OLEH :
KETUA : ANDI RISKI ANDU
ANGGOTA : RUSMAN
M.YUSRIADI
MUSTADIR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Penyusun
Daftar isi
Jilid .......................................................................................
Kata Pengantar ......................................................................................
Daftar isi .......................................................................................
Bab I
Pendahuluan
Latar belakang ............................................................................................
Rumusan masalah ..........................................................................................
Tujuan ............................................................................................
Bab II
Pembahasan
Bab III
Penutup
Kesimpulan ......................................................................................................
Saran ......................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Alasan pertama yang menjadi latar dari gerakan DI/TII Aceh adalah kekecewaan
para tokoh pimpinan masyarakat di Aceh atas dileburnya provinsi Aceh ke dalam
provinsi Sumatera Utara yang beribukota di Medan. Peleburan provinsi itu seakan
mengabaikan jasa baik masyarakat Aceh ketika perjuangan mempertahankan
kedaulatan Negara Republik Indonesia dimasa revolusi fisik kemerdekaan Indonesia
(1945-1950).
Kekhawatiran kembalinya kekuasaan para ulee balang yang sejak lama telah
menjadi pemimpin formal pada lingkup adat dan politik di Aceh[1][2]. Keinginan dari
masyarakat Aceh untuk menetapkan hukum syariah dalam kehidupan mereka.
Sejarawan berkebangsaan Belanda, Cornelis Van Dijk, menyebutkan, kekecewaan
Daud Beureueh terhadap Jakarta semakin berat dengan beredarnya rumor tentang
sebuah dokumen rahasia dari Jakarta. Dokumen itu disebut-sebut dikirim oleh
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang isinya berupa perintah pembunuhan
terhadap 300 tokoh masyarakat Aceh. Rumor ini disebut sebagai les hitam. Perintah
tersebut dikabarkan diambil oleh Jakarta berdasarkan kecurigaan dan laporan
bahwa Aceh sedang bersiap untuk sebuah pemberontakan guna memisahkan diri dari
negara Indonesia.
B.Rumusan masalah
c.Tujuan
Adanya perbedaan pendapat yang muncul antara pemimpin Aceh dengan pemerintah
pusat (Jakarta), merupakan salah satu faktor yang menyebabkan munculnya pemberontakan
DI/TII tahun 1953, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Saat itu, rakyat Aceh
mengharapkan daerahnya menjadi salah satu provinsi yang mendapat perlakuan yang
istimewa (Hasbi Amiruddin, 2004:59).
Sebenarnya ada beberapa alasan lain yang menjadi latar belakang mengapa rakyat
Aceh menentang pemerintah pusat. Pertama, rakyat Aceh sudah lama terlibat perang untuk
mempertahankan negerinya dari jajahan kolonial Belanda. Hampir seratus tahun tidak ada
pembangunan yang dapat dilakukan, ekonomi dan pendidikan tidak dapat dikembangkan.
Rakyat Aceh merindukan pemimpin yang berasal dari daerah Aceh atau putra
daerah. Karena dengan pemimpin yang berasal dari daerah sendiri, maka diharapkan dapat
memahami kebutuhan rakyat dan memahami watak rakyat Aceh yang agak berbeda,
khususnya dipandang dari aspek agama dan budaya, dibandingkan dengan masyarakat dari
wilayah lainnya di Indonesia.
Akan tetapi, Pemerintah pusat mempunyai sisi pandang yang berbeda mengenai
permintaan masyarakat tersebut. Propinsi Aceh yang baru berumur setahun disatukan
dengan Sumatera Utara untuk dijadikan satu provinsi. Sejak saat itu, kekecewaan demi
kekecewaan mewarnai situasi Aceh.
Suasana menjadi semakin panas dengan adanya penangkapan-penangkapan sejumlah
tokoh yang lantang dan bersuara keras, yang dilakukan oleh aparat keamanan.
Karenanya, Tgk. Daud Beureueh, pada 21 September 1953, memutuskan perang
melawan Pemerintah Indonesia. Ia menyatakan bergabung dengan gerakan SM
Kartosuwiryo dibawah bendera DI/TII, yang sudah mendeklarasikan Negara Islam
Indonesia di Jawa Barat pada 17 Agustus 1949.
Sebagian besar Ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh
(PUSA), ikut berjuang bersama Tgk. Daud Beureueh saat itu yang sudah naik gunung.
Ulama yang ikut mengangkat sejata tersebut, tergabung dalam resimen 5 DI/TII, sekaligus
pengawal paling setia Tgk. Daud Beureueh (Otto Syamsuddin Ishak, edisi Agustus 2005,
Aceh Kita).
Sjafruddin Prawiranegara, sebagai Perdana Menteri Sementara saat itu, memahami
keinginan dari masyarakat Aceh tentang status khusus tersebut, namun keinginan ini ditolak
oleh pemerintah pusat (Soekarno dan Hatta).
Pemberontakan yang terjadi di Aceh pada awal tahun lima puluhan melibatkan
mayoritas masyarakat Aceh, karena digerakkan oleh sejumlah ulama yang terkenal pada
waktu itu, di antaranya yaitu Tgk. Muhammad Daud Beureueh. Pemerintah pusat tidak
dapat meredam pemerintakan tersebut, yang berlangsung selama sembilan tahun yaitu 1953-
1962. Pemberontakan ini berakhir setelah pemerintah pusat menerima status daerah
Istimewa Aceh. Rakyat Aceh diberi hak otonomi, yaitu dalam bidang keagamaan,
pendidikan, dan adat istiadat. Dalam mengakhiri pemberontakan tersebut, ditandai dengan
adanya perdamaian yang juga dipelopori oleh sejumlah ulama Aceh pada waktu itu.
Dalam rangka menumpas kaum komunis tersebut di Aceh, Ishak Juarsa, Panglima
Kodam I Iskandar Muda selaku Penguasa Perang Daerah untuk Daerah Istimewa Aceh,
secara terpisah meminta pendapat berupa Hukum Islam mengenai G 30 S. itu kepada ;
· Teungku Haji Abdullah Ujongrimba (Ketua Mahkamah Syari’ah/Pengadilan Agama
Daerah Istimewa Aceh);
· Teungku Haji Hasan (Kepala Kantor Urusan Agama Propinsi Daerah Istimewa Aceh);
· Drs. Haji Ismuha (Rektor IAIN Jamiah Ar-Ranirry Darussalam, Banda Aceh).
Meskipun mereka tidak bermusyawarah, bahkan satu sama lain tidak tahu menahu,
namun jawaban mereka sama, yaitu karena masalah ini besar, maka sebaiknya diundang
para ulama seluruh Aceh untuk sama-sama membicarakan masalah tersebut.
Saran tersebut diterima oleh Pangdam Iskandar Muda dengan mengundang seluruh
ulama yang ada di Aceh dalam kegiatan Musyawarah Alim Ulama se-Daerah Istimewa
Aceh pada tanggal 17-18 Desember 1965 (23-24 Syakban 1385 H), yang dihadiri oleh
sebanyak 56 alim ulama terkemuka dari seluruh Tanah Aceh.
Dalam pertemuan yang dipimpin oleh Tgk. H. Abdullah Ujongrimba tersebut,
keluarlah beberapa keputusan yang menyatakan ajaran komunisme kufur/haram hukumnya,
penganutnya yang sadar adalah kafir, pelaku G. 30. S adalah kafir harbi yang wajib
ditumpas, pembubaran PKI wajib hukumnya, orang yang menumpas G. 30. S karena Allah
dan terbunuh mati syahid hukumnya.
Pertemuan ulama se-Daerah Istimewa Aceh tersebut juga memutuskan untuk
mendirikan organisasi ulama yang diberi nama Majelis Permusyawaratan Ulama Daerah
Istimewa Aceh, yang dipimpin dan diketuai oleh Tgk. H. Abdullah Ujongrimba untuk
pertama kalinya.
Setelah keluarnya fatwa ulama tersebut, maka pada tanggal 19 Desember 1965
Panglima Kodam I Iskandarmuda mengumumkan pembubaran Partai Komunis Indonesia
dan organisasi-organisasi bawahannya dalam daerah hukumnya, yaitu Daerah Istimewa
Aceh.
Pada masa lampau, peran dayah tidak hanya sebatas sebagai lembaga pendidikan
keagamaan. Namun, menyentuh ranah sosial politik, kekuasaan, bahkan lebih jauh menjadi
tempat melahirkan panglima perang.
Pada era Kasultanan Aceh, Abdul Rauf As-Singkili merupakan ulama kerajaan yang
membuat kanun atau hukum pemerintahan dan kemasyarakatan. Adapun pada masa perang
Aceh melawan kolonial Belanda, dayah di Aceh menjadi tempat menyusun strategi.
Sebagian dayah menjadi semacam lembaga pemberi ijazah atau legitimasi bagi para
panglima dan prajurit sebelum terjun ke medan perang. Dayah seperti ini biasanya
dinamakan zawiyah (dalam lidah Aceh sering disebutkan sebagai Dayah). Salah satu di
antaranya adalah Zawiyah Tanoh Abee di Aceh Besar.
Tokoh penting dalam perjuangan melawan penjajah, di antaranya, adalah Tgk H
Syeh Abdul Wahab yang merupakan pejuang pada zaman kemerdekaan. Tokoh lainnya
adalah pimpinan generasi kelima, Zawiyah Tgk. Chiek Tanoh Abee, yang menjadi penasihat
Perang Aceh, seperti diutarakan almarhum Tgk. M Dahlan Al Fairussi, pimpinan generasi
kesembilan di zawiyah itu.
Namun, sejak konflik RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), hampir semua
dayah di Aceh berupaya memberi jarak pada urusan politik. Dayah berupaya ”hanya”
menjadi pusat pendidikan agama.
Selama masa konflik RI dengan GAM, dayah berada di posisi terjepit di antara dua
kekuatan yang bertikai, sehingga ruang geraknya menyempit. Santri-santri dan ulama tidak
leluasa berdakwah dan melakukan pengajian karena khawatir dicurigai, baik oleh TNI/Polri
maupun oleh GAM. Santri dan abu (pemimpin dayah) seperti terpenjara dalam lingkungan
dayah. Bahkan, untuk menyerukan perdamaian pun bisa dicurigai karena dianggap
melemahkan perjuangan salah satu pihak.
Dayah lambat laun memilih peran dengan berdiam diri dan dengan itu mereka
menjadi pelindung masyarakat dari teror dan tekanan konflik. Mereka harus ekstra hati-hati.
Demi kelangsungan hidup dayah, mereka berjuang untuk tetap berada di garis tengah agar
tidak terseret ke dalam arus konflik.
Setelah Tgk. Daud Beureueh turun gunung dan berdamai dengan Pemerintah RI,
keterlibatan beliau dalam perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pimpinan Hasan
Tiro, kembali dikait-kaitkan.
Meskipun banyak asumsi yang menuai pro-kontra mengenai keterlibatan beliau
(Tgk. Daud Beureueh) terhadap Perlawanan GAM yang dikumandangkan oleh Hasan Tiro
di Puncak Gunung Halimun, Pidie, namun perlawanan tersebut mendapat dukungan penuh
dari beberapa tokoh pendukung DI/TII. Diantaranya adalah Teungku Ilyas Leubee dan Daud
Paneuk. Ilyas merupakan ulama yang disegani di Aceh Tengah dan merupakan pendukung
setia Daud Beureueh (Zakaria, tokoh GAM di Thailand, edisi Agustus 2005, Aceh Kita).
Deklarasi pendirian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diketuai oleh Hasan Tiro,
pada awalnya merupakan sebuah perjuangan kelanjutan dari Republik Islam Aceh (RIA).
RIA lahir melalui sebuah gerakan pembebasan yang ingin membebaskan rakyat Aceh dari
belenggu “penjajahan” Republik Indonesia. Sang arsitek GAM, Tgk. Daud Beureueh,
menginginkan Aceh harus menjadi Negara Islam yang didasarkan pada Al-Quran dan
Sunnah Rasulullah. Menurut Tgk. Daud Beureueh, dengan bersandarkan kepada Al-Quran
dan Al hadist, maka rakyat Aceh akan mendapatkan keadilan, kesejahteraan dan
kemakmuran sebagaiman sejarah Aceh tempo dulu. Maka dalam perjuangan menegakkan
Negara Islam Aceh, semangat hukum Islam sangat ditonjolkan (Abu Jihad,.. : 45).
Dalam melanjutkan perjuangan tersebut, tentunya Tgk. Daud Beureueh tidak
mempunyai kuasa lagi. Hal itu dikarenakan fisik nya yang mulai melemah dan kontrol yang
sangat ketat dari Intelijen Indonesia. Karenanya, perjuangan menegakkan Negara Aceh yang
berdaulat dengan berlandaskan hukum Islam diberikan kepada Hasan Tiro.
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dalam pembahasan ini adalah sebagai
berikut:
1 Eksistensi ulama dalam masyarakat sebelum kehadiran Belanda ke Aceh adalah sangat
besar artinya. Ulama tidak hanya dipandang sebagai orang yang memiliki ilmu keagamaan
semata, melainkan juga dianggap orang yang mampu menguasai adat istiadat serta
pengetahuan lainnya.
2. Keterlibatan ulama sangat besar artinya terhadap kondisi sosial dan politik di Aceh.
Secara politis, sejak awal kemerdekaan ulama Aceh sudah memegang peran yang sangat
strategis, seperti yang dilakukan oleh Tgk. Muhammad Daud Beureueh dalam
memperjuangkan status Daerah Istimewa bagi Aceh.
3. Pengaruh keterlibatan ulama Aceh dalam kancah politik adalah dapat menjadi pelopor
dalam menyuarakan aspirasi masyarakat Aceh (umat Islam). Ulama juga ikut berperan
dalam menggagas perdamaian di Aceh, seperti halnya dalam penyelesaian DI/TII dan juga
ikut pro aktif dalam mengupayakan perundingan Helsinki, yaitu perundingan antara
pemerintah RI dengan GAM.
B.Saran-saran
1. Diharapkan kepada para pembaca kiranya dapat mengambil suri tauladan dari perjuangan
para ulama Aceh dalam menyuarakan aspirasi umat Islam, serta turut pro aktif dalam
menggagas perdamaian di Aceh.
2. Diharapkan kepada para guru dan calon guru sejarah dapat lebih giat berupaya untuk
menanamkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Upaya ini salah satunya adalah
dengan semakin memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.