-----
Usianya 17 tahun ketika itu dan ia adalah anak satu-satunya yang tersisa setelah
kedua adik kembarnya meninggal 10 tahun yang lalu. Di rumah kecil terdiri dari
ruang tamu, kamar tidur ayah dan ibu, kamar tidurnya, dapur dan sepetak kamar
mandi di luar. Sangat sederhana. Setiap hari ia bangun pagi-pagi sekali kemudian
mengerjakan beberapa pekerjaan rumah yang sudah menjadi tugasnya.
Saat itu menjadi hari yang berbeda. Terasa dag dig dug hatinya tak karuan. Hari
dimana pengumuman kelulusan dan penentuan baru akan hidupnya. Ia bergegas
mengerjakan seluruh pekerjaan rumah agar tidak terlambat karena acara
pengumuman kelulusan akan dilaksanakan pukul 08.00 wita.
“Bu, nanti duduknya jangan terlalu jauh ya.” Katanya untuk mengingatkan ibunya
ketika sampai di aula sekolah agar duduk tidak terlalu jauh darinya karena
deretan kursi siswa dan orang tua berbeda.
-----
Senang sekali. Ia akan menempuh pendidikan cukup jauh dari rumah. Melewati
dua pulau menggunakan kapal laut, kurang lebih 20 jam perjalanan. Di kota
kelahiran ayahnya. Selama ini memanng mereka sekeluarga merantau jauh dari
kampung halaman ayahnya karena ibunya tinggal disana bersama orang tuanya.
Saat ini ia yang akan kembali ke kampung halaman ayahnya dan memulai
kehidupan baru menjadi anak rantau, jauh dari orang tua.
---
Ia tinggal di kos-kosan kecil yang hanya berisi kamar tidur dan kamar mandi
didalam kamar. Cukup untuk dirinya sendiri. Biaya sewa juga tidak terlalu mahal,
tentunya ia masih mempunyai simpanan dari hasil prestasi-prestasi yang ia raih
selama ini.
---
Ketika membuka selembar surat yang diberikan, tangannya gemetar tidak mau
berhenti, dada terasa sesak. Baru semalam berbicara dengan ibu. Baru dua hari
yang lalu berbicara dengan ayah. Semua biasa saja dan mereka masih tertawa
mendengar pengalamannya yang rutin ia ceritakan. Selama ini ia mengira
mereka baik-baik saja. Ayah dan ibunya. Keluarganya.
Ia tak mampu berteriak, hanya bergumam dalam hatinya , “aku tidak pernah
berharap bangun dari mimpi, tapi kali ini bangunkan aku dari mimpi buruk ini”.
Mengambil air digelas dan meminumnya hingga habis tidak tersisa setetespun. Ia
begitu haus hingga meminum dua gelas. Tapi masih terasa panas dan haus.
Kemudian ia menutup pintu kamar kosnya dan berangkat menuju kampus. Ia
melupakan sejenak kecemasan dan perasaan tak karuannya.
Duduk di depan kelas, sambil menghirup udara segar setelah kelas selesai. Ia
enggan bangun dari kursi itu. Tempatnya sangat nyaman sehingga ia ingin
tertidur disana. Entah kenapa bom itu mencabik-cabik dirinya hingga ia kelelahan
tiada batas.
Kembali dipikirkannya, apa yang ia lewatkan selama ini? Kehidupan mereka baik-
baik saja. Masih tidak mudah ia mengerti.
“Ibu minta kamu tetap tegar, selama ini ibu sudah memberikan seluruh hidup ibu
untuk kamu dan ayahmu. Untuk itu, sekali ini biarkan ibu bahagia. Ibu tidak akan
meminta maaf, tapi ibu yakin kamu mengerti.” Kata sang ibu.
Yang ia pikirkan adalah serang “omongan” orang yang akan menyakiti mereka.
Peran yang harus ia jalankan adalah menjadi tameng. Tameng berjejer di depan
saat peperangan dimulai. Ia berusaha menguatkan diri. Lebih kuat lagi, sehingga
menjadi tameng yang melindungi mereka dari serangan.
---
Ia duduk dengan sang ayah. “kamu jangan nangis, ayah janji akan mendapatkan
pekerjaan yang lebih baik disini dan membuatmu tamat kuliah” kata sang ayah
sambil menatapnya penuh rasa kekhawatiran.
Ia tak mampu menjawab apapun dan hanya berusaha menahan tangis sesak
didadanya. Ia menyadari bahwa tidak harus memperlihatkan wajah mendung
karena ia sadar mungkin selama ini senyuman yang ia terima begitu hangat akan
tetapi mereka kedinginan membeku. Begitu pula yang harus ia lakukan, menahan
mendung itu dan merubahnya menjadi pelangi.
Dulu ia begitu yakin hidupnya akan baik-baik saja, namun saat ini berbeda.
Realita yang ia hadapi membuat ia menjadi sebuah jembatan yang terbentang
dan diarungi arus kencang yang membuatnya terguncang. Namun satu hal yang
diingat, kehidupannya harus tetap dijalankan. Arus itu akan berlalu, digantikan
dengan ketenangan yang membuat seseorang berjalan di jembatan itu dengan
aman. Tanpa rasa takut. Jembatan yang melintasi 2 tempat, antara ayahnya dan
ibunya. Jembatan kebahagiaan antara keduanya. Dan juga antara ia dengan
mereka.
BIODATA