Anda di halaman 1dari 3

Benturan Kebudayaan dan Kebenaran di Indonesia

Oleh: Muhammad Raza Pahlawan

Kepulangan Habib Rizieq beberapa waktu berselang dan bagaimana kepulangannya itu menuai
kontroversi berkaitan dengan kerumunan yang ia ciptakan dan kritik-kritik keras yang dilontarkan
kepada para pendukungnya yang disebut ekstrimis sekiranya selalu menarik untuk dibahas. Semakin
bergaungnya agama yang dibawa ke ranah publik yang dicanangkan pada gerakan-gerakan mereka
sering dibahas bersama dengan sejarah gerakan Islam setelah kemerdekaan yang posisinya kian
dilematis, dicintai tapi juga dibenci. Tapi apa yang sebenarnya terjadi?

Tampaknya, menarik untuk melihat bahwa gerakan Islam di Indonesia ini adalah hasil dari budaya
yang sebelumnya subordinat di kawasan urban yang cenderung materialis-individualis. Seperti apa
yang seringkali dibahas Seno Gumira Ajidarma di dalam kumpulan kolomnya yang dibukukan dalam
Affair: Obrolan Urban (2020), berkaitan dengan kebudayaan, bahwa kebudayaan adalah tempat
bertarung berbagai wacana baik itu saling menghegemoni atau menegaskan adanya negosiasi antar
wacana demi mempertahankan dirinya sendiri dan menolak kalah dengan seutuhnya.

Begitulah budaya agama mencoba terus bertahan dari waktu ke waktu dan akhirnya memasuki
panggung sosial. Jika menilik dari salah satu tulisan Pierre Bourdieu di dalam buku Perlawanan:
Menentang Mitos-Mitos Baru Zaman Kita (2020), salah satunya menyebut ketika Bourdieu membaca
makalah tentang sejarah Mesir, masyarakat yang menghadapi kesulitan akan berkembang ke arah
religius. Bedanya adalah tampaknya religiusitas ini tidak hanya menjadi pelarian, ia sudah menjadi
gerakan perubahan itu sendiri. Habib Rizieq tampil sewajarnya seperti apa yang terjadi di dalam
sejarah. Ketika situasi semakin pelik, akan ada tokoh yang hadir dengan niat memimpin perubahan,
apa yang kita dengar sebagai “Revolusi Akhlak” menjadi salah satu tandanya.

Orang-orang beranggapan bahwa gerakan-gerakan yang diadakan oleh ormas-ormas Islam adalah
tindakan irasional. Kita semua tentu sering sekali mendengar protokol kesehatan selama wabah ini,
tetapi ketika Habib Rizieq pulang dari Arab Saudi, seketika protokol itu tak lagi penting. Berefleksi
terhadap esai Pierre Bourdieu, rasionalitas yang tak digunakan dengan benar membuat orang-orang
jengah dan akhirnya timbul gerakan yang terlihat tidak rasional. Tindakan irasional ini adalah
counter culture dari budaya dominan penguasa yang rasional tetapi tidak memuaskan dan
berlangsung dalam waktu yang lama. Akhirnya mereka berusaha memberikan suatu jalan yang
oposisional secara nyata.

Murat Onder dan Fatih Ulasan di dalam tulisannya berjudul Ibn Khaldun’s Cyclical Theory on the Rise
and Fall of Sovereign Powers: The Case of Ottoman Empire (2018) membahas pemikiran-pemikiran
Ibnu Khaldun yang bisa diterapkan pada kasus ini, yaitu asabiyya dan umran.
Asabiyya adalah ikatan, solidaritas, bukan hanya perasaan tapi juga aksi kolektif. Sedangkan umran
adalah budaya yang menyatukan orang-orang demi saling menjaga. Umran ini nantinya menciptakan
sistem negara yang pada dasarnya bertujuan melindungi segenap rakyatnya.

Asabiyya dan umran jika dihubungkan pada keberadaan agama maka akan senada dengan teori
fungsionalisme Emile Durkheim yang berusaha menjaga keutuhan orang-orang yang berada di
dalamnya. Tetapi, asabiyya memiliki sisi destruktif jika suatu kelompok masyarakat memiliki kohesi
yang kuat yang menyebabkannya dapat menyerang, mencerahkan, atau mengubah kelompok sosial
lain yang berideologi lain untuk mengikuti nilai-nilai kelompok yang ber-asabiyya kuat. Terjadilah
upaya hegemoni yang menurut Gramsci mendapat tempat sebagai sintesis dari kesepakatan dan
koersi.

Kelompok agama adalah contoh yang dekat dengan asabiyya yang kuat. Hal ini yang membuat
terjadinya penolakan dari banyak pihak atas keberadaan pendukung dari Habib Rizieq dan Habib
Rizieq itu sendiri. Banyak label yang disematkan kepada mereka dan salah satunya adalah ekstrimis
Islam. Dengan keberadaan mereka, pluralisme di Indonesia dianggap terancam.

Moral Fears dan Kabut Situasi

Hal menarik yang juga dapat kita bahas soal pertarungan kebudayaan adalah soal norma dan
penyimpangan. Gerakan Islamis pendukung Habib Rizieq dan orang-orang di masyarakat yang
berlawanan dengannya dapat kita lihat bukan saja soal saling tuduh menuduh bahwa lawannya satu
sama lain itu menyimpang, tetapi juga perihal pemikiran Howard Becker yang mengatakan bahwa
aturan norma berasal dari konstruksi moral interpreneur.

Lebih jauh lagi, Geoffrey R. Skoll di dalam bukunya yaitu Social Theory of Fear: Terror, Torture, and
Death in a Post-Capitalist World (2010) menjelaskan poin pemikiran Becker bahwa moral
interpreneur, penafsir moral, dan pembuat aturan tidak diambil dari massa, tetapi dari representasi
elit. Nantinya tentang norma ini akan menjadi bingkai besar dalam memandang sesuatu yang
menyimpang. Ujungnya yang dapat kita ikuti adalah keberadaan rasa takut dan munculnya
persekusi. Kita berharap persekusi bukan hal yang akan terjadi di Indonesia, di mana rakyatnya
sudah banyak yang berpikiran terbuka dan berusaha dalam membuat pemikiran orang-orang lain
ikut terbuka demi berjalannya dialog-dialog dan diskusi-diskusi.

Jika kita melihat ini lewat sudut pandang orang-orang yang menolak Habib Rizieq, maka hal yang
harus diantisipasi adalah jatuhnya kita pada kesalahan akibat kabut situasi yang muncul bersamaan
dengan sentimen-sentimen kita terhadap ekstrimisme. Kemunculan kelompok tersebut tidak dapat
direduksi hanya untuk mendirikan negara Islam atau menerapkan hukum Islam bagi penjuru negeri
bagi para pemangku kepentingan, tetapi yang benar adalah melihat bahwa situasi seperti ini adalah
akumulasi dari berbagai masalah yang ada di Indonesia.

Mudahnya, janganlah kita melupakan faktor-faktor yang membuat kelompok tersebut lahir dan
membuat dikotomi sendiri di kepala kita bahwa satu hal jahat dan satu hal baik. Selayaknya kita
jangan terjatuh kepada penjelasan Geoffrey tentang Becker bahwa norma adalah representasi elit,
hal yang bisa memicu kita untuk melihat dan mendukung sudut pandang pemerintah yang
memosisikan dirinya berlawanan dengan Habib Rizieq tanpa mengoreksi dirinya sendiri hanya
karena kita sudah melihat ekstrimis sebagai kumpulan orang menyimpang.

Agama menempatkan dirinya sebagai penyelamat dan bagi orang-orang yang dianggap ekstrimis
tersebut, dengan jalan itulah perubahan dapat terjadi. Dengan upaya-upaya mereka mendukung
Habib Rizieq itulah Indonesia dipikirkan akan menjadi lebih baik. Ideologi pada akhirnya adalah soal
bagaimana kita melihat realitas dengan sudut pandang tertentu. Ideologi hadir untuk menyelesaikan
masalah walaupun caranya pun berbeda sesuai dengan ideologi macam apa yang dianut.

Maka, disinilah perlawanan kita pada post-truth yang hadir di masa postmodern ketika kebenaran
bukanlah kebenaran objektif tetapi kebenaran subjektif harus dihadapi dengan kritis. Kita harus
bersama-sama saling mendengarkan dan saling mengatakan sesuatu dengan baik agar melihat
bahwa masalah-masalah punya banyak jalan dan skenario yang dapat dijalankan. Jika terus
“berperang”, kita hanya diam di tempat, memaki-maki keadaan dan lupa bahwa keresahan kita
kolektif, tetapi upaya kita terlampau sendiri-sendiri untuk berjuang.

Anda mungkin juga menyukai