat pada negara yang didasarkan pada UU sehingga
dapat dipaksakan. Namun, pembayar pajak tidak mendapatkan balas jasa secara langsung.
Menurut Charles E. McLure, pakar pajak dari Stanford University, pajak merupakan
kewajiban finansial yang dikenakan terhadap Wajib Pajak (orang pribadi atau badan) oleh
negara atau institusi yang digunakan untuk membiayai berbagai macam keperluan publik.

Pemungutan Pajak Daerah

Pemungutan Pajak dibagi menjadi 2, yaitu dilakukan oleh Pemerintah Pusat ataupun
oleh Pemerintah Daerah. Pemungutan Pajak yang dilakukan oleh pemerintah daerah
dinamakan dengan pajak daerah. Proses pemungutan pajak harus sesuai dengan mekanisme
yang sudah ditetapkan pada peraturan perundang undangan yang berlaku, hal ini dilakukan
dalam mencegah dan meminimalisir hal hal yang dapat melemahkan pemungutan pajak
daerah. Pemungutan Pajak Daerah oleh Pemerintah Daerah diatur didalam Pasal 96 sampai
dengan pasal 100 Undang Undang 28 tahun 2009 tentang pajak Daerah dan Retribusi yang
menjelaskan mengenai tata cara pemungutan pajak daerah.
Dalam pasal 98 menjelaskan bahwa semua jenis pajak yang bisa dipungut harus sesuai
dengan ketentuan Kepala Daerah kecuali itu pembayaran pajak sendiri oleh Wajib Pajak yang
berkaitan dengan Pemungutan Pajak juga diatur didalam Peraturan Pemerintah. Sedangkan
pasal 99 menjelaskan tentang tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang
dipersamakan serta cara pengisian dan penyampaiannya diatur sesuai dengan Peraturan
Kepala Daerah.

Tata Cara Pembayaran dan Penagihan

Pasal 101 menjelaskan tentang tata cara pembayaran dan penagihan pajak, yaitu:

 Dalam hal ini Kepala Daerah berwenang dalam penentukan tanggal jatuh tempo
pembayaran dan penyetoran pajak terutang maksimal 30 hari kerja setelah
terutangnya pajak dan paling lama 6 bulan sejak WP menerima SPPT.
 Berdasarkan dokumen yang dipersamakan kedudukannya dalam hal menagih pajak
yang terutang (sesuai dengan nominal yang berada pada dokumen tersebut) WP harus
melunasi pajak teruutang dengan jangka waktu paling lama 1 bulan sejak tanggal
diterbitkannya dokumen tersebut.
 Wajib Pajak bisa mengajukan angsuran atau penundaan pembayaran pajak kepada
Kepala Daerah sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Dalam hal ini dikenakan
Bunga sebesar 2% perbulan. Ketentuan yang lainnya seperti tata cara pembayaran,
penyetoran, tempat pembayaran, penundaan ataupun angsuran pajak yang terutang
diatur dengan peaturan Kepala Daerah.
Sedangkan pasal 102 menjelaskan tentang besarnya pajak terutang yang tidak atau
kurang bayar sesuai dengan SKPD, SPPT, SKPDKB,SKPDKBT, Surat Keputusan Banding,
Keberatan bisa ditagih menggunakan Surat Paksa sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa tersebut harus sesuai dengan pearturan
perundang undangan.

Bagi Hasil Pajak Daerah

Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan
daerah. Dana Bagi Hasil terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam (UU NO 33
Tahun 2004/ PP NOMOR 55 Tahun 2005). Pemerintah menetapkan perkiraan alokasi dana
bagi hasil pajak tahun anggaran 2014 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
202/PMK.07/2013.

Pembagian Imbangan Dana Bagi Hasil Pajak :

- Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21
- Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
- Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Adapun Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari:

a. Kehutanan; d. Pertambangan minyak bumi;


b. Pertambangan umum; e. Pertambangan gas bumi;
c. Perikanan;
B. RETRIBUSI DAERAH
Pengertian Retribusi Daerah
Retribusi daerah dalam pasal 1 ayat (64) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 adalah
pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah
untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Kontraprestasi itu bersifat langsung yang
diterima oleh pembayar retribusi. Pengenaan retribusi dapat dipaksakan, namun
pemaksaannya lebih mengena dalam aspek ekonomis. Misalnya retribusi terhadap
pembayaran PAM, apabila rakyat tidak membayar retribusi maka akan dikenai sanksi,
misalnya pemutusan saluran air hingga wajib retribusi membayar retribusi tersebut.

Perbedaan Pajak dengan Retribusi


Dalam pasal 1 ayat (10) UU No.28 thn 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Untuk lebih jelasnya tentang perbedaan pajak dan retribusidapat dijelaskan sebagai
berikut :
UNSUR PAJAK RETRIBUSI
Dasar pemungutan Berdasarkan peraturan per-UU Berdasarkan peraturan per-UU
Daya paksa Adanya Daya Paksa dari Negara
Dapat dipaksakan tapi bersifat
ekonomis
Sifat pembayaran Penyerahan Kekayaan kepada Pemberian atas jasa atau
Negara pemberian izin tertentu
Kontraprestasi Tanpa Imbalan langsung Imbalan langsung hanya kepada
yang membayar Retribusi

Jenis-Jenis Retribusi
a) Retribusi Jasa Umum
Golongan pertama adalah retribusi jasa umum, menurut Pasal 9 Undang-Undang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah No.28 Thn 2009, Objek daripada retribusi Umum antara lain
meliputi pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan
kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
Prinsip dan sasaran dalam penerapan tarif retribusi jasa umum didasarkan pada kebijakan
daerah dengan memperhatikan kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan biaya
penyediaan jasa yang bersangkutan. Dalam Pasal 110 Undang-Undang PDRD, disebutkan
Jenis Retribusi Jasa Umum Meliputi Pelayanan antara lain sebagai berikut :
(1)Retribusi Kesehatan, (2)Retribusi Persampahan, (3) Retribusi KTP dan Akta Capil,
(4)Retribusi Pemakaman, (5)Retribusi Parkir di tepi jalan umum, (6)Retribusi Pasar,
(7)Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, (8)Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam
Kebakaran, (9)Retribusi Biaya Cetak Peta, (10)Retribusi Penyedotan Kakus, (11)Retribusi
Pengolahan Limbah Cair, (12)Retribusi Tera/Tera Ulang, (13)Retribusi Pendidikan, dan
(14)Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.

b) Retribusi Jasa Usaha


Dalam Pasal 126 UU PDRD, yang menjadi objek retribusi jasa usaha adalah pelayanan
yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan dengan menganut prinsip yang bersifat
komersial atau mencari keuntungan. Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif
retribusi jasa usaha didasarkan tujuan untuk memperoleh keuntungan sebagaimana
keuntungan yang pantas diterima oleh pengusaha swasta yang sejenis dan berorientasi harga
pasar.Berikut ini,yang termasuk dalam retribusi jasa usaha antara lain: (1)Retribusi.
Pemakaian Kekayaan yang layak, (2)Retribusi Pasar grosir/Pertokoan, (3)Retribusi Tempat
pelelangan, (4)Retribusi Terminal, (5)Retribusi Tempat khusus Parkir, (6)Retribusi Tempat
Penginapan/Villa, (7)Retribusi Rumah Potong Hewan, (8)Retribusi Kepelabuhanan,
(9)Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga, (10)Retribusi Penyeberangan di air, dan
(11)Retribusi Penjualan Produksi Daerah.

c) Retribusi Jasa Perizinan Tertentu


Yang menjadi Objek dari retribusi perizinan tertentu adalah pelayanan perizinan
tertentu oleh pemerintah daerah kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk
pengaturan dan pengawasan atas kegiatan penggunaan ruang, pemanfaatan ruang,
penggunaan sumber daya alam,dls. Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi
perizinan tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup beban penyelenggaraan pemberian
izin yang bersangkutan. Biaya penyelenggaran ini meliputi penerbitan pengawasan di
lapangan, penerbitan, dokumen izin, penatausahaan, penegakan hukum, dan dampak negatif
dari pemberian izin tersebut (Ahmad Yani,2004:64). Beberapa jenis retribusi Izin usaha
tertentu disinggung dalam Pasal 141 UU PDRD, berikut ini yang termasuk dalam retribusi
perizinan tertentu adalah:
1. Retribusi Izin Gangguan 3. Retribusi izin Mendirikan Bangunan
2. Retribusi Tempat Penjualan Minuman 4. Retribusi Izin usaha Perikanan
Beralkohol 5. Retribusi Izin Trayek
PPH PASAL 21/26, PPH PASAL 22, PPH PASAL 23, PPH PASAL 4 (2), PPN / PPnBM
Withholding Tax, Sistem Pemotongan Pajak Pihak Ketiga

 Apa Itu Withholding Tax?


Withholding tax adalah salah satu sistem pemotongan atau pemungutan pajak, di mana
pemerintah memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban
memotong atau memungut pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada penerima
penghasilan sekaligus menyetorkannya ke kas negara. Bisa diartikan pula bahwa sistem
withholding tax merupakan pembayaran pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga.
Di akhir tahun pajak, pajak yang telah dipotong atau dipungut dan telah disetorkan ke
kas negara bisa menjadi pengurang pajak atau kredit pajak bagi pihak yang dipotong, dengan
melampirkan bukti pemotongan atau pemungutan.

 Pengertian Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan pada Sistem Withholding


Tax
Istilah pemotongan dimaksudkan untuk menyatakan jumlah pajak yang dipotong oleh
pemberi penghasilan atas jumlah penghasilan yang diberikan kepada penerima penghasilan.
Sehingga menyebabkan berkurangnya jumlah penghasilan yang diterima penerima
penghasilan, seperti Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan PPh Pasal 23.
Sedangkan yang dimaksud dengan pemungutan adalah jumlah pajak yang dipungut atas
sejumlah pembayaran yang berpotensi menimbulkan penghasilan kepada penerima
pembayaran, misalnya PPh Pasal 22.
Withholding tax merupakan jalan pintas bagi pemerintah untuk memungut pajak.
Lantaran wajib pajak ditugaskan untuk melakukan pemungutan dan pemotongan pajak atas
pihak lainnya, sehingga pemerintah tidak memerlukan upaya dan biaya besar untuk
mengumpulkan pajak.
Konsep sistem withholding tax tidak bisa disamaartikan dengan self assessment.
Lantaran self assessment memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk
menghitung, setor, dan lapor kewajiban perpajakannya sendiri, bukan kewajiban perpajakan
pihak lain.
Perlu diketahui, sistem withholding tax di Indonesia dikenakan terhadap seluruh
penghasilan dari kegiatan usaha, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor Per-70/PJ/2007.
Dalam konteks Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh), sebagaimana
tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 1983, withholding tax diperlakukan sebagai:
Angsuran pembayaran pajak (advanced payment).
Pemungut pajak final.

 Jenis-Jenis Penghasilan yang Merupakan Objek Withholding Tax


Pemerintah telah menentukan jenis-jenis penghasilan yang tanggung jawab
perpajakannya dilakukan menggunakan sistem withholding tax, baik yang diperlakukan
sebagai angsuran masa maupun pajak final. Berikut jenis-jenis penghasilan yang dikenakan
withholding tax menurut pasal-pasal dalam UU PPh :

1. Pemotongan PPh Pasal 21


PPh Pasal 21 adalah pajak yang dipotong dari penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri,
yaitu penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, serta pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun.
Pemotong PPh Pasal 21 adalah pihak yang memberikan penghasilan kepada wajib
pajak orang pribadi dalam negeri terkait pekerjaan. Contohnya adalah perusahaan pemberi
lapangan kerja yang memotong gaji yang diterima karyawan.

2. Pemungutan PPh Pasal 22


PPh Pasal 22 adalah pajak penghasilan yang dibebankan kepada badan usaha tertentu
yang melakukan kegiatan perdagangan terkait ekspor, impor, re-impor, dan penjualan barang
yang tergolong sangat mewah.
Pemungut PPh Pasal 22 terdiri dari bendahara pemerintah terkait dengan pembayaran
atas penyerahan barang, badan-badan tertentu terkait dengan penghasilan dari kegiatan di
bidang impor, serta wajib pajak badan terkait pembayaran dari pembeli atas penjualan barang
yang tergolong mewah.

3. Pemotongan PPh Pasal 23


PPh Pasal 23 adalah pajak yang dipotong dari penghasilan wajib pajak dalam negeri
dan bentuk usaha tetap yang berasal dari pemanfaatan modal (dividen, bunga, dan royalti),
jasa (sewa dan imbalan jasa), atau penyelenggaraan kegiatan (hadiah, penghargaan, dan
bonus) selain yang dipotong PPh Pasal 21.

4. Pemotongan PPh Pasal 26


PPh Pasal 26 adalah pajak yang dipotong dari penghasilan wajib pajak luar negeri atas
penghasilan yang tidak berasal dari menjalankan usaha atau kegiatan melalui BUT yang
bersumber dari Indonesia. Pemotongan PPh Pasal 26 bersifat final, atau tidak dapat
digunakan sebagai kredit pajak, kecuali ditentukan lain.

5. Pemotongan PPh Pasal 4 Ayat (2)


Pasal 4 Ayat (2) adalah pajak yang dipotong dari penghasilan dengan perlakuan
tersendiri yang diatur melalui peraturan pemerintah dan bersifat final. Penghasilan yang
dipotong PPh Pasal 4 Ayat (2), antara lain penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-
tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek,
penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atau bangunan, penghasilan usaha jasa
konstruksi, serta penghasilan atas diskonto Surat Perbendaharaan Negara. Pengenaan
pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah.

6. Pemotongan PPh Pasal 15


PPh Pasal 15 adalah pajak yang dipotong dari penghasilan yang menggunakan norma
penghitungan khusus untuk golongan wajib pajak tertentu. Pemotongan pajak penghasilan
pasal ini bertujuan memudahkan wajib pajak tersebut dalam melakukan kewajiban
perpajakannya, seperti perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan
asuransi luar negeri, sampai perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi.

7. Pemungutan PPN dan PPnBM


Dan terakhir, pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) atau pemungut yang ditunjuk (misalnya Bendahara Pemerintah) atas penyerahan
barang dan/atau jasa kena pajak. PKP yang ditunjuk untuk memungut PPN dan PPnBM
adalah pengusaha yang memiliki peredaran bruto (omzet) melebih Rp600.000.000,00 setahun
atau pengusaha yang memilih sendiri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. WP
baik orang pribadi maupun badan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak,
wajib memungut PPN dan juga PPnBM (bila barangnya yang diserahkan tergolong mewah)
dari pembeli atau pemakai jasanya.

 Pentingnya Pemasukan Pajak dari Sistem Withholding Tax


Perlu Anda ketahui, realisasi pajak penghasilan nonmigas periode Januari-Juli 2019
tercatat mencapai Rp35,5 triliun atau sudah mencapai 53,66% terhadap target penerimaan
pajak nonmigas tahun 2019.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), penerimaan pajak dengan sistem
withholding tax menjadi kontributor utama pertumbuhan PPh nonmigas pada periode Januari-
Juli tahun 2019. Penerimaan pajak nonmigas terbesar berasal dari PPh Pasal 21 dengan
pertumbuhan double digit yakni 12,31%.
Sebagai withholding tax yang dipotong dari gaji (honorarium) yang diterima oleh
pekerja (karyawan), stabilnya fundamental kondisi ketenagakerjaan (employment) menjadi
faktor utama pendorong penerimaan.
Mengingat pentingnya peranan withholding tax dalam mengamankan penerimaan
negara dari sektor perpajakan, maka Direktorat Jenderal Pajak mewajibkan seluruh pemotong
dan pemungut pajak untuk menyetorkan dan melaporkan kewajiban perpajakannya sesuai
ketentuan yang berlaku.
Dengan memahami mekanisme pembayaran pajak melalui pemotongan atau
pemungutan oleh pemberi penghasilan dan pemungutan PPN dan PPnBM oleh PKP, dapat
memudahkan para pemberi penghasilan dan PKP untuk melaksanakan kewajiban
pemotongan atau pemungutan pajak.

Anda mungkin juga menyukai