Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan masalah kesehatan utama di

negara – negara maju. Pada saat ini penyakit jantung telah menjadi penyebab

kematian pertama di dunia. Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, prevalensi

tertinggi untuk penyakit Kardiovaskuler di Indonesia adalah PJK, yakni sebesar

1,5%. Dari prevalensi tersebut, angka tertinggi ada di Provinsi Nusa Tenggara

Timur (4,4%) dan terendah di Provinsi Riau (0,3%). Penyakit ini juga masih

sering dijumpai di Indonesia dan menduduki peringkat ke 3 sebagai penyebab

kematian terbanyak. Pada tahun 2010, secara global penyakit ini akan menjadi

penyebab kematian pertama di negara berkembang, menggantikan kematian

akibat infeksi. Diperkirakan diseluruh dunia, penyakit jantung koroner pada tahun

2020 menjadi pembunuh pertama tersering yaitu sebesar 36% dari seluruh

kematian.1,2,3

Prevalensi DM di Indonesia berkisar antara 1,5% atau sejumlah 2,5 juta

penderita dan hampir semuanya adalah penderita DM tipe II dengan kelompok

umur terbanyak 45-65 tahun. Menurut laporan WHO pada tahun 1993, prevalensi

penderita DM di dunia pada orang dewasa sekitar 6% atau sejumlah 100 juta

penderita. Persentasi terjadinya komplikasi kronis DM di berbagai tempat di

Indonesia sangat bervariasi. Data dari RS Dr. Soetomo Surabaya (Taun 1964-

1992) menunjukkan bahwa DM meningkatkan faktor resiko penyakit jantung

koroner sebanyak 10%.1

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik adalah

penyakit jantung yang timbul akibat penyempitan pada arteri koronaria.

Penyempitan tersebut dapat disebabkan antara lain aterosklerosis, berbagai jenis

arteritis, emboli koronaria, dan spasme. Oleh karena aterosklerosis merupakan

penyebab terbanyak (99%) maka pembahasan tentang PJK pada umumnya

terbatas penyebab tersebut.4

B. Epidemiologi

Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, prevalensi tertinggi untuk

penyakit Kardiovaskuler di Indonesia adalah PJK, yakni sebesar 1,5%. Dari

prevalensi tersebut, angka tertinggi ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (4,4%)

dan terendah di Provinsi Riau (0,3%). Menurut kelompok umur, PJK paling

banyak terjadi pada kelompok umur 65-74 tahun (3,6%) diikuti kelompok umur

75 tahun ke atas (3,2%), kelompok umur 55- 64 tahun (2,1%) dan kelompok umur

35-44 tahun (1,3%). Sedangkan menurut status ekonomi, terbanyak pada tingkat

ekonomi bawah (2,1%) dan menengah bawah (1,6%). Data World Health

Organization (WHO) tahun 2012 menunjukkan 17,5 juta orang di dunia

meninggal akibat penyakit kardiovaskuler atau 31% dari 56,5 juta kematian di

seluruh dunia. Lebih dari 3/4 kematian akibat penyakit kardiovaskuler terjadi di

negara berkembang yang berpenghasilan rendah sampai sedang. Dari seluruh

kematian akibat penyakit kardiovaskuler 7,4 juta (42,3%) di antaranya disebabkan

4
oleh Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan 6,7 juta (38,3%) disebabkan oleh

stroke.1

C. Etiologi

Penyebab terjadinya penyakit kardiovaskuler pada perinsipnya disebabkan

oleh dua faktor utama yaitu:

1. Aterosklerosis

Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri

koroneria yang paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan

penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteri koronaria, sehingga secara

progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen menyempit maka

resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan aliran

darah miokardium.4

2. Trombosis

Endapan lemak dan pengerasan pembuluh darah terganggu dan lamakelamaan

berakibat robek dinding pembuluh darah. Pada mulanya, gumpalan darah

merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk mencegahan perdarahan

berlanjut pada saat terjadinya luka. Berkumpulnya gumpalan darah dibagian

robek tersebut, yang kemudian bersatu dengan keping-keping darah menjadi

trombus. Trombosis ini menyebabkan sumbatan di dalam pembuluh darah

jantung, dapat menyebabkan serangan jantung mendadak, dan bila sumbatan

terjadi di pembuluh darah otak menyebabkan stroke. 4

D. Faktor Resiko

Faktor risiko pada penyakit jantung koroner dapat dikelompokkan menjadi

2, berdasarkan bisa atau tidaknya dimodifikasi, faktor risiko yang bisa

5
dimodifikasi (modifiable) antara lain obesitas, dislipidemia, hipertensi, diabetes

mellitus, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan stres, faktor yang tidak bisa

dimodifikasi (nonmodifiable) antara lain adalah umur, jenis kelamin, riwayat

penyakit keluarga, dan ras/etnis. Selain itu, faktor risiko penyakit jantung koroner

juga ada yang digolongkan menjadi faktor risiko utama (merokok, hipertensi,

kolesterol, diabetes mellitus dan alkohol) dan faktor risiko tambahan (obesitas,

keturunan, aktivitas fisik, umur, jenis kelamin dan stres).5

6
E. Klasifikasi

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram

(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:

7
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation

myocardial infarction)

2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment

elevation myocardial infarction)

3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan

indicator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini

memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan

reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen

fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis

STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi

segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana

revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.4

Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat

keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua

sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi

segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-

normalization, atau bahkan tanpa perubahan. Sedangkan Angina Pektoris tidak

stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai

dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah

Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi

peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST

Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina

Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada

8
sindroma coroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal

adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper limits of normal, ULN). 4

F. Patofisiologi

1. Pembentukan Aterosklerosis

Ada beberapa hopotesis yang menerangkan tentang proses terbentuknya

aterosklerosis, seperti monoclonal hypothesis, lipogenic hypothesis dan

response to injure hypothesis. Namun yang banyak diperbincangkan adalah

mengenai empat stage respon to injure hypothesis sebagai berikut:6,7,8

a. Stage A: Endothelial injure

Endotelial yang intake dan licin berfungsi sebagai barrier yang

menjamin aliran darah koroner lancar. Faktor resiko yang dimiliki pasien akan

memudahkan masuknya lipoprotein densitas rendah yang teroksidasi maupun

makrofag ke dalam dinding arteri. Interaksi antara endotelial injure dengan

platelet, monosit dan jaringan ikat (collagen), menyebabkan terjadinya

penempelan platelet (platelet adherence) dan agregasi trombosit (trombosit

agregation). 6,7,8

b. Stage B: Fatty Streak Formation

c. Stage C: Fibrosis Plaque Formation

9
Formasi plak fibrosis terdiri atas inti atau central cholesterol dan tutup

jaringan ikat (cap fibrous). Formasi ini memberikan dua gambaran tipe yaitu:
6,7,8

1) Stable fibrous plaque dan

2) Unstable fibrous plaque

d. Stage D: Unstable Plaque Formation

Formasi ini akan membentuk plak yang mudah ruptur (vulnarable

plaque), sehingga menyebabkan terbentuknya trombus dan oklusi pada arteri.


6,7,8

10
2. Patofisiologi Terjadinya Infark Miokard

11
12
G. Manifestasi Klinis

Presentasi klinik NSTEMI dan UAP pada umumnya berupa: 4

1. Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit. Dialami oleh sebagian

besar pasien (80%)

2. Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian

Cardiovascular Society. Terdapat pada 20% pasien.

3. Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif ataukresendo):

menjadi makin sering, lebih lama, atau menjadi makin berat; minimal kelas III

klasifikasi CCS.

4. Angina pascainfark-miokard: angina yang terjadi dalam 2 minggu setelah

infark miokard

H. Diagnosis

Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis,

pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada,

diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai

berikut: non kardiak, Angina Stabil, Kemungkinan SKA, dan Definitif SKA.4

1. Anamnesis

Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang

tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal

berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,

rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung

intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal

sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri

abdominal, sesak napas, dan sinkop. 4

13
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah

penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas

yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan.

Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun)

atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun,

atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat,

keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan

aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung coroner (PJK).

Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap

diagnosis SKA. 4

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus

iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis

banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung. tiga (S3), ronkhi basah

halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi

iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi,

diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan

terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak

seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri

pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam

memikirkan diagnosis banding SKA. 4

3. Pemeriksaan elektrokardiogram.

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah

kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin

14
sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R,

serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang

mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga

harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal

nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak

kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang

setiap keluhan angina timbul kembali. 4

Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup

bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/

persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak

persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T. 4

Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang

bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria

dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3

nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin.

Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah

≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan

nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah

≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R

dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV

dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi

segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh

segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI

terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST

15
dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru

mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien

dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi

reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia. 4

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG

pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen

ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1

mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan

konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk

diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan

dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat

rendah. 4

Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi

segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non

elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP).

Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di

sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi

segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten

16
(<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T

yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut. 4

Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang

diagnostic dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik. 4

4. Pemeriksaan marka jantung

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka

nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.

Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan

spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya

menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk

menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner).

Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner

seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,

miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar

troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut,

emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada

dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang

terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada

keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.

17
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T

menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan

hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat

ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah

pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada

seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah)

dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat,

CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang)

maupun infark periprosedural. (lihat gambar 2). Pemeriksaan marka jantung

sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau

ruang rawat intensif jantung (point of care testing) pada umumnya berupa tes

kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif.

Point of care testing sebagai alat diagnostic rutin SKA hanya dianjurkan jika

waktu pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka

jantung secara point of care testing menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan

harus diulang di laboratorium sentral.4

I. Tatalaksana

Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera

menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan

selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada

pasien dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan

angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau

marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat,

Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan. 4

18
1. Tirah baring (Kelas I-C)

2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2

arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi (Kelas I-C)

3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam

pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri (Kelas IIa-C)

4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui

intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih terpilih

mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat (Kelas I-C)

5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)

a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan

dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang

direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik (Kelas I-B)

b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis

pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi

reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang

dianjurkan adalah clopidogrel) (Kelas I-C).

6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada

yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). jika nyeri

dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit

sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang

tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas I-C). dalam

keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai

pengganti

19
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien

yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas IIa-B).

a) NSTEMI dan UAP

Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk dilakukan

strategi invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi invasive

melibatkan dilakukannya angiografi, dan ditujukan pada pasien dengan tingkat

risiko tinggi hingga sangat tinggi. Waktu pelaksanaan angiografi ditentukan

berdasarkan beberapa parameter dan dibagi menjadi 4 kategori,yaitu:

1. Strategi invasif segera (<2 jam, urgent) (Kelas I-C).

Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko sangat tinggi (very high

risk)

2. Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam (Kelas I-A)

20
Dilakukan bila pasien memiliki skor GRACE >140 atau dengan salah satu kriteria

risiko tinggi (high risk) primer (Tabel 11)

3. Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam (Kelas I-A)

Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko tinggi (high risk) atau

dengan gejala berulang

4. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif (Kelas

III-A)

Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani SKA adalah:

- Anti Iskemia

- Calcium channel blockers (CCBs)

- Antiplatelet

- Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa

- Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin

- Statin

b) STEMI

21
J. Komplikasi

Komplikasi tertinggi akut infark adalah aritmia, aritmia yang sering

memberikan komplikasi adalah ventrikel fibrilasi. Ventrikel fibrilasi 95%

meninggal sebelum sampai rumah sakit. Komplikasi lain meliputi disfungsi

ventrikel kiri/gagal jantung dan hipotensi/syok kardiogenik. 4

K. Prognosis

Prognosis pada penyakit jantung koroner tergantung dari beberapa hal yaitu: 4

1. Wilayah yang terkena oklusi

22
2. Sirkulasi kolateral

3. Durasi atau waktu oklusi

4. Oklusi total atau parsial

5. Kebutuhan oksigen miokard

Berikut prognosis pada penyakit jantung koroner: 4

1. 25% meninggal sebelum sampai ke rumah sakit

2. Total mortalitas 15-30%

3. Mortalitas pada usia < 50 tahun 10-20%, Mortalitas usia > 50 tahun sekitar

20%

L. Hubungan Diabetes Melitus Terhadap Penyakit Jantung Koroner

Diabetes mellitus adalah suatu ganguan metabolism yang secara genetis dan

klinis dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat, yang ditandai

dengan hiperglikemia puasa dan post prandial karena tubuh tidak dapat

melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat.9

Penyebab kematian dan kesakitan utama pada penderita DM (baik DM tipe

1 maupun DM tipe 2) adalah Penyakit Jantung Koroner, yang merupakan salah

satu penyulit makrovaskular pada diabetes melitus. Penyulit makrovaskular ini

bermanifestasi sebagai aterosklerosis dini yang dapat mengenai organ-organ vital

seperti jantung dan otak. Penyebab aterosklerosis pada penderita DM tipe 2

bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi kompleks dari berbagai keadaan

seperti hiperglikemi, hiperlipidemi, stres oksidatif, penuaan dini, hiperinsulinemi

dan/atau hiperproinsulinemi serta perubahan-perubahan dalam proses koagulasi

dan fibrinolisis. Pada penderita DM, risiko gagal jantung kongestif meningkat 4

sampai 8 kali. Peningkatan risiko ini tidak hanya disebabkan karena penyakit

23
jantung iskemik. Dalam beberapa tahun terakhir ini diketahui bahwa DM dapat

pula mempengaruhi otot jantung secara independen. Selain melalui keterlibatan

aterosklerosis dini arteri koroner yang menyebabkan penyakit jantung iskemik

juga dapat terjadi perubahan-perubahan berupa fibrosis interstisial, pembentukan

kolagen dan hipertrofi sel-sel otot jantung. Pada tingkat seluler terjadi gangguan

pengeluaran kalsium dari sitoplasma, perubahan struktur troponin T dan

peningkatan aktivitas Pyruvate Kinase. Perubahan ini akan menyebabkan

gangguan kontraksi dan relaksasi otot jantung dan peningkatan tekanan end-

diastolic sehingga dapat menimbulkan kardiomiopati restriktif. 9

Patofisiologi :

Dasar terjadinya peningkatan risiko Penyakit Jantung Koroner pada

penderita DM belum diketahui secara pasti. Dari hasil penelitian didapatkan

kenyataan bahwa : 9

1. Angka kejadian aterosklerosis lebih tinggi pada penderita DM dibanding

populasi non DM.

2. Penderita DM mempunyai risiko tinggi untuk mengalami trombosis, penurunan

fibrinolisis dan peningkatan respons inflamasi.

3. Pada penderita DM terjadi glikosilasi protein yang akan mempengaruhi

integritas dinding pembuluh darah.

Haffner dan kawan-kawan, membuktikan bahwa aterosklerosis pada

penderita DM mulai terjadi sebelum timbul onset klinis DM. Studi epidemiologik

juga menunjukkan terjadinya peningkatan risiko payah jantung pada penderita

DM dibandingkan populasi non DM, yang ternyata disebabkan karena kontrol

gula darah yang buruk dalam waktu yang lama. Disamping itu berbagai faktor

24
turut pula memperberat risiko terjadinya payah jantung dan stroke pada penderita

DM, antara lain hipertensi, resistensi insulin, hiperinsulinemi, hiperamilinemi,

dislipidemi, dan gangguan sistem koagulasi serta hiperhomosisteinemi. 9

Semua faktor risiko ini kadang-kadang dapat terjadi pada satu individu dan

merupakan suatu kumpulan gejala yang dikenal dengan istilah sindrom resistensi

insulin atau sindrom metabolik. 9

Lesi aterosklerosis pada penderita DM dapat terjadi akibat :

1. Hiperglikemi

Hiperglikemi kronik menyebabkan disfungsi endotel melalui berbagai

mekanisme antara lain :

a. Hiperglikemi kronik menyebabkan glikosilasi non enzimatik dari protein dan

makromolekul seperti DNA, yang akan mengakibatkan perubahan sifat

antigenik dari protein dan DNA. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan

tekanan intravaskular akibat gangguan keseimbangan Nitrat Oksida (NO) dan

prostaglandin.

b. Hiperglikemi meningkatkan aktivasi protein kinase C (PKC) intraseluler

sehingga akan menyebabkan gangguan NADPH pool yang akan menghambat

produksi NO.

c. Overekspresi growth factors meningkatkan proliferasi sel endotel dan otot

polos pembuluh darah sehingga akan terjadi neovaskularisasi.

d. Hiperglikemi akan meningkatkan sintesis diacylglyerol (DAG) melalui jalur

glikolitik. Peningkatan kadar DAG akan meningkatkan aktivitas protein kinase

C (PKC). Baik DAG maupun PKC berperan dalam memodulasi terjadinya

vasokonstriksi.

25
e. Sel endotel sangat peka terhadap pengaruh stres oksidatif. Keadaan

hiperglikemi akan meningkatkan tendensi untuk terjadinya stres oksidatif dan

peningkatan oxidized lipoprotein, terutama small dense LDL-cholesterol

(oxidized LDL) yang lebih bersifat aterogenik. Disamping itu peningkatan

kadar asam lemak bebas dan keadaan hiperglikemi dapat meningkatkan

oksidasi fosfolipid dan protein.

Hiperglikemi akan disertai dengan tendensi protrombotik dan aggregasi

platelet. Keadaan ini berhubungan dengan beberapa faktor antara lain penurunan

produksi NO dan penurunan aktivitas fibrinolitik akibat peningkatan kadar PAI-1.

Disamping itu pada DM tipe 2 terjadi peningkatan aktivitas koagulasi akibat

pengaruh berbagai faktor seperti pembentukan advanced glycosylation end

products (AGEs) dan penurunan sintesis heparan sulfat. 9

Walaupun tidak ada hubungan langsung antara aktivasi koagulasi dengan

disfungsi endotel, namun aktivasi koagulasi yang berulang dapat menyebabkan

overstimulasi dari sel-sel endotel sehingga akan terjadi disfungsi endotel. 9

2. Resistensi insulin dan hiperinsulinemi

Jialal dan kawan-kawan menemukan adanya reseptor terhadap insulin yaitu

IGF-I dan IGF-II pada sel-sel dari pembuluh darah besar dan kecil dengan

karakteristik ikatan yang sama dengan yang ada pada sel-sel lain. Peneliti ini

menyatakan bahwa reseptor IGF-I dan IGF-II pada sel endotel terbukti berperan

secara fisiologik dalam proses terjadinya komplikasi vaskular pada penderita

DM. Defisiensi insulin dan hiperglikemi kronik dapat meningkatkan kadar total

protein kinase C (PKC) dan diacylglycerol (DAG) yang berperan dalam

memodulasi terjadinya vasokonstriksi. Insulin juga mempunyai efek langsung

26
terhadap jaringan pembuluh darah. Pada penelitian terhadap jaringan pembuluh

darah dari obese Zucker rat didapatkan adanya resistensi terhadap sinyal PI3-

kinase. Temuan ini membuktikan bahwa resistensi insulin akan menimbulkan

gangguan langsung pada fungsi pembuluh darah. King dan kawan-kawan dalam

penelitiannya menggunakan kadar insulin fisiologis mendapatkan bahwa hormon

ini dapat meningkatkan kadar dan aktivitas mRNA dari eNOS sebesar 2 kali lipat

setelah 2-8 jam inkubasi sel endotel. Peneliti ini menyimpulkan bahwa insulin

tidak hanya memiliki efek vasodilatasi akut melainkan juga memodulasi tonus

pembuluh darah. Toksisitas insulin (hiperinsulinemi / hiperproinsulinemi) dapat

menyertai keadaan resistensi insulin/ sindrom metabolik dan stadium awal dari

DM tipe 2. Insulin meningkatkan jumlah reseptor AT-1 dan mengaktifkan Renin

Angiotensin Aldosterone System (RAAS). Akhir-akhir ini telah dapat

diidentifikasi adanya reseptor AT-1 didalam sel-sel beta pankreas dan didalam sel-

sel endotel kapiler pulau Langerhans pankreas. Jadi, hiperinsulinemi mempunyai

hubungan dengan Ang-II dengan akibat akan terjadi peningkatan stres oksidatif

didalam pulau Langerhans pankreas akibat peningkatan kadar insulin, proinsulin

dan amilin. 9

3. Hiperamilinemi

Amilin atau disebut juga Islet Amyloid Polypeptide (IAPP) merupakan

polipeptida yang mempunyai 37 gugus asam amino, disintesis dan disekresi oleh

sel-sel beta pankreas bersama-sama dengan insulin. Jadi keadaan hiperinsulinemi

akan disertai dengan hiperamilinemi dan sebaliknya bila terjadi penurunan kadar

insulin akan disertai pula dengan hipoamilinemi. Hiperinsulinemi dan

hiperamilinemi dapat menyertai keadaan resistensi insulin/ sindrom metabolik dan

27
DM tipe 2. Terjadinya amiloidosis ( penumpukan endapan amilin) didalam islet

diduga berhubungan dengan lama dan beratnya resistensi insulin dan DM tipe 2.

Sebaliknya , penumpukan endapan amilin didalam sel-sel beta pankreas akan

menurunkan fungsinya dalam mensekresi insulin. Sakuraba dan kawan-kawan

dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pada penderita DM tipe 2, peningkatan

stres oksidatif berhubungan dengan peningkatan pembentukan IAPP didalam sel-

sel beta pankreas. Dalam keadaan ini terjadi penurunan ekspresi enzim Super

Oxide Dismutase (SOD) yang menyertai pembentukan IAPP dan penurunan

massa sel beta. Temuan ini menunjukkan adanya hubungan antara terjadinya stres

oksidatif dan pembentukan IAPP serta penurunan massa dan densitas sel-sel beta

pankreas. Amilin juga dapat merangsang lipolisis dan merupakan salah satu

mediator terjadinya resistensi insulin. Baru-baru ini ditemukan pula amylin

binding site didalam korteks ginjal, dimana amilin dapat mengaktivasi RAAS

dengan akibat terjadinya peningkatan kadar rennin dan aldosteron. Janson dan

kawan-kawan mendapatkan adanya partikel amiloid (intermediate sized toxic

amyloid particles = ISTAPs) yang bersifat sitotoksik terhadap sel-sel beta

pankreas, dapat mengakibatkan apoptosis dengan cara merusak membran sel beta

pankreas. 9

4. Inflamasi

Dalam beberapa tahun terakhir, terbukti bahwa inflamasi tidak hanya

menimbulkan komplikasi Sindrom Koroner Akut, tetapi juga merupakan

penyebab utama dalam proses terjadinya dan progresivitas aterosklerosis.

Berbagai pertanda inflamasi telah ditemukan didalam lesi aterosklerosis, antara

lain sitokin dan growth factors yang dilepaskan oleh makrofag dan T cells. Sitokin

28
akan meningkatkan sintesis Platelet Activating Factor (PAF), merangsang

lipolisis, ekspresi molekul2 adhesi dan upregulasi sintesis serta ekspresi aktivitas

prokoagulan didalam sel-sel endotel. Jadi sitokin memainkan peran penting tidak

hanya dalam proses awal terbentuknya lesi aterosklerosis, melainkan juga

progresivitasnya. Pelepasan sitokin lebih banyak terjadi pada penderita DM,

karena peningkatan dari berbagai proses yang mengaktivasi makrofag ( dan

pelepasan sitokin ) , antara lain oksidasi dan glikoksidasi protein dan lipid.

Pelepasan sitokin yang dipicu oleh terbentuknya Advanced Glycosylation

Endproducts (AGEs) akan disertai dengan over produksi berbagai growth factors

seperti : 9

- PDGF (Platelet Derived Growth Factor)

- IGF I (Insulin Like Growth Factor I)

- GMCSF (Granulocyte/Monocyte Colony Stimulating Factor)

- TGF- α (Transforming Growth Factor-α)

Semua faktor ini mempunyai pengaruh besar terhadap fungsi sel-sel

pembuluh darah. Disamping itu terjadi pula peningkatan pembentukan kompleks

imun yang mengandung modified lipoprotein. Tingginya kadar kompleks imun

yang mengandung modified LDL, akan meningkatkan risiko komplikasi

makrovaskular pada penderita DM baik DM tipe 1 maupun DM tipe 2. Kompleks

imun ini tidak hanya merangsang pelepasan sejumlah besar sitokin tetapi juga

merangsang ekspresi dan pelepasan matrix metalloproteinase-1 (MMP-1) tanpa

merangsang sintesis inhibitornya. Aktivasi makrofag oleh kompleks imun

tersebut akan merangsang pelepasan Tumor Necrosis Factor α (TNF α) ,

yang menyebabkan up regulasi sintesis C-reactive protein. Baru-baru ini telah

29
ditemukan C-reactive protein dengan kadar yang cukup tinggi pada penderita

dengan resistensi insulin. Peningkatan kadar kompleks imun pada penderita DM

tidak hanya menyebabkan timbulnya aterosklerosis dan progresivitasnya,

melainkan juga berperan dalam proses rupturnya plak aterosklerotik dan

komplikasi Jantung Koroner selanjutnya. Kandungan makrofag didalam lesi

aterosklerosis pada penderita DM mengalami peningkatan, sebagai akibat dari

peningkatan rekrutmen makrofag kedalam dinding pembuluh darah karena

pengaruh tingginya kadar sitokin. Peningkatan oxidized LDL pada penderita DM

akan meningkatkan aktivasi sel T yang akan meningkatkan pelepasan interferon γ.

Pelepasan interferon γ akan menyebabkan gangguan homeostasis sel-sel

pembuluh darah. Aktivasi sel T juga akan menghambat proliferasi sel-sel otot

polos pembuluh darah dan biosintesis kolagen, yang akan menimbulkan

vulnerable plaque, sehingga menimbulkan komplikasi Sindrom Koroner Akut. 9

Sampai sekarang masih terdapat kontroversi tentang mengapa pada

pemeriksaan patologi anatomi, plak pada DM tipe 1 bersifat lebih fibrous dan

calcified, sedangkan pada DM tipe 2 lebih seluler dan lebih banyak mengandung

lipid. Dalam suatu seri pemeriksaan arteri koroner pada penderita DM tipe 2

setelah sudden death, didapatkan area nekrosis, kalsifikasi dan ruptur plak yang

luas. Sedangkan pada penderita DM tipe 1 ditemukan peningkatan kandungan

jaringan ikat dengan sedikit foam cells didalam plak yang memungkinkan lesi

aterosklerosisnya relatif lebih stabil. 9

5. Trombosis/Fibrinolisis

Diabetes Melitus akan disertai dengan keadaan protrombotik yaitu

perubahan-perubahan proses trombosis dan fibrinolisis. Kelainan ini disebabkan

30
karena adanya resistensi insulin terutama yang terjadi pada penderita DM tipe 2.

Walaupun demikian dapat pula ditemukan pada penderita DM tipe 1. Peningkatan

fibrinogen serta aktivitas faktor VII dan PAI-1 baik didalam plasma maupun

didalam plak aterosklerotik akan menyebabkan penurunan urokinase dan

meningkatkan aggregasi platelet. Penyebab peningkatan fibrinogen diduga karena

meningkatnya aktivitas faktor VII yang berhubungan dengan terjadinya

hiperlipidemi post prandial. Over ekspresi PAI-1 diduga terjadi akibat pengaruh

langsung dari insulin dan pro insulin. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa

penurunan kadar PAI-1 setelah pengobatan DM tipe 2 dengan thiazolidinediones

menyokong hipotesis adanya peranan resistensi insulin dalam proses terjadinya

over ekspresi PAI-1. Peningkatan PAI-1 baik didalam plasma maupun didalam

plak aterosklerotik tidak hanya menghambat migrasi sel otot polos pembuluh

darah, melainkan juga disertai penurunan ekspresi urokinase didalam dinding

pembuluh darah dan plak aterosklerotik. Terjadinya proteolisis pada daerah

fibrous cap dari plak yang menunjukkan peningkatan aktivasi sel T dan makrofag

akan memicu terjadinya ruptur plak dengan akibat terjadinya Sindrom Koroner

Akut.. Mekanisme yang mendasari terjadinya keadaan hiperkoagulasi pada

penderita DM dan resistensi insulin, masih dalam penelitian lebih lanjut. 9

6. Dislipidemia

Dislipidemia yang akan menimbulkan stres oksidatif umum terjadi pada

keadaan resistensi insulin/sindrom metabolik dan DM tipe 2. Keadaan ini terjadi

akibat gangguan metabolisme lipoprotein yang sering disebut sebagai "lipid

triad", meliputi : 9

a. Peningkatan kadar VLDL atau trigliserida

31
b. Penurunan kadar HDL cholesterol

c. Terbentuknya small dense LDL yang lebih bersifat aterogenik.

Ketiganya disebabkan oleh trigliserid dalam jaringan lemak (adipose)

maupun dalam darah (yaitu VLDL dan IDL) akan mengalami hidrolisis menjadi

asam lemak bebas dan gliserol. Proses hidrolisis ini terjadi oleh karena adanya

enzim trigliserid lipase. Terdapat dua jenis enzim trigliserid lipase yaitu

lipoprotein lipase (LPL) yang terdapat pada endothelium vaskular dan berfungsi

memecah trigliserid dari lipoprotein kaya trigliserid dalam plasma yaiu VLDL dan

IDL. Enzim trigliserid lipase kedua terdapat dalam jaringan lemak oleh karena itu

disebut trigliserid lipase intravaskuler adiposity (lipoprotein lipase intraseluler)

yang juga disebut hormone sensitive lipase dan berfungsi memecah simpanan

trigliserid dalam jaringan bila diperlukan sebagai sumber energi. Kerja kedua

enzim tersebut sangat tergantung dari kadar insulin plasma dengan pengertian

kadar insulin plasma yang normal akan memacu kerja lipoprotein lipase dan

menghambat kerja lipoprotein lipase intraseluler.10

Pada keadaan resistensi insulin, hormon sensitive lipase di jaringan adipose

akan menjadi aktif sehingga lipolisis trigliserid di jaringan adipose semakin

meningkat, kerja enzim lipoprotein lipase intraseluler akan menjadi aktif sehingga

terjadi lipolisis trigliserid intraseluler. Keadaan ini akan menghasilkan asam

lemak bebas (=FFA=NEFA) yang berlebihan. Asam lemak bebas akan memasuki

aliran darah, sebagian akan digunakan sebagai sumber energi dan sebagian akan

dibawa ke hati sebagai bahan baku pembentukan trigliserid. Di hati asam lemak

bebas akan menjadi trigliserid kembali dan menjadi bagian dari VLDL. Oleh

karena itu VLDL yang dibentuk akan sangat kaya trigliserid disebut juga VLDL

32
kaya trigliserid atau VLDL besar (enriched trigliseride VLDL=large

VLDL).Dalam sirkulasi trigliserid yang banyak di VLDL akan bertukar dengan

kolesterol ester dari LDL kolestrol. Hal mana akan menghasilkan LDL yang kaya

akan trigliserid tetapi kurang kolesterol ester (cholesterol ester depleted LDL).

Trigliserid yang dikandung oleh LDL akan dihidrolisis oleh enzim lipase hati

yang biasanya meningkat pada resistensi insulin sehingga menghasilkan LDL

yang kecil padat (small dense LDL). Partikel LDL kecil padat ini mudah

teroksidasi dan sangat aterogenik.11

7. Hipertensi

Hipertensi merupakan salah satu faktor dalam resistensi insulin/ sindrom

metabolik dan sering menyertai DM tipe 2. Sedangkan pada penderita DM tipe 1,

hipertensi dapat terjadi bila sudah ditemukan tanda-tanda gangguan fungsi ginjal

yang ditandai dengan mikroalbuminuri. Adanya hipertensi akan memperberat

disfungsi endotel dan meningkatkan risiko Penyakit Jantung Koroner. Hipertensi

disertai dengan peningkatan stres oksidatif dan aktivitas Spesies Oksigen Radikal,

yang selanjutnya akan memediasi terjadinya kerusakan pembuluh darah akibat

aktivasi Ang II dan penurunan aktivitas enzim SOD. Sebaliknya glukotoksisitas

akan menyebabkan peningkatan aktivitas RAAS sehingga akan meningkatkan

risiko terjadinya hipertensi. Penelitian terbaru mendapatkan adanya peningkatan

kadar amilin (hiperamilinemi) pada individu yang mempunyai riwayat keluarga

hipertensi dan dengan resistensi insulin.9

8. Hiperhomosisteinemi

Pada penderita DM baik DM tipe 1 maupun DM tipe 2 ditemukan

polimorfisme gen dari enzim methylene tetrahydrofolate reductase yang dapat

33
menyebabkan hiperhomosisteinemi. Polimorfisme gen ini terutama terjadi pada

penderita yang kekurangan asam folat didalam dietnya. Hiperhomosisteinemi

dapat diperbaiki dengan suplementasi asam folat. Homosistein terutama

mengalami peningkatan bila terjadi gangguan fungsi ginjal. Peningkatan kadar

homosistein biasanya menyertai penurunan laju filtrasi glomerulus.

Hiperhomosisteinemi dapat menyebabkan inaktivasi nitrat oksida melalui

hambatannya terhadap ekspresi glutathione peroxidase (GPx).9

BAB III
KESIMPULAN

1. Diabetes mellitus adalah suatu ganguan metabolisme yang secara genetis dan

klinis dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat, yang

ditandai dengan hiperglikemia puasa dan post prandial karena tubuh tidak

dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat.

2. Penyakit Jantung Koroner adalah penyakit jantung yang terutama disebabkan

karena penyempitan arteri koronaria akibat proses atherosklerosis atau spasme

atau kombinasi keduanya.

3. Penyebab aterosklerosis pada penderita DM tipe 2 antara lain disebabkan oleh

34
keadaan hiperglikemi, hiperinsulinemi, hiperaliminemi, inflamasi, trombosis/

fibrinolisis, dislipidemi, hipertensi dan hiperhomosisteinemi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. Edisi 1. Jakarta:


Kementerian Kesehatan RI; 2013

2. Supriyono, M., H, Soeharyo., Sugiri, U, Ari., Sakundarno, M. Faktor –


Faktor Risiko Kejadian Penyakit Jantung Koroner (PJK) Pada Kelompok
Usia ≤ 45 Tahun. http://www.pdffactory.com. Diakses tanggal 31 Mei 2010.

3. Muchid, Abdul et all. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung


Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Departemen Kesehatan;
2006. 1

4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. Pedoman


Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Edisi 4. Jakarta: PP PERKI; 2015

5. Hajar Rachel. Risk Factors for Coronary Artery Disease: Historical


Perspectives. Heart Views. 2017;18(3):109-14

6. Coughlin DeBeasi. Gangguan Sistem Kardiovaskuler Patofisiologi Konsep

35
Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2006

7. Guyton, AC dan Hall, JE. Texbook of Medical Physiology. Edisi 11.


Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006

8. Tanuwidjojo S, Rifqi S. Atherosklerosis from theory to clinical practice,


Naskah lengkap cardiology-update. Edisi 1. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro; 2003

9. http://dokter-alwi.com/jantungkoroner1.html access at 23 Juli 2019 PJK pada


DM

10. Ginsberg HN. 2006.Diabetic dislipidemia: basic mechanism underlying the


common hypertriglyceridemia and low HDL cholesterol levels. Diabetes.
45(Suppl 3): S27-S30.

11. Shepherd J, Cobbe SM, Ford I, et al, for the West of Scotland Coronary
Prevention Study Group. Pathogenesis of Atherogenic Dyslipidemia. Clin
Invest. 1999; 29(Suppl 2):12-16. www.medscape.com/viewarticle/412684_2.

36

Anda mungkin juga menyukai