Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KRITIK MATAN

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits

Dosen Pengampu : M. Nasrullah M.Si


Disusun oleh :
Faiz Muhammad Nur (2519004)
Supriyanti (2519019)

Diah Ayu Pertiwi (2519030)

Kelas : Tadris Bahasa Inggris A

JURUSAN TADRIS BAHASA INGGRIS


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2019
KATA PENGANTAR
Dengan rahmat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Makalah ini kami buat
berdasarkan data data dan arahan arahan yang sudah diberikan oleh para pembimbing kami
hingga akhirnya terselesaikan tepat waktu. Tanpa bantuan dari Allah SWT, kami bukanlah
siapa-siapa. Selain itu, kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada orang tua, keluarga,
serta teman-teman yang sudah mendukung hingga titik terakhir ini.

Banyak hal yang akan disampaikan kepada pembaca mengenai “Kritik Matan”. Dalam
hal ini, kami ingin membahas tuntas mengenai pentingnya memahai kritik matan dalam ilmu
hadits.

Kami menyadari jika mungkin ada sesuatu yang salah dalam penulisan, seperti
menyampaikan informasi berbeda sehingga tidak sama dengan pengetahuan pembaca lain.
Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada kalimat atau kata-kata yang salah, karena
tidak ada yang sempurna kecuali Tuhan.

Demikian kami ucapkan terima kasih atas waktu Anda telah membaca hasil karya ilmiah
kami.

Pekalongan, 5 Desember 2019

Penulis

Ulumul Hadits 2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................1
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I : PENDAHULUAN
A Latar Belakang................................................................................................................4
B Rumusan Masalah...........................................................................................................4
C Tujuan Penulisan.............................................................................................................4
BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Sejarah Kritik Matan..............................................................................5


B. Tanda-tanda Kepalsuan Pada Matan...............................................................................6
C. Kaidah-kaidah Kritik Matan...........................................................................................7
D. Tinjauan Atas Kritik Hadits............................................................................................8
E. Berbagai Pendekatan Untuk Melakukan Kritik Matan...................................................9
BAB III : PENUTUP

A Kesimpulan...................................................................................................................10
B Saran.............................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................11

Ulumul Hadits 3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sudah  merupakan kesepakatan kaum muslimin bahwa al-Hadits merupakan sumber


syariat islam kedua setelah al-Qur-an. Oleh karena itu mempelajari hadits-hadits Rasulullah –
shallallahu ‘alaihi wasallam- merupakan kewajiban sebagaimana mempelajari al-Qur-an.Demi
menyempurnakan pengkajian kita terhadap hadits-hadits Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi
wasallam-, dan memudahkan dalam menelaah sunnah yang diwariskan oleh beliau, serta mampu
memilah antara yang shahih dan yang dha’if dari hadits dan sunnah tersebut, maka
dibutuhkan wasilah khusus yang bisa  merealisasikan hal tersebut, wasilah tersebut adalah
‘Ulumul Hadits.
‘Ulumul Hadits merupakan ilmu mulia, barang siapa yang mahir dalam disiplin ilmu ini,
maka sungguh telah mendapatkan kebaikan yang besar, karena ilmu ini merupakan kunci pokok
untuk mempelajari hadits-hadits Nabi, barangsiapa yang mempelajarinya maka akan banyak
berinterakasi dengan sunnah-sunnah Rasulullah, sehingga sangat berpotensi untuk lebih
mengenal sunnah beliau, bahkan tidak menutup kemungkinan akan terbangun sebuah
kemampuan yang luar biasa, yaitu keahlian dalam memilah hadits shahih dan hadits dhaif. Oleh
karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas mengenai urgensi kajian ulumul hadits.

B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

islam tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Al qur’an sebagai sumber
hukum yang pertama dan utama hanya memuat dasar-dasar yang bersifat umum bagi syari;at
islam, tanpa perincian secara detail. Kecuali yang sesuai dengan pokok-pokok yang
bersifat  umum itu, yang tidak pernah berubah karena adanya perubahan zaman dan tidak pula
berkembang karena keragaman pengetahuan dan lingkungan. Karena keadaan al qur’an yang
demikian itu, maka hadist sebagai sumber hukum yang kedua setelah al qur’an , tampil sebagai
penjelas (bayan) terhadap ayat-ayat  al qur’an yang masih bersifat global, menafsirkan yang
masih mubham, menjelaskan yang masih mujmal, membatasi yang mutlak (muqayyad),
mengkhususkan yang umum (‘am), dan menjelaskan hukum-hukum serta tujuan-tujuannya,
demikian juga membawa hukum-hukum  yang secara eksplisit tidak dijelaskan oleh al qur’an.
Hal ini sejalan dengan firman Allah yang artinya: “ Dan Kami turunkan kepadamu Al qur’an ,
agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.” ( Q.S An Nahl : 44)

Ulumul Hadits 4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dan Sejarah Kritik Matan
Dalam literatur Arab, kata naqd digunakan dengan arti “kritik”. Kata ini digunakan oleh
beberapa ulama hadits pada awal abad kedua Hijriah. Dan dalam literatur Arab juga terdapat
ungkapan yang memakai kata naqd dengan beberapa arti, seperti, naqada al kalam wa naqada al
syi’r’, yang artinya, “Dia telah mengkritik bahasanya dan juga puisinya.” Juga ungkapan
‘naqada al darahim’, yang artinya, “Dia memisahkan uang yang baik dari yang buruk.”1
Beberapa ulama hadits menggunakan kata naqd sebagai ilmu yang membahas tentang
kritik hadits, tetapi istilah ini tidak populer di kalangan mereka. Kemudian mereka menamakan
ilmu tersebut dengan sebutan al Jarh wa al Ta’dil, yang berarti ilmu yang menunjukkan
ketidakshahihan dan keandalan dalam hadits.2
Jadi, kritik di sini adalah kritik jalan atau cara yang sampai kepada kita melalui
periwayatan yang disandarkan pada Rasulullah saw. dengan melihat pada kaidah-kaidah dan
syarat-syarat yang harus dipenuhi agar kebenarannya tak diragukan lagi. Melakukan kritik dalam
hadits bisa melalui dua cara yaitu kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal adalah
kritik sanad, yaitu jalan yang sampai kepada orang yang meriwayatkan suatu riwayat. Adapun
kritik internal yaitu kritik matan. Pembagian ini menunjukkan jika para ahli mengatakan tentang
suatu hadis bahwa hadis tersebut shahih isnad, maka belum tentu shahih matan.
Kritik matan hadis adalah sebuah upaya memilah matan yang benar dari yang salah.
Mana yang otentik dari Rasulullah dan yang “palsu” yang bisa jadi disebabkan oleh
kekurangcermatan dalam periwayatan.
Tujuan pokok dari penelitian hadis, baik dari segi sanad maupun matan, adalah untuk
mengetahui kualitas hadits yang bersangkutan. Kualitas hadits sangat perlu diketahui dalam
hubungannya dengan kehujjahan hadis yang bersangkutan.
Adapun awal mula kemunculan kritik hadits telah ada sejak zaman Nabi Muhammad
saw.. Tapi, pada masa itu istilah tersebut hanya bermakna “pergi menemui Nabi untuk
membuktikan sesuatu yang dilaporkan telah dikatakan beliau.” Pada tahap ini ia merupakan

1
Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, penj. A.Yamin, (Jakarta: Pustaka Hidayah,1992) hlm. 81
2
Mustafa Azami, ....,hlm. 82

Ulumul Hadits 5
proses konsolidasi dengan tujuan agar kaum muslimin merasa tentram. Seperti kejadian Dimam
bin Tsa’labah datang menemui Nabi saw. untuk bertanya, “Muhammad, utusanmu mengatakan
kepada kami begini dan begitu”, Nabi menjawab, “Dia berkata benar”.3

Berdasarkan kejadian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penelitian hadits telah dimulai
dalam bentuk yang sederhana. Praktik merujuk kepada Nabi ini berhenti dengan sendirinya
setelah wafatnya beliau. Oleh karena itu, mereka harus bersikap sangat hati-hati dalam
menisbatkan pernyataan-pernyataan dari Nabi, dan harus menelitinya dengan cermat.

B. Tanda-tanda Kepalsuan Pada Matan

1. Kelemahan kalimat. Yaitu sekiranya seorang yang mengetahui makna-makna ungkapan arab
mendapatkan kalimat tertentu itu lemah, yang tidak mungkin keluar dari seseorang yang fasih
berbahasa. Mereka itu sedemikian banyak mengenal ungkapan-ungkapan hadis, maka tumbuh
pada mereka kondisi psikologis dan kecenderungan yang kuat yang membuat mereka mampu
mengenali mana yang mungkin berasal dari ungkapan-ungkapan Nabi dan mana yang tidak
mungkin.4
2. Lemah dari segi makna. Yaitu jika sebuah hadis menyalahi kepastian-kepastian rasional tanpa
ada kemungkinan untuk menakwilkannya. Contoh, “sesungguhnya kapal nabi Nuh itu
melakukan thawaf di ka’bah tujuh kali dan bersembahyang di maqam Ibrahim dua raka’at”.
3. Bertentangan dengan makna yang jelas dari alquran, yang tidak bisa ditakwil lagi. Seperti
hadits, “anak hasil zina tidak akan masuk surga sampai tujuh turunan.” Juga yang menyalahi
hadits yang mutawatir seperti, “jika kamu menuturkan sebuah hadis dariku yang mencocoki
kebenaran maka ambillah, baik aku benar-benar mengatakannya ataupun tidak”. Itu bertentangan
dengan hadis, “barang siapa berbohong atas diriku secara sengaja maka hendaknya ia mengambil
tempat duduknya di neraka”.
4. Jika hadits itu menyalahi fakta-fakta sejarah yang diketahui di zaman nabi saw.. Contohnya
yaitu hadis dari Anas, “aku masuk pemandian, dan kudapati Rasulullah sedang duduk dan beliau
mengenakan sarung (mi’zar, penutup pinggang). Maka aku pun ingin berbicara dengan beliau ,
lalu beliau bersabda, ‘hai Anas, diharamkan untukmu masuk pemandian tanpa sarung karena
3
Ibid, hlm. 82
4
Mustahaf Assiba‟i, Sunnah dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam (Sebuah Pembelaan Kaum Sunni)
pen, Caknur, pustaka firdaus, Jakarta, 1993, hlm. 66-72

Ulumul Hadits 6
(suasana) serupa ini.’” Padahal diketahui dengan jelas dalam sejarah bahwa Rasul tidak pernah
sekali pun masuk pemandian, sebab pemandian itu tidak dikenal di Hijaz pada zaman beliau.
5. Jika hadits bersesuaian dengan mazhab perawinya, sedangkan ia dikenal seorang fanatik dan
berlebihan dalam kefanatikannya, seperti jika seorang syi’ah Rafidhah menuturkan sebuah hadis
tentang keunggulan anggota rumah tangga Nabi.
6. Jika sebuah hadits mengandung sesuatu yang semestinya menyebabkan orang banyak
mengutipnya, karena terjadi dengan persaksian orang banyak namun hadis itu tidak dikenal dan
tidak ada yang menuturkannya kecuali satu orang.
7. Jika sebuah hadits mengandung sifat berlebihan dalam soal pahala yang besar atas perbuatan
yang kecil, dan berlebihan dalam soal ancaman siksa berkenaan dengan perkara sepele.

C. Kaidah-Kaidah Kritik Matan


Sebagaimana telah dikatakan di atas bahwa kritik para ulama terhadap hadis terjadi dalam
dua tahap: pertama ialah kritik terhadap sanad, dan kedua, kritik terhadap matan. Kaedah-kaedah
yang mereka letakkan untuk kritik matan itu, yang terpenting ialah:5
1. Matan itu tidak boleh mengandung kata-kata yang aneh, yang tidak pernah diucapkan oleh
seorang ahli retorika atau penutur bahasa yang baik.
2. Tidak boleh bertentangan dengan pengertian-pengertian rasional, yang sekiranya tidak
mungkin ditakwilkan.
3. Tidak boleh bertentangan dengan kaedah-kaedah umum dalam hukum dan akhlak.
4. Tidak boleh bertentangan dengan indera dan kenyataan.
5. Tidak boleh bertentangan dengan hal yang aksiomatik dalam kedokteran dan ilmu
pengetahuan.
6. Tidak mengandung hal-hal yang hina, dimana dalam agama tidak membenarkannya.
7. Tidak bertentangan dengan hal-hal yang masuk akal dalam prinsip-prinsip kepercayaan
tentang sifat-sifat Allah dan para Rasul-Nya.
8. Tidak bertentangan dengan sunnatullah dalam alam dan manusia.
9. Tidak mengandung hal-hal yang tidak masuk akal.

5
Ibid., hlm. 228

Ulumul Hadits 7
10. Tidak boleh bertentangan dengan al-Quran atau sunnah, atau yang sudah terjadi ijma’
padanya, atau yang diketahui dari agama secara pasti, yang sekiranya tidak mengandung
kemungkinan takwil.
11. Tidak boleh bertentangan dengan kenyataan-kenyataan sejarah yang diketahui dari zaman
nabi saw..
12. Tidak boleh bersesuaian dengan madzhab rawi yang suka mempropagandakan madzhabnya
sendiri.
13. Tidak boleh berupa berita tentang peristiwa yang terjadi dengan jumlah kesaksian manusia
yang tetapi hanya seorang rawi yang meriwayatkannya.
14. Tidak boleh timbul dari dorongan emosional, yang membuat rawi meriwayatkannya.
15. Tidak boleh mengandung janji yang berlebihan dalam pahala untuk perbuatan kecil atau
berlebihan dalam ancaman yang keras untuk perkara sepele.

D. Tinjauan Atas Kritik Hadits


Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kritik terhadap matan hadits dilakukan dengan
berbagai alat uji. Di antaranya, dengan ajaran yang terkandung dalam nash al-Qur’an, terutama
hadits-hadits yang bermuatan akidah, informasi alam gaib dan ritual. Hal ini penting karena
tugas utama hadits adalah menjelaskan al-Qur’an, dan hadis merupakan “tuntunan praktis” dalam
mengamalkannya. Hadits juga diuji dengan sesama hadits. Bila sebuah hadits bertentangan
dengan hadits lain, maka hadis yang periwayatannya lebih unggul dimenangkan. Hadits yang
“kalah” disebut syadz.
Di samping itu, hadits yang memuat informasi pengetahuan perlu diuji dengan ilmu
pengetahuan. Selanjutnya, bila informasi sebuah hadits berisi data sejarah, ia diuji dengan fakta
sejarah dan dengan otoritas kebenaran lainnya. Bahkan, hadits diuji dengan ilmu bahasa
(lingusitik), yaitu, apakah redaksi hadits yang diriwayatkan itu pantas diucapkan oleh seorang
Rasul yang fasih berbahasa arab. Uji hadits berarti menguji para periwayat, bukan menguji
kebenaran Rasulullah. Sebuah hadits yang “lulus tes” diyakini otentik dari sumbernya, yaitu
Rasulullah saw..
Langkah metodologis kritik matan berdasarkan pada kriteria hadis maqbul dan mardud.
Akumulasi data itu tercermin pada kaidah dan persyaratan yang harus dipenuhi pada matan
hadits yang bersangkutan. Sekiranya positif terpenuhi, hadits tersebut diberi status shahih, dan

Ulumul Hadits 8
untuk langkah berikutnya dilakukan pengujian apakah substansi yang terkandung dalam
ungkapan matan itu layak dijadikan pedoman beramal (ma’mulun bihi) atau tidak layak untuk
digunakan (ghairu ma’mulun bihi). Apabila pada matan hadits itu terdapat gejala ‘illat atau data
syadz¸ hadits tersebut diberi status dha’if atau saqim (cacat). Istilah saqim digunakan oleh Imam
Ahmad bin Hambal dan Ishaq Ibn Rawahaih. Dalam tradisi kritik matan tidak dikenal status
hasan karena sebutan itu digunakan untuk menyifati sanad oleh pencetusnya, yaitu Imam at-
Turmudzi.6

E. Berbagai Pendekatan Untuk Melakukan Kritik Matan


Memahami teks hadits untuk dijadikan pedoman atau ditolak, memerlukan berbagai
pendekatan dan sarana yang perlu diperhatikan. Akumulasi langkah para ahli hadits dalam kritik
teks dokumentasi atas ungkapan redaksi matan hadis memanfaatkan metode mu’aradhah. Versi
lain menyebutnya metode muqaranah (perbandingan) atau metode muqabalah. Metode
mu’aradhah (cross reference) adalah rujuk silang yang dilaksanakan dengan cara
membandingkan antar redaksi matan hadits pada beberapa kitab koleksi hadits, atau intern
sebuah kitab hadits. Para pentakhrij dalam kitab-kitab hadits terbiasa menyajikan varian redaksi
matan dari jalur sanad yang berbeda di bawah kesatuan tema hadis. Seperti yang diakui oleh Abu
Dawud dalam risalahnya as-Sunan kepada warga Mekkah, bahwa penyajian matan hadits dengan
versi lain dimaksudkan sebagai tambahan informasi untuk memperkaya wawasan para
pembacanya.
Teknik ini memperoleh data teks matan hadits dari perawi sahabat yang sama
dimungkinkan lewat prosedur I’tibar (penyertaan sanad lain) yang hanya menghasilkan
mutaba’ul hadis. Kadar temuan kesenjangan teks matan biasanya tidak begitu mencolok.
Berbeda bila prosedur I’tibar menghasilkan data teks matan yang kadar perbedaannya signifikan
bagi sarana pemahaman makna (fiqih) hadis.7
Adapun hasil yang ditemukan melalui metode di atas antara lain adanya beberapa gejala
seperti idraj (sisipan kata), taqlib (pindah tata letak kata), idhtirab (kacau), tashif/tahrif
(perubahan), reduksi atas formula asli, dan ziyadah (penambahan).8

BAB III
6
Ibid., hlm. 83
7
Hasjim Abbas,...,hlm. 87
8
Ibid., hlm 85

Ulumul Hadits 9
PENUTUP
KESIMPULAN
A. Dari makalah sederhana ini dapat penulis simpulkan bahwa, tujuan untuk mempelajari
ulumul hadist adalah hadist berfungsi untuk menjelaskan Al-Qura’an, banyaknya hukum
yang belum tercantum dalam Al-Qur’an, potensi tiap golongan dari mereka macam hadits
sangat besar sehingga perlu dijaga keotentikkannya, terdapat banyak hadits dla’if dan hadist
palsu yang perlu dihindari supaya tidak dijadikan sebagai sumber hukum Islam, adanya
berbagi macam masalah mengenai hadist.
B. Sedangkan manfaat dari mempelajari ulumul hadist yaitu agar seseorang memiliki dasar
pengetahuan tentang suatu hadits yang bersandar kepada Nabi saw dan yang tidak memiliki
sandaran, seseorang akan  mengetahui mana hadits dan mana yang bukan hadits,
seseorang akan mendapatkan ilmu pengetahuan dari sisi hukum apakah suatu hadits dapat
diterima sebagai hujah (maqbul) ataukah tertolak (mardud), Ilmu ini akan memberikan bekal
bagi para penuntut ilmu syar’i  untuk mengkaji hadits-hadits Rasulullah

DAFTAR PUSTAKA

Ulumul Hadits 10
Abbas, Hasjim, Kritik Matan Hadis, (Yogyakarta:Teras, 2004)
al-Adlibi, Shalahuddin, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulama al-Hadits, Dar al-Afaq, al-Jadidah,
Beirut, 1983
al-Jawabi, M. Thahir, Juhud al-Muhadditsin fi Naqdi Matni al-Hadits al-Nabawiy al-Syarif
(Tunisi: Mu‟assasah Abd. Karim, 1986)
Assiba‟i, Musthafa, Sunnah dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam (Sebuah
Pembelaan Kaum Sunni) pen. caknur, pustaka firdaus, Jakarta, 1993
Azami, Muhammad Mustafa, Metodologi Kritik Hadis, penj. A.Yamin, (Jakarta: Pustaka
Hidayah,1992)
Zuhri, Muh., Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis, LESFI, Yogyakarta,

Ulumul Hadits 11

Anda mungkin juga menyukai