Anda di halaman 1dari 18

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/330761648

KONSEP FITRAH DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN

Article · January 2019

CITATIONS READS
0 8,405

1 author:

Indah Muliati
Universitas Negeri Padang
3 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Konsep Fitrah dan Implikasinya dalam Pendidikan View project

All content following this page was uploaded by Indah Muliati on 31 January 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Konsep Fitrah dan Implikasinya dalam Pendidikan (Indah Muliati, S.PdI, M.Ag)

KONSEP FITRAH
DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN
Oleh : Indah Muliati, S.PdI, M.Ag.
Universitas Negeri Padang

Abstrak
Pendidikan Islam bukan berarti sekedar melakukan transformasi ilmu
pengetahuan, tetapi lebih dari itu, pendidikan Islam meniscayakan proses
aktualisasi segenap potensi yang dimiliki peserta didik meliputi pengembangan
jasmani, rasionalitas, intelektualitas, emosi dan akhlak. Proses ini bertujuan
untuk membentuk kepribadian muslim yang paripurna dan mewujudkan
kemashlahatan bagi seluruh alam. Oleh karenanya, pendidikan Islam idealnya
berangkat dan diformulasikan dari potensi fitrah manusia, yaitu pembawaan
setiap manusia sejak lahir yang mengandung nilai-nilai religius dan
kecenderungan terhadap kebaikan. Praktik pendidikan Islam hendaknya mampu
menyentuh dan memberdayakan seluruh aspek kemanusiaan, baik aspek
jasmaniah maupun rohaniah. Pendidikan Islam yang berangkat dari konsep fitrah
menghendaki proses pendidikan yang menanamkan nilai-nilai “al-Tauhid” dan
mewujudkan kesadaran manusia baik sebagai ‘abd maupun sebagai khalifah fi al-
ardh.

A. Pendahuluan
Bilamana tujuan pendidikan Islam diarahkan kepada pembentukan
manusia seutuhnya, berarti proses kependidikan yang harus dikelola oleh para
pendidik harus berjalan, di atas pola dasar dari fitrah yang telah dibentuk
Allah dalam setiap pribadi manusia.
Pola dasar ini mengandung potensi psikologis yang kompleks, karena
di dalamnya terdapat aspek-aspek kemampuan dasar yang dapat
dikembangkan secara dialektis-interaksional (saling mengacu dan
mempengaruhi) untuk terbentuknya kepribadian yang serba utuh dan
sempurna melalui arahan kependidikan.
Makalah ini mencoba mengungkapkan konsep fitrah dan bagaimana
implikasinya dalam pendidikan Islam.

1
2

B. Pembahasan
1. Konsep Fitrah dalam Perspektif Pendidikan Islam
Kaum Nashrani menyatakan bahwa manusia lahir dengan
seperangkat dosa waris, yakni dosa asal sebagai akibat dari perbuatan
durhaka Adam. Di lain pihak, aliran Behaviorisme memandang bahwa
manusia lahir tidak mempunyai kecenderungan baik maupun buruk. Teori
ini terkenal dengan teori tabularasa (Abdullah, 1982: 59).
Sedangkan Islam menawarkan sebuah konsep tentang hakikat
manusia yang tercermin dalam konsep fitrahnya.
Para pakar Islam mencoba memformulasikan makna fitrah, dan
tiap-tiap formulasi yang dihasilkan melalui kajian dan argumentasi yang
kuat. Landasan dari tiap formulasi tersebut adalah firman Allah SWT.
yang berbunyi :
ََ ‫َلو ُمِي َْقال ُنيدالِ َِكل َذ‬
ِ
-َْ َ‫هي َ َاِهنال َرهث‬
َ ‫ْكأ هنك‬ َ ‫َلع‬
ْ ‫م‬
ُ ‫نو‬
َ ﴿٠٣﴾ ‫ج َو ْم َقأَف‬
ِ
ْ ‫ه‬ َ ‫َل َاهنالَ ََرطَف تِ ال لاَّل ه َة َرْطف ًافينحَ نيِدلل‬
َ ‫ك‬
ِ ِ ِ ِ ‫ه‬
َ ‫هي‬
ْ ‫اه‬
َ َ ‫ْه‬
َ ‫يد‬
ِ

‫َْل‬-ِ ‫ِلاَّل ه قِْل‬

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepad agama Allah,


(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah, (itulah) agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum: 30)

Dari ayat tersebut timbullah berbagai interpretasi tentang makna


fitrah yaitu :
a. Fitrah berarti suci
b. Fitrah berarti Islam
c. Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah
d. Fitrah berarti murni
e. Fitrah berarti kondisi penciptaan manusia yang mempunyai
kecenderungan untuk menerima kebenaran.
f. Fitrah berarti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi dan
ma’rifatullah
3

g. Fitrah berarti ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai


kebahagiaan dan kesesatannya.
h. Fitrah berarti tabi’at alami yang dimiliki manusia (human nature). Dari
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fitrah merupakan
potensi-potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian
untuk menerima rangsangan dan pengaruh dari luar menuju pada
kesempurnaan dan kebenaran.
Muhammad Fadhil al-Jamaly memandang fitrah sebagai
kemampuan dasar dan kecenderungan yang murni bagi setiap individu.
Fitrah ini lahir dalam bentuk yang paling sederhana dan terbatas,
kemudian saling mempengaruhi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga
tumbuh dan berkembang lebih baik, atau bahkan sebaliknya.

Sebagai mana telah dijelaskan di atas bahwa fitrah mengacu


kepada potensi yang dimiliki manusia. Potensi itu diantaranya yaitu,

a. Potensi beragama

Perasaan keagamaan adalah naluri yang dibawa sejak lahir


bersama ketika manusia dilahirkan. Manusia memerlukan keimanan
kepada zat tertinggi yang Maha Unggul di luar dirinya dan dan diluar
dari alam benda yang dihayati olehnya. Naluri beragama mulai tumbuh
apabila manusia dihadapkan pada persoalan persoalan yang
melingkupinya.

Akal akan menyadari kekerdilannya dan mengakui akan


kudratnya yang terbatas.(Omar, 1979 :122) Akal akan insaf bahwa
kesempurnaan ilmu hanyalah bagi pencipta alam jagat raya ini, yaitu
Allah. Islam bertujuan merealisasikn penghambaan sang hamba kepada
Tuhannya saja. Memberantas perhambaan sesame hamba Tuhan. Insan
dibawa menyembah kehadirat Allah penciptanya dengan tulus ikhlas
tersisih dari syirik atau sebarang penyekutuannya.
4

b. Kecenderungan moral

Kecenderungan moral erat kaitannya dengan potensi


beragama. Ia mampu untuk membedakan yang baik dan buruk. Atau
yang memiliki hati yang dapat mengarahkan kehendak dan akal.
Apabila dipandang dari pengertian fitrah seperti di atas, maka
kecenderungan moral itu bisa mengarah kepada dua hal sebagaimana
terdapat dalam surat Asy-Syam ayat 7:
﴾‫وهس َام َو سٍ ْفهنَ َو‬
َ َ‫﴿ اها‬٧

﴾‫اهروَ ُجُف اهَ َمأَْل َف‬


َ َ‫هو‬
َ ‫﴿ اهاَ َو ْق‬٨

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah


mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,

c. Manusia bersifat luwes, lentur (fleksible). (Omar, 1979 : 156)

Manusia mampu dibentuk dan diubah. Ia mampu menguasai ilmu


pengetahuan, menghayati adatadat, nilai, tendeni atau aliran baru. Atau
meninggalkan adat, nilai dan aliran lama, dengan cara interaksi social
baik dengan lingkungan yang bersifat alam atau kebudayaan. Allah
berfirman tentang bagaimana sifat manusia yang mudah lentur, terdapat
dalam surat Al Insan ayat 3 :
﴾‫هني َد َه هَّنِإ‬ ِ ِ َ ِ‫إو ًار‬
ْ َ‫كاش امهإ ََ يْساله ُها‬
ِ َ ُ‫﴿ ًاروف‬٠
َ ‫ك امه‬

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada


yang bersyukur dan ada pula yang kafir.
5

d. Kecenderungan bermasyarakat

Manusia juga memiliki kecendrungan bersosial dan bermasyarakat.

Menurut Ibnu Taimiyah, dalam diri manusia setidaknya


terdapat tiga potensi (fitrah), (Nizar, 2001 : 76) yaitu :

a. Daya intelektual (quwwat al-‘aql)

Yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan


nilai baik dan buruk. Dengan daya intelektualnya, manusia dapat
mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.

b. Daya ofensif (quwwat al-syahwat)

Yaitu potensi dasar yang mampu menginduksi obyek-obyek yang


menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara
jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.

c. Daya defensif (quwwat al-ghadhab) yaitu potensi dasar yang dapat


menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan
dirinya. Namun demikian, diantara ketiga potensi tersebut, di samping
agama – potensi akal menduduki posisi sentral sebagai alat kendali
(kontrol) dua potensi lainnya. Dengan demikian, akan
teraktualisasikannya seluruh potensi yang ada secara maksimal,
sebagaimana yang disinyalir oleh Allah dalam kitab dan ajaran-
ajaranNya. Pengingkaran dan pemalsuan manusia akan posisi potensi
yang dimilikinya itulah yang akan menyebabkannya melakukan
perbuatan amoral.

Menurut Ibnu Taimiyah membagi fitrah manusia kepada dua


bentuk, yaitu:

a. Fitrah al gharizat
6

Merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir.


Bentuk fitrah ini berupa nafsu, akal, dan hati nurani. Fitrah (potensi)
ini dapat dikembangkan melalui jalan pendidikan.

b. Fitrah al munazalat

Merupakan potensi luar manusia. Adapun fitrah ini adalah wahu ilahi
yang diturunkan Allah untuk membimbing dan mengarahkan fitrah al
gharizat berkembang sesuai dengan fitrahnya yang hanif. Semakin
tinggi interaksi antara kedua fitrah tersebut, maka akan semakin tinggi
pula kualitas manusia.

Dari semua penjelasan mengenai potensi manusia, tampak jelas


bahwa lingkungan sebagai faktor eksternal. Lingkungan ikut
mempengaruhi dinamika dan arah pertumbuhan fitrah manusia. Semakin
baik penempaan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah
kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, penempaan dan pembinaan
fitrah yang dimiliki tidak pada fitrahnya maka manusia akan tergelincir
dari tujuan hidupnya. Untuk itu salah satu pembinaan fitrah dengan
pendidikan.

Bila pengertian fitrah di atas dikaitkan dengan tugas dan fungsi


manusia lebih lanjut dianalisa, maka akan terlihat bahwa fitrah manusia
tersebut masih memerlukan beberapa upaya untuk merangsangnya
berkembang secara maksimal. Upaya tersebut adalah pendidikan.
Fitrah manusia bukan satu-satunya fotensi manusia yang dapat
mencetak manusia sesuai dengan fungsinya, tetapi ada juga potensi lain
yang menjadi kebalikan dari fitrah ini, yaitu nafsu yang mempunyai
kecenderungan pada keburukan dan kejahatan (Q.S. 12:53). Untuk itulah
fitrah harus tetap dikembangkan dan dilestarikan. Fitrah dapat tumbuh dan
berkembang secara baik dan wajar apabila mendapat suplay yang dijiwai
oleh wahyu Allah, tentu saja hal ini harus didorong dengan
7

pemahaman Islam secara kaffah dan universal. Semakin tinggi tingkat


interaksi seseorang dengan Islam, semakin baik pula perkembangan
fitrahnya.
Konsep fitrah menurut Islam tidak sama dengan teori Tabularasa
John Locke. Sebab dalam Islam, manusia sejak lahir telah memiliki
berbagai bentuk potensi yang bisa dikembangkan. Konsep fitrah manusia
menurut Islam juga berbeda jauh dengan teori nativisme A, Scopenhour,
sebab dalam Islam mengakui adanya pengaruh yang besar di luar diri
manusia, baik insani maupun non insani, dalam mengembangkan dan
memodifikasi potensi yang dimilikinya.
Konsep fitrah menurut Islam juga berbeda dengan teori
konvergensi William Stern, sebab dalam pandangan Islam, perkembangan
potensi manusia itu bukan semata-mata dipengaruhi oleh lingkungan
semata dan tidak bisa ditentukan melalui pendekatan kuantitas, sejauh
mana peranan keduanya (potensi dan lingkungan) dalam membentuk
kepribadian manusia. Ada kalanya potensi yang lebih dominan dalam
membentuk kepribandian manusia, tapi ada kalanya lingkungan yang lebih
dominan, atau kedua-duanya sama-sama dominan. Bahkan dalam Islam, di
luar kedua pengaruh tersebut, ada pengaruh lainnya yang juga ikut
memberikan warna tersendiri bagi pembentukan kepribadian manusia,
yaitu faktor hidayah yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang
dikehendaki.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa cakupan dari pengertian
fitrah manusia dalam perspektif pendidikan Islam sangat luas dibanding
dengan batasan yang dikembangkan oleh para ahli pendidikan
kontemporer dalam melihat potensi manusia yang terkesan bersifat parsial
dan lepas dari kerangka bingkai religiusitas manusia yang sakral dan asasi.

2. Fitrah Manusia dan Pengaruh Lingkungan (suatu pendekatan


Konvergensi)
8

Manusia lahir dengan membawa fitrah, yang mencakup fitrah


agama (Q.S.30:30), fitrah intelek (Q.S.7:179), fitrah sosial (Q.S. 5:2),
fitrah ekonomi (Q.S. 62:10),fitrah seni, kemajuan, keadilan, kemerdekaan,
persamaan, ingin tahu, ingin dihargai, ingin mengembangkan keturunan
(kawin), cinta tanah air, dan sebagainya. Fitrah-fitrah tersebut harus
mendapat tempat dan perhatian, serta pengaruh dari faktor oksigen
manusia (lingkungan) untuk mengembangkan dan melestarikan potensinya
yang positif dan sebagai penangkal dari kelestarian an-nafsu ammarah bis
suu`, sehingga manusia dapat hidup searah dengan tujuan Allah yang
mencitakannya.
Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap fitrah manusia.
Bahkan factor tersebut dapat mempengaruhi kepribadian manusia. Namun
demikian, ia bukan satu-satunya factor yang berpengaruh tanpa ada
dukungan dari faktor-faktor lain. Pernyataan tersebut menolak pandangan
Skinner yang mengatakan bahwa lingkungan menentukan kehidupan
manusia betapapun dia mengubah lingkungannya. Di sini terlihat bahwa
manusia tidak lebih hanya mewarisi sejumlah gerak refleks (gerakan-
gerakan yang tiak disengaja), di samping itu agama sebagai aspek lain dari
tingkah laku manusia dapat dijelaskan berkenaan dengan factor-faktor
lingkungan.. pernyatan tersebut dibuktikan bahwa anak-anak orang Islam
biasanya menjadi muslim, sedangkan anak-anak orang Kristen biasanya
menjadi Kristen. Hal tersebut disebutkan Skinner sebagai salah satu
contoh untuk menjelaskan teorinya (Abdullah, 1982: 60)
Pada fase defense, masa kanak-kanak memberikan kemungkinan
orang tuanya untuk memberikan pengaruh-pengaruh pada putra-putrinya.
Fakta ini tampaknya menarik perhatian Skinner berkenaan dengan hadits
Nabi saw, yang menunjukkan cara fitrah itu dipengaruhi oleh
lingkungannya. Sabda Nabi SAW. (Imam Muslim: 53)

“Tidak seorang pun dilahirkan kecuali ia mempunyai fitah, maka kedua


orang tuanya yang mempengaruhi, menjadikannya Yahudi, Nasrani dan
Majusi”. (H.R. Muslim dari Abu Hurairah)
9

Hadits di atas menjelaskan bahwa fitrah yang dibawa sejak lahir,


dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Fitrah ini tidak dapat berkembang
tanpa adanya pengaruh positif dari lingkungannya yang mungkin dapat
dimodifikasi atau dapat diubah secara drastis bila lingkungan itu tidak
memungkinkan untuk menjadikan fitrah tersebut lebih baik. Factor-faktor
eksternal yang bergabung dengan fitrah dan sifat dasarnya bergantung
pada sejauh mana interaksi internal berperan terhadap fitrah tersebut.
Sebaliknya, menurut pengamat behavioris, fitrah itu tidak mengharuskan
manusia untuk berusaha keras terhadap lingkungannya. Dua anak yang
hidup dalam kondisi yang sama barangkali memberi respon terhadap
setiap stimulus dengan cara yang berbeda-beda. Permaisuri Fir’aun dari
Mesir telah menjadi wanita yang beriman kepada Allah SWT.sekalipun
berada di lingkungan orang musyrik, dia selalu berdo`a kepada Allah SWT
yang disebutkan dalam Firman Allah (Q.S At-Tahrim : 11)

Di samping itu, hadits Nabi SAW. tersebut mengandung implikasi


bahwa fitrah merupakan suatu pembawaan setiap manusia sejak lahir, dan
mengandung nilai-nilai religi. Penyimpangan fitrah merupakan akibat dari
factor lingkungan (pendidikan). Di dalam fitrah terkandung pengertian
baik buruk, benar salah, indah jelek, lempang sesat, dan seterusnya.
Pelestarian fitrah ini dapat ditempuh lewat pemeliharaan sejak awal, atau
mengembalikannya pada kebaikan setelah ia mengalami penyimpangan
(kuratif) (Ahmad: 32).
Setiap yang dilahirkan mempunyai kemungkinan dan kemampuan
untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan pengaruh alam sekitarnya.
Dari sisi ini, Al-Qur`an sangat menekankan pentingnya pendidikan dan
pengajaran. Dari sisi ini pula, al-Qur`an menekankan bahwa Allah SWT.
memberi kemampuan akal yang dapat membedakan antara yang baik dan
buruk kepada manusia, sehingga pendidikan berperan dalam mengarahkan
akal manusia ke jalan yang baik dan benar, bukan ke jalan yang jelek dan
tersesat. Uraian itu dapat dibuktikan dalam al-Qur`an bahwa manusia
10

mempunyai tabiat asli (Q.S. 30:30) yang harus diupayakan dengan


pendidikan (Q.S. 16:78), serta adanya kemampuan memilih bagi manusia
(Q.S. 6:78, 90:8, 76:3) (Al-Jamaly, 1986: 66).
Ibnu Khaldun juga mengungkapkan bahwa factor-faktor di luar diri
manusia mempengaruhi kecenderungan-kecenderungan tindakan manusia.
Dengan demikian, manusia yang sebenarnya adalah manusia yang
dibentuk oleh lingkungannya, baik lingkungan alam fisik maupun
lingkungan alam social yang dibentuk oleh tindakan-tindakan nyata
manusia (Raharjo, 1987: 7). Interaksi manusia dengan lingkungannya
itulah menumbuhkan lembaga, tradisi, system atau structural yang
memberikan ciri pada suatu masyarakat atau peradaban tertentu.

3. Implikasi Fitrah dalam Pendidikan Islam


Dalam perspektif Pendidikan Islam terlihat bahwa karena sifat
dasar manusia merupakan makhluk yang serba terbatas dan memerlukan
upaya yang membuat kehadirannya di muka bumi ini lebihsempurna,
maka perlu ada upaya. Upaya itu adalah lewat pendidikan. Oleh karena itu
sifat khas pendidikan Islam adalah berupaya mengembangkan sifat dan
potensi yang dimiliki peserta didiknya secara efektif dan dinamis. Potensi
itu meliputi kemampuan mengamati, menganalisa dan mengklasifikasi,
berpendapat,serta kecakapan-kecakapan lainnya secara sistematis, baik
yang berhubungan langsung dengan manusia itu sendiri, alam, sosial,
maupun pada Tuhannya. (Faure dkk, 1980: 213)
Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan
seluruh potensi yang dimiliki peserta didiknya pada pola pendidikan yang
ditawarkan, baik potensi yang ada pada aspek jasmani maupun rohani:
intelektual, emosional, serta moral etis religius dalam diri peserta didiknya
unutk mewujudkan sosok insan paripurna yang mampu melakukan
dialektika aktif pada semua potensi yang dimilikinya.
Agar mampu teraktualisasikannya potensi yang dimiliki manusia
sesuai dengan nilai-nilai Ilahiah, maka pada dasarnya pendidikan
11

berfungsi sebagai media menstimuli bagi perkembangan dan pertumbuhan


potensi manusia seoptimal mungkin ke arah penyempurnaan dirinya, baik
sebagai abd maupun sebagai khalifah fi al-ardh. Adapun model atau
bentuk yang ditawarkan oleh sistem pendidikan, bukan menjadi persoalan.
Terserah kepada kebijaksanaan dan kepentingan manusia itu sendiri, asal
saja pelaksanaan pendidikan tersebut tidak bertentangan, akan tetapi
memiliki keserasian dengan potensi yang dimiliki oleh peserta didik dan
fitrah religiusnya untuk senantiasa mengarah pada fitrah Allah yang hanif.
Dengan upaya ini akan menciptakan situasi dan model pendidikan Islam
yang demokratis-fleksibel.
Fitrah manusia yang dimaksud dapat dilihat dari dua dimensi
manusia secara integral, yaitu fitrah jasmaniah dan fitrah rohaniah.
Keduanya memiliki natur dan kebutuhan yang berbeda antara satu dengan
yang lain, karena hakekat esensial keduanya berbeda, akan tetapi keduanya
saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Jika salah satu di
antara keduanya terabaikan, maka akan berdampak negatif bagi
pengembangan totalitas fitrah manusia, untuk itu proses pendidikan Islam
harus mampu menyentuh keduanya secara padu dan harmonis, yaitu
dengan jalan mengembangkan dan memenuhi kebutuhan kedua dimensi
tersebut terhadap peserta didik.
Untuk tujuan tersebut, maka pendidikan Islam bukan hanya
sekedar proses pentransferan ilmu pengetahuan atau kebudayaan dari satu
generasi kepada generasi berikutnya, akan tetapi jauh dari itu, pendidikan
Islam merupakan suatu bentuk proses pengaktualan sejumlah potensi yang
dimiliki peserta didiknya, meliputi pengembanagn jasmani, rasionalitas,
intelektualitas, emosi dan akhlak yang berfungsi menyiapkan individu
muslim yang memiliki kepribadian paripurna bagi kemashlahatan seluruh
umat (Langgulung, 1995: 13).
Dengan demikian, berarti pendidikan Islam merupakan proses
penanaman nilai Ilahiah yang diformulasikan secara sistematis dan
adaptik, yang disesuaikan dengan kemampuan dan perkembangan potensi
12

peserta didik. Artinya, pola pendidikan yang ditawarkan harus disesuaikan


dengan kebutuhan fisik dan psikis peserta didik sebagai subjek pendidikan.
Jika tidak, proses pendidikan yang ditawarkan akan mengalami stagnasi
dan hambatan. Untuk itu, pendidikan yang dilaksanakan harus mampu
menyentuh kesemua aspek manusia secara utuh, yaitu aspek jasmaniah
dan rohaniahnya.
Apabila kita melihat program pendidikan sebagai usaha untuk
menumbuhkan daya kreativitas anak, melestarikan nilai-nilai ilahi dan
insani, serta membekali anak didik dengan kemampuan yang produktif.
(Muhadjir, 1987: 176). Dapat kita katakan bahwa fitrah merupakan potensi
dasar anak didik yang dapat menghantarkan pada tumbuhnya daya
kreativitas dan produktivitas serta komitmen terhadap nilai-nilai ilahi dan
insani. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pembekalan berbagai
kemampuan dari lingkungan sekolah dan luar sekolah yang terpola dalam
program pendidikan.
Seorang pendidik tidak dituntut untuk mencetak anak didiknya
menjadi orang ini dan itu, tetapi cukup dengan menumbuhkan dan
mengembangkan potensi dasarnya serta kecenderungan-kecenderungannya
terhadap sesuatu yang diminati sesuai dengan kemampuan dan bakat yang
dimiliki anak. (Mujib, 1993: 28). Apabila anak mempunyai sifat dasar
yang dipandang sebagai pembawaan jahat, upaya pendidikan diarahkan
dan difokuskan untuk menghilangkan serta menggantikan atau setidak-
tidaknya mengurangi elemen-elemen kejahatan tersebut. Bagi teori Lorenz
yang membangun pembawaan agresi manusia sejak lahir, perhatian
pendidikan diarahkan untuk mencapai objek-objek pengganti dan
prosedur-prosedur sublimasi yang akan membantu menghilangkan sifat-
sifat agresi ini. Jelasnya seorang pendidik tidak perlu sibuk-sibuk
menghilangkan dan menggantikan kejahatan yang telah dibawa anak didik
sejak lahir, melainkan berikhtiar sebaik-baiknya untuk menjauhkan
timbulnya pelajaran yang dapat menyebabkan kebiasaan-kebiasaan yang
tidak baik. Konsep fitrah ini tidak terkecuali bagi pendidik muslim untuk
13

berikhtiar menanamkan tingkah laku yang sebaik-baiknya, karena fitrah itu


tidak dapat berkembang dengan sendirinya.
Konsep fitrah memiliki tuntutan agar pendidikan Islam diarahkan
untuk bertumpu pada at-tauhid. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat
hubungan yang mengikat manusia dengan Allah SWT. Apa saja yang
dipelajari anak didik seharusnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
tauhid ini. Kepercayaan manusia akan adanya Allah melalui fitrahnya
tidak dapat disamakan dengan teori yang memandang bahwa monoteisme
sebagai suatu tingkat kepercayaan agama yang tertinggi. At-tauhid
merupakan inti dari semua ajaran agama yang dianugrahkan Allah kepada
manusia, munculnya kepercayaan tentang banyaknyga Tuhan yang
mendominasi manusiahanya ketika at-tauhid telah dilupakan. Konsep at-
tauhid bukan hanya sekedar bahwa Allah itu Esa, tetapi juga masalah
kekuasaan (otoritas). Konsep at-tauhid inilah yang menekankan keagungan
Allah yang harus dipatuhi dan diperhatikan dalam kurikulum pendidikan
Islam.
Di samping fitrah, manusia juga mempunyai beberapa kebutuhan
jasmaniah seperti makan, minum, seks dan sebagainya. Pemenuhan
kebutuhan jasmaniah tidak dapat dikonsumsikan sebagaimana hewan,
tetapi lebih dari itu, pemenuhan tersebut harus dikonsumsikan harmonis
untuk mengaktualisasikan fitrah manusia. Konsep demikian itu tidak
berarti bahwa kebutuhan jasmaniah perlu diakhiri, seperti tidak kawin;
puasa terus menerus, dan sebagainya,. Pernyataan tersebut diisyaratkan
oleh Allah dalam surat Ar-Rum : 30
‫َ لاَّل ه قَِْل ِل ََ يد َه‬
ِ ِ
ْ
“Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah tersebut.” (QS. Ar-Rum: 30)

Firman Allah di atas menunjukkan bahwa kebutuhan jasmaniah


anak didik tidak boleh dibuang atau dibunuh, melainkan diarahkan pada
hal-hal yang positif. Seorang pendidik tidak boleh mengubah kebutuhan
14

dasar jasmaniah anak didik, sebagaimana firman Allah SWT. dalam surah
An-Nisa ayat 119 :
ِ ‫﴿ ًانْيِ ُّم ًنَّارَ ْس ُخ رَسِ َخ ْدقَ َ ِ اَّل‬١١١﴾ …‫مآل َو‬
ُ‫هف ل نود‬ ُ َ‫ههنر‬
ُ ‫َلهف ْم‬
َ ‫َغهي‬
ُ ّ‫هني‬
ِ ‫طيشاله ذِخِهتهيَ َمن َ ِ اَّل‬
ُ َ‫و ل قَ ْلخ‬ ْ َ‫من ًايلوَ نَا‬
ِ ِ

…dan akan aku suruh mereka (merobah ciptaan Allah), sehingga mereka
mau merubahnya. Barang siapa yang menjadikan syetan sebagai
pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang
nyata. (Depag, 1979: 141)
Berkaitan dengan hal tersebut Ali Syari’ati mengungkapkan lima
faktor yang secara kontinu dan simultan membangun personalitas anak
didik, yaitu :
 Factor ibu yang memberi struktur dan dimensi kerohanian yang penuh
dengan kasih sayang dan kelembutan.
 Factor ayah yang memberikan dimensi kekuatan akan hahrga diri.
 Factor sekolah yang membantu terbentuknya sifat.
 Factor masyarakat dan lingkungan yang memberikan sarana empiris
bagi anak.
 Factor kebudayaan umum masyarakat yang memberi pengetahuan dan
pengalaman tentang corak kehidupan manusia. (Syari`ati, 1982: 64)
Kelima faktor di atas merupakan stimulasi yang dapat
mengembangkan fitrah anak didik dalam berbagai dimensinya. Karena
fitrah manusia memiliki sifat yang suci dan bersih, orang tua/pendidik
dituntut untuk tetap menjaganya dengan cara membiasakan hidup anak
didiknya pada kebiasaan yang baik, serta melarang mereka membiasakan
diri untuk berbuat buruk.
15

C. Penutup
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
dalam rangka mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam diri manusia,
baik itu potensi jasmani maupun rohani, pendidikan memainkan peranan
penting yang tidak dapat dipungkiri. Dengan proses pendidikan, manusia
mampu membentuk kepribadiannya, mentransfer kebudayaan dari suatu
komunitas ke komunitas yang lain, mengetahui baik dan buruk dan lain
sebagainya.
Pendidikan Islam merupakan proses penanaman nilai Ilahiah yang
diformulasikan secara sistematis dan adaptik, yang disesuaikan dengan
kemampuan dan perkembangan potensi peserta didik. Jadi pola pendidikan
yang ditawarkan harus disesuaikan dengan kebutuhan fisik dan psikis peserta
didik sebagai subjek pendidikan. Jika tidak, proses pendidikan yang
ditawarkan akan mengalami stagnasi dan hambatan. Untuk itu, pendidikan
yang dilaksanakan harus mampu menyentuh kesemua aspek manusia secara
utuh, yaitu aspek jasmaniah dan rohaniahnya.
16

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur`an al-Karim

Ahmed, Khursid (ed.). Islam its Meaning and Message. London: Islamic Council
of Europe. 1976

Al-Jamaly, Muhammad Fadlil. Filsafat Pendidikan Islam dalam Al-Qur`an. Terj.


Judi al-Falasany. Surabaya: Bina Ilmu. 1986

Arifin, HM. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2003

_________. Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis


Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara. 1991

Daradjat, Zakiah. Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental. Jakarta: Bulan


Bintang. 1982

Departemen Agama. Al-Qur`an dan Terjemahnya.

Faure. Edgar, Belajar Untuk Hidup-Pendidikan Hari Kini dan Hari Esok, Jakarta:
Bhratara Karya Aksara. 1980

Imam Ibnu Husain Muslim bin Hajjaj. Al-Jami` Shoheh Musammah Shoheh
Muslim. Beirut, Libanon: Darul Ma`arif. t.th

Kuntowijoyo. Paradigma Islam-Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan. 1991

Langgulung, Hasan. Pendidikan Islam dan Peralihan Paradigma. Selangor: Hizbi


Press. 1995

Muhadjir, Noeng. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial; Suatu Teori


Pendidikan. Yogyakarta: Rake Sarasin. 1987

Muhaimin dan Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalisasinya. Banndung: Trigenda Karya. 1993

Nizar, Samsul. Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta:


Gaya Media Pratama, 2001

Omar M. Al Toumy al Syaibany. Falsafah Pendidikan Islam (Terjemahan).


Jakarta: Bulan Bintang.1979
17

Raharjo, Dawam. Insan Kamil, Konsep Manusia Menurut Islam. Jakarta:


Temprint. 1987

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai