Anda di halaman 1dari 7

KEARIFAN LOKAL

Nama : Ulfiani Dwi Yanti Mappa`

Kelas : Ekis 1/D

Nim : 18 0401 0141

“TRADISI RAMBU SOLO DI TANA TORAJA”

Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan
untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam
roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat
peristirahatan. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian karena
orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi
upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap
sebagai orang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang
hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman
bahkan selalu diajak berbicara.

Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling


penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara
pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang
berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan
biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat
prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput
yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi,
dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan.
Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka
cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman
anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.

Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu,


berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan
agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya
pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan
tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau
akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan
disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai
upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.

Puncak dari upacara Rambu solo ini dilaksanakan disebuah lapangan khusus.
Dalam upacara ini terdapat beberapa rangkaian ritual, seperti proses pembungkusan
jenazah, pembubuhan ornament dari benang emas dan perak pada peti jenazah, penurunan
jenazah ke lumbung untuk disemayamkan, dan proses pengusungan jenazah ke tempat
peristirahatan terakhir.

Selain itu, dalam upacara adat ini terdapat berbagai atraksi budaya yang
dipertontonkan, diantaranya adu kerbau, kerbau-kerbau yang akan dikorbankan di adu
terlebih dahulu sebelum disembelih, dan adu kaki. Ada juga pementasan beberapa musik
dan beberapa tarian Toraja.

Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa


seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan
dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang,
menunggu pemiliknya, yang sedang dalam “masa tertidur”. Suku Toraja percaya bahwa
arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai
di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau ataupun ratusan babi
merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang
menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut
diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada
keluarga almarhum.
Kerbau yang disembelih dengan cara menebas leher kerbau hanya dengan sekali
tebasan, ini merupakan ciri khas masyarakat Tana Toraja. Kerbau yang akan disembelih
bukan hanya sekedar kerbau biasa, tetapi kerbau bule “Tedong Bonga” yang harganya
berkisar antara 10 – 50 juta per ekornya.

Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam
batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu
berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa
bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota
keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke
luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut
biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

1. Jenis-Jenis Upacara Rambu Solo

Berdasarkan status sosial orang atau tingkat ekonomi keluarga yang diupacarakan,
aluk rambu solo’ dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:

1. Silli’, yakni upacara pemakaman untuk kasta paling rendah, yaitu kasta kua-kua atau
budak. Upacara jenis ini tidak ada pemotongan hewan sebagai persembahan dan dibagi
dalam beberapa bentuk, seperti dedekan (upacara pemakaman dengan memukulkan
wadah tempat makan babi) dan pasilamun tallo manuk (pemakaman bersama telur ayam).
2. Pasangbongi, yakni upacara yang hanya berlangsung satu malam. Yang termasuk jenis ini
antara lain bai a’pa’ (persembahan empat ekor babi), si tedong tungga (persembahan satu
ekor babi), di isi (pemakaman untuk anak yang meninggal sebelum tumbuh gigi dengan
persembahan seekor babi), dan ma’ tangke patomali (persembahan dua ekor babi).
3. Di batang atau di doya tedong, yakni upacara untuk kasta tana’ basi (bangsawan
menengah) dan tana’ bulan (bangsawan tinggi). Selain kerbau, upacara jenis ini juga
mempersembahkan babi dan ayam. Upacara biasanya digelar selama 3-7 hari berturut-
turut. Pada akhir acara, dibuatkan sebuah simbuang (menhir) sebagai monumen untuk
menghormati orang yang wafat.
4. Rapasan, yakni upacara khusus bagi golongan tana’ bulan (bangsawan tinggi) yang
digelar selama 3 hari 3 malam. Termasuk upacara jenis ini, antara lain rapasan diongan
(rapasan tingkat rendah hanya memenuhi syarat minimal persembahan 9-12 kerbau),
rapasan sundun (rapasan lengkap persembahan 24 ekor kerbau dan babi tak terbatas), dan
rapasan sapu randanan (rapasan simbolik dengan persembahan yang diandaikan 30 ekor
kerbau).

1. Tingkatan dalam Upacara Rambu Solo

Upacara ini adalah semua upacara keagamaan yang mempersembahkan babi dan
kerbau untuk arwah leluhur atau untuk orang yang meninggal dunia seperti upacara
pemakaman secara adat, upacara ma’nene’. Upacara ma’nene’ adalah upacara memotong
babi atau kerbau untuk orang yang sudah dikuburkan bertempat di pemakaman liang batu.
Kematian membawa malapetaka, penderitaan batin keluarga yang ditinggalkan
dan bukan itu saja, tetapi membwa konsekuensi tanggung jawab solider seluruh anggota
keluarga dan persyaratan agama dan adat yang harus dipenuhi agar jiwa seseorang akan
damai dan selamat meninggalkan dunia yang fana ini menuju ke dunia yang tentram di
Puya.

Dengan memberikan segala pengorbanan materi yangs anggup disediakan,


anggota keluarga merasa menunaikan kewajiban dan tanggung jawab yang tidak dapat
dielakkan selama anggota keluarga itu masih bersedia mengikuti tradisi adat, agama, dan
persentase keluarga di mata orang di kampung.

Hampir seluruh kehidupan masyarakat Toraja difokuskan untuk upacara sesudah


meninggal dunia, namun dalam melaksanakan upacara pemakaman secara adat dan
terbuka, bergantung dengan kedudukan dalam masyarakat dan kemampuan seseorang.

Tingkat – tingkat upacara pemakaman dalam aluk todolo :

1. Disilli : upacara pemakaman yang paling sederhana. Dulu, orang miskin dari
tingkatan budak sering dikuburkan dengan cara yang menyedihkan, misalnya dengan
hanya membekali mayat dengan  telur ayam, tetapi sekarang rata – rata keluarga
menguburkan orang mati dengan memotong seekor babi. Upacara penguburan disilli
adalah aluk golongan masyarakat budak, terutama untuk menguburkan anak yang belum
dewasa.
2. Anak yang lahir dan meninggal ditanam bersama urihnya tanpa upacara
keagamaan. Sedangkan, anak yang meninggal sebelum giginya tumbuh, dimasukkan ke
dalam pohon kayu besar dengan upacara sederhana dan tanpa pembalut kain.Pohon
tempat penguburan ini disebut LIANG PIA atau PASSILLIRAN. Kedua cara penguburan
ini, berlaku bagi semua golonga, baik golongan bangsawan maupun golongan rendahan.
3. Dipasangi Bongi. Upacara penguburan orang mati yang acaranya hanya satu
malam di rumah dan hanya seekor kerbau dipotong dan beberapa ekor babi. Upacara ini
bagi orang tua dari golongan terendah atau golongan menengah yang tidak mampu
ekonominya.
4. Dipatallung Bongi. Upacara penguburan ini berlangsung selama tiga malam di
rumah. Empat ekor kerbau dipotong dan babi sekitar sepuluh ekor. Hari kedua, tamu
datang membawa sumbangan berupa babi, tuak, dan umbi – umbian. Beberapa tempat
nasi tidak boleh dimakan di tempat itu dan semua keluarga terdekat mempunyai
kewajiban untuk pantang makan nasi selama berlangsungnya upacara dan beberapa hari
sesudah upacara. Selama tiga malam berturut – turut diadakan acara ma’badong.
5. Dipalimang Bongi. Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima hari lima
malam. Hari ketiga adalah hari penerimaan tamu. Tamu atau kenalan mendapat
kesempatan membawakan sumbangan berupa minuman tuak, buah – buahan, umbi –
umbian, kerbau, rokok ataupun  gula pasir.
6. Sembilan ekor kerbau dan puluhan ekor babi dipotong. Patung orang yang
meninggal itu dibuat dari bamboo. Patung itu disebut TAU – TAU LAMPA. Tau – tau ini
dihiasi dengan pakaian adat tetapi pada waktu hari penguburan, pakaian dan perhiasan
diambil kembali. Tidak semua kampung mengadakan pemakaman seperti ini. Upacara
pemakaman ini merupakan upacara tingkat yang paling tinggi.
7. Pada malam terakhir diadakan persiapan untuk satu acara khusus yang disebut
acara MA’PARANDO, dimana semua cucu almarhum yang sudah gadis, diarak pada
malam hari, duduk diatas bahu laki – laki dengan perhiasan semacam pakaian penari yang
terdiri dari perhiasan emas goyang dan kandaure. Mereka dibawa keliling rumah tiga kali
dengan memakai obor. Para penonton memuji kecantikan gadis, namun adapula yang
mencemoohnya. Orang yang mencemooh tidak dimarahi selama masih dalam batas –
batas norma kesusilaan. Sepanjang lima malam selalu dilakukan ma’badong. Seluruh
anggota keluarga berpantang tidak makan nasi sampai seluruh embel – embel acara
selesai.
8.  Dipapitung Bongi. Upacaranya 7 hari 7 malam. Setiap malam dan setiap hari ada
acara pemotongan kerbau dan babi. Keluarga terdekat pantang makan nasi selama acara
berlangsung. Acara hari penerimaan tamu lebih meriah banyak babi dipotong, kerbau 9
sampai 20 ekor. Kepala kerbau diperuntukkan bagi rumah tongkonan dan daging kerbau
diberikan kepada tamu dan penduduk desa.
9. Dirapai. Upacara penguburan orang mati yang paling mahal ialah mangrapai
karena dua kali diupacarakan sebelum dikubur. Upacara pertama diadakan di rumah
tongkonan dan kemudian diistirahatkan satu tahun, baru upacara kedua diadakan. Upacara
pertama dalam bahasa daerah disebut dialuk pia. Pada upacara kedua, orang mati diarak
dengan pikulan ratusan orang dari rumah tongkonan ke rante (tempat upacara kedua).
Upacara ini disebut ma’paolo / ma’pasonglo’. Orang mati dibungkus kain merah dilapisi
emas, diikuti oleh tau-tau dan janda almarhum dalam usungan yang dihiasai emas serta
diiringi oleh puluhan ekor kerbau jantan yang berhias yang siap untuk diadu satu lawan
satu. Setelah tiba dir ante, mayat dinaikkan ke satu bangunan tinggi khusus tempat orang
mati itu (lakkian). Acara – acara lain menyusul, seperti acara adu kerbau, acara sisemba,
dan acara tari – tarian.
10. Dirapai dibagi menjadi tiga :

1. Rapasan dilayu-layu dengan target terendah dua belas ekor kerbau.


2. Rapasan sundun dengan target minimum 24 ekor kerbau yang dipotong.
3.  Rapasan sapurandanan dengan jumlah kerbau yang dipotong paling rendah 30
ekor.
4. Ketiga tipe rapasan ini memotong babi ratusan ekor dan puluhan kerbau belang
yang mahal harganya.
5. Pada rapasan sapurandanan, kerbau yang dipotong terdiri dari semua warna bulu
kecuali warna kerbau putih (tedong bulan). Jenis kerbau dan tingkatan nilanya :
1. Tedong bulan (kerbau putih), tidak termasuk penilaian.
2. Tedong sambao’ (kerbau abu – abu), dinilai paling rendah.
3. Tedong todi’, berwarna putih sediikit di antara dahi dan tanduk.
4. Tedong pangloli, berwarna putih pada ujung ekor.
5. Tedong pudu’, berwarna hitam.
6. Tedo bonga sori dan kapila, berwarna belang pada bagian kepala.
7. Tedong bonga dan saleko, berwarna belang, bernilai paling tinggi.

Selain itu,  kerbau dinilai dari bagusnya tenduk dan kegemukan badannya.
Kerbau belian dan kerbau sambo ra’tuk termasuk yang mahal harganya. Balian
ialah kerbau yang dikebiri dan panjang tanduknya. Sedangkan kerbau sambo’
ratuk berwarna putih bintik – bintik di seluruh badan.

Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan
sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara
Rambu Solo’ maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit.
Karena statusnya masih ’sakit’, maka orang yang sudah meninggal tadi harus
dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti menemaninya,
menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal yang biasanya
dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya.

Sedangkan penggunaan musiknya yaitu Musik suling, nyanyian, lagu,


puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh
suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang
miskin, dan orang kelas rendah. Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru
digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak
kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat
mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman dalam “masa
tertidur”.

Anda mungkin juga menyukai