Anda di halaman 1dari 6

Nama : Putu Dicky Ari Pratama

Kelas : D1 Akuntansi/ VI

NPM : 1833121357

RMK Bab VII Manajemen Perpajakan

Optimalisasi Pembayaran Pajak untuk Menghemat Pajak

A. Pendahuluan
Optimalisasi pembayaran pajak merupakan langkah pengamanan yang harus dilakukan
oleh wajib pajak terkait transaksi dengan pihak ketiga dan penjagaan cash flow perusahaan,
tujuannya untuk penghematan pajak. Optimalisasi pembayaran pajak dapat dilakukan
sebagai (1) Pengamanan kontrak-kontrak bisnis dari potensi pemotongan withholding tax.
(2) Optimalisasi pengkreditan Pajak Penghasilan yang telah dibayar. (3) Pengajuan
permohonan penurunan angsuran PPh Pasal 25. (4) Pengajuan Surat Keterangan Bebas PPh
Pasal 22 dan PPh Pasal 23. (5) Mengangsur atau menunda pembayaran pajak. (6)
Rekonsiliasi atau Ekualisasi SPT PPh badan dengan SPT PPh Pasal 21, PPh Pasal 23/26 dan
SPT Masa PPN.
B. Pengamanan Kontrak-Kontrak Bisnis dari Potensi Pemotongan Withholding Tax
Dalam pengamanan kontrak-kontrak bisnis dari potensi pemotongan withholding tax,
terdapat dua pilihan perlakuan perpajakan atas transaksi pada saat pemeriksaan oleh fiskus,
yang dimana perusahaan dikenai kewajiban membayar withholding tax ditambah denda
keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak. Berikut perlakuan
perpajakannya, (1) Jika withholding tax tersebut dibiayakan dalam laporan keuangan fiskal,
maka nilai transaksi dalam kontrak yang akan dibayar tersebut di gross up, sehingga jumlah
transaksi dalam kontrak sudah termasuk pajak yang harus dipungut atas jumlah pajak yang
dibayarkan boleh dibebankan sebagai biaya kecuali untuk PPh Final dan dividen, selain itu
perusahaan masih bisa menghemat pajak. (2) Pilihan lain selain diatas adalah apabila
perusahaan membayarkan withholding tax, dalam hal ini withholding tax yang dibayarkan
ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perusahaan karena tidak di gross up.
C. Optimalisasi Pengkreditan PPh yang Telah Dibayar
Kredit pajak merupakan jumlah pembayaran pajak yang dibayar oleh wajib pajak
setelah ditambah dengan pajak yang dipotong oleh pihak lain dengan sifat tidak final.
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam optimalisasi kredit pajak yaitu, (1)
Penyelenggaraan administrasi harus tertata dengan baik dan tertib, baik dalam hal

1
perencanaannya maupun kelengkapan dokumentasinya. (2) Memenuhi kelengkapan formal
pada saat pemeriksaan berlangsung setiap kali dilakukan pemotongan atau pemungutan
pajak oleh pihak lain yang sebaiknya langsung diminta Bukti Pemotongan atau Pemungutan
PPhnya. Hal ini dikarenakan penundaan permintaan tersebut cukup beresiko seperti
kehilangan dokumen atau kelupaan dokumen.
D. Pengajuan Permohonan, Penurunan Angsuran PPh Pasal 25
Sesuai Keputusan Dirjen Pajak No. 537/PJ./2000, wajib pajak dapat mengajukan
permohonan pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 secara tertulis kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar yang disertai proyeksi laba akhir tahun
dan alasan terjadinya penurunan laba, harus memenuhi syarat yaitu, (1) Apabila sesudah 3
bulan lebih berjalannya tahun pajak, wajib pajak dapat menunjukkan Pajak Penghasilan yang
akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari Pajak Penghasilan yang
terutang. (2) Pengajuan permohonan pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25
harus disertai dengan perhitungan besarnya Pajak Penghasilan yang akan terutang
berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima dan besarnya Pajak Penghasilan Pasal
25 untuk tahun yang tersisa.
E. Pengajuan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23
Dalam PPh Pasal 22, Pasal 23 beberapa jenis withholding tax dapat diajukan
permohonan Surat Keterangan Bebas oleh wajib pajak yang memenuhi kriteria diberikan
Dirjen Pajak melalui Surat Keterangan Bebas (PER Dirjen Pajak No. 1/PJ./2011) yaitu, (1)
Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak
Penghasilan. (2) Wajib pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final.
(3) Surat Keterangan Bebas diberikan kepada wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan
dapat membuktikan tidak terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal,
kompensasi kerugian fiskal, dan dapat membuktikan Pajak Penghasilan yang akan dibayar
lebih besar dari Pajak Penghasilan yang terutang, serta wajib pajak penghasilannya
dikenakan pajak bersifat final.
F. Mengangsur atau Menunda Pembayaran Pajak
Dalam mengajukan permohonan mengangsur atau menunda pembayaran pajak, wajib
pajak diberikan hak semua jenis ketetapan pajak, yang berupa SKP maupun STP, yang diatur
dalam Pasal 19 ayat (1) KUP No. 28 Tahun 2007 mengatur pengenaan sanksi administrasi
berupa bunga, dalam hal apa wajib pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda
pembayaran pajak. Untuk mengetahui yang lebih menguntungkan wajib pajak dalam

2
melunasi, mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan menggunakan
benchmarking suku bunga pinjaman bank.
G. Rekonsiliasi/Equalisasi SPT PPh Badan dengan SPT Lainnya dan Laporan
Keuangan (Fiskal)
Perusahaan dapat melakukan prosedur pengecekan dengan menggunakan teknik
rekonsiliasi/equalisasi secara periodic antara elemen-elemen yang terdapat di SPT Badan
dan laporan keuangan fiskal dengan elemen-elemen yang terdapat di SPT PPh Pasal 21, SPT
PPh Pasal 23, dan SPT Masa PPN. Berikut rekonsiliasi/equalisasi dari SPT PPh Badan
dengan SPT PPN, dimana rekonsiliasi dilakukan dalam transaksi pembelian dan penjualan
serta PPN masukan dari transaksi pembelian dan PPN keluaran dari omzet penjualan. Dalam
equalisasi, buku pembelian dan buku penjualan dengan SPT Masa PPN sangat penting bagi
perusahaan, karena dalam buku pembelian dan penjualan bisa menunjukkan angka yang
sama atau belum. Rekonsiliasi/equalisasi SPT Badan dengan SPT PPh Pasal 21, merupakan
prosedur pengecekan yang dilakukan oleh KPP terhadap jumlah Biaya Gaji dan Tunjangan
serta biaya lainnya yang dibayarkan kepada pihak perorangan yang berkaitan dengan
hubungan kerja, tercantum dalam SPT PPh Badan dengan jumlah Dasar Pengenaan Pajak
yang tercantum dalam SPT PPh Pasal 21. Rekonsiliasi/equalisasi SPT PPh Badan dengan
SPT PPh Pasal 23, ini berkaitan dengan prosedur pengecekan yang dilakukan oleh KPP
terhadap jumlah biaya sewa, bunga, dividen, royalti, dan jasa lainnya dipotong PPh Pasal 23
pada SPT PPh Badan dengan jumlah Dasar Pengenaan Pajak.
H. Kebijakan Perpajakan Lainnya untuk Penghematan PPh atas Transaksi Tertentu
Perlakuan perpajakn PPh Badan yang berkaitan, dengan transaksi tertentu, yaitu (1)
Revaluasi Aktiva Tetap, di tahun 2008 mengalami perubahan karena peraturan perpajakan
terbaru itu diatur dalam Peraturan Menkeu No. 79/PMK.03/2008 tanggal 23 Mei 2008, yang
mencabut Keputusan Menkeu No. 486/KMK.03/2002 tanggal 28 November 2002 jo. KEP-
519/PJ./2002 jo. SE-03/PJ.3J/2002, dengan ketentuan (a) wajib pajak badan dalam negeri
dan BUT dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan yang berada di
Indonesia. (b) Aktiva tetap yang dinilai kembali. (c) Penilaian kembali dilakukan oleh
perusahaan penilai yang diakui pemerintah. (d) Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva
tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal semula, dikenakan Pajak Penghasilan final
sebesar 10%. (e) Perusahaan yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan
melunasi pembayaran Pajak Penghasilan final yang terutang. (f) Sejak bulan dilakukannya
penilaian kembali aktiva tetap perusahaan. (g) Perhitungan penyusutan dimulai sejak bulan
dilakukannya peninlaian aktiva tetap perusahaan. (h) Untuk bagian tahun pajak yang

3
dilakukannya kembali penilaian aktiva tetap perusahaan. (i) Perhitungan penyusutannya
dihitung secara prorate sesuai dengan banyaknya bulan. (j) Bagi wajib pajak yang
mendapatkan persetujuan penilaian kembali aktiva tetap. (k) Ketentuan sanksi di atas tidak
berlaku. (l) Selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap dapat dikapitalisasi menjadi modal
saham, (m) Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari
kapitalisasi selisih lebih revaluasi aktiva tetap yang dibagikan kepada pemegang saham. (2)
Utang/Piutang Kepada Pemegang Saham, pinjaman yang diberikan oleh pemegang
saham kepada perusahaan akan terutang bunga dengan tingkat suku bunga wajar. Apabila
pinjaman yang diterima wajib pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang sahamnya
tidak memenuhi ketentuan, maka pinjaman terutang menjadi bunga dengan tingkat suku
bunga wajar. (3) Bunga Pinjaman, dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang pinjaman
digunakan oleh wajib pajak untuk kegiatan operasional perusahaan. Bila deposito lebih besar
dari utang, hal tersebut terjadi apabila wajib pajak dapat memperkecil PKP secara tidak
wajar, karena bunga yang terutang atas pinjaman dikurangkan sebagai biaya, sedangkan
bunga yang diterima berasal dari penempatan dana dalam bentuk deposito berjangka tidak
ditambahkan dalam perhitungan PKP karena telah dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final sebesar 15%. Bunga pinjaman dalam masa konstruksi sebagai barang dagangan
harus digabungkan sebagai komponen harga pokok tanah dalam menghitung laba bruto
usaha dari wajib pajak yang bergerak di bidang usaha real estate (SE Dirjen Pajak No.
04/PJ.42/1996). Bunga pinjaman dari pihak ketiga yang dapat dibiayakan, dimana bunga
yang dibayarkan atas pinjaman wajib pajak dari pihak ketiga dapat dibebankan sebagai biaya
sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 yang telah diubah dengan
Undang-Undang No. 36 Tahun 2008. Pemberian pinjaman kepada karyawan, dimana
pemberian pinjaman oleh perusahaan kepada karyawan dengan tingkat suku bunga lebih
rendah dari suku bunga yang berlaku dipasar, merupakan koreksi fiskal bagi perusahaan
yang memberikan pinjaman karena tidak boleh dibiayakan. Bunga pinjaman untuk membeli
saham, dimana digunakan untuk membeli saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya
sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan objek pajak dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf f. Bunga pinjaman yang dibayar ke Bank di Luar Negeri, dimana pajak penghasilan
yang terutang atas penghasilan kecuali dividen yang ditanggung oleh pemberi penghasilan,
dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang pajak tersebut ditambahkan pada penghasilan
yang dipakai sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 26 tersebut (PP No. 138 Tahun 2000). (4)
Pencadangan/Penghapusan Piutang Tak Tertagih, sesuai ketentuan UU PPh 2008 Pasal
9 (1) huruf c, jenis jasa yang diperkenankan menyisihkan cadangan diperluas. Seperti (a)

4
Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dengan pembentukan atau pemupukan dana
cadangan, (b) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan
sebagai biaya, (c) Besarnya cadangan piutang tak tertagih. Piutang yang nyata-nyata tidak
dapat ditagih yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (Peraturan Menkeu No.
105/PMK.03/2009 dan No.57/PMK.03/2010), syaratnya yaitu (a) Telah dibebankan sebagai
biaya dalam laporan laba rugi komersial. (b) Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada Dirjen Pajak berbentuk hard copy atau soft
copy. (c) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah diserahkan perkara
penagihannya kepada pengadilan negeri pemerintah yang menangani piutang negara atau
terdapat perjanjian mengenai penghapusan piutang antara kreditur dan debitur atas piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. (5) Biaya Pra-Operasi (Pre-Operating Cost/Biaya
Pendirian), biaya pra operasi dikeluarkan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa
manfaat lebih dari satu tahun yang pembebanannya melalui amortisasi sesuai dengan masa
manfaatnya. Amortisasi atas biaya tersebut dapat dilakukan dengan metode garis lurus
maupun dengan metode saldo menurun serta pada akhir tahun masa manfaat diamortisasi
sekaligus. Pengeluaran untuk biaya pendirian suatu perusahaan dibebankan pada tahun
terjadinya pengeluaran atau amortisasi sesuai dengan kelompok harta tak berwujud, masa
manfaat, dan tarif yang ditetapkan dengan ketentuan dalam Pasal 11 A ayat (2) UU PPh No.
36 Tahun 2008. (6) Reimbursement, yaitu penggantian pembayaran sebesar jumlah yang
nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga (SE Dirjen Pajak No.
53/PJ./2009). Transaksi reimbursable items merupakan pengeluaran yang sudah ditalangi
terlebih dahulu oleh pihak lain kemudian dimintakan penggantian ke perusahaan. Secara
fiskal transaksi reimbursement dituntut senantiasa konsisten antara substansi, ketentuan
formal dalam kontrak, pembukuan dan dokumentasinya. (7) Pembukuan dalam Valuta
Asing, wajib pajak dapat menyelenggarakan pembukuan dengan bahasa asing dan satuan
mata uang selain Rupiah yaitu bahasa inggris dan satuan mata uang Dollar AS, akan tetapi
wajib pajak harus terlebih dahulu mendapat izin tertulis dari menteri keuangan, kecuali bagi
wajib pajak dalam rangka Kontrak Karya atau dalam Kontraktor Kontrak Kerja Sama. (8)
Transaksi dalam Mata Uang Asing, bagi wajib pajak yang diizinkan menggunakan bahasa
inggris dan satuan mata uang Dollar AS dalam menyelenggarakan pembukuan, terdapat
ketentuan konversi ke satuan mata uang Dollar AS yaitu, (a) Pada awal tahun buku, dimana
untuk pertama kali dilakukan dengan bertitik tolak dari neraca akhir tahun buku sebelumnya
dikonversikan ke satuan mata uang Dollar AS dengan menggunakan kurs. (b) Dalam tahun
berjalan, dimana transaksi dilakukan dengan satuan mata uang Dollar AS pembukuannya

5
dicatat sesuai dengan dokumen transaksi yang bersangkutan baik dalam negeri maupun luar
negeri, yang menggunakan satuan mata uang Dollar AS dikonversikan dengan menggunakan
kurs yang berlaku pada saat terjadinya transaksi. Adapun perlakuan akuntansi mengenai
selisih kurs, dimana sesuai dengan ketentuan dalam Paragraf 7 PSAK No. 10 ditentukan
bahwa transaksi dalam mata uang asing harus dibukukan dengan menggunakan kurs pada
saat terjadinya transaksi. Selisih kurs yang disebabkan oleh devaluasi atau depresiasi luar
biasa suatu mata uang asing, dalam Paragraf 20 PSAK No. 10 disebabkan keadaan yang
tidak tersedia fasilitas hedging dan menimbulkan kewajiban yang tidak terselesaikan akibat
perolehan aset yang harus dilunasi dalam mata uang asing. Berikut perlakuan pajak
penghasilan terhadap selisih kurs, (a) Secara umum peraturan perpajakan tentang selisih kurs
diatur dalam PP No. 94 Tahun 2010, (b) Peraturan pelaksanaan perpajakan tentang selisih
kurs diatur dalam surat edaran Dirjen Pajak No. SE-03/P3.31/1997, (c) Perlakuan Pajak
Penghasilan atas laba rugi selisih kurs atas perkiraan utang kepada kantor pusat bagi BUT
(SE.No. 11/PJ.42/2000 dan 08/PJ.42/2000). (9) Rekonsiliasi Fiskal, merupakan sebuah
lampiran SPT Tahunan PPh Badan berupa kertas kerja yang berisi penyesuaian laba rugi
sebelum pajak menurut komersial atau pembukuan. Fiskus menggunakan istilah
penyesuaian fiskal positif dan negatif, dimana penyesuaian fiskal positif merupakan
penyesuaian yang bersifat menambah penghasilan berdasarkan laporan keuangan komersial.
Sedangkan penyesuaian fiskal negatif merupakan penyesuaian penghasilan neto komersial
dalam rangka menghitung PKP yang bersifat mengurangi penghasilan biaya-biaya
komersial. Adapun penerapan tax planning pada UMKM dan aspek keadilan dalam
kebijakan perpajakannya, ketentuan dalam Pasal 31E UU PPh No. 36 Tahun 2008
menyiratkan penerapan WP Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50 miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% sebagai pengusaha
UMKM. Strategi tax planning pada UMKM yaitu menggunakan teknik spin off atau
pemekaran usaha, dengan cara menyebarkan penghasilan menjadi penghasilan dari beberapa
wajib pajak seperti pembentukan anak-anak perusahaan. Aspek keadilan dalam kebijakan
perpajakan UMKM terdapat beberapa bagian yaitu (a) Ukuran keadilan pajak, dimana untuk
mengukur keadilan menggunakan pendekatan yang dapat dijadikan tolak ukur yaitu, benefit
approach dan ability to pay approach. (b) Ketidakadilan horizontal, dimana aspek keadilan
pajak terabaikan dalam perhitungan pajak yang terutang karena tarif yang dikenakan kepada
badan UMKM didasarkan pada peredaran bruto. (c) Ketidakadilan vertikal, dimana PKP
yang lebih besar akan menghasilkan pajak yang sama dengan PKP yang lebih kecil, hal ini
bertentang dengan asas keadilan vertikal.

Anda mungkin juga menyukai