Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FIQIH MUAMALAH

“ AKAD JASA “

OLEH

KELOMPOK 5

INDRIANI SAFITRI (90200119061)

ENGRID ENGRIO JUNIAR (90200119069)

HARRY MUHAMMAD ANIS (90200119048)

PRODI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR


KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang. Kami
panjatkan puji syukur kehadirat-Nya telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inaya-Nya
kepada kami sehingga kami bias menyelesaikan tugas makalah mata kuliah “Fiqih
Muamalah”.

Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari berbagai
pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari segala hal tersebut, kami sadar sepenuhnya bahwa masi ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya kami dengan lapang
dada menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini bisa memberikan manfaat maupun
inspirasi untuk pembaca.

Samata, 2021-05-14

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii

BAB I ................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ................................................................................................................ 1

A.Latar belakang........................ ........................................................................................ 1

B.Rumusan masalah.................... ....................................................................................... 1

C.Tujuan penulisan...................... ...................................................................................... 1

BAB II .................................................................................................................................. 2

PEMBAHASAN ................................................................................................................... 2

A.Hawalah..................................... ..................................................................................... 2

B.Wadiah....................................... ..................................................................................... 3

C.Rahn (Gadai)............................. ..................................................................................... 5

D.Wakalah....................................... ................................................................................... 7

BAB III ............................................................................................................................... 11

PENUTUP .......................................................................................................................... 11

A.Kesimpulan............................... ................................................................................... 11

B.Saran......................................... .................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Muamalah merupakan aktivitas manusia yang berkaitan dengan tindakan hukum
dalam persoalan-persoalan keduniaan, maka sangat diperlukan untuk mengetahui beberapa
persoalan yang berkaitan dengan pemikiran muamalah. Berkaitan langsung dengan pemikiran
ekonomi Islam yang merupakan prasyarat dasar yang mesti diidentifikasi dan dipenuhi
sebelum memasuki tahapan implementasi pengembangan maumalah atau ekonomi Islam.

Muamalah dalam Islam dilandasi pemikiran bahwa setiap kegiatan dan aktivitas
manusia memiliki dimensi “ibadah” yang dapat diimplementasikan pada setiap level
kegiatan. Dengan aqidah yang benar akan dapat menghasilkan perbuatan baik yang
mencerminkan suatu akhlak mulia.

Kesuksesan dalam aspek material tidaklah bermakna apabila mengakibatkan


kerusakan dalam aspek kemanusiaan lainnya seperti persaudaraan dan moralitas.Dalam
rangka penyelarasan kegiatan yang berbeda, perlu ada sistem yang dilengkapi dengan hukum
syariah yang dilaksanakan selaras dengan hukum positif yang berlaku dalam suatu sistem
kemasyarakatan.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Hawalah ?
2. Apa yang dimaksud dengan Wadiah ?
3. Apa yang dimaksud dengan Rahn (Gadai) ?
4. Apa yang dimaksud dengan Wakalah ?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Hawalah.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Wadiah.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Rahn (Gadai).
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Wakalah.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hawalah
a. Pengertian Hawalah
Dalam bahasa, kata “al-hiwalah” dalam huruf ha’ akan dibaca kasrah atau
kadang ada juga yang dibaca fathah, dan berasal dari kata “at-tahawwul” yang artinya
pemidahan/pengalihan. Ada juga Orang Arab yang mengatakan “Hala ‘anil’ahdi”
yaitu melepaskan dari tanggung jawabnya. Abdurrahman Al-Jaziri juga berpendapat
bahwa dalam bahasa al-hiwalah merupakan “Perpindahan dari tempat lama ke tempat
yang baru”.
Hawalah (Bahasa Arab: ‫ )ﺣﻮٵﻟﻪ‬bermakna “mengalihkan” atau “memindahkan”.
Di dalam istilah ilmu fiqih hawalah berarti pengalihan penagihan hutang dari orang
yang berhutang kepada orang yang menanggung hutang tersebut.
b. Rukun dan Syarat Hawalah
Syarat yang harus dipenuhi untuk terjadinya pemindahan hutang dari pihak
penghutang kepada pihak ketiga adalah sebagai berikut:
 Kerelaan dari Muhil (orang yang berhutang), karena kerelaan dari seorang
muhil merupakan syarat terjadinya kontrak hawalah.
 Adanya persetujuan dari pemberi hutang atau Muhtal yang haknya dialihkan
kepada orang lain.
 Keberadaan hutang tetap di dalam jaminan atau dijamin pelunasannya.
 Adanya kesepakatan antara orang yang menanggung hutang (Muhal alaih)
dengan orang yang mengalihkan hutang (Muhil).
c. Jenis Hawalah
 Hawalah Mutlaqoh
Hawalah muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang mengalihkan
kewajiban bayar hutangnya kepada pihak ketiga tanpa didasari adanya hutang
pihak ketiga dengan orang yang memberi hutang.
 Hawalah Haq
Hawalah Haq' adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada
piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal
ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan

2
haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang
tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang.
d. Landasan hukum
Landasan hukum Hawalah terdapat pada QS-Al-Maidah ayat 1 yang artinya
berbunyi “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”

B. Wadiah
a. Pengertian Wadiah
Wadi’ah berasal dari wada’asy syai-a, yang artinya meninggalkan atau
menitipkan sesuatu pada orang lain yang sanggup menjaga sebagai titipan murni dari
satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
Dalam ekonomi syariah, wadiah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan
dikembalikan setiap saat nasabah yang bersangkutan menghendaki. Bank
bertanggungjawab atas pengembalian titipan tersebut.
Wadiah merupakan akad tabarru’at (tolong menolong atau saling membantu),
sehingga masuk dalam kategori akad nonprofit. Namun, akad ini bisa menjadi akad
mu’awadhah (transaksi pertukaran) atau tijarah (transaksi motif profit) jika disepakati
ada skema bisnis berupa jual beli manfaat barang (sewa fasilitas) dan/atau jual beli
manfaat perbuatan (jasa) atas penitipan sesuatu tersebut.
b. Rukun dan Syarat Wadiah
Rukun :
 Adanya ijab dan qabul (shighat)
 Harta atau barang yang bisa dititipkan hanyalah barang yang bisa disimpan.
Barang yang tidak dapat disimpan seperti benda yang jatuh ke dalam air atau
hewan yang tengah kabur ke alam liar tentu tidak dapat dititipkan.
 Harta atau barang yang dititipkan harus halal.
 Barang yang dititipkan adalah barang yang memiliki nilai atau qimah sehingga
dapat dilihat sebagai maal.

3
 Untuk melakukan wadiah, harus ada orang yang menitipkan barang, orang
yang dititipkan, wadiah atau barang yang dititipkan, dan ijab qabul (sighah
titipan).
Syarat :
 Baik orang yang menitipkan atau orang dititipkan keduanya harus berakal
 Kedua belah pihak harus telah baligh, dan mumayiz. Namun, ada ulama yang
mengatakan bahwa anak dibawah umur boleh melakukan akad wadiah selama
tidak ada syarat dan ketentuan pedagangan jual beli yang sulit dipahami oleh
anak kecil tersebut.
 Harta atau barang yang dititipkan harus dapat diberikan secara fisik
c. Jenis Wadiah
 Wadiah Yad Amanah
Wadiah yang asli, tidak terjadi pengubahan esensi akad, titipan yang
berlaku sesuai kaidah asal titipan, yakni menjaga amanah. Penerima titipan
tidak mempergunakan barang titipan dan tidak bertanggung jawab atas
kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini
bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam
memelihara titipan tersebut.
 Wadiah yad dhamanah
Wadiah dimana penerima titipan dapat memanfaatkan barang titipan
tersebut dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan
tersebut secara utuh setiap saat kala si pemilik menghendakinya.
Wadiah yad dhamanah ini terjadi tahawwul al aqd (perubahan akad)
dari akad titipan menjadi akad pinjaman oleh karena titipan tersebut
dipergunakan oleh penerima titipan. Dengan demikian, pada skema wadiah
yad dhamanah ini berlaku hukum pinjaman qardh (jika barang titipan
dihabiskan) atau pinjaman ariyah (jika barang titipan tidak dihabiskan).
d. Landasan hukum
Landasan hukum dari transaksi wadiah sendiri berasal dari Q.S. An-Nisa :
[58] yang memiliki arti “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum
di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”

4
e. Faktor batalnya akad wadiah
 Meninggalnya orang yang menitipkan barang atau orang yang dititipkan
barang.
 Adanya pengembalian barang dari orang yang dititipkan baik itu sesuai
permintaan orang yang menitipkan maupun tidak.
 Apabila salah satu pihak berada dalam kondisi koma berkepanjangan, atau
hilang akal.
 Terjadi hajr atau legal restriction yang di mana hilangnya kompetensi penitip
ataupun yang dititipi mengalami kebangkrutan (pailit).
 Apabila terjadi pemindahan kepemilikan, yaitu pihak yang dititipi mentransfer
hak milik barang kepada pihak lain dengan cara dijual atau diberikan sebagai
hadiah.

C. Rahn (Gadai)
a. Pengertian Rahn (Gadai)
Gadai atau al-rahn (‫ )اﻟرهن‬secara bahasa dapat diartikan sebagai (al stubut,al
habs) yaitu penetapan dan penahanan. Istilah hukum positif di indonesia rahn adalah
apa yang disebut barang jaminan, agunan, rungguhan, cagar atau cagaran, dan
tanggungan.
Dalam fiqh sunnah Gadai ialah : “Menjadikan barang yang mempunyai nilai
harta menurut pandangan syara‟ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang
bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil (manfaat) barang itu”.
Dalam hukum adat gadai di artikan sebagai menyerahkan tanah untuk menerima
sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual (penggadai) tetap berhak atas
pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.
Al-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam atas pinjaman
yang diterimanya. Barang yang di tahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan
demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali
seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn
adalah semacam jaminan hutang atau gadai. Pemilik barang gadai disebut rahin dan
orang yang mengutangkan yaitu orang yang mengambil barang tersebut serta
menahannya disebut murtahin, sedangkan barang yang di gadaikan disebut rahn.

5
b. Rukun dan syarat Rahn (Gadai)
Dalam melaksanakan suatu perikatan terdapat rukun dan syarat gadai yang
harus dipenuhi. Secara bahasa rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu
pekerjaan. Sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus
dipindahkan dan dilakukan. Gadai atau pinjaman dengan jaminan benda memiliki
beberapa rukun, antara lain :
 Akad dan ijab Kabul
 Aqid, yaitu yang menggadaikan dan yang menerima gadai.
 Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda yang dijadikan
jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus
dibayar.
Syarat Rahn antara lain :
 Rahin dan murtahin
Tentang pemberi dan penerima gadai disyaratkan keduanya merupakan
orang yang cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan
ketentuan syari'at Islam yaitu berakal dan baligh.
 Sighat
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh
memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual
beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
 Marhun bih (utang)
Menyangkut adanya utang, bahwa utang tersebut disyaratkan
merupakan utang yang tetap, dengan kata lain utang tersebut bukan
merupakan utang yang bertambah-tambah atau utang yang mempunyai bunga,
sebab seandainya utang tersebut merupakan utang yang berbunga maka
perjanjian tersebut sudah merupakan perjanjian yang mengandung unsur riba,
sedangkan perbuatan riba ini bertentangan dengan ketentuan syari'at Islam.
c. Manfaat Rahn (Gadai)
Manfaat yang dapat di ambil oleh bank dari prinsip ar-rahn adalah:
 Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan
fasilitas pembiayaan yang diberikan.

6
 Memberikan keamanan bagi segenap penabung dan pemegang deposito bahwa
dananya tidak akan hilang begitu saja. Jika nasabah peminjam ingkar janji, ada
suatu asset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.
 Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, maka akan sangat
membantu saudara kita yang kesulitan dana terutama didaerah-daerah.
d. Resiko Rahn (Gadai)
Adapun resiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila diterapkan sebagai
produk adalah:
 Resiko tak terbayarnya hutang nasabah (wanprestasi)
 Resiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.
e. Landasan hukum
Akad rahn diperbolehkan oleh syara’ dengan berbagai dalil Al-Qur’an ataupun
Hadits nabi SAW. Begitu juga dalam ijma’ ulama’. Diantaranya QS-Al-Baqarah ayat
283 yang artinya berbunyi : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara
tidak tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh piutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya”

D. Wakalah
a. Pengertian Wakalah
Dari sekian banyak akad-akad yang dapat diterapkan dalam kehidupan
manusia. Wakalah termasuk salah satu akad yang menurut kaidah Fiqh Muamalah,
akad Wakalah dapat diterima. Wakalah itu berarti perlindungan (al-hifzh),
pencukupan (al-kifayah), tanggungan (al-dhamah), atau pendelegasian (al-tafwidh),
yang diartikan juga dengan memberikan kuasa atau mewakilkan. Adapula pengertian-
pengertian lain dari Wakalah yaitu:
 Wakalah atau wikalah yang berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian
mandat.
 Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama
kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan (dalam
hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau

7
wewenang yang diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah
dilaksanakan sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab
atas dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau
pemberi kuasa.

b. Rukun dan syarat wakalah


 Orang yang mewakilkan (Al-Muwakkil)
 Seseoarang yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki
hak untuk bertasharruf pada bidang-bidang yang didelegasikannya.
Karena itu seseorang tidak akan sah jika mewakilkan sesuatu yang
bukan haknya.
 Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi
lain juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau
mukallaf. Tidak boleh seorang pemberi kuasa itu masih belum dewasa
yang cukup akal serta pula tidak boleh seorang yang gila. Menurut
pandangan Imam Syafi’I anak-anak yang sudah mumayyiz tidak
berhak memberikan kuasa atau mewakilkan sesuatu kepada orang lain
secara mutlak. Namun madzhab Hambali membolehkan pemberian
kuasa dari seorang anak yang sudah mumayyiz pada bidang-bidang
yang akan dapat mendatangkan manfaat baginya.
 Orang yang diwakilkan. (Al-Wakil)
 Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-
aturan yang mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum
menjadi salah satu syarat bagi pihak yng diwakilkan.
 Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk
menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. ini berarti
bahwa ia tidak diwajibkan menjamin sesuatu yang diluar batas, kecuali
atas kesengajaanya,
 Obyek yang diwakilkan.
 Obyek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain,
seperti jual beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada
dalam kekuasaan pihak yang memberikan kuasa.

8
 Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang
bersifat ibadah badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan
sesuatu yang bersifat ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah,
dan sejenisnya. Selain itu hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada campur
tangan pihak yang diwakilkan.
 Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga obyek
yang akan diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar Syari’ah
Islam.
 Shighat
 Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan
penerima kuasa. Dari mulai aturan memulai akad wakalah ini, proses
akad, serta aturan yang mengatur berakhirnya akad wakalah ini.
 Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada
penerima kuasa
 Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan
atas pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.
c. Jenis wakalah
Menurut Ayub (2009), terdapat tiga jenis wakalah, yaitu sebagai berikut:
 Al-wakalah al-khosshoh, adalah prosesi pendelegasian wewenang untuk
menggantikan sebuah posisi pekerjaan yang bersifat spesifik. Dan
spesifikasinyapun telah jelas, seperti halnya membeli Honda tipe X atau
menjadi advokat untuk menyelesaikan kasus tertentu.
 Al-wakalah al-ammah, adalah prosesi pendelegasian wewenang bersifat
umum, tanpa adanya spesifikasi. Seperti belikanlah aku mobil apa saja yang
kamu temui.
 Al-wakalah al-muqoyyadoh dan al-wakalah mutlaqoh, adalah akad dimana
wewenang dan tindakan si wakil dibatasi dengan syarat-syarat tertentu.
Misalnya juallah mobilku dengan harga 100 juta jika kontan dan 150 juta jika
kredit. Sedangkan al-wakalah al-muthlaqoh adalah akad wakalah dimana
wewenang dan wakil tidak dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu,
misalnya juallah mobil ini, tanpa menyebutkan harga yang diinginkan.

9
d. Ketentuan Berakhirnya wakalah
Wakalah bukanlah akad yang berlaku abadi, tetapi bisa menjadi batal atau dibatalkan.
Menurut Dewan Syariah Nasional (2006), terdapat beberapa hal yang menyebabkan
wakalah menjadi batal dan berakhir, yaitu sebagai berikut:

 Ketika salah satu pihak yang berwakalah itu wafat atau gila.
 Apabila maksud yang terkandung dalam wakalah itu sudah selesai
pelaksanaannya atau dihentikan maksud dari pekerjaan tersebut.
 Diputuskannya wakalah tersebut oleh salah satu pihak yang menerima kuasa
dan berakhir karena hilangnya kekuasaannya atau hak pemberi kuasa atas
sesuatu obyek yang dikuasakan.
 Dihentikannya aktivitas/pekerjaan dimaksud oleh kedua belah pihak.
 Pembatalan akad oleh pemberi kuasa terhadap penerima kuasa, yang diketahui
oleh penerima kuasa.
 Penerima kuasa mengundurkan diri dengan sepengetahuan pemberi kuasa.
 Gugurnya hak pemilikan atas barang bagi pemberi kuasa
e. Landasan hukum
Landasan hukum wakalah salah satunya QS-Yusuf ayat 55 yang artinya :”
Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir) Sesungguhnya aku adalah orang yang
pandai menjaga, lagi berpengetahuan”.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hawalah (Bahasa Arab: ‫ )ﺣﻮٵﻟﻪ‬bermakna “mengalihkan” atau “memindahkan”. Di
dalam istilah ilmu fiqih hawalah berarti pengalihan penagihan hutang dari orang yang
berhutang kepada orang yang menanggung hutang tersebut.

Dalam ekonomi syariah, wadiah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan
dikembalikan setiap saat nasabah yang bersangkutan menghendaki. Bank bertanggungjawab
atas pengembalian titipan tersebut.

Gadai atau al-rahn (‫ )اﻟرهن‬secara bahasa dapat diartikan sebagai (al stubut,al habs)
yaitu penetapan dan penahanan. Istilah hukum positif di indonesia rahn adalah apa yang
disebut barang jaminan, agunan, rungguhan, cagar atau cagaran, dan tanggungan.

Wakalah itu berarti perlindungan (al-hifzh), pencukupan (al-kifayah), tanggungan (al-


dhamah), atau pendelegasian (al-tafwidh), yang diartikan juga dengan memberikan kuasa
atau mewakilkan.

B. Saran
Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila
ada saran dan kritik yang ingin di sampaikan, silahkan sampaikan kepada kami.

Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat mema'afkan dan memakluminya, karena
kami adalah hamba Allah yang tak luput dari kesalahan.

11
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Akhmad Farroh.2018. Fiqh Muammalah dari Klasik hingga Kontemporer. Malang:
UIN-Maliki Press

https://viewislam.wordpress.com/2009/04/16/konsep-akad-wakalah-dalam-fiqh-muamalah/

https://kamus.tokopedia.com/w/wadiah/

12

Anda mungkin juga menyukai