Anda di halaman 1dari 7

JEMBATAN

Semua orang mengharapkan kehidupan bahagia. Bahkan sebagian orang


mensyukuri segala sesuatunya walau tak berlimpah harta. Mampu berkumpul
bersama keluarga, saling melindungi, tertawa hingga bersedih bersama. Semua
dilakukan bersama, karena itulah arti “Keluarga”. Sama halnya dengan ia yang
semestinya saat ini sedang tertawa bersama keluarga. Seorang gadis berumur 19
tahun. Sangat ceria, bersemangat, tidak mudah putus asa dan percaya diri. Jiwa
muda yang menguasai dirinya mewakili seluruh hidupnya bahwa tidak ada yang
tidak mungkin selagi berusaha dan mau belajar. Hingga pagi itu, seseorang
mengetuk pintu kamar kosnya. Ketika dibuka, ada seorang lelaki paruh baya
tersenyum. Tidak disangka senyuman lelaki paruh baya itu membuat hatinya
teriris hingga tak mampu menangis. Ia mengira kehidupan akan memihak
terhadapnya sehingga hal seperti ini tidak akan menimpanya. Masih dalam
keadaan tidak percaya, kenapa? Kenapa harus ia yang menjadi salah satunya.

-----

Mengingat dirinya yang terdahulu.

Usianya 17 tahun ketika itu dan ia adalah anak satu-satunya yang tersisa setelah
kedua adik kembarnya meninggal 10 tahun yang lalu. Di rumah kecil terdiri dari
ruang tamu, kamar tidur ayah dan ibu, kamar tidurnya, dapur dan sepetak kamar
mandi di luar. Sangat sederhana. Setiap hari ia bangun pagi-pagi sekali kemudian
mengerjakan beberapa pekerjaan rumah yang sudah menjadi tugasnya.

Saat itu menjadi hari yang berbeda. Terasa dag dig dug hatinya tak karuan. Hari
dimana pengumuman kelulusan dan penentuan baru akan hidupnya. Ia bergegas
mengerjakan seluruh pekerjaan rumah agar tidak terlambat karena acara
pengumuman kelulusan akan dilaksanakan pukul 08.00 wita.
“Bu, nanti duduknya jangan terlalu jauh ya.” Katanya untuk mengingatkan ibunya
ketika sampai di aula sekolah agar duduk tidak terlalu jauh darinya karena
deretan kursi siswa dan orang tua berbeda.

Ibunya hanya mengangguk karena bergegas berangkat. Hingga sampai di


sekolah, kerumunan siswa dan orang tua sudah berkumpul di aula rupanya ia
dan ibunya tidak terlambat, acara akan dimulai 10 menit lagi.

Ia menarik nafas panjang, tangan berkeringat dan pikiran kacau. Dalam


benaknya, “Apakah kali ini hasilnya akan bagus?”. Benar-benar pikiran yang
kacau. Padahal ia adalah seorang juara kelas yang sangat unggul. Berbagai
prestasi yang diraihnya hingga piala-piala itu memenuhi lemari kaca yang ada
dilorong menuju ruang guru sekolahnya. Juara kelas, jurusan dan juara umum
semua ia dapatkan selama 3 tahun menempuh pendidikan. Sungguh bukan hal
yang pantas untuk diragukan lagi namun ia tetap saja tidak tenang.

Acara dimulai, sambutan-sambutan sudah selesai dan tiba di acara


pengumuman. Wajah sedikit pucat dan sesekali ia menoleh kebelakang melihat
ibunya yang berada 7 baris dibelakangnya. Dari urutan ke-10, hingga urutan ke-2
semua adalah orang yang ia kenal dan memang pantas mendapatkannya. Tidak
perlu dipungkiri lagi, ia berada diurutan ke-1 diseluruh mata pelajaran dan
seluruh jurusan. Ibunya sampai beberapa kali menuju panggung karena
mendampinginya. Benar-benar hidup yang lengkap untuknya. Meski sang ayah
tidak menemani karena harus bekerja jauh di luar daerah, tapi sang ayah akan
pulang sore ini. Ia tidak sabar memberikan hasil yang sangat memuaskan ini
kepada sang ayah. Seorang panutannya.

-----

Kehidupan yang baru dimulainya dengan memilih untuk melanjutkan pendidikan


walaupun sang ayah pernah berkata,
“Mungkin kamu tidak bisa kuliah, tidak ada biaya. Bagaimana kalau bekerja
dulu?”

Ia terdiam. Tidak menjawab apapun dan langsung memasuki kamar. Bukan


kecewa, rupanya ia sudah menduga bahwa ayahnya akan berkata demikian.
Maka dari itu, daripada mengisi hati dengan rasa kecewa ia lebih memilih untuk
memikirkan solusinya. Setelah beberapa jam, sore harinya ia kembali duduk di
samping ayahnya yang sedang menyeruput kopi pahit di depan rumah.

“Ayah, bagaimana kalau jalur beasiswa? Saya yakin mampu mendapatkannya.


Tolong dipikirkan sekali lagi.” Ia memberanikan diri untuk mengubah keputusan
ayahnya. Dan sang ayah mengangguk.

Senang sekali. Ia akan menempuh pendidikan cukup jauh dari rumah. Melewati
dua pulau menggunakan kapal laut, kurang lebih 20 jam perjalanan. Di kota
kelahiran ayahnya. Selama ini memanng mereka sekeluarga merantau jauh dari
kampung halaman ayahnya karena ibunya tinggal disana bersama orang tuanya.
Saat ini ia yang akan kembali ke kampung halaman ayahnya dan memulai
kehidupan baru menjadi anak rantau, jauh dari orang tua.

---

Seperti keinginannya, masuk kuliah dan mendapatkan beasiswa. Ia merasa


sangat diberkati karena tekadnya selama ini yang berpegang teguh akan prinsip
jika usaha tidak akan mengkhianati hasil. Mungkin kehidupan yang telah ia alami
selama ini memberikan buah manis saat ini meskipun disana bersama orang
tuanya hidup pas-pasan namun berkat kegigihannya membawanya menuju
bangku kuliah. Memang bukan hal yang special karena kuliah saat ini sudah biasa
dikalangan remaja yang baru menamatkan pendidikan menengah atasnya.

Ia tinggal di kos-kosan kecil yang hanya berisi kamar tidur dan kamar mandi
didalam kamar. Cukup untuk dirinya sendiri. Biaya sewa juga tidak terlalu mahal,
tentunya ia masih mempunyai simpanan dari hasil prestasi-prestasi yang ia raih
selama ini.

Kehidupan barunya berjalan begitu cepat. Dalam sebulan ia sudah membiasakan


diri hidup sendiri dan harus menahan rindu. Beratnya lagi sekarang harus
mencari pekerjaan sampingan agar tidak terlalu membebankan orang tuanya
yang jauh sana.

Dalam benaknya, syukurlah karena hidupnya berjalan mulus. Rintangan demi


rintangan dapat dilalui. Kehidupan sederhana dan bahagia.

---

Kehidupannya memang berjalan dengan baik meskipun harus berjuang lebih


keras lagi. Hingga usia ke 19 tahun. Tidak bisa dipungkiri lagi, seperti bom yang
meledak seketika dihadapannya. Senyuman lelaki paruh baya itu adalah bom
untuk kehidupan paginya. Seharusnya pagi itu, adalah pagi yang bahagia. Namun
bom datang tepat ditanggal itu. Usianya genap 19 tahun.

Ketika membuka selembar surat yang diberikan, tangannya gemetar tidak mau
berhenti, dada terasa sesak. Baru semalam berbicara dengan ibu. Baru dua hari
yang lalu berbicara dengan ayah. Semua biasa saja dan mereka masih tertawa
mendengar pengalamannya yang rutin ia ceritakan. Selama ini ia mengira
mereka baik-baik saja. Ayah dan ibunya. Keluarganya.

Ia tak mampu berteriak, hanya bergumam dalam hatinya , “aku tidak pernah
berharap bangun dari mimpi, tapi kali ini bangunkan aku dari mimpi buruk ini”.

Mengambil air digelas dan meminumnya hingga habis tidak tersisa setetespun. Ia
begitu haus hingga meminum dua gelas. Tapi masih terasa panas dan haus.
Kemudian ia menutup pintu kamar kosnya dan berangkat menuju kampus. Ia
melupakan sejenak kecemasan dan perasaan tak karuannya.
Duduk di depan kelas, sambil menghirup udara segar setelah kelas selesai. Ia
enggan bangun dari kursi itu. Tempatnya sangat nyaman sehingga ia ingin
tertidur disana. Entah kenapa bom itu mencabik-cabik dirinya hingga ia kelelahan
tiada batas.

Kembali dipikirkannya, apa yang ia lewatkan selama ini? Kehidupan mereka baik-
baik saja. Masih tidak mudah ia mengerti.

Ia terkaget ketika suara telpon bordering.

“Ibu minta kamu tetap tegar, selama ini ibu sudah memberikan seluruh hidup ibu
untuk kamu dan ayahmu. Untuk itu, sekali ini biarkan ibu bahagia. Ibu tidak akan
meminta maaf, tapi ibu yakin kamu mengerti.” Kata sang ibu.

Ia hanya mendengar dengan seksama tanpa berkata apapun. Sesekali ia


menghela nafas dan berusaha menahan kata. Telpon ditutup. Ia kembali
bertatapan kosong.

Berhari-hari kemudian, ia masih menjalani hari seperti biasanya. Tanpa disadari,


luka semakin membesar. Bukan karena apa, melainkan karena tidak tau apa-apa.
Ia tidak mampu mencegahnya, mereka masih menganggapnya baik-baik saja dan
mampu memahami semua.

Yang ia pikirkan adalah serang “omongan” orang yang akan menyakiti mereka.

Peran yang harus ia jalankan adalah menjadi tameng. Tameng berjejer di depan
saat peperangan dimulai. Ia berusaha menguatkan diri. Lebih kuat lagi, sehingga
menjadi tameng yang melindungi mereka dari serangan.

---

Hari minggu, ayahnya tiba di kampung halamannya. Semua keluarganya bahagia


karena sang ayah sudah bertahun-tahun tidak pulang. Ia hanya tersenyum
melihat sang ayah disambut. Semua masih tidak tahu apa yang terjadi. Masih
aman sehingga ia masih ada waktu untuk menguatkan diri sebelum menjadi
tameng.

Ia duduk dengan sang ayah. “kamu jangan nangis, ayah janji akan mendapatkan
pekerjaan yang lebih baik disini dan membuatmu tamat kuliah” kata sang ayah
sambil menatapnya penuh rasa kekhawatiran.

Ia tak mampu menjawab apapun dan hanya berusaha menahan tangis sesak
didadanya. Ia menyadari bahwa tidak harus memperlihatkan wajah mendung
karena ia sadar mungkin selama ini senyuman yang ia terima begitu hangat akan
tetapi mereka kedinginan membeku. Begitu pula yang harus ia lakukan, menahan
mendung itu dan merubahnya menjadi pelangi.

Dulu ia begitu yakin hidupnya akan baik-baik saja, namun saat ini berbeda.
Realita yang ia hadapi membuat ia menjadi sebuah jembatan yang terbentang
dan diarungi arus kencang yang membuatnya terguncang. Namun satu hal yang
diingat, kehidupannya harus tetap dijalankan. Arus itu akan berlalu, digantikan
dengan ketenangan yang membuat seseorang berjalan di jembatan itu dengan
aman. Tanpa rasa takut. Jembatan yang melintasi 2 tempat, antara ayahnya dan
ibunya. Jembatan kebahagiaan antara keduanya. Dan juga antara ia dengan
mereka.
BIODATA

Nama : Ni Putu Eka Arkika


Tempat Tanggal Lahir : Sumbawa, 10 Oktober 1996
Alamat : Jln. Trengguli Gg. IV D1 No.2, Denpasar Timur, Bali
Pekerjaan : Swasta (Cost and Control)
No. Hp : 082247032069
No. Rekening : 145-00-1219149-6/ Ni putu eka arkika (Mandiri)
Akun Media Sosial : Facebook = Eka Arkika
Instagram = Ekhaarkika
Tentang saya : Tergabung dalam kelompok ilmiah remaja (KIR)
tahun 2009 – 2014.
Tergabung dalam kelompok ilmiah mahasiswa
(KIM) tahun 2014 – 2018.
Cerita ini kehidupan pribadi saya.

( Ni Putu Eka Arkika )

Anda mungkin juga menyukai