Anda di halaman 1dari 3

Akar Negara-Bangsa: Perkembangan Nasionalisme dan Sumpah Pemuda di Indonesia

Hari Sumpah Pemuda yang biasa kita peringati pada 28 Oktober bukan hanya satu peristiwa sejarah
yang lahir secara spontan. Sumpah Pemuda adalah akumulasi dari berbagai perkembangan sejarah
yang terjadi di Indonesia. Pada Sumpah Pemuda ini pula, seperti yang dijelaskan Ong Hok Ham,
“Bangsa Indonesia” lahir. Kelahirannya di dalam Kongres Pemuda II adalah hasil dari pergolakan dan
rasa Nasionalisme yang kuat.

Barangkali kita semua sudah sering mendengar “Bangsa Indonesia” dan isi Sumpah Pemuda
didengungkan berkali-kali. Ia menjadi salah satu dari bukti konkret Nasionalisme yang tumbuh.
Ketika kesamaan bangsa, tanah air, dan bahasa menjadi penyatu berbagai latar belakang.

Lantas bagaimana Nasionalisme berkembang di suatu negara jajahan bernama Hindia-Belanda?

1. Paradoks Dipicu Pemerintah Kolonial

Menurut Peter Carey dalam makalahnya berjudul Imagining Indonesia—an Historical Perspective,
1785-1942, Pemerintah Belanda berperan dalam mengembangkan konsep Nusantara (nantinya
Indonesia) dengan penaklukan “Pan-Archipelago” pada masa pemerintahan Gubernur Jendral J.B.
van Heutsz (dari 1904-1909). Entitas yang akan menjadi Indonesia ini sudah terbentuk secara
bertahap lewat perjanjian antara pemerintah kolonial dengan pemerintah lokal (local rulers) yang
membuat pemerintah lokal harus menaati isinya yaitu mengenal otoritas pemerintahan kolonial
Belanda, berhenti dalam membuat hubungan diplomatik dengan kekuatan asing, dan membubarkan
militer lokal.

Penaklukan-penaklukan yang terjadi di Nusantara sebagai bentuk ekspansi kekuasaan pemerintahan


kolonial menjadi suatu acuan wilayah yang nantinya diperjuangkan kemerdekaannya. Kelak sebagai
succesor state, Indonesia akan mewarisi wilayah kolonial tersebut. Hal inilah yang membuat
Soekarno dan tokoh-tokoh lain sangat gencar dalam membebaskan Irian dari genggaman Belanda
sekalipun mungkin mereka tidak pernah menginjakkan kaki di sana.

Hal ini berlanjut lewat “Gulag Archipelago” yang terjadi akibat hilangnya Ceylon dan Afrika Selatan
pada tahun 1795 dan 1806, pemerintah kolonial tidak memiliki pilihan lagi untuk membuang dan
mengasingkan pihak-pihak yang melawan. Akibatnya, pembuangan dan pengasingan terjadi di
antara kepulauan di Nusantara. Orang-orang yang diasingkan ini adalah para pemimpin lokal yang
datang dari bermacam perbedaan lokalitas dan etnisitas yang nantinya berperan besar dalam
pembentukan “Imagine Communities” seperti Cut Nyak Dhien, Tuanku Imam Bonjol, Kiai Mojo,
Diponegoro, dan tokoh-tokoh lain.

Terbentuknya “Imagine Communities” ini dikarenakan pengasingan yang terjadi antar pulau di
Nusantara akan menciptakan kesadaran nasib bahwa di wilayah lain pun sedang terjadi penjajahan
oleh pemerintahan yang sama.

Lalu, tentang pendirian Balai Pustaka yang punya peranan dalam sosialisasi bahasa Indonesia.
Pemerintah mencari bentuk bahasa Melayu yang “baik dan benar” yang akan digunakan sebagai
bahasa publikasi non-Belanda dalam pembelajaran dan materi sastra. Pencarian bahasa yang terbaik
dalam bentuk pengucapan bahasa Melayu jatuh kepada dua kandidat, yaitu Ambon dan Riau.
Melayu Riau memenangkan “kontes” tersebut dan membuat bahasa Melayu yang awalnya adalah
bahasa pasar kini menjadi bahasa yang digunakan birokrasi kolonial setelah periode 1816.
Penggunaan Melayu Riau akan menjadi basis bahasa bagi Indonesia modern.
Di dalam buku Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004 karya Merle Ricklefs, nantinya gerakan
Nasionalisme di bidang sastra tumbuh serta berusaha meninggalkan identitas kedaerahan dan
kesukuan menjadikan bahasa Melayu yang dianggap bebas dari sifat-sifat kesukuan dan telah
menjadi lingua franca selama berabad-abad di Nusantara menjadi bahasa Indonesia. Setelahnya,
bahasa Indonesia pun gencar terbit di berbagai media seperti koran-koran dan buku-buku.

Ong Hok Ham dalam kumpulan esainya berjudul Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang mengutip
pendapat Benedict Anderson bahwa tidak ada pengaruh yang lebih besar yang membentuk bangsa
ini daripada yang diberikan buku-buku, koran, majalah, dan seterusnya, dalam bahasa-bahasa
setempat. Lewat bacaan cetak, seseorang bisa mengetahui kondisi orang lain di wilayah yang lain.
Orang-orang akan melihat realitas yang lebih luas lewat bacaan yang bisa membuat mereka merasa
prihatin terhadap kondisi orang lain di wilayah jajahan yang berbeda letaknya.

Lewat bahasa ini pula terjadi perkembangan intelektual karena bisa menjembatani berbagai diskusi
antar individu maupun kelompok. Kendala kedaerahan dapat teratasi dan diferensiasi latar belakang
bisa lebih teratasi. Maka dari penjelasan di atas kita dapat melihat asal dari pemenuhan tiga unsur
yang dibutuhkan oleh suatu bangsa yang Ong kutip dari Ernest Renan, yaitu satu bahasa, satu tanah
air, dan satu nasib.

2. Perkembangan Nasionalisme Sukarno dan Hatta

Jika kita membicarakan Nasionalisme Sukarno dan Hatta, berarti kita juga membahas Nasionalisme
di dalam negeri dan di luar negeri, Algemeene Studieclub dan Indische Vereeniging serta
perubahannya menjadi PNI dan PI.

Sukarno melanjutkan pendidikan ke HBS Surabaya yang membuatnya bisa berkenalan dengan orang-
orang pergerakan yang cenderung komunis dan Islamis ketika tinggal di rumah H.O.S. Cokroaminoto
seperti Agus Salim, Sneevliet, Semaun, Musso, Alimin, dan Ki Hajar Dewantara. Di HBS Surabaya
itulah nantinya sikap politik anti-penjajahannya tercipta.

Setelah masa HBS-nya selesai, ia pindah ke Bandung demi melanjutkan pendidikannya di Sekolah
Tinggi Teknik pada 1921. Di Bandung, pertemuannya dengan Tiga Serangkai yang mendirikan
Indische Partij mempengaruhinya dengan paham Nasionalisme. Dalam penjelasan Ricklefs, Indische
Partij merupakan satu-satunya partai yang berpikir dalam kerangka Nasionalisme dibandingkan
Islam, Marxisme, atau ukuran suku bangsa yang sempit.

Sistem Taman Siswa yang dibangun Ki Hajar Dewantara juga menolak Islam pembaharu dan
memakai kebudayaan Jawa sebagai dasar filosofis bagi ciri nasional yang baru. Sukarno menanggapi
positif hal ini dan beranggapan bahwa sikap terbukanya kaum abangan dengan penyerapan berbagai
ajaran dan sudut pandang adalah model bagi seluruh bangsa Indonesia.

Bersama dengan gagalnya gerakan komunis dan menurunnya gerakan Islam setelah 1927 akibat
pemberontakan, Sukarno tampil dengan membawakan tema Nasionalisme bagi corak gerakan yang
baru. Algemeene Studieclub yang menjadi hasil inspirasi Sukarno terhadap Studie Club di Surabaya
pada 1924 oleh Sutomo, nantinya berperan besar dalam kelanjutan pergerakan.

Pergantian nama Algemeene Studieclub menjadi Perserikatan Nasional Indonesia dan upaya-upaya
penyatuan seperti Kongres Pemuda dan munculnya PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-
Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) adalah hasil dari pergerakan Nasionalis yang makin
menguat.
Kongres Pemuda I menghasilkan Jong Indonesia yang menjadi wadah persatuan. Hingga akhirnya
berganti nama menjadi Pemuda Indonesia pada kongres pertamanya tahun 1927 karena dirasa
nama Jong Indonesia kurang mencerminkan semangat nasional karena masih menggunakan bahasa
Belanda. Slamet Muljana dalam bukunya yaitu Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai
Kemerdekaan Jilid 1, mengatakan pula bahwa pada kongres pertama Jong Indonesia itu, selain
berganti nama mereka juga menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sebelum
Kongres Pemuda II.

Di luar negeri, yaitu di Belanda, sekelompok pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan di
Belanda membentuk Indische Vereeniging pada tahun 1908 sebagai sambutan terhadap Budi
Utomo. Di dalam Indische Vereeniging, terdapat dua golongan yaitu yang seperti disebut Slamet
Muljana sebagai nasionalis lembek dan nasionalis revolusioner. Nasionalis lembek dipimpin
Notosuroto yang menghendaki kerjasama dengan Belanda, sedangkan nasionalis keras atau
revolusioner adalah golongan Hatta.

Pada 1922, Indische Vereeniging mengganti namanya menjadi Perhimpunan Indonesia. Dua tahun
setelahnya, yaitu 1924, tujuan Perhimpunan Indonesia menjadi pembebasan Indonesia dan asasnya
adalah non-kooperasi.

Peter Carey mengutip artikel Hatta pada 1929 yang bertuliskan:

“With indefatigable zeal since 1918 we have carried on propaganda for ‘Indonesia’ as the name of
our motherland.”

Dapat kita lihat juga bahwa penggunaan kata “Indonesia” mengalami perluasan makna yang awalnya
menjelaskan tentang budaya dan wilayah geografis, menjadi bermakna politis pada dekade kedua
abad ke-20. Orang-orang akhirnya menggunakan nama Indonesia sebagai pengganti sebutan
penduduk di Hindia-Belanda dari yang awalnya secara kesukuan dan sebutan “Inlander”. Pada tahun
1928 itu pun menurut Hatta, nama “Indonesia” dipakai bahkan oleh penduduk desa miskin yang
buta huruf di Indonesia.

Penggunaan kata “Indonesia” menjadi hal yang emosional sekaligus mendapatkan perlawanan yang
sengit dari pemerintah kolonial. Dalam proses terciptanya Bangsa Indonesia, rasa patriotisme
tumbuh begitu kuat sehingga ia menjalar ke mana-mana, ke dalam seni, ke dalam perang, dan
sebagainya. Seperti pertanyaan yang diajukan Benedict Anderson di buku Imagine Communities,
mengapa bisa orang mencintai bangsanya hingga bahkan rela mati?

Maka dapat kita jawab bahwa rasa diskriminasi yang menciptakan rasa kebencian pada pemerintah
kolonial adalah antitesis dari kecintaan seseorang pada bangsanya. Ia natural dan tidak
direncanakan. Selayaknya penggunaan nama “Indonesia” yang menandakan penolakan pada asosiasi
dengan kolonialis.

Anda mungkin juga menyukai