DI SUSUN OLEH
YUYUN PAWEROI
218240037
AKK VI
2021
Mendeskripsikan permasalahan kesehatan pada masa era
kemerdekaan
Pra Reformasi :
1. Masa Orde Lama
Sejak Era Sukarno menjadi presiden, pemberantasan penyakit dan wabah
yang pernah melanda tanah air terus dilakukan. Kiranya, pemberantasan
penyakit itu benar-benar diseriusi ketika sejak masa Demokrasi parlementer
(1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1967).
Menurut buku Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia, beberapa
lembaga kesehatan pada era demokrasi terpimpin sudah berdiri, seperti
Lembaga Eijkman di Jakarta; Lembaga Pasteur di Bandung; Lembaga
Pemberantasan Penyakit di Malaria di Jakarta; dan Lembaga Pemberantasan
Penyakit Kelamin di Surabaya.
Kemudian, Lembaga Pemberantasan Penyakit Rakyat di Yogyakarta;
Lembaga Pemberantasan Penyakit Pes di Bandung; dan Lembaga
Pemberantasan Penyakit Mata di Semarang.
Keberadaan lembaga-lembaga tersebut mempermudah negara untuk
menangani penyakit. Dengan segala keterbatasan, Departemen Kesehatan
(Depkes) mengelola lembaga tersebut, dan mulai memberantas berbagai macam
penyakit. Mulai dari pes, kolera, cacar, tuberkolosis, malaria, farmbusia, kusta,
filariasis, dan poliomyelitis.
Beberapa penyakit penting diurai di sini. Pada penyakit pes, Depkes
memberantas penyakit pes ini dengan menggunakan racun serangga berupa
“DDT Spraying” sejak tahun 1952. Pemberantasan penyakit itu terus dilakukan
hingga tahun 1961. Tercatat, tahun 1960 dan 1961, tidak ada kasus orang
terjangkit penyakit pes.
Pada kolera, Depkes memberikan vaksin TCD (typhus, cholerae,
dysentery) kepada anggota angkatan perang dan anak-anak sekolah sebagai
upaya pengebalan tubuh pada tahun 1950.
Tahun 1961, kolera kembali mewabah di Semarang hingga menimbulkan
kematian. Karena itu, pada 1962, Cholera eltor, sebutan penyakit kolera, masuk
ke dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah.
Depkes melakukan hal yang sama seperti pada tahun 1950, yakni
memvaksinasi TCD yang kelak dikenal sebagai pemberian “ring vaksinasi.”
Pada penyakit cacar, penyakit ini mewabah kembali pada awal
kemerdekaan, tepatnya tahun 1948, setelah diredakan pada awal abad 20.
Depkes, pada 1951, melakukan pencacaran massal di Pulau Jawa, Sumatra, dan
pulau-pulau lain di Indonesia. Upaya ini dilakukan sejalan dengan kebijakan
World Health Organization (WHO) untuk membasmi penyakit cacar. Bio Farma
juga telah berhasil menghasilkan vaksin cacar yang efektif.
Pembasmian cacar dilakukan dengan pemberian vaksin kering yang
dibuat Prof. Sardjito di Klaten. Upaya tersebut terus dilakuan hingga tahun 70-
an, dan berbuah hasil Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh WHO.
Pemerintah juga melakukan pemberantasan penyakit tuberkolosis
melalui vaksin BCG yang telah ditemukan pda 1950.
Tahun 1952, pemerintah Indonesia bersama WHO dan The United
Nations Children's Fund (UNICEF) menandatangani persetujuan untuk memulai
program percontohan dan latihan pemberantasan penyakit tuberkolosis.
Upaya tersebut semakin terimplementasi ketika diadakan konferensi
pertama pemberantasan penyakit paru-paru pada Juli 1953. Rekomendasi ini
adalah vaksinasi BCG sebagai upaya preventif terhadap tuberkolosis.
Pemberantasan Malaria juga demikian. Pada 1950, Pemerintah Indonesia
bekerja sama dengan The United States Agency for International Development
(USAID) mencanangkan Komando Basmi Malaria (Kopem). Kopem adalah
suatu task force Depkes dengan tugas khusus membasmi malaria.
Pencanangan tersebut semakin terbukti ketika tahun 1959, pemerintah
Indonesia bersama WHO dan USAID menandatangani persetujuan pembasmian
malaria. Tujuannya, agar penyakit malaria terbasmi dari wilayah Indonesia
hingga pada tahun 1970.
Kegiatan pembasmian ini meliputi penyemprotan rumah di seluruh Jawa,
Bali, dan Lampung selama tahap attack; penemuan penderita secara aktif dan
pasif, dan pengobatan radikal terhadap positif pada abgian akhir tahap attack
dan tahap konsolidasi; penyelidikan entomologi; dan penataran tenaga.
Sukarno menjadi ikon dalam penyemprotan DDT pertama di
Yogyakarta, pada 12 November 1959. Sehingga, tanggal itu ditetapkan sebagai
Hari Kesehatan nasional hingga kini.
3. Reformasi
Waktu terus bergulir, tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi.
Kemiskinan meningkat, kemampuan daya beli masyarakat rendah, menyebabkan
akses ke pelayanan kesehatan renda, kemudian dikembangkan program kesehatan
untuk masyarakat miskin yaitu, JPS-BK.
Tahun 1998 Indonesia mengalami reformasi berbagai bidang termasuk
pemerintahan dan menjadi negara dermokrasi. Tahun 2001 otonomi daerah mulai
dilaksanakan, sehingga dilapangan program-prorgam kesehatan bernunasa
desentralisasi dan sebagai konsekuensi negara demokrasi, program-program
kesehatan juga banyak yang bernuasa ’politis’. Tahun 2003 JPS-BK kemudian
penjadi PKPS-BBM Bidang Kesehatan, tahun 2005 berubah lagi menjadi Askeskin.
Pada saat itu juga dikembangkan Visi Indonesia Sehat Tahun 2010 dengan Paradigma
Sehat. Puskesmas dan Posyandu masih tetap eksis, bahkan Posyandu menjadi andalan
ujung tombak ’mobilisasai sosial’ bidang kesehatan.
Dalam era otonomi dan demokrasi menuntut akutanbilitas dan kemitraan,
sehingga berkembang LSM-LSM baik bidang kesehatan, maupun bukan untuk
menuntut akutanbilitas tersebut dalam berbagai bentuk partisipasi. Sebagai
’partnersship’ LSM-LSM tersebut program kesehatan yang bertanggung jawab adalah
Promosi Kesehatan. Promosi Kesehatan harus menjadi ujung tombak mewakili
program kesehatan secara keseluruhan, baik sebagai pemasaran-sosial Visi Indonesia
Sehat 2010 untuk merubah paradigma (Paradigma Sehat)petugas kesehatan dan
masyarakat.
Tugas lain promosi kesehatan melakukan advokasi, komunikasi kesehatan dan
mobilisasi sosial, baik kepada pihak legislatif, eksekutif maupun masyarakat itu
sendiri. Terutama melalui kemitraan dengan LSM-LSM tersebut. Dengan kata lain
pada era otonomi/desentralisasi saat ini sektor kesehatan harus diperjuangkan juga
secara politik karena sebenarnya saat ini bidang kesehatan disebut juga sebagai era
’Political Health’, maka peranan promosi kesehatan sangat menonjol dalam ikut
mengakomodasi upaya tersebut dengan berbagai strategi.
Pada tahun 1999, reformasi politik menetapkan pemerintah sebagai sumber
dana masyarakat miskin melalui program Social Safety-Net, yang diteruskan dengan
Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Askeskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas), dan saat ini JKN. Kebijakan ini mengakhiri periode mekanisme pasar
yang sangat kuat.
Meski demikian, kebijakan pembiayaan untuk pelayanan perorangan ini tidak
dapat mengangkat status kesehatan masyarakat. Selama 10 tahun terakhir, berbagai
indikator kesehatan masyarakat, seperti angka kematian ibu dan bayi, demikian juga
dengan penderita TB, masih belum dapat dikendalikan. Di sejumlah kota besar,
jumlah kematian ibu meningkat seiring dengan peningkatan anggaran untuk jaminan
kesehatan.