Anda di halaman 1dari 13

ISSN Cetak : 2550-1275

E-ISSN : 2615-1359
Volume 6, Nomor 1, Maret 2022

EPISTEMOLOGI AL-JABIRI DAN RELEVANSINYA DALAM


PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM ERA DISRUPSI

Husnatul Mahmudah
Institut Agama Islam Muhammadiyah Bima
Jln. Anggrek No. 16 Ranggo Na’e Kota Bima

Corresponding Author : Husnatul Mahmudah, arraynez@gmail.com


ABSTRAK
Banyaknya berbagai persoalan dalam lingkup sosial, ekonomi dan
keagamaan di era disrupsi membutuhkan kepastian hukum.
Adanya perubahan sosial yang disebabkan oleh perkembangan
teknologi informasi yang begitu cepat, juga mengakibatkan
terjadinya kekosongan hukum di masyarakat. E-commerce,
pelaksanaan ibadah secara daring, pembatasan sosial dan
sebagainya merupakan sedikit dari banyaknya perubahan-
perubahan yang menuntut adanya kepastian hukum. Konstruksi
hukum Islam seharusnya aplikatif dan sesuai dengan kondisi
perubahan sosial. Sehingga cukup relevan apabila epistemology
al-Jabiri digunakan dalam pendekatan dan konstruk berpikir
umat Islam saat ini. Mohammed Abed al-Jabiri merupakan
pemikir muslim dari Maroko yang cukup terkemuka. Kritikannya
terhadap irasionalisme dan idenya yang menawarkan untuk
mengedepankan rasionalisme dalam merumuskan pemikiran
hukum Islam. Al-Jabiri meyakini bahwa ajaran Islam harus dilihat
sebagai sekumpulan ide yang sesuai dengan rasionalitas dan
gagasan ilmiah.

Kata Kunci: Epistemologi, al-Jabiri, Hukum, Islam, Disrupsi


How to Cite : Mahmudah, H. (2022, March 31). EPISTEMOLOGI AL-JABIRI DAN
RELEVANSINYA DALAM PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM ERA
DISRUPSI. SANGAJI: Jurnal Pemikiran Syariah Dan Hukum, 6(1), 38-
50. https://doi.org/https://doi.org/10.52266/sangaji.v6i1.838
DOI : https://doi.org/10.52266/sangaji.v6i1.838
Journal Homepage : https://ejournal.iaimbima.ac.id/index.php/sangaji/issue/view/105
This is an open access article under the CC BY SA license
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/

38
PENDAHULUAN
Perkembangan kehidupan sosial masyarakat pada masa disrupsi akibat
menyebarnya wabah covid-19, telah mengubah hampir seluruh aktivitas
manusia. Era revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan digitalisasi berbagai
aspek kehidupan manusia, ditambah lagi dengan munculnya wabah covid-19
yang membatasi aktivitas interaksi sosial. Sehingga masa ini disebut sebagai era
disrupsi, dimana terjadinya pergeseran budaya (shifting culture) menjadi serba
digital.
Di era post-truth dan disrupsi, fakta dan kebenaran objektif mudah
berganti dengan opini kebohongan yang secara massif diyakini oleh publik
sebagai kebenaran. Tidak menutup kemungkinan melahirkan kompleksitas
dinamika sikap beragama masyarakat. Kondisi ini juga berdampak pada
produk hukum yang dihasilkan. Perubahan kondisi sosial masyarakat juga
mempengaruhi perkembangan hukum positif dan hukum Islam.
Pada era disrupsi ini, terdapat beberapa aspek yang membutuhkan
kepastian hukum, diantaranya; pertama, aspek sosial. Adanya pembatasan
sosialisasi dan interaksi masyarakat yang dipengaruhi oleh pandemik dan
perkembangan interaksi digital yang sangat pesat. Interaksi dan sosialisasi kini
terbatas pada ruang-ruang virtual dan memandang hal ini sebagai bentuk
efektivitas dalam hubungan sosial. Sosialisasi virtual ini cenderung terbatas.
Namun masyarakat kini terbiasa dengan hal tersebut dan telah menjadi gaya
hidup. Sehingga membuka ruang bagi semua pihak untuk melakukan beberapa
hal yang melanggar dan menyimpang dari norma-norma. Munculnya tindak
pidana virtual seperti penipuan, pelecehan seksual secara verbal di media
online, dan hal-hal lain yang serupa.
Kedua, aspek Pendidikan. Persoalan yang hampir sama karena
pemanfaatan teknologi informasi di tiap lini aktivitas masyarakat, juga
memberikan dampak positif maupun negative dalam dunia Pendidikan.
Aktivitas transfer of knowledge dengan mudah dan cepat dilakukan karena
bantuan teknologi komunikasi dan informasi. Namun para pendidik
mengeluhkan sulitnya melakukan transfer of morality kepada peserta didik di
ruang-ruang virtual.
Ketiga, aspek ekonomi. Aktivitas ekonomi saat ini sudah tidak lagi
terbatas pada kegiatan konvensional. Produksi, distribusi dan konsumsi juga
telah dilakukan secara virtual/online. Terdapat banyak sekali platform belanja
online yang digandrungi masyarakat. Adapula pinjaman/kredit online yang
cukup ramai dibicarakan karena mengekspose data-data pribadi tanpa
persetujuan pemiliknya. Selain itu, adapula transaksi ekonomi (e-commerce)
yang menggunakan cryptocurrency (seperti Bitcoin, Ethereum, Koin Binance,
Tether, Solana, dll) yang menjadi alat transaksi di media online.

39
Keempat, aspek keagamaan. Seperti yang telah diuraikan di atas, otoritas
keagamaan kini tidak lagi hanya berada di tangan Ulama dan Kiyai
konvensional (tradisional). Namun hampir semua orang dapat “ulama online”
dengan memanfaatkan media online seperti kanal YouTube, Facebook, WA,
dan Instagram. Kini, siapapun yang lebih aktif dan memiliki banyak followers
di media sosial tersebut dapat dengan mudah menggunakan agama sebagai
“bahan jualan” paling laris. Sehingga masyarakat lebih cenderung
mendengarkan “ulama online” daripada ulama konvensional.

PEMIKIRAN MUHAMMAD ABED AL-JABIRI


Muhammad Abed al-Jabiri merupakan filsuf muslim yang berusaha
mengkiritisi epistemology dalam dunia Arab yang sudah mapan. Sebagaimana
diketahui, Al-Jabiri terkenal sebagai tokoh filsuf Mu1slim yang pemikirannya
dipengaruhi oleh Averroisme (Ibnu Rusyd) dan Hermetisme. Al-Jabiri sangat rasional
dan begitu mengagungkan akal sehingga muncul kegelisahannya ketika mengamati
fenomena sikap dan bangunan epistemology atau nalar Arab yang cenderun
irasionalisme. Rasionalisme dan demokrasi yang melemah dan tidak dihargai oleh
bangsa Arab memicu kegelisahan Al-Jabiri. Semakin menyebar dan menguatnya
kultur irasionalisme pada pihak lain mampu menghambat gerakan rasionalisme 2.
Menurut Al-Jabiri, bangsa Arab kebanyakan tidak mengakui kemampuan akal
manusia, apalagi percaya pada pemikiran-pemikiran rasional dan pencarian ilmiah.
Mereka lebih percaya pada produk-produk irasional dalam tradisi. Sebagian besar
bangsa Arab tidak bisa melepas diri dari romantisme masa lalu (turats). Kejayaan-
kejayaan masa lalu merupakan obsesi kompulsif yang dihadirkan dalam kesadaran
berpikir mayoritas umat Islam. Sehingga kemunduran, kekalahan dan kelemahan
masa kini seakan dapat terobati dengan kejayaan masa lalu 3. Warisan spiritual Islam
yang berkembang pada peradaban masyarakat Arab sangat banyak diminati,
mengingat mistik dan spiritualisme Islam pada saat itu dianggap sebagai salah satu
pilihan masyarakat yang berusaha menghindari pergumulan dengan isu-isu politik
dan konflik antar mazhab yang banyak menguras energi.
Dalam sejarah dan perkembangan peradaban, masyarakat Arab memiliki warisan
spiritual seperti tasawuf yang berorientasi spiritualisme Islam. Selain itu, munculnya
Gerakan islamis yang berorientasi Salafi sebagai counter terhadap penguasa Arab yang
dinilai gagal membela kepentingan bangsa Arab. Secara tidak sadar Nalar Arab yang

1
Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam: Penghantar Filsafat Pengetahuan Islam
(Universitas Indonesia, 1983).
2
Ibid.
3
Mohammad Abed Al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, trans. Ahmad Baso (Yogyakarta:
LkiS, 2000).

40
telah mendominasi cara berpikir penganutnya dikritisi oleh al-Jabiri dengan cara
merekonstruksi. Untuk merubah struktur nalar yang selama ini biasa dipakai dengan
nalar baru, maka harus ada praksis rasionalisme. Tanpa praksis rasionalisme dalam
pemikiran dan kehidupan, maka akan sangat sulit meruntuh otoritas berpikir
khususnya oritas teks, otoritas masa lalu dan otoritas qiyas 4.
Dalam analisisnya, epistemologi bayani, irfani dan burhani menjadi sasaran
kritik dari Abed al-Jabiri yang kemudian dikenal dengan istilah kritik nalar Arab.
Ketiga konsep epistemologi tersebut diekplorasikan oleh Abed al-Jabiri, serta dengan
tegas menyatakan bahwa ketiga konsep tersebut menyebabkan nalar Arab menjadi
mundur. Menurut Al-Jabiri epistemologi nalar Arab ini merupakan titik kunci untuk
mengekplorasi peradaban Arab yang membentuk bangunan keIslaman secara
keseluruhan yang tengah berkembang. Dalam hal ini melingkupi seluruh dunia, bukan
hanya di wilayah Arab saja. Oleh karena demikian, ketiga konsep epistemology ini
penting dikritisi oleh al-Jabiri dalam konsep dari postrukturalisme.
Wilayah natural sciences menjadi titik pusat perhatian epistemologi keilmuan
Barat dan bukannya pada wilayah sosial sciences dan humanities. Sedangkan ulum al-din
khususnya aqidah, ulum al-Qur’an, tasawuf, dan syari’ah, dan ulum al-Hadist (atau
biasa disebut Islamic Studies) lebih ditempatkan pada wilayah classical humanities. Al-
Jabiri dengan gagasan yang dimilikinya serta keilmuan yang telah dibekalinya ini,
mengajak untuk dapat berfikir dan bersikap secara kritis atas apa yang dianggap
sebagai “rujukan” dan “cara merujuk”-nya. Poin penting yang dibutuhkan adalah agar
terhindar dari manipulasi sejarah untuk kepentingan sekarang dengan
mengkombinasikan antara “kritik masa lalu”, dan juga “kritik atas masa kini” agar
tidak muncul upaya penegasan identitas ketika dihadapkan dengan konsep-konsep
Barat yang dianggap sangat asing. Al-Jabiri melakukan pemetaan terhadap
epistemologis dan ideologi di dunia Arab yang selama ini berkembang dengan
memunculkan ciri khasnya tersendiri dan memberikan warna baru. Stagnasi yang
terjadi selama sepuluh Abad lebih di dunia Arab, Al-Jabiri menawarkan solusi untuk
memecahkan masalah tersebut sesuai dengan background pendidikannya, yaitu
menggunakan philosophical approaches.
a. Post-Strukturalisme dan strukturalisme
Dalam melakukan kritikan terhadap Nalar Arab, al-Jabiri menggunakan
poststukturalisme. Pendekatan ini menurut al-Jabiri sangat relevan digunakan
mengingat epistemology Arab tidak lepas dari tiga hal yaitu, bayani; irfani dan
burhani. Poststrukturalisme al-Jabiri lebih dipengaruhi pemikiran Jacques Derrida.
Dekonstruksi menurut Derrida perlu difokuskan pada tulisan dan grammatology.
Pemikiran dasar Derrida tentang poststrukturalisme mulai dari writing (tulisan),

4
Ibid.

41
trace (jejak), difference (perbedaan). Menurut Derrida, dibalik tanda yang tertulis
selalu ada realitas yang tersembunyi 5. Poststrukturalisme yang digunakan oleh al-
Jabiri sebagai pendekatan dalam memahami tradisi Arab yang membentuk
epistemology. Oleh karena demikian, al-Jabiri Ketika melihat kemunduran dunia
Arab, maka tradisi yang selama ini berkembang harus terbuka untuk dikritisi dan
didekonstruksi.
b. Kritik Nalar Arab
Diskursus pemikiran Arab akan selamanya mengalami kemunduran dan
tidak mampu menjadi pusat peradaban baik dalam konteks sains maupun secara
ideal, apabila masih berpegang pada paradigma keilmuan tradisional yang
mengedepankan tradisi dan menyampingkan rasio. Pada masa kodifikasi baru
(ashr at tadwin al jadid), peradaban masyarakat Arab tidak dikendalikan oleh akal
yang aktif (fail), namun lebih didominasi oleh penggunaan akal yang afektif
(munfa’il). Akal afektif (munfa’il) dipengaruhi oleh; pertama, perkembangan
peradaban Barat yang semakin maju dan peradaban Arab (Islam) berada pada
posisi terpinggirkan. Barat sebagai pusat peradaban, pusat perkembangan ilmu
pengetahuan yang mengalami kemajuan luar biasa. Kesadaran atas kemajuan Barat
menyebabkan dunia Arab seakan dihentakkan dari tidur panjangnya. Sehingga
muncul keinginan dan upaya untuk meniru serta mengejar ketertinggalan mereka
dari Barat. Kedua, reaksi balik yang berusaha menggapai legitimasi kejayaan
dimasa lampau dimana Arab merupakan pusat rotasi peradaban, sedangkan yang
lain terpinggirkan 6.
Kedua pengaruh inilah yang secara dominan menguasai diskursus
pemikiran Arab kontemporer. Romantisme masa lalu menjadi salah satu penyebab
sulitnya untuk berpikiran maju. Hal ini dikarenakan adanya kecenderungan
berlindung dibalik legitimasi pendahulu. Pemikiran yang digunakan lebih
mengedepankan analogi deduktif fikih dan ideologis. Nihilnya dialogis dan
rasionalitas secara dominan menguasai diskursus pemikiran Arab.
Menurut al-Jabiri terdapat dua faktor yang menghambat kebangkitan
pemikiran Arab Islam. Pertama, mempertahankan keautentikan berbagai sumber
dan aspek pemikiran dalam peradaban Islam. Mulai dari Syariah (fikih), sastra,
Bahasa, seni, akhidah, teologi, filsafat dan tasawuf yang memiliki rujukan sejarah
dan epistemologinya pada masa tadwin abad 2-3 H, sampai pada masa
kebangkitan kekhalifahan Usmani pada abad ke 10 H/16 M. Pembelaan terhadap

5
Achmad Bahrur Rozi, “Menimbang Gagasan Epistemologi Islam Al-Jabiri Sebagai
Solusi Kebangkitan Islam Modern,” EMPIRISMA: JURNAL PEMIKIRAN DAN KEBUDAYAAN
ISLAM 27, no. 2 (2018).
6
Arini Izzati Khairina, “Kritik Epistimologi Nalar Arab Muhammad Abed Al-Jabiri,” El-
Wasathiya: Jurnal Studi Agama 4, no. 1 (2016): 103–114.

42
tradisi ini terus berlangsung hingga munculnya gerakan renaissance di Eropa.
Kondisi ini terus dipertahankan sebagai upaya menjaga keaslian (autentik)
identitasnya dan terjaga dari ancaman dunia luar. Dengan demikian, proses
kembali pada ajaran yang fundamental dengan tujuan melampaui masa lalu dan
melompat ke masa depan. Meskipun pada akhirnya bertabrakan dengan kekuatan
peradaban lain yang telah lebih dulu maju. Kedua, otoritas tradisi semakin
mengukuhkan posisinya, sehingga semakin jauh dari realitas dan kondisi
masyarakat. Permasalahan yang muncul kemudian, pemikiran tidak menjadikan
realitas sebagai titik tolak epistemology, akan tetapi bertumpu pada memori tradisi
masa lalu yang menempatkan paradigma fikih sebagai yang utama digunakan
untuk membaca realitas kontemporer. Akibatnya pikiran generasi diarahkan oleh
metode dan konsep orang-orang terdahulu, sehingga pada akhirnya cenderung
tidak relevan dengan realitas kekinian 7.
Nalar Arab menurut al-Jabiri tidak mampu melakukan transformasi seiring
perubahan sosial dan pergantian waktu itu sendiri. Keterbelakangan pemikiran
Islam menurut al-Jabiri disebabkan karena masih sangat terikat kuat pada teks dan
ideologi yang hidup dan berkembang di Arab. Sehingga Ketika berhadapan
dengan dunia dan peradaban luar memiliki potensi ketersinggungan yang
mengarah pada konflik penalaran yang serius 8.
Sebagai bentuk solusi, al-Jabiri menawarkan pembaharuan dengan
meninjau kembali tradisi pemikiran Arab -setelah sebelumnya dilakukan analisis
penyebab keterbelakangan. Kritiknya terhadap struktur epistemologi tersebut
secara jelas tertuang terutama dalam karya besarnya Naqd al-‘Aql al-‘Arabi, yang
merupakan grand proyek pemikirannya. secara rinci ia jelaskan dalam tiga
karyanya yaitu, Takwin al’Aql al-‘Arabi, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi dan al-‘Aql al-Siyasy
al-‘Arabi 9.
c. Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani
Al-Jabiri menguraikan struktur pemikiran Arab dalam tiga bagian. Pertama,
system pengetahuan eksplanatoris (al-nizam al-ma’rifiyah al-bayaniyyah) yaitu
pengetahuan yang kebanyakan dikuasai oleh para ahli bahasa, baik yang
mengarah pada struktur balaghah bahasa Arab, ushul fikih dan kalam. Pengetahuan
ini umumnya bersumber dari pemahaman atau pemaknaan terhadap teks, tanda
atau symbol-simbol yang terlihat. Sehingga penegetahuan ini tidak jauh dari sastra,
Bahasa dan tekstual. Dengan demikian, bayani merupakan suatu system pemikiran

7
Nur Kholis, “Konsep Epistemologi Hukum Islam: Perspezktif Muhammad Abed Al-
Jabiri,” Jurnal Fenomena 2, no. 1 (2004).
8
Nurlaelah Abbas, “Al-Jabiri Dan Kritik Nalar Arab (Sebuah Reformasi Pemikiran
Islam),” Aqidah-Ta: Jurnal Ilmu Aqidah 1, no. 1 (2015): 163–185.
9
Al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam.

43
atau sebuah epistemology yang menjadikan al-Qur’an dan hadis (nash), ijma dan
qiyas sebagai sumber utama pengetahuan khususnya dalam menguraikan
persoalan agama Islam.10 Kedua, system pengetahuan gnosis (an-Nizam al-ma’rifiyah
al-irfaniyah). Pengetahuan ini bersumber dari intuisi atau dalam Islam biasa disebut
makrifat. Suatu proses pencarian ilmu melalui perenungan mendalam atau
kontemplasi dan dipergunakan sebagai rujukan pengetahuan. Epistemology ini
didukung disiplin tasawuf dan ilmu-ilmu kebatinan yang berkembang. Ketiga,
adalah system pengetahuan demonstrative yang diminati oleh para ahli filsafat dan
logika. Dari ketiga struktur pemikiran Arab ini masing-masing mempunyai ciri
epistemology yang berbeda bahkan saling bertentangan dengan yang lainnya.11
Nalar Arab yang dimaksud oleh al-Jabiri sebenarnya bukan sebagai produk
pemikiran, namun sebagai sebuah perangkat. Nalar Arab yang dimaksud sebagai
perangkat tersebut dimaknai oleh al-Jabiri sebagai epistemology (an-nidham al-
ma’rifiyah). Sehingga pada akhirnya al-Jabiri membagi epistemology menjadi tiga;
yaitu bayani, irfani dan burhani.12
1. Epistemologi Bayani
Menurut para ahli ushul fikih, bayan merupakan yang jelas, tidak
menimbulkan keraguan, atau tidak bermakna ambigu. Berdasarkan
penelusuran al-Jabiri, secara historis system epistemology bayani merupakan
system epistemology yang pertama kali muncul dalam dan berkembang dalam
pemikiran masyarakat Arab. Penggunaan epistemology bayani lebih
diutamakan pada mengkaji kebahasaan, kalam, ushul fikih, balaghah dan
nahwu. Rujukan utama epistemology ini pada teks (al-Qur’an dan hadis) yang
mengkonstruksi konsep dalam memperkuat keyakinan terhadap Islam 13
Diskusi mengenai bayani, dalam peradaban masyarakat Arab Islam dibagi
menjadi dua bagian. Pertama, mengenai aturan dalam menafsirkan wacana;
kedua, syarat memproduksi wacana. Aktivitas penafsiran wacana
sesungguhnya telah dilakukan semenjak masa Rasulullah. Seringkali para
sahabat meminta untuk penjelasan kepada Nabi tentang maksud dan makna
suatu ungkapan dalam al-Qur’an. Mengingat al-Qur’an sangat sarat dengan
struktur Bahasa yang tinggi nilai sastranya. Begitu pula pada masa
khulafaurrasyidin, umat Islam pun banyak menanyakan kejelasan makna ayat-
ayat dalam al-Qur’an. Bayani pada masa ini masih menyebar secara tradisional.
Sebab belum ada identifikasi keilmuan atau aturan-aturan dalam penafsiran

10
Ibid.
11
Ibid.
12
Ibid.
13
Muhammad Arsyad Peribadi and La Ode La Patuju, EPISTEMOLOGI PERGERAKAN
INTELEKTUAL DARI MASA KE MASA: Sebuah Ulasan Komparatif (Penerbit Adab, 2021).

44
teks. Penyebaran bayani dimulai dengan tradisi penyampaian lisan, hingga
pada akhirnya mengarah pada budaya ilmiah 14.
Tidak hanya dalam aspek linguistic, Imam Syafi’i meletakkan aturan-
aturan dalam menafsirkan wacana dalam bbentuk baku. Oleh al-Syafi’i berhasil
menempatkan kaidah-kaidah dalam Bahasa Arab sebagai acuan dalam
menafsirkan teks suci. Terutama dalam hukum qiyas, salah satu sumber
penalaran yang absah dalam memaknai permasalahan agama dan masyarakat.
Al-Syafi’i menyatakan bahwa berpikir dan bernalar harus dalam kerangka nash
Dalam konteks bayani ini, al-Jabiri tidak bermaksud membahas Bahasa
sebagai alat komunikasi. Akan tetapi Bahasa dapat membangun media sosial
budaya. Bahasa Arab merupakan alat atau media transformasi budaya Arab,
berikut juga cara berpikir yang berkembang dalam tradisi Arab. Hal ini
menurut al-Jabiri sangat memengaruhi kerangka berpikir para ahli
teologi/ulama kalam. Sebab seringkali ulama kalam menggunakan ungkapan
“qaalat al-Arab….” (orang Arab berkata…) sebagai pijakan dalam argumentasi
mereka untuk menyelesaikan persoalan kalam/teologi. Dengan demikian,
langkah metodologis bayani dipengaruhi oleh lingkungan sosiologis, geografis,
dan cara berpikir yang secara tidak sadar membentuk konstruk berpikir
tersebut 15.
2. Epistemologi Irfani
Secara Bahasa, kata irfani berarti pengetahuan. Sedangkan kata ma’rifat
memiliki akar kata yang sama dengan irfan, dalam konsep tasawuf berarti
pengetahuan tertinggi yang disematkan dalam hati seseorang melalui
kasf/penyingkapan hakikat ilahi. Menurut al-Jabiri, epistemology irfani berasal
dari Timur. Irfani juga ada dalam tradisi agama besar selain Islam, yaitu yahudi
dan Nasrani 16.
Dalam epistemology irfani, kebenaran dapat dibuktikan melalui
pengalaman dan pemahaman ituitif. Masyarakat Arab banyak yang
menyandarkan kebenaran pada pengalaman rohani yang cenderung bersifat
gaib. Sehingga al-Jabiri menyatakan bahwa kasyf tidak boleh berada di atas
akal. Irfani merupakan metode pemikiran yang paling rendah namun

14
Mohammad Muslih, FILSAFAT ILMU; Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma, Dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, vol. 1 (LESFI, 2004).
15
Ahmad Hasan Ridwan, Dasar-Dasar Epistemologi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2011).
16
Abid Rohmanu, Kritik Nalar Qiyasi Al-Jabiri: Dari Nalar Qiasi Bayani Ke Nalar Qiayasi
Burhani (STAIN Po Press, 2014).

45
pemahamannya yang terkendali 17. Akan tetapi irfani merupakan metode yang
bersifat irasional dan antikritik penalaran 18.
3. Epistemologi Burhani
Dalam Bahasa Arab al-burhan berarti argumentasi yang kuat dan jelas.
Menurut istilah logika (al-mantiq), Burhan adalah aktivitas rasional yang
menentukan kebenaran dengan cara deduksi. Burhan merupakan istilah untuk
menggambarkan pada metode berpikir khusus yang sumbernya berasal dari
manusia, yaitu indera, aturan logika dan eksperimen . Nalar dan
19

eksperimentasi adalah dua hal yang saling menguatkan dan berkaitan erat.
Keterbatasan indera yang tidak mampu menjangkau realitas dapat dibantu
oleh nalar untuk menguraikannya. Adapun yang disentuh dalam epistemology
ini adalah logika, matematika, fisika serta ilmu alam lainnya, tidak menutup
kemungkinan juga ilmu-ilmu sosial dan mefisika. Dalam epistemology ini
validitas kebenaran tidak hanya menggunakan logika secara totalitas, tetapi
harus ada kesesuaian antara nalar dengan realitas dan hukum alam. Al-Jabiri
mengutip pemikiran Hegel bahwa semua hal yang bersifat empiris adalah
rasional. Tidak hanya terbatas pada hal tersebut, lebih lanjut menurut Hegel
bahwa realitas dan nalar yang sesuai saja merupakan pandangan yang statis.
Sedangkan pandangan yang dinamis yaitu menuntut adanya kesesuaian nalar
dengan realitas dan juga kesejarahan.20

RELEVANSI EPISTEMOLOGI AL-JABIRI DALAM PERKEMBANGAN


HUKUM ERA DISRUPSI
Digitalisasi dalam semua lini kehidupan manusia menyebabkan beberapa hal
telah terdistorsi. Otoritas keagamaan misalnya. Pada masa sebelum masyarakat
familiar dengan media sosial, segala bentuk persoalan keagamaan akan selalu merujuk
pada pendapat ulama yang integritas keilmuannya telah diakui masyarakat.
Kiyai pada umumnya adalah ulama yang ada pada masyarakat Islam
tradisional. Terdapat standarisasi non-formal bagi seseorang apabila ia hendak diakui
sebagai ulama atau kiyai. Seperti pertama, seseorang harus memiliki pesantren atau
Lembaga Pendidikan Islam; kedua, seseorang harus telah menghafal al-Qur’an 30 Juz;

17
M. Faisol, Struktur Nalar Arab-Islam Menurut Abid Al-Jabiri. Tsaqafah, 6 (2), 335, 2010.
18
Muhammadun Muhammadun, “Kritik Nalar Al-Jabiri; Bayani, Irfani Dan Burhani
Dalam Membangun Islamic Studies Integrasi-Interkoneksi,” Eduprof: Islamic Education Journal 1,
no. 2 (2019): 133–164.
19
Ridwan, Dasar-Dasar Epistemologi Islam.
20
Fatkhul Mubin, Nalar Bayani Irfani dan Burhani dan Implikasinya Terhadap Keilmuan
Pesantren, preprint (Open Science Framework, June 6, 2020), accessed November 2, 2021,
https://osf.io/ptcse.

46
ketiga, menguasai dan mengajarkan kitab-kitab fikih klasik; ketiga, memiliki pengaruh
dan mendapatkan pengakuan ditengah masyarakat 21.
Semakin canggihnya ilmu pengetahuan dan teknologi, juga memengaruhi
perkembangan kehidupan sosial keagamaan masyarakat. Kiyai dan ulama yang
dahulunya menjadi tokoh sentral di masyarakat, kini kharismanya telah dilengserkan
oleh popularitas “ulama online.” Aktivitas dakwah keislaman dalam media online
cenderung digandrungi oleh masyarakat, ketimbang menghampiri pengajian-
pengajian yang diisi langsung oleh Kiyai dan ustadz secara langsung.
Hal ini menyebabkan otoritas keagamaan yang selama ini dipegang oleh Kiyai dan
ulama tradisional, cenderung kurang diminati. Disebabkan oleh kemudahan akses
masyarakat itu sendiri. Apabila membutuhkan fatwa-fatwa atau sekedar bertanya
tentang hukum Islam sendiri, cukup membuka google search, maka semua pekerjaan
tuntas.
Dalam aspek sosial, terdapat beberapa produk hukum yang menjadi keputusan
para ulama di Indonesia ketika terjadi pandemi covid-19. Adanya pembatasan sosial
(social distancing) yang mengakibatkan munculnya larangan untuk melakukan ibadah
di masjid dan mushalla, atau melaksanakan solat berjamaah. Muncul pula inisiatif
Sebagian umat Islam untuk melaksanakan solat Jumat secara daring (melalui aplikasi
zoom meeting). Sebagai solusi untuk menghindari kerumunan dan upaya
menghambat penyebaran wabah.22
Shalat berjamaah di masjid, solat jum’at dan idul fitri serta idul adha juga
pernah menjadi perdebatan dalam kalangan umat Islam di Indonesia. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) kemudian mengeluarkan fatwa Nomor 14 Tahun 2020 Tentang
Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Fatwa ini pun
menjadi polemik di masyarakat. Sebab banyak juga masyarakat yang tidak mengikuti
fatwa tersebut.23
Aspek ekonomi pada masa disrupsi ini pun memiliki dampak yang luas.
Dimana aktivitas ekonomi telah bergeser, tidak hanya berlaku system konvensional,
namun telah terjadi perubahan besar pada system ekonomi di era disrupsi ini, seperti
adanya e-commerce. Kebutuhan akan pembayaran yang cepat, rahasia dan aman
menjadi dasar adanya e-commerce. Fenomena baru yang dikenal dalam system
pembayaran, biasanya menggunakan uang (kertas atau logam), kini menjadi uang

21
Sirajuddin Ismail, “PERSEPSI SUKU SASAK TERHADAP KIYAI (KASUS DESA
TANJUNG KECAMATAN TANJUNG KABUPATEN LOMBOK BARAT NUSA TENGGARA
BARAT),” Al-Qalam 4, no. 2 (2018): 1–5.
22
Fakhrizal Idris, Muhammad Yusram, and Azwar Iskandar, “Salat Jumat Daring Dalam
Perspektif Hukum Islam,” BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam 2, no. 1 (2021):
110–129.
23
Jujun Junaedi et al., “Konflik Interpretasi Fatwa MUI Dalam Pelaksanaan Ibadah
Selama Pandemi Covid-19,” Al-Tadabbur 6, no. 2 (2021): 175–189.

47
virtual atau dikenal dengan istilah cryptocurrency. Hingga saat ini uang virtual
memiliki nilai tukar yang lebih tinggi dibandingkan dengan uang biasa. Sebelumnya,
cryptocurrency tidak diakui keabsahannya dalam transaksi ekonomi. Kini, telah ada
ketentuan tentang cryptocurrency yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Perdagangan
Berjangka Komoditi (Bappebti) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis
Penyelenggaraan Pasar Fisik Kripto (crypto asset) di Bursa berjangka.24
Persoalan tentang cryptocurrency ini menimbulkan pro dan kontra di
masyarakat. Mengingat regulasi dalam hukum positif Indonesia masih mengenal
Rupiah sebagai mata uang yang sah dan diakui Negara, berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2011. Demikian pula dalam hukum Islam masih belum menemukan
satu formulasi hukum yang pasti (khilafiyah) 25.
Persoalan-persoalan tersebut diatas, membutuhkan logika rasional dalam
memutuskan dasar hukumnya. Pertimbangan-pertimbangan lain seperti maslahah
mursalah, dan kejelasan maqashid syariah-nya harus diutamakan. Berdasarkan hal-hal
tersebut, logika epistemology yang ditawarkan oleh al-Jabiri sangat relevan dalam
menjawab persoalan hukum yang muncul pada saat ini. Mengetengahkan
penggabungan epistemology bayani-burhani dalam konstruksi hukum Islam dapat
menguatkan rasionalitas hukum Islam yang kini tengah berada di era disrupsi.

SIMPULAN
Al-Jabiri mengkritisi Nalar Arab dengan menyerukan untuk melakukan
penggabungan sintesa antara bayani dan burhani, sehingga teks atau nash
dapat melandasi logika/rasio. Tujuannya adalah apabila dalam melakukan
pendalaman pengetahuan terhadap teks/nash berhasil melepas diri dari tujuan
mengukuhkan nash (bayani) sebagai sumber mutlak, dan diarahkan untuk
mengacu pada setiap realitas actual yang muncul pada masyarakat Islam,
dengan menjadikan nalar dan pembuktian sebagai pemandu (khas burhani).
Sehingga menurut al-Jabiri, pemikiran dan keilmuan Islam kontemporer akan
lebih update dan useable dihadapan realitas-realitas actual kekinian. Dengan
demikian, Islam tidak akan lagi terkesan ketinggalan dalam mengkonsepsikan
isu-isu actual dan kontemporer.
Kondisi masyarakat pada era disrupsi dihadapkan pada berbagai
persoalan hukum yang membutuhkan legitimasi yang rasional dan

24
Teddy Kusuma, “Cryptocurrency Dalam Perdagangan Berjangka Komoditi Di
Indonesia Perspektif Hukum Islam,” TSAQAFAH 16, no. 1 (2020): 109–126.
25
Hardian Satria Jati and Ahmad Arif Zulfikar, “Transaksi Cryptocurrency Perspektif
Hukum Ekonomi Syariah,” Jurnal Al-Adalah: Jurnal Hukum dan Politik Islam 6, no. 2 (2021): 137–
148.

48
mengedepankan maslahah. Al-Jabiri tidak berusaha untuk menjadi legitimator
teks, akan tetapi terus mendorong pemikiran dan keilmuan Islam untuk
berdialog dengan ilmu antropologi, sosiologi, fisafat, teknologi, ekonomi,
politik dan sebagainya. Sehingga epistemology yang ditawarkan oleh al-Jabiri
dapat membantu untuk menciptakan konstruksi hukum Islam yang solutif dan
aplikatif sehingga dapat terwujud Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Nurlaelah. “Al-Jabiri Dan Kritik Nalar Arab (Sebuah Reformasi Pemikiran
Islam).” Aqidah-Ta: Jurnal Ilmu Aqidah 1, no. 1 (2015): 163–185.
Al-Jabiri, Mohammad Abed. Post Tradisionalisme Islam. Translated by Ahmad Baso.
Yogyakarta: LkiS, 2000.
Amien, Miska Muhammad. Epistemologi Islam: Penghantar Filsafat Pengetahuan Islam.
Universitas Indonesia, 1983.
Faisol, M. Struktur Nalar Arab-Islam Menurut Abid Al-Jabiri. Tsaqafah, 6 (2), 335, 2010.
Idris, Fakhrizal, Muhammad Yusram, and Azwar Iskandar. “Salat Jumat Daring Dalam
Perspektif Hukum Islam.” BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam 2,
no. 1 (2021): 110–129.
Ismail, Sirajuddin. “PERSEPSI SUKU SASAK TERHADAP KIYAI (KASUS DESA
TANJUNG KECAMATAN TANJUNG KABUPATEN LOMBOK BARAT NUSA
TENGGARA BARAT).” Al-Qalam 4, no. 2 (2018): 1–5.
Jati, Hardian Satria, and Ahmad Arif Zulfikar. “Transaksi Cryptocurrency Perspektif
Hukum Ekonomi Syariah.” Jurnal Al-Adalah: Jurnal Hukum dan Politik Islam 6,
no. 2 (2021): 137–148.
Junaedi, Jujun, Mukhlis Aliyudin, Dede Sutisna, and Prita Priantini NC. “Konflik
Interpretasi Fatwa MUI Dalam Pelaksanaan Ibadah Selama Pandemi Covid-
19.” Al-Tadabbur 6, no. 2 (2021): 175–189.
Khairina, Arini Izzati. “Kritik Epistimologi Nalar Arab Muhammad Abed Al-Jabiri.”
El-Wasathiya: Jurnal Studi Agama 4, no. 1 (2016): 103–114.
Kholis, Nur. “Konsep Epistemologi Hukum Islam: Perspezktif Muhammad Abed Al-
Jabiri.” Jurnal Fenomena 2, no. 1 (2004).
Kusuma, Teddy. “Cryptocurrency Dalam Perdagangan Berjangka Komoditi Di
Indonesia Perspektif Hukum Islam.” TSAQAFAH 16, no. 1 (2020): 109–126.
Mubin, Fatkhul. Nalar Bayani Irfani dan Burhani dan Implikasinya Terhadap Keilmuan
Pesantren. Preprint. Open Science Framework, June 6, 2020. Accessed November
2, 2021. https://osf.io/ptcse.

49
Muhammadun, Muhammadun. “Kritik Nalar Al-Jabiri; Bayani, Irfani Dan Burhani
Dalam Membangun Islamic Studies Integrasi-Interkoneksi.” Eduprof: Islamic
Education Journal 1, no. 2 (2019): 133–164.
Muslih, Mohammad. FILSAFAT ILMU; Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma, Dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Vol. 1. LESFI, 2004.
Peribadi, Muhammad Arsyad, and La Ode La Patuju. EPISTEMOLOGI PERGERAKAN
INTELEKTUAL DARI MASA KE MASA: Sebuah Ulasan Komparatif. Penerbit
Adab, 2021.
Ridwan, Ahmad Hasan. Dasar-Dasar Epistemologi Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Rohmanu, Abid. Kritik Nalar Qiyasi Al-Jabiri: Dari Nalar Qiasi Bayani Ke Nalar Qiayasi
Burhani. STAIN Po Press, 2014.
Rozi, Achmad Bahrur. “Menimbang Gagasan Epistemologi Islam Al-Jabiri Sebagai
Solusi Kebangkitan Islam Modern.” EMPIRISMA: JURNAL PEMIKIRAN DAN
KEBUDAYAAN ISLAM 27, no. 2 (2018).

50

Anda mungkin juga menyukai