Anda di halaman 1dari 8

Nama : Dikki Romanda

NPM : D1E018041
TUGAS 10
Membuat essai/akademik ilmu komunikasi.

PEMAHAMAN FILM SEBAGAI BENTUK KOMUNIKASI MASSA


I. Film dan Komunikasi Massa
     Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner dalam
Rakhmat (2003 : 188), yakni: mass communication is messages communicated through
a mass medium to a large number of people.  Dari definisi tersebut dapat kita tinjau
bahwa komunikasi massa haruslah menggunakan media massa. Jadi, sekalipun
komunikasi itu disampaikan kepada khalayak yang banyak tetapi tidak menggunakan
media massa, maka itu bukan komunikasi massa. Media komunikasi yang termasuk
dalam media massa adalah: radio siaran dan televisi — keduanya dikenal sebagai
media elektronik; surat kabar dan majalah — keduanya dikenal sebagai media cetak;
serta media film. Film sebagai media komunikasi massa adalah film bioskop (Ardianto;
Komala; dan Karlinah, 2009 : 3).
     Kompleksnya komunikasi massa dikemukakan oleh Severin dan Tankard (1992)
dalam (Ardianto; Komala; dan Karlinah, 2004 : 5) sebagai berikut: “Komunikasi massa
adalah sebagian keterampilan, sebagian seni dan sebagian ilmu. Ia adalah
keterampilan dalam pengertian bahwa ia meliputi teknik-teknik fundamental tertentu
yang dapat dipelajari seperti memfokuskan kamera televisi, mengoperasikan tape
recorder atau mencatat ketika berwawancara. Ia adalah seni dalam pengertian bahwa
ia meliputi tantangan-tantangan kreatif seperti menulis skrip untuk program televisi,
mengembangkan tata letak yang estetis untuk iklan majalah atau menampilkan teras
berita yang memikat bagi sebuah kisah berita. Ia adalah ilmu dalam pengertian bahwa
ia meliputi prinsip-prinsip tertentu tentang bagaimana berlangsungnya komunikasi yang
dapat dikembangkan dan dipergunakan untuk membuat berbagai hal menjadi lebih
baik”.
     Berdasarkan pemaparan akan pemahaman tentang komunikasi massa kini kita bisa
melakukan tinjauan bagaimana film dapat dipandang sebagai bentuk komunikasi
massa. Sebagai media massa, film digunakan tidak hanya sebagai media yang
merefleksikan realitas namun juga bahkan membentuk realitas. Adapun salah satu
pengertian film adalah menurut UU nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman, yaitu film
adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi
massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan
dapat dipertunjukkan
     Pertama, film sebagai karya seni budaya. Disini secara estetikanya film termasuk
benda seni. Menurut Jacop Sumardjo (2000 : 30), seni terwujud berdasarkan medium
tertentu, baik suara (audio) ataupun gambar (visual) dan gabungan keduanya yang
akan melahirkan bidang seni tertentu, seperti seni visual (seni rupa, seni patung), seni
audio (seni musik),  dan seni audio visual (seni teater, seni tari, dan seni film).
     Film sebagai benda seni harus inderawi, harus dapat diindera oleh publik seni. Dan
benda seni hanya dapat menampung kerja indera penglihat (visual) dan pendengar
(audio), tetapi tidak indera pembau, peraba, dan perasa (Sumardjo, 2000 : 111).
Konsep tentang seni atau estetik senantiasa berkaitan dengan pengetahuan dan
kebaikan (kebajikan) dan merupakan seni yang paling menarik. Karena keindahan
tertarik pada suatu karya sehingga keindahan adalah karya seni ‘berada’ dan bukan
menjadi tujuan seni. Sebab tujuan seni selalu komunikasi yang efektif (Peransi, 1997 :
36).
     Film sebagai seni yang sangat kuat pengaruhnya, dapat memperkaya pengalaman
hidup seseorang dan bisa menutupi segi-segi kehidupan lebih dalam. Film bisa
dianggap sebagai pendidik yang baik. Selain itu, film selalui diwaspadai karena
kemungkinan dampaknya yang buruk (Sumarno, 1996 : 85).
    Pemahaman atas film sebagai bentuk seni ini pun diamini oleh JB Kristianto, selaku
pengamat film di Indonesia dan terkenal dengan perannya sebagai kritikus film.
Menurutnya, film ia maknai sebagai cerminan atau representasi kehidupan. Maka dari
itu, film dapat pula menjadi media pembelajaran bagi khalayak (Kristanto,2004 : 3).
“Pada awalnya saya termasuk orang yang tidak percaya pada film sebagai media
kesenian. Dibandingkan dengan sastra, teater, atau musik, rasanya film hanyalah
pabrik hiburan tempat orang melupakan hidup kesehariannya, bukan tempat orang
berkaca dan mendapatkan ilham untuk mengarungi kehidupan. Pendapat ini agak sok
dan naif. Belakangan saya tahu bahwa film memiliki fungsi dan tujuan yang sangat
beragam. Pandangan saya tentang film berubah ketika saya memperoleh kesempatan
seminggu sekali menonton film-film Cekoslowakia di Pusat Kebudayaan Cekoslowakia
pada awal 1970-an. Saya mulai menyadari bahwa film pun mampu menjadi replika
kehidupan; bahwa film mampu duduk sama tinggi dengan seni sastra, teater, dan
musik.”
    Kedua, film sebagai media komunikasi massa. Pada bentuk pemahaman ini film
dibuat berdasarkan rencana yang memperhatikan kaidah sinematografi karena bila
berbicara tentang film maka mau tidak mau kita akan berbicara tentang fotografi karena
pada perkembangannya film berasal dari kumpulan gambar bergerak. Pada tahun
1895, Robert Paul dari Inggris mendemonstrasikan kepada masyarakat di London
mengenai kebolehan proyektor film yang membuat serangkaian gambar statis (still
photos) disorot ke layar dan serta merta menjadi gambar hidup (moving images)  diikuti
pula oleh Alpha Thomas Edison di Atlanta AS yang memamerkan gambar hidup (vita-
scope) tentang kenaifan dan kekonyolan tingkah laku seseorang kepada pengunjung
Pameran Kapas sementara itu Lumiere bersaudara mengadakan pertunjukan gambar
hidup (cinematographe) dan membawanya keliling ke Londong pada Mei 1896. Itulah
sejarah singkat awal mula film ada hingga saat ini (Tjasmadi, 2008).
     Secara harfiah, film (sinema) adalah cinematographie yang berasal dari kata cinema
(gerak), tho atau phytos (cahaya), dan graphie atau grhap (tulisan, gambar, citra). Jadi,
pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar dapat melukis gerak dengan
cahaya, harus menggunakan alat khusus, yang biasa disebut kamera. Itulah mengapa
seperti yang telah diutarakan tadi bahwa film tidak akan jauh dari kata ‘kamera’ dengan
menggunakan konsep sinematografi dalam pembuatannya baik dengan atau tanpa
suara.
Dalam Tjasmadi (2008 : 44) terdapat tiga fungsi film, yaitu:
1. Film sebagai medium ekspresi seni peran yang berkaitan erat hubungannya
dengan seni.
2. Film sebagai tontonan yang bersifat dengar-pandang (audio–visual) atau bisa
dibilang sebagai hiburan.
3. Film sebagai piranti penyampaian pesan apa saja yang bersifat dengar pandang,
oleh karenanya film berkaitan erat dengan informasi.
     Maka fungsi film tersebut senada dengan definisi Komunikasi Massa menurut
Severin dan Tankard, bahwa komunikasi bisa dilihat dari sebagian keterampilan,
sebagian seni dan ilmu. Lebih kompleksnyanya, dalam UU yang sama pada Bab 2
Pasal 4, film sebagai media massa memiliki berbagai fungsi, yaitu: penerangan,
pendidikan, pengembangan budaya bangsa, hiburan, dan ekonomi. Film sebagai media
massa dilihat dari empat elemen tersebut dengan penjelasan bahwa sebagai
penerangan, film merupakan media yang bisa mempromosikan nilai-nilai keragaman
budaya dan kepribadian bangsa kepada masyarakat internasional. Dalam fungsi
pendidikan, disebutkan bahwa film merupakan media yang mampu menjadi sarana
pendidikan bagi khalayak melalui pesan-pesan di dalamnya. Film juga sebagai media
yang mampu memantapkan dan mengembangkan nilai-nilai budaya bangsa melalui
gambar dan pesan yang terdapat dalam film, hal ini merupakan fungsi pengembangan
budaya bangsa. Untuk fungsi hiburan, film menjadi media yang mampu memberikan
hiburan bagi masyarakat secara umum. Dan pada fungsi ekonomi, bahwa
perkembangan film sebagai sebuah industri berdampak pada strata ekonomi dan sosial
dalam masyarakat.
     Menurut Quick dan La Bau (1972: 11) serta McQuaill (2000: 18), film sebagai media
komunikasi audio-visual memiliki karakteristik yang unik dan agak berbeda dengan
media lain, di antaranya:
1. Memiliki dampak psikologis yang besar, dinamis, dan mampu
mempengaruhi penonton.
2. Biasanya lebih dramatis dan lengkap daripada hidup itu sendiri.
3. Terdokumentasikan, baik gambar maupun suara.
4. Mudah disitribusikan dan dipertunjukkan.
5. Mampu membangun sikap dengan memperhatikan rasio dan emosi
sebuah film.
6. Terilustrasikan dengan cepat sebagai pengejawantahan dari sebuah ide
atau sesuatu yang lain.
7. Interpretatif: mampu menghubungkan sesuatu yang sebelumnya tidak
berhubungan.
8. Mampu menjual sebuah produk dan ide (sebuah alat propaganda yang
ampuh).
9. Mampu menjembatani waktu: baik masa lampau, sekarang, dan masa
yang akan datang.
10. Mampu memperbesar dan memperkecil objek; dapat memperlihatkan
sesuatu secara mendetail.
11. Dapat menunjukkan sesuatu yang kompleks dan terstruktur.
12. Berorientasi untuk ditampilkan kepada publik.
13. Bersifat internasional dan membawa ideologi tertentu.
II. Tujuan dan Pengaruh Film
     Film sebagai salah satu media komunikasi massa yang memiliki kapasitas untuk
memuat pesan yang sama secara serempak dan mempunyai sasaran yang beragam
dari agama, etnis, status, umur, dan tempat tinggal dapat memainkan peranan sebagai
saluran penarik untuk pesan-pesan tertentu dari dan untuk manusia. Dengan melihat
film kita dapat memperoleh informasi dan gambar tentang realitas tertentu, realitas yang
sudah diseleksi (Asep S. Muhtadi dan Sri Handayani, 2000: 95). Film mempuyai tujuan
transmission of values (penyebaran nilai-nilai). Tujuan ini disebut dengan sosialisasi.
Sosialisasi ini mengacu pada cara, dimana individu mengadopsi perilaku dan nilai
kelompok.
“Film cerita memiliki berbagai jenis dan genre. Genre diartikan sebagai jenis film yang
ditandai oleh gaya, bentuk atau isi tertentu. Terhadap film cerita, yang perlu dilihat,
sejauh mana pembuat film dapat meramu dorongan subjektif dalam menggunakan
bahan dasar berupa cerita. Film cerita, lalu dapat diartikan sebagai pengutaraan cerita
atau ide, dengan pertolongan gambar-gambar, gerak, dan suara. Jadi cerita adalah
bungkus atau kemasan yang memungkinkan  pembuat film melahirkan realitas atau
kemasan yang memungkinkan pembuat film melahirkan realitas rekaan yang
merupakan suatu alternatif dari realitas nyata bagi penikmatnya. Dalam pembuatan film
cerita diperlukan proses pemikirian dan proses teknik. Proses pemikiran berupa
pencarian ide, gagasan, atau cerita yang akan digarap, sedangkan proses teknis
berupa keterampilan artistik untuk mewujudkan segala ide, gagasan, atau cerita
menjadi film yang siap ditonton. Oleh karena itu, film cerita dapat dipandang sebagai
wahana penyebaran nilai-nilai.” (dalam Sumarno, 1996 : 10 – 13)
     Film dapat memberikan pengaruh yang sangat besar sekali pada jiwa manusia
(penonton). Dalam suatu proses menonton sebuah film, terjadi suatu gejala yang
disebut oleh ilmu jiwa sosial sebagai identifikasi psikologi (Effendy, 1981 : 192).
Pengaruh ini tidak hanya terjadi selama masa menonton saja namun bisa sampai waktu
yang cukup lama. Misalnya, peniruan terhadap cara berpakaian atau model rambut. Hal
ini disebut imitasi. Contoh, terdapat efek film Ada Apa Dengan Cinta? (2002) yang
menyebabkan banyak gadis -gadis SMA banyak yang menggunakan bandana sebagai
penghias rambutnya, meniru tokoh utama dalam film tersebut, yaitu Cinta yang
diperankan oleh Dian Sastro.
     Maka film disadari maupun tidak disadari dapat mengubah pola kehidupan
seseorang. Terkadang ada seseorang yang ingin meniru gaya hidup dari meniru
kehidupan yang dikisahkan dalam sebuah film. Terkadang seseorang meniru atau
menyamakan seluruh pribadinya dengan salah seorang pemeran film. Pengaruh
sebuah film diantaranya:
1. Pesan yang terdapat dalam adegan-adegan film akan membekas
dalam jiwa penonton, gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut
sebagai identifikasi sosial.
2. Pesan film dengan adegan-adegan penuh kekerasan, kejahatan,
dan pornografi, apabila ditonton dengan jumlah banyak akan
mengundang keprihatinan bayak pihak. Sajian tersebut
memberikan dampak buruk dan kecemasan bagi gaya hidup
manusia modern. Kecemasan tersebut berasal dari keyakinan
bahwa isi film seperti itu akan mempengaruhi efek moral, psikologi,
dan sosial yang sangat merugikan, khususnya pada generasi muda
dan akan menimbulkan anti sosial.
3. Pengaruh terbesar yang ditimbulkan film yaitu imitasi atau
peniruan. Peniruan yang diakibatkan oleh anggapan bahwa apa
yang dilihatnya wajar dan pantas untuk dilakukan setiap orang. Jika
film yang isinya tidak sesuai dengan norma budaya bangsa (seperti
seks bebas, penggunaan narkoba) dikonsumsi oleh penonton
remaja, maka remaja generasi muda Indonesia bisa rusak (Aep
Kusnawan, 2004 : 95).
     Dalam teori film psikoanalisis, baik keadaan menonton (viewing states) maupun
‘teks’ film itu sendiri dianggap dapat menggerakkan fantasi alam bawah sadar penonton
(unconscious fantasy) (Jowett dan Linton, 1980: 100). Dengan menonton film, penonton
diajak untuk memproyeksikan hasrat bawah sadarnya ke dalam film. Akibatnya, film
pun seolah-olah menjadi arena bagi pementasan fantasi yang berasal dari hasrat alam
bawah sadar penontonnya (Stam, Burgoyne dan Lewis, 1998: 141; Tjasmadi: 207;
Narendra: 98). Bertaut dengan gejala ini, Kuhn (1995: 430) menyebut film sebagai
mesin pembuat kesenangan (pleasure machine).
     Oleh karena itu, karena pengaruh film sedemikian besarnya kepada khalayak
(penonton) maka seharusnya setiap penonton yang menonton film harus pandai dalam
memilih dan memilah informasi yang terkandung dalam konten sebuah film. Menurut
O’Shaugnessy dalam bukunya Media and Society: an introduction (1951); To make full
sense of text (to give it meaning) in isolation. Text produce meanings by refering to the
world outside themselves and by using pre-existing codes of representation. We, as
audience members, have to have: (1) Knowledge of the real world to which text refers
and (2) Knowledge of the conversations of the text mediums (it’s photographic,
cinematic, or televisual codes of representation).
     Istilah ‘Text’ disini mengacu pada jenis media massa itu sendiri, yang berarti dapat
kita tinjau pada penelitian ini adalah film. Maka didasarkan pemahaman yang diturakan
oleh O’Shaugnessy, seseorang akan mampu memiliki kapabilitas menafsifkan atau
memaknai film apabila mereka memiliki: (1) Pengetahuan akan realitas nyata untuk
menjadi pembanding pada konten sebuah film dan (2) Pengetahuan mengenai teks
pesan film.
SUMBER
Ardianto, Elvinaro; Komala, Likiati; dan Karlinah, Siti. 2009. Komunikasi Massa
Suatu Pengantar. (revisi). Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
Barran, Stanley J. 2004. Introduction To Mass Communication: Media Literacy
and Culture. New York: The Mc. Graw-Hill Companies.
Kristanto, JB. 2004.  Nonton Film Nonton Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Peransi, D.A. 1997. Peransi dan Film. Jakarta : Lembaga Studi Film.
Sumarno, Marselli. 1996. Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta : Grasindo.
Tjasmadi, Johan HM. 2008. 100 Tahun Sejarah Bioskop di Indonesia. Bandung:
PT. MEGINDO TUNGGAL SEJAHTERA.

Anda mungkin juga menyukai