Anda di halaman 1dari 54

Laporan Kasus

LAPORAN KASUS
REGIONAL ANASTESI PADA WANITA 27 TAHUN G1P0A0 HAMIL
ATERM BELUM INPARTU DENGAN PREEKLAMPSIA BERAT
JANIN TUNGGAL HIDUP PRESENTASI KEPALA

Oleh :
Juwita Intan Purnama Sari
H1AP13017

Pembimbing
AKBP. DR. dr. Yalta Hasanudin Nuh, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RSUD DR. M. YUNUS BENGKULU / RS BHAYANGKARA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Juwita Intan Purnama Sari


NPM : H1AP13017
Fakultas : Kedokteran
Judul : Regional Anestesi Pada Wanita 27 Tahun G1P0A0 Hamil
aterm dengan Preeklampsia Berat Belum Inpartu Janin
Tunggal Hidup Presentasi Kepala
Bagian : Anestesi
Pembimbing : AKBP. Dr. dr. Yalta Hasannudin Nuh, Sp. An

Bengkulu, 20 Desember 2020


Pembimbing

AAKBP. Dr. dr. Yalta Hasannudin Nuh, Sp. An

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
Kepaniteraan Klinik Anesstesi RSUD dr. M. Yunus, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. AKBP. Dr. dr. Yalta Hasannudin Nuh, Sp. An
sebagai pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan telah
memberikan masukan-masukan, petunjuk serta bantuan dalam penyusunan
tugas ini.
2. Teman–teman yang telah memberikan bantuan baik
material maupun spiritual kepada penulis dalam menyusun laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini,
maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Penulis
sangat berharap agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua.

Bengkulu, 20 Desember 2020

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN…..
…………………………………………………................2
KATA PENGANTAR.............................................................................................3
DAFTAR ISI............................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................5
1.1 Latar Belakang...............................................................................................5
1.2 Tujuan.............................................................................................................6
1.3 Manfaat...........................................................................................................6
BAB II LAPORAN KASUS....................................................................................7
2.1 Identitas..........................................................................................................7
2.2 Anamnesis......................................................................................................8
2.3 Pemeriksaan Fisik...........................................................................................8
2.4 Pemeriksaan Laboratorium...........................................................................11
2.5 Kesan Anestesi.............................................................................................11
2.6 Penatalaksanaan............................................................................................11
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................17
3.1 Preeklampsia Berat.......................................................................................17
3.2.Seksio Caesaria.............................................................................................25
3.3 Anastesi Spinal………………………………………………………... 33
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................41
BAB V KESIMPULAN.........................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................54

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada
tahun 2013, angka kejadian preeklamsi di seluruh dunia berkisar
0,51%- 38,4%. Di Negara maju, angka kejadian preeklamsia
berkisar 6%-7%. Sedangkan angka kejadian di Indonesia adalah
sekitar 3,8-8,5%. Di Indonesia, preeklamsia penyebab kematian
ibu yang tinggi sebesar 24%.
Dampak preeklamsia pada janin dapat mengakibatkan berat
badan lahir rendah akibat spasmus arteriol spinalis deciduas
menurunkan aliran darah ke plasenta yang mengakibatkan
gangguan fungsi plasenta. Kerusakan plasenta ringan dapat
menyebabkan hipoksia janin, keterbatasan pertumbuhan
intrauterine (IUGR), dan jika kerusakan makin parah maka dapat
berakibat prematuritas, dismaturitas dan IUFD atau kematian janin
dalam kandungan. Dampak preeklamsi pada ibu yaitu solusisio
plasenta, abruption plasenta, hipofibrinogrmia, hemolisis,
perdarahan otak, kerusakan pembuluh kapiler mata hingga
kebutaan, edema paru, nekrosis hati, kerusakan jantung, sindrom
HELLP, kelainan ginjal. Komplikasi terberat terjadinya
preeklamsia adalah kematian ibu.
Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua
macam, yaitu anestesi umum dan anestesi regional. Anestesi umum
bekerja untuk menekan aksis hipotalamus pituitari adrenal,
sementara anestesi regional berfungsi untuk menekan transmisi
impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal. Teknik
anestesia yang lazim digunakan dalam seksio sesarea adalah
anestesi regional. Beberapa teknik anestesi regional yang biasa
digunakan pada pasien obstetri yaitu blok paraservikal, blok

5
epidural, blok subarakhnoid, dan blok kaudal. Anestesia spinal
aman untuk janin, namun selalu ada kemungkinan bahwa tekanan
darah pasien menurun dan akan menimbulkan efek samping yang
berbahaya bagi ibu dan janin. Beberapa kemungkinan terjadinya
komplikasi pada ibu selama anestesia harus diperhitungkan dengan
teliti. Keadaan ini dapat membahayakan keadaan janin, bahkan
dapat menimbulkan kematian ibu. Komplikasi yang mungkin
terjadi antara lain aspirasi paru, gangguan respirasi, dan gangguan
kardiovaskular.

1.2 Tujuan
1. Menganaalisis persiapan pre-anastesi terhadap pasien G1P0A0
hamil aterm dengan preeklamsia berat belum inpartu janin
tunggal hidup presentasi kepala.
2. Menganalisis intra-operatif seksio sesarea transprofunda
(SSTP) terhadap pasien G1P0A0 hamil aterm dengan
preeklamsia berat belum inpartu janin tunggal hidup presentasi
kepala.
3. Menganalisis post-operatif SSTP terhadap pasien G1P0A0
hamil aterm dengan preeklamsia berat belum inpartu janin
tunggal hidup presentasi kepala.

1.3 Manfaat
1. Kesempatan bagi penulis untuk mengintegrasikan ilmu yang
telah didapat selama stase anastesi dan terapi intensif dengan
melakukan pembedahan kasus secara ilmiah
2. Menambah pengetahuan dan pengalaman
3. Hasil laporan kasus dapat dijadikan sumber kepustakaan
mengenai regional anastesi pada G1P0A0 hamil aterm dengan
preeklamsia berat belum inpartu janin tunggal hidup presentasi
kepal

6
BAB II
LAPORAN KASUS

REKAM MEDIS
A. Anamnesis
Alloanamnesis
1. Identitas
Nama : Ny. D
Med.Rec : 844345
Umur : 27 tahun
Suku bangsa : Bengkulu
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tanga
Alamat : Jalan Nangka
MRS : 14 Desember 2020

2. Riwayat Perkawinan
Kawin 1 kali, lamanya 1 tahun sebagai istri sah.

3. Riwayat Reproduksi
Menarche : 13 tahun
Siklus haid : 28 hari, teratur
Lama haid : 5-7 hari
Hari pertama haid terakhir : 10 Maret 2020
Taksiran persalinan : 17 Desember 2020
KB :-

4. Riwayat Kehamilan/Melahirkan
1. Hamil ini.

7
5. Riwayat Antenatal Care
Pasien mengaku melakukan Antenatal Care (ANC) di bidan, namun tidak
rutin dilakukan setiap bulan. Tidak pernah memeriksa kandungannya ke
dokter spesialis kandungan.

6. Riwayat Gizi/Sosial Ekonomi


Pasien memiliki BB 70 kg, TB 155 cm, dan BMI 29,16 kg/m2, sehingga
pasien termasuk kategori overweight. Pasien memiliki riwayat sosial
ekonomi yang sedang. Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal.

7. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi : Tidak ada
Riwayat Penyakit Jantung : Tidak ada
Riwayat Epilepsi : Tidak ada
Riwayat Diabetes Melitus : Tidak ada
Riwayat Penyakit Ginjal : Tidak ada
Riwayat Hipatitis : Tidak ada
Riwayat HIV : Tidak ada
Riwayat Operasi : Tidak ada
Riwayat Asma : Tidak ada
Riwayat Alergi : Tidak ada
Riwayat Operasi : Tidak ada
Riwayat Transfusi darah : Tidak ada

8. Anamnesis Khusus
Keluhan utama :
Hamil cukup bulan dengan darah tinggi

Riwayat perjalanan penyakit :


+ 1 hari SMRS Os kontrol hamil ke dokter spesialis dan dikatakan darah
tinggi, lalu disarankan ke RS MYUNUS. R/perut mules yang menjalar
ke pinggang hilang timbul makin lama makin sering dan kuat (-). R/
keluar air-air (-). R/ keluar darah lendir (-). R/ darah tinggi sebelum
hamil (-). R/ darah tinggi dalam keluarga (+). R/ sakit kepala (-).
R/pandangan mata kabur (-). R/ mual, muntah (-). R/ nyeri ulu hati (-). Os
mengaku hamil cukup bulan dan gerakan anak masih dirasakan.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
a. Tanda Vital
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tipe badan : piknikus
Berat badan : 70 kg
Tinggi badan : 155 cm
2
IMT : 29,16 kg/m
Tekanan darah : 160/110 mmHg
Nadi : 85x/menit
Pernafasan : 21 x/menit
Suhu : 36,5°C

5. Status Generalis
a. Kepala
Bentuk : Normochepali, tidak ada deformitas
Rambut : Hitam, tidak rontok, tersebar merata
b. Wajah
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak pucat
c. Mata
Konjungtiva : Tidak anemis
Sclera : Tidak ikterik
Pupil : Isokhor, reflek cahaya langsung +/+
Reflek cahaya tidak langsung +/+
Gerakan bola mata baik
d. Telinga
: Simetris, sekret (-), NT tragus (-)
e. Hidung

Bagian luar : Normal, tidak terdapat deformitas


Septum : Terletak di tengah dan simetris
f. Mulut dan Tenggorok
Bibir : Normal, tidak pucat, tidak sianosis
Mukosa mulut : basah, tidak hiperemis
Tonsil : Tidak hiperemis, ukuran T1-T1
Faring : Tidak hiperemis, arcus faring simetris
g. Leher
Bendungan vena : Tidak terdapat bendungan vena
Kelenjar tiroid : Tidak membesar, massa (-)
Trakea : Di tengah, deviasi (-)
JVP : (5-2) cmH2O
KGB : Tidak membesar, tidak ada masa
h. Kulit Warna : Kocokelatan, tidak pucat
i. Thoraks
- Paru
Inspeksi : Bentuk dan gerak simetris kiri dan kanan
Palpasi : Stem fremitus dinding dada kiri sama
dengan dinding dada kanan
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing
-/-
- Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V LMC sinistra
Perkusi : Batas atas jantung ICS II, batas kanan
jantung linea parasternalis dekstra, batas
kiri jantung ICS V LMC sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur(-),
gallop (-)

j. Abdomen
St. Obstetri:
Pemeriksaan : FUT 3 jari di bawah prosesus xipoideus (31 cm),
Luar memanjang, punggung kiri, kepala, u 5/5, His -,
DJJ: 136 x/menit , TBJ: 2945 gram
Inspekulo : Tidak dilakukan
Vaginal Toucher : Portio lunak, posterior, eff 0%, Ø kuncup,
kepala, flosting, ketuban dan petunjuk belum
dapat dinilai
k. Ekstremitas
Tidak tampak deformitas
Akral hangat pada keempat ekstremitas, CRT <2”
Terdapat edema pada kedua ekstremitas inferior, pitting edema (-)
C. Pemeriksaan Penunjang

Hasil Laboratorium (14 Desember 2020)


Hb : 12,4 g/dl (12 – 16 g/dl)
Hematokrit : 39% (40-54%)
3 3
Leukosit : 11.500/mm (4000 – 10.000 mm )
3 3
Trombosit : 381.000/mm (150.000 – 400.000/mm )
Clothing Time : 3’15” (2-6menit)
Bleeding Time : 1’40“ (1-6menit)
Urinalisis : Warna kuning keruh
Protein (+2)
Bilirubin (-)
Darah (-) Epitel
(+) Bakteri (-)

E. KESAN ANASTESI
Wanita 27 tahun hamil aterm menderita preeklampsia berat dengan status
fisik
ASA II

F. PENATALAKSANAAN
 Puasa 6-8 jam pre op
 Cairan pre op Ringer Laktat 20 tpm
 Konsul obgyn rencana operatif SSTP
 Konsul ke bagian Anastesi
 Informed consent pembedahan dan pembiusan dengan status ASA II

G. PRE-OPERATIF
Pasien tiba di ruang OK
Kondisi pasien :
- KU : Tampak sakit sedang
- TD : 190/130 mmHg
- Nadi : 110 x/m
- RR : 20 x/m
- Premedikasi : Ondansetron 4 mg IV
5 Aman :
Amankan diri
Amankan pasien
Amankan alat anestesi
Amankan obat-obatan anestesi
Amankan lingkungan

 Amankan Diri
Pesiapan diri pre-anastesi pada kasus ini sebagai berikut
1. Sehat mental, fisik, jasmani, dan rohani.
2. Memahami pasien sebelum melakukan tindakan anastersi, memahami
perubahan fisiologis pada kehamilan, pre-eklamsi, dan anastesi yang
biasa digunakan untuk operasi seksio sesarea pada wanita hamil
dengan pre-eklamsi.
3. Persiapan alat pelindung diri (APD).

 Amankan Pasien
Anamnesis pasien menanyakan keluhan pasien, riwayat operasi,
riwayat alergi, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat merokok dan
mengkonsumsi alkohol. Melakukan pemeriksaan fisik pada pasien.
Informed Consent Pembedahan dan Pembiusan dengan status ASA II.
Premedikasi yang Ondansentron 4 mg. Makan terakhir pukul 22:00
WIB, cairan infus yang diberikan Ringer Laktat dengan cairan
pengganti puasa: 6 jam x 2 ml/kg jam x 70 kg = 840 cc.
Lakukan pemeriksaan 6B pada pasien yang akan dioperasi.
Pemeriksaan 6B pada kasus ini sebagai berikut.

B1 (Breath)
- Airway : Tidak ada sumbatan jalan napas
- Frekuensi pernapasan : 24 x/menit, regular
- Suara Pernapasan : Vesikuler (+/+)
- Suara tambahan : Wheezing (-/-), rhonki (-/-)
- Riwayat asma : Tidak ada
- Riwayat batuk : Tidak ada
- Riwayat aleregi : Tidak ada

B2 (Blood)
- Tekanan darah : 190/130 mmHg
- Frekuensi nadi : 110 x/menit, regular, isi dan
tegangan cukup
- Temperatur : 36,5 ⁰C
- Akral : Hangat dan CRT < 2 detik
- Konjungtiva palpebra : Tidak anemis dan tidak ikterik
B3 (Brain)
- Sensorium : Kompos mentis (GCS 15)
- Refleks Cahaya : (+/+)
- Pupil : Isokor (2 mm / 2 mm)
- Refleks fisiologis : Reflex patella (+/+)
- Refleks patologis :-
- Riwayat kejang :-
- Nyeri kepala :-
- Pandangan kabur :-
- Muntah proyetil :-
B4 (Bladder)
- Urin :+
- Volume : Cukup
- Warna : Kuning pekat
- Kateter :+
B5 (Bowel)
- Abdomen : FUT 3 jari di bawah prosesus
xipoideus (31 cm), memanjang,
punggung kiri, kepala, u 5/5, His -,
DJJ: 136 x/menit , TBJ: 2945 gram
- Bising usus : + normal
- Mual dan muntah :-
- Flatus dan BAB :+
- NGT :-

B6 (Bone)
- Edema : Edema di keempat ekstremitas
- Fraktur :-
- Luka :-

 Amankan Obat Premedikasi dan Alat


Sebelum operasi dimulai maka yang dilakukan adalah sebagi berikut.
1. Menyiapkan alat STATICS
2. Memasang sensor finger pada ibu jari tangan pasien untuk monitoring
SpO2.
3. Memasang manset pada lengan pasien untuk monitoring tekanan
darah.
4. Memastikan cairan infus berjalan lancar.
5. Persiapan induksi obat anastesi

 Amankan Mesin Anastesi


Sebelum pemberian anestesi, pemeriksaan mesin dan fungsi
sistem harus dilakukan.
1. Memastikan bahwa perangkat ventilasi cadangan tersedia dan
berfungsi.
2. Memastikan suplai tabung oksigen memadai.
3. Memastikan suplai jalur pipa utama dengan cara memastikan bahwa
seluruh selang tersambung.
4. Memeriksa level isi vaporizer dan mengencangkan penutup bagian
pengisian vaporizer.
5. Memeriksaan kebocoran pada mesin sistem tekanan rendah.
6. Menyesuaikan dan memastikan scavenging system dengan

 Amankan Lingkungan
Memastikan lingkungan tempat operasi sudah siap dan lengkap
untuk digunakan.

H. INTRA-OPERATIF
A. INDUKSI ANESTESI
Anestesi regional dengan teknik spinal (subarachnoid)
menggunakan bupivacain konsentrasi 0,5% hyperbarik sebanyak 3 cc
(15mg).

B. PROSEDUR ANESTESI
Prosedur Anastesi regional pada kasus ini sebagai berikut
1. Anestesi regional dengan teknik spinal anestesi,
2. Setelah dipasang IV line, monitor (tekanan darah, nadi, saturasi oksigen) dan
oksigen kanul 3 liter/menit
3. Pasien dengan posisi duduk, tandai dimana akan dilakukan tusukan, dengan
teknik aseptik-antiseptik, dilakukan tusukan pada lokasi Lumbal 3 – 4.
4. Anestesi lokal bupivacain HCL konsentrasi 0,5% hyperbaric, jumlah 3 cc (15 mg)
dengan jarum spinocan G.27. Anestesi dimulai jam 13:00 WIB, operasi dimulai
jam 13:10 WIB. Operasi berlangsung selama ± 60 menit.

Durante operasi
- lama operasi ± 60 menit
- HR : berkisar 110 – 130 x/menit
- Saturasi oksigen berkisar antara 98% - 100%
- Cairan yang keluar : Perdarahan (700 cc)

Monitoring Selama Anestesi.


Jam TD Nadi SaO2 Keterangan
16.00 160/100 130 100% Masuk ruang operasi, sebelum masuk ruang operasi
pasien sudah diberikan obat nifedipine 10 mg,
MgSO4 40% 8 mg boka-boki secara intramuscular
(loading dose), dan ondansentron
16.05 165/110 122 100% -
16.10 154/98 115 98% Mulai operasi
16.15 150/92 120 100% -
16.20 162/104 112 100% -
16.25 155/100 111 99% Lahir neonates hidup, perempuan, BB 2900 gram,
PB 48 cm, LK/LD 32 cm/31 cm A/S 8/9 FT AGA
16.30 142/90 120 99% - Drip oksitosin 20 IU dalam RL 500 cc xx tetes
permenit
- Inj. Asam tranexamat 1 gram (iv)
16.35 145/90 121 100% -
16.40 150/100 110 100% Plasenta lahir lengkap
16.45 155/97 118 100% -
16.50 161/103 122 99% -
16.55 160/100 120 100% -
17.00 150/90 112 100% -
17.05 150/96 110 100% -
17.10 150/90 124 99% Operasi Selesai
17.15 160/100 111 100% Pronalges supp. 200 mg
Perhitungan Terapi Cairan
 Cairan pengganti puasa : 6 jam x 2 ml/kg jam x 70 kg = 840 cc
 Maintenance : 2 ml x 70 kg = 140 cc
 Stress operasi : 6 x 70kg = 420 cc
 EBV : 65 x 70 kg = 4.550 cc

Cara Pemberian Terapi Cairan


 Jam I = (50% x pengganti puasa) + maintenance + stress operasi +
pengganti jumlah pendarahan
= (50% x 840) + 140 + 420 + 700 = 1680 cc kristaloid
Perdarahan
Perkiraan perdarahan yang terjadi selama operasi
 Tabung suction : 400 cc
 Kassa kecil : 10 x 10 cc = 100 cc
 Kassa besar : 2 x 100 cc = 200 cc
 Perkiraan total perdarahan : 700 cc
 Volume urin : 300 cc
 IWL : 15 x 70 kg / 24 jam = 43,7/ jam ≈ 44 cc/jam

Balance Cairan
Perhitungan balance cairan pasien pada kasus ini sebagai berikut
 Input : 1760 cc
 Output : Urin + IWL + Perdarahan + Maintenance + Stress Operasi
: 300 cc + 44 cc +700 cc + 140 cc+ 420 cc
: 1604 cc
 Balance Cairan : + 158 cc

D. PENANGANAN POST-OPERATIF

- Ketoprofen 200mg supp.


- Novaldo (Metamizole) 2 ampul
- Aldarete Score: 9 (layak ditransport ke ruang perawatan)
- Makan minum biasa saat bising usus (+), mual (-), muntah (-).
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Hipertensi Dalam Kehamilan

3.1.1 Klasifikasi Hipertensi Dalam Kehamilan


American College Of Obstetricians and Gynecologist membagi HDK
menjadi 4 kategori yaitu:
a. Preeklampsia-eklampsia
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan setelah
usia 20 minggu kehamilan ditambah dengan adanya proteinuria atau tanpa
proteinuria dengan perburukan hasil laboratorium. Eklampsia adalah suatu
fase konvulsi dari preeklampsia, biasanya didahului oleh beberapa tanda
dan gejala seperti nyeri kepala hebat dan hiperrefleksia. Gejala dan tanda
tersebut biasanya menjadi suatu peringatan akan adanya eklampsia.
b. Hipertensi gestasional
Hipertensi gestasional adalah peningkatan tekanan darah yang
timbul pada kehamilan tanpa adanya proteinuria dan tanpa adanya
gangguan sistemik.
c. Hipertensi kronik
Hipertensi kronik adalah hipertensi yang terdeteksi sebelum 20
minggu kehamilan.
d. Superimposed preeklampsia
Superimposed preeklampsia adalah hipertensi kronik yang
berhubungan dengan preeklampsia.

Timbulnya tanda-tanda klinis berupa nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual dan
muntah pada penderita preeklampsia merupakan penanda awal akan
terjadinya eklampsia jika tidak segera ditatalaksana dengan tepat dapat
memberikan komplikasi pada ibu dan anak.
Serangan kejang pada eklampsia tidak selalu didahului gejala-gejala
prodromal, sehingga pengenalan klinik terhadap gejala-gejala impending
eklampsia seperti nyeri kepala hebat, pandangan kabur, nyeri ulu hati, dapat
dijadikan sebagai clinical warning even dalam mencegah kejang dan berbagai
komplikasi selanjutnya.

3.1.2 Etiologi Preeklampsia


Penyebab preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan
pasti.Banyak teori yang menjelaskan tentang penyebab preeklampsia tetapi
tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Berikut beberapa teori
yang menjelaskan etiologi dari preeclampsia antara lainteori kelainan
vaskularisasi plasenta yaitu pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi
invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks
sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga
lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan
vasodilatasi.Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi dan
terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis” sehingga aliran darah utero
plasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
Plasenta yang mengalami iskemia akibat tidak terjadinya invasi trofoblas
secara benar akan menghasilkan radikal bebas (oksidan). Salah satu radikal
bebas penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil.
Radikal hidroksil akan mengubah asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida
lemak. Peroksida lemak akan merusak membran sel endotel pembuluh darah.
Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel,
bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel.Keadaan ini disebut sebagai
disfungsi endotel.Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang
mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi gangguan
metabolisme prostaglandin karena salah satu fungsi sel endotel adalah
memproduksi prostaglandin. Dalam kondisi ini terjadi penurunan produksi
prostasiklin (PGE2) yang merupakan suatu vasodilator kuat.Kemudian, terjadi
agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami
kerusakan.Agregasi trombosit memproduksi tromboksan yang merupakan
suatu vasokonstriktor kuat. Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor
(endotelin) dan penurunan kadar NO (vasodilatator), serta peningkatan faktor
koagulasi sehingga terjadilah kenaikan tekanan darah.
3.1.3 Faktor Resiko
Terdapat banyak factor risiko untuk terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, yang dapat dikelompokkan dalam factor risiko sebagai berikut:

Dikutip dari PNPK Preeklampsia, 2016

3.1.4 Penegakkan diagnosis Preeklampsia


Seperti telah disebutkan sebelumnya, preeklampsia didefinisikan sebagai
suatu kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan adanya disfungsi
plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik dengan
aktivasi endotel dan sistem koagulasi.Kriteria tekanan darah pada preeklamsia
adalah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik dan
peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110
mmHg diastolik untuk preeklamsia berat.Menurut kriteria terbaru yang
didapatkan dari ACOG 2013, beberapa wanita yang menderita preeklampsia
dan tanda multisistemik yang mengindikasikan beratnya derajat preeklampsia
justru tidak terdapat tanda proteinuria.Pada kondisi ketidakhadiran
proteinuria, preeklampsia didiagnosis jika terdapat suatu hipertensi yang
terjadi bersamaan dengan trombositopenia (trombosit <100.000/mL),
meningkatnyafungsi hepar (meningkatnya enzim transaminase hepar >2 kali
lipat dari nilai normal, adanya perburukan fungsi ginjal dan tidak ada
penyakit ginjal lainnya), edema pulmonal, kejadian baru gangguan pada otak
(new onset cerebral disturbances) dan gangguan pada penglihatan (new onset
visual disturbances).

Dikutip dari PNPK Preeklampsia 2016

3.1.5 Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan preeklamsia berat adalah mencegah timbulnya
kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan intrakranial serta
kerusakan dari organ-organ vital dan melahirkan bayi dengan
selamat.Pada preeklamsia berat, penundaan merupakan tindakan yang
salah.Karena preeklamsia sendiri bisa membunuh janin.
1. Pengobatan Medikamentosa
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk
rawat inap dan dianjurkan untuk tirah baring miring ke kiri. Pemeriksaan
sangat teliti diikuti dengan observasi harian tetang tanda-tanda klinik
berupa: nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium, dan kenaikan
cepat berat badan. Selain itu perlu dilakukan penimbangan berat badan,
pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan USG.
Perawatan yang penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan
cairan karena penderita preeklampsia dan eklampsia memiliki risiko tinggi
untuk mengalami edema paru dan oliguria.Harus dilakukan pengukuran
secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan oleh
urin.Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan
koreksi.Selain diberikan cairan, dipasang juga Foley Catheter
untuk mengukur pengeluaran urin. Dikatakan oliguria bila produksi urin <
30 cc/jam dalam 2 – 3 jam atau < 500 cc dalam 24 jam.
Dapat diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga
bila mendadak kejang, dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung
yang sangat asam.Diet yang diberikan cukup protein, rendah karbohidrat,
lemak, dan garam.
a. Pemberian magnesium sulfat untuk mencegah kejang
Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan untuk
eklampsia di Eropa danAmerika Serikat.Tujuan utama pemberian
magnesium sulfat pada preeklampsia adalah untukmencegah dan
mengurangi angka kejadian eklampsia, serta mengurangi morbiditas dan
mortalitasmaternal serta perinatal.Cara kerja magnesium sulfat belum dapat
dimengerti sepenuhnya. Salah satu mekanisme kerjanyaadalah
menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos, termasuk
pembuluh darahperifer dan uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan,
magnesium sulfat juga berguna sebagaiantihipertensi dan tokolitik.
Magnesium sulfat juga berperan dalam menghambat reseptorN-metil-D-
aspartat (NMDA) di otak, yang apabila teraktivasi akibat asfiksia, dapat
menyebabkanmasuknya kalsium ke dalam neuron, yang mengakibatkan
kerusakan sel dan dapat terjadi kejang.Cara pemberian :
 Loading dose : initial dose
o 8 gram MgSO4intramuskular bokong kiri dan kanan.
 Maintenance dose :
o 4 gram MgSO4intramuskular tiap 4 – 6 jam.
 Syarat pemberian MgSO4 :
o Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu
kalsium glukonas 10 % = 1 g (10 % dalam 10 cc) diberikan IV 3
menit.
o Refleks patella (+) kuat.
o Frekuensi pernapasan > 16 kali / menit , tidak ada tanda-tanda distress
napas.
 Magnesium sulfat dihentikan bila :
o Ada tanda-tanda intoksikasi
o Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir
 Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
o Dosis terapeutik 4 –7 mEq/l 4.8 – 8.4 mg/dl
o Hilangnya refleks tendon 10 mEq/ l 12 mg/dl
o Terhentinya pernapasan 15 mEq/l 18 mg/dl
o Terhentinya jantung > 30 mEq/l > 36 mg/dl
 Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4 maka diberikan salah
satu obat berikut: thiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam,
atau fenitoin.
b. Pemberian
antihipertensi
Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan
- sedang (tekanandarah 140 – 169 mmHg/90 – 109 mmHg), masih
kontroversial. European Society of Cardiology (ESC)guidelines 2010
merekomendasikan pemberian antihipertensi pada tekanan darah sistolik
≥160mmHg atau diastolik ≥90mmHg pada wanita dengan hipertensi
gestasional (dengan atau tanpaproteinuria), hipertensi kronik
superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi dengan gejala
ataukerusakan organ subklinis pada usia kehamilan berapapun.
Metaanalisis RCT yang dilakukan oleh Magee, dkk menunjukkan
pemberian antihipertensi padahipertensi ringan menunjukkan penurunan
insiden hipertensi berat dan kebutuhan terapiantihipertensi tambahan. Dari
penelitian yang ada, tidak terbukti bahwa pengobatan antihipertensi dapat
mengurangi insidenpertumbuhan janin terhambat, solusio plasenta,
superimposed preeklampsia atau memperbaikiluaran perinatal. Dari hasil
metaanalisis menunjukkan pemberian anti hipertensi meningkatkan
kemungkinan terjadinya pertumbuhan janin terhambat sebanding dengan
penurunan tekanan arterirata-rata. Hal ini menunjukkan pemberian
antihipertensi untuk menurunkan tekanan darahmemberikan efek negatif
pada perfusi uteroplasenta. Oleh karena itu, indikasi utama pemberianobat
antihipertensi pada kehamilan adalah untuk keselamatan ibu dalam
mencegah penyakitserebrovaskular. Meskipun demikian, penurunan
tekanan darah dilakukan secara bertahap tidaklebih dari 25% penurunan
dalam waktu 1 jam. Hal ini untuk mencegah terjadinya penurunan
alirandarah uteroplasenter.
Antihipertensi yang aman dan sering digunakan untuk terapi hipertensi
masa kehamilan adalah golongan obat cacium channel blocker yaitu
nifedipin tablet dengan dosis 3x10 mg per oral dapat diulangi setiap 30
menit apabila target penurunan tekanan darah belum tercapai dengan dosis
maksimal 120 mg dalam 24 jam.

2. Sikap terhadap Kehamilan


Berdasarkan Williams Obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan
perkembangan gejala-gejala preeclampsia berat selama perawatan, maka
sikap terhadap kehamilannya dibagi menjadi:
a. Aktif (aggressive management): berarti kehamilan segera diakhiri/
diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa
b. Konservatif(expectative management): berarti kehamilan tetap
dipertahankan bersamaan dengan pemberian pengobatan
medikamentosa.
 Manajemen aktif, Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau
lebih dari keadaan berikut ini:

 Manajemen ekspetatif Preeklamsia Berat


Manajemen ekspetatif direkomendasikan pada kasus preeklamsia berat
dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu
dan janin stabil. Direkomendasikan untuk melakukan perawatan di fasilitas
kesehatan yang adekuat dengan tersedianya perawatan intensif bagi
maternal dan neonatal. Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspetatif,
pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan
paru janin.
3.1.6 Prognosis
Prognosis preeklampsia berat dan eklampsia dikatakan buruk apabila
tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat. Angka kematian ibu dengan
preeklamsia-eklamsia sebesar 9,8-20,5%, sedangkan kematian bayi lebih
tinggi lagi, yaitu 42,2–48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang
sempurnanya pengawasan antenatal, disamping itu penderita eklampsia
biasanya sering terlambat mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya
karena perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal,
dan aspirasi cairan lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas dan
hipoksia intrauterin.

3.2 Seksio Sesarea


3.2.1 Definisi Seksio sesarea
Seksio sesarea atau persalinan sesarea didefinisikan sebagai melahirkan
janin melalui insisi dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus
(histerotomi). Definisi ini tidak mencakup pengangkatan janin dari kavum
abdomen dalam kasus ruptur uteri/kehamilan abdominal. 5 Tindakan ini
dilakukan untuk mencegah kematian ibu dan bayi karena kemungkinan-
kemungkinan komplikasi yang dapat timbul bila persalinan tersebut
berlangsung pervaginam.5

3.2.2 Epidemiologi Seksio Sesarea


Sejak tahun 1985, international healthcare community telah
menyetujui nilai ideal untuk seksio sesarea adalah 10-15% dan mengatakan
bahwa seksio sesarea secara efektif dapat mencegah mortilitas dan morbiditas
ibu dan janin. Sejak saat itu seksio sesarea menjadi meningkat di Negara
berkembang maupun Negara maju dan memuncak pada tahun 2009 dengan
angka 38,5%. Menurut para ahli, seksio sesarea berhubungan dengan risiko
jangka pendek maupun risiko jangka panjang dimana dapat berakibat pada
kesehetan ibu, janin dan kehamilan selanjutnya.6 Journal of the American
Medical Association mengatakan bahwa pada tahun 2015 angka kejadian
seksio sesarea berubah menjadi 19%.7
Seksio sesarea di Indonesia hanya dilakukan atas dasar indikasi medis
tertentu dan kehamilan dengan komplikasi. Hasil Riskesdas 2013
menunjukkan kelahiran bedah sesar di Indonesia sebesar 9,8 persen dengan
proporsi tertinggi di DKI Jakarta (19,9%) dan terendah di Sulawesi Tenggara
(3,3%) dan di Bengkulu sendiri angka kelahiran melalui sesar adalah 5,9-
6,5%.8,9

Gambar 2.1. Proporsi persalinan sesar dari kelahiram periode 1 Januari 2010-2013
menurut provinsi, Indonesia.8

3.2.3 Klasifikasi Seksio Sesarea


a Seksio sesarea transperitoneal profunda merupakan suatu pembedahan
dengan melakukan insisi pada segmen bawah uterus. Hampir 99% dari
seluruh kasus seksio sesarea dalam praktek kedokteran dilakukan dengan
menggunakan teknik ini, karena memiliki beberapa keunggulan seperti
kesembuhan lebih baik, dan tidak banyak menimbulkan perlekatan.
Adapun kerugiannya adalah terdapat kesulitan dalam mengeluarkan janin
sehingga memungkinkan terjadinya perluasan luka insisi dan dapat
menimbulkan perdarahan Arah insisi melintang (secara Kerr) dan insisi
memanjang (secara Kronig).
b Seksio sesarea klasik (corporal), yaitu insisi pada segmen atas uterus atau
korpus uteri. Pembedahan ini dilakukan bila segmen bawah rahim tidak
dapat dicapai dengan aman (misalnya karena perlekatan yang erat pada
vesika urinaria akibat pembedahan sebelumnya atau terdapat mioma pada
segmen bawah uterus atau karsinoma serviks invasif), bayi besar dengan
kelainan letak terutama jika selaput ketuban sudah pecah. Teknik ini juga
memiliki beberapa kerugian yaitu, kesembuhan luka insisi relatif sulit,
kemungkinan terjadinya ruptur uteri pada kehamilan berikutnya dan
kemungkinan terjadinya perlekatan dengan dinding abdomen lebih besar.
c Seksio sesarea yang disertai histerektomi, yaitu pengangkatan uterus
setelah seksio sesarea karena atoni uteri yang tidak dapat diatasi dengan
tindakan lain, pada uterus miomatousus yang besar dan atau banyak, atau
pada ruptur uteri yang tidak dapat diatasi dengan jahitan
d Seksio sesarea vaginal, yaitu pembedahan melalui dinding vagina anterior
ke dalam rongga uterus. Jenis seksio ini tidak lagi digunakan dalam
praktek obstetri
e Seksio sesarea ekstraperitoneal, yaitu seksio yang dilakukan tanpa insisi
peritoneum dengan mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung
kemih ke bawah atau ke garis tengah.

3.2.4 Indikasi Seksio Sesarea


Insiden Dalam persalinan ada beberapa faktor yang menentukan
keberhasilan suatu persalinan, yaitu passage (jalan lahir), passenger
(janin), power (kekuatan ibu), psikologi ibu dan penolong. Apabila
terdapat gangguan pada salah satu faktor tersebut akan mengakibatkan
persalinan tidak berjalan dengan lancar bahkan dapat menimbulkan
komplikasi yang dapat membahayakan ibu dan janin jika keadaan tersebut
berlanjut (Manuaba, 1999).
Indikasi untuk seksio sesarea antara lain meliputi2
1. Indikasi Medis Terdiri dari 3 faktor: power, passanger, passage.
2. Indikasi Ibu adalah usia, tulang panggul sempit, persalinan sebelumnya
dengan seksio sesarea, faktor hambatan jalan lahir, kelainan kontraksi
rahim, ketuban pecah dini dan rasa takut kesakitan.
3. Indikasi Janin adalah ancaman gawat janin (fetal distress), bayi besar
(makrosemia), letak sungsang (presentasi bokong), faktor plasenta:
plasenta previa, solusio plasenta, plasenta akreta. Kelainan tali pusat:
prolapsus tali pusat, terlilit tali pusat.

Association of Scientific Medical Societies in Germany mengatakan


indikasi untuk seksio sesarea antara lain meliputi:
 Indikasi Absolut
 Tulang panggul sempit
 Korioamnionitis
 Deformitas panggul
 Eklampsia dan HELLP syndrome
 Asfiksia janin atau asidosis janin
 Prolapse umbilicus
 Plasenta previa
 Presentasi abnormal atau letak melintang
 Ruptur uterus
 Indikasi Relatif
 CTG patologis
 Fase laten memanjang
 Riwayat SC sebelumnya

Seksio sesarea dilakukan bila diyakini bahwa penundaan persalinan yang


lebih lama akan menimbulkan bahaya yang serius bagi janin, ibu atau bahkan
keduanya, atau bila persalinan pervaginam tidak mungkin dapat dilakukan dengan
aman. Berdasarkan laporan mengenai indikasi terbanyak di negara-negara maju
diperoleh hasil bahwa indikasi terbanyak untuk seksio sesarea adalah distosia
3,6%, diikuti oleh presentasi bokong 2,1%, gawat janin 2,0%, riwayat seksio
sesarea sebelumnya 1,4% dan lain-lain 3,7% dari 12,8% kasus seksio sesarea yang
terjadi.2 Di negara-negara berkembang dilaporkan dari penelitian selama 15 tahun
terhadap indikasi seksio sesarea, ada empat faktor klinis utama yang menjadi
indikasi seksio sesarea yang tidak berubah, yakni gawat janin (22%), partus tidak
maju (20 %), seksio sesarea ulangan (14%), dan presentasi bokong (11 %). Alasan
kelima yang paling sering membuat tindakan seksio sesarea adalah permintaan ibu
(7%). Di RSUP H Adam Malik dan RS Dr Pirngadi Medan dilaporkan oleh Mahdi
(1997) bahwa kejadian seksio sesarea dengan indikasi terbanyak adalah gawat
janin (15,85%), dan diikuti oleh kelainan letak (13,94%), panggul sempit
(13,76%), dan plasenta previa (12,20 %).

3.2.5 Kontraindikasi Seksio Sesarea


Seksio sesarea pada prinsipnya dilakukan untuk kepentingan ibu
dan janin namun pada umumnya seksio sesarea tidak dilakukan pada ibu
dengan syok, anemia berat belum diatasi, kelainan kongenital berat dan
kelainan pembekuan darah persalinan pervaginam lebih dianjurkan karena
insisi yang ditimbulkan dapat seminimal mungkin.11

3.2.6 Komplikasi Seksio Sesarea


Kelahiran sesarea bukan tanpa komplikasi, baik bagi ibu maupun
janinnya. Morbiditas pada seksio sesarea lebih besar jika dibandingkan
dengan persalinan pervaginam. Ancaman utama bagi wanita yang
menjalani seksio sesarea berasal dari tindakan anastesi, keadaan sepsis
yang berat, serangan tromboemboli dan perlukaan pada traktus urinarius,
infeksi pada luka.
Clark et al 2008 menemukan angka mortalitas ibu adalah 2,2 per
100.000 pelahiran Sesar. Hall dan Bewley (1999) di Inggris
memperlihatkan bahwa pelahiran Sesar darurat menyebabkan risiko
kematian ibu hampir 9 kali lipat daripada kelahiran pervaginam, bahkan
kelahiran sesar elektif menyebabkan risiko hampir tiga kali lipat. 12
Angka morbiditas ibu meningkat dua kali lipat pada kelahiran
Sesar dibandingkan dengan kelahiran pervaginam. Penyebab utama yaitu
infeksi nifas, perdarahan dan tromboemboli. Penelitian lain melaporkan
bahwa riwayat kejadian laserasi kandung kemih akibat seksio sesarea
adalah 1,4 per 1000 tindakan Sesar dan insiden cedera ureter adalah 0,3
per 1000 tindakan Sesar. Walaupun cedera kandung kemih dapat segera
diketahui, diagnosis cedera ureter sering terlambat ditemukan. Wanita
dengan riwayat seksio sesarea mengalami kejadian ruptur uterus yang
lebih sering terjadi dibandingkan dengan kelahiran pervaginam. Semua
morbiditas ini dan meningkatnya angka pemulihan mennyebabkan
peningkatan biaya dua kali lipat pada pelahiran Sesar daripada pelahiran
pervaginam. 2

3.2.7 Diagnosis
Riwayat seksio sesarea tidak harus selalu diikuti dengan tindakan
seksio sesarea pada persalinan berikutnya. Percobaan Persalinan
Pervaginam pada Pasien Pernah Seksio (P4S) dapat dilakukan pada
sebagian besar wanita dengan insisi uterus transversal rendah dan tidak
ada kontraindikasi persalinan pervaginam. Kriteria seleksi pasien yang
mencoba Persalinan Pervaginam pada Pasien Pernah Seksio (P4S) atau
Vaginal Birth After Caesarea (VBAC) menurut American College of
Obstetricians and Gynecologists (ACOG), yaitu: 5
1. Satu kali riwayat seksio dengan insisi transversal rendah
2. Pelvis adekuat secara klinis
3. Tidak ada parut uterus lain atau riwayat ruptur uteri
4. Dokter mendampingi selama persalinan, dapat memonitor persalinan
dan melakukan seksio sesarea segera (dalam waktu 30 menit)
5. Tersedianya dokter anastesi dan personil untuk melakukan seksio
sesarea segera.
Beberapa persyaratan lainnya antara lain: 2
1. Tidak ada indikasi seksio sesarea (lintang, plasenta previa)
2. Terdapat catatan medik yang lengkap mengenai riwayat seksio
sesarea sebelumnya (operator, jenis insisi, komplikasi, lama
perawatan).
3. Segera mungkin pasien dirawat di RS setelah persalinan mulai.
4. Tersedia darah untuk transfusi.
5. Janin presentasi verteks normal.
6. Pengawasan selama persalinan yang baik (personil, partograf,
fasilitas)
7. Adanya fasilitas dan perawatan bila dibutuhkan seksio sesarea
darurat.
8. Persetujuan tindak medik mengenai keuntungan maupun risikonya.

Sedangkan kontraindikasi P4S menurut ACOG 5


1. Riwayat insisi klasik atau T atau operasi uterus transfundal lainnya
(termasuk riwayat histerotomi, ruptura uteri, miomektomi ekstensif).
2. Panggul sempit atau makrosomia
3. Komplikasi medis atau obstetri yang melarang persalinan
pervaginam
4. Ketidakmampuan melaksanakan seksio sesarea segera karena tidak
adanya operator, anastesia, staf atau fasilitas.
Untuk memperkirakan keberhasilan P4S, dibuat sistem penilaian
dengan memperhatikan beberapa variabel yaitu nilai Bishop, persalinan
pervaginam sebelum seksio sesarea, dan indikasi seksio sesarea
sebelumya. Weinstein et al telah menyusun sistem penilaian untuk
memperkirakan keberhasilan P4S. Namun, menurut ACOG, tidak ada
suatu cara yang memuaskan untuk memperkirakan apakah P4S akan
berhasil atau tidak.

Tabel 3.1 Sistem penilaian untuk memperkirakan keberhasilan P4S modifikasi Flamm-
Geiger adalah sebagai berikut:
No Faktor Nilai
1 Umur
Dibawah 40 tahun 2
Diatas 40 tahun 1
2 Riwayat persalinan pervaginam :
Sebelum dan setelah seksio sesarea 4
Setelah seksio sesarea 2
Sebelum seksio sesarea 1
Belum pernah 0
3 Indikasi seksio sesarea pertama selain kegagalan 1
kemajuan persalinan
4 Pendataran dan penipisan serviks saat tiba di Rumah
Sakit:
75% 2
25-75% 1
<25% 0
5 Dilatasi serviks > 4 cm 1
Nilai 0-2 : keberhasilan P4S 42-49%
Nilai 3 : keberhasilan P4S 60 %
Nilal 4 : keberhasilan P4S 67 %
Nilai 5 : keberhasilan P4S 77-79%
Nilai 6-7 : keberhasilan P4S 93%
Nilai8-10 : Keberhasilan P4S 95%
Tabel 3.2 Sistem skoring menurut Weinstein
Nilai*
No. Variabel Tidak Ya
1 Nilai bishop ≥ 4 0 4
2 Persalinan pervaginam sebelum 0 2
SC
3 Indikasi SC sebelumnya
-kategori A 0 6
Malpresentasi
Hipertensi dalam kehamilan
(HDK)
Gemeli
-kategori B 0 5
Plasenta previa atau solusio
plasenta
Prematuritas
Ketuban pecah dini
-kategori C 0 4
Fetal distress
CPD atau distosia
Prolaps tali pusat
-kategori D 0 3
Makrosomia
Pertumbuhan janin terhambat
(PJT)

*Nilai berkisar antara 0-12


Jumlah nilai tertinggi adalah 12, jika jumlah nilai adalah :
- ≥4, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 58%
- ≥6, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 67%
- ≥8, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 78%
- ≥10, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 85%
- ≥ 12, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 88%

3.3 Spinal Anestesi


3.3.1 Anatomi Dalam Spinal anestesi
Kolumna vertebralis terdiri atas 33 vertebre, yaitu 7 vertebra servikalis,
12 vertebra thorakalis, 5 vertebra lumbal, 5 vertebra sacral dan 4 vertebra
coccygeus. Disatukan oleh ligamentum vertebralis membentuk kanalis
spinalis dimana medulla spinalis terdapat didalamnya. Kanalis spinalis terisi
oleh medulla spinalis dan meningen, jaringan lemak, dan pleksus venosus.
2
Sebagian besar vertebra memiliki corpus vertebra, 2 pedikel dan 2 lamina.
3
Gambar 1. Anatomi vertebrae

Untuk menjaga dan mempertahankan medulla spinalis seluruh vertebra


dilapisi oleh beberapa ligamentum. Tiga ligamentum yang akan dilalui pada
prosedur spinal anestesi teknik midline adalah ligamentuim supraspinosum,
2,3
ligamentum interspinosum dan ligamentum flavum. Ligamentum
interspinosum bersifat elastis, pada L3-4, panjangnya sekitar 6 mm dan pada
posisi fleksi maksimal menjadi 12 mm. Ligamentum flavum merupakan
ligamentum terkuat dan tebal, diservikal tebalnya sekitar 1,5-3 mm, thorakal
3-6 mm, sedangkan daerah lumbal sekitar 5-6 mm. Medulla spinalis
dibungkus oleh tiga jaringan ikat yaitu durameter, arakhnoid, dan piameter
yang membentuk tiga ruangan yaitu; ruang epidural, sudural dan
subarachnoid. Ruang subarakhnoid adalah ruang yang terletak antara
arakhnoid dan piameter. Ruang subarakhnoid terdiri dari trabekel, saraf
spinalis, dan cairan serebrospinal. Ruang subdural merupakan suatu ruangan
yang batasnya tidak jelas, yaitu ruangan potensial yang terletak antara dura
dan membrane arakhnoid. Ruang epidural didefinisikan sebagai ruangan
potensial yang dibatasi oleh durameter dan ligamentum flavum. Medulla
spinalis secara normal hanya sampai level vertebra L1 atau L2 pada orang
dewasa. Pada anak-anak medulla spinalis berakhir pada lvel L3. Dibawah
level ini elemen saraf berupa akar-akar saraf yang keluar dari conus
medularis yang sering disebut dengan cauda equine terendam dalam cairan
2
serebrospinal.
3
Gambar 2. Anatomi vertebra lumbal 4

3.3.2 Anestesi Spinal


Analgesia atau anestesia regional adalah tindakan analgesia yang
dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestetika local pada lokasi serat
saraf yang menginervasi regio tertentu, yang menyebabkan hambatan
4
konduksi impuls aferen yang bersifat temporer. Jenis – jenis analgesia
regional adalah blok saraf, blok pleksus brakhialis, blok spinal
4
subarachnoid, blok spinal epidural dan blok regional intravena
Analgesia spinal ialah pemberian obat anestetik local ke dalam ruang
subaraknoid. Anestesia spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik
5
local ke dalam ruang subaraknoid.
5
1. Indikasi
a) Bedah ekstremitas bawah
b) Bedah panggul
c) Tindakan sekitar rectum – perineum
d) Bedah obstetric – ginekologi
e) Bedah urologi
f) Bedah abdomen bawah
5
2. Kontraindikasi Absolut
a) Pasien menolak
b) Infeksi pada tempat suntikan
c) Hipovolemia berat, syok
d) Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
e) Tekanan intracranial meninggi
f) Fasilitasi resusitasi minim
g) Kurang pengalaman/tanpa didampingi konsultan anesthesia
5
3. Kontraindikasi Relatif
a) Infeksi sistemik
b) Infeksi sekitar tempat suntikan
c) Kelainan neurologis
d) Kelainan psikis
e) Bedah lama
f) Penyakit jantung
g) Hipovolemia ringan
h) Nyeri punggung kronis

5
3.3.2 Persiapan Analgesia Spinal
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anesthesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau
pasien gemuk sekali sehingga tidak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain
itu perlu diperhatikan hal – hal dibawah ini:
a) Informed consent; kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui
anesthesia spinal.
b) Pemeriksaan fisik; tidak dijumpai kelainan fisik seperti kelainan tulang
punggung.
c) Pemeriksaan laboratorium anjuran; Hemoglobin, hematokrit, protombin
time, thrombin time.

5
3.3.3 Peralatan Analgesia Spinal
a) Peralatan monitor; tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG
b) Peralatan resusitasi/anesthesia umum
c) Jarum spinal; jarum spinal dengan ujung tajam (quincke-Babcock) atau
jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point, whitecare)

3
Gambar 3. Jarum spinal (jarum tajam dan jarum pinsil)

5
3.3.4 Teknik Analgesia Spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan
posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan
menyebabkan menyebarnya obat.
a) Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral.
Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah
teraba. Posisi lain ialah duduk.
Gambar 4. Posisi pasien pada anastesi spinal (posisi duduk dan lateral
3
dekubitus)
b) Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya
L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau diatasnya berisiko trauma
terhadap medulla spinalis.
c) Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
d) Beri anastetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3 ml.
e) Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23
G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G
atau 29 G, dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu
jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira
2cm agak sedikit kea rah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau ke
bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/ detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau
anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90° biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukkan kateter.

G 6
ambar 5. Tusukan jarum pada anestesi spinal

f) Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah


hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum
flavum dewasa ± 6cm.

5
3.3.5 Anastetik lokal untuk Analgesia Spinal
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37°C ialah 1.003-1.008.
Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik.
Anestetik local dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik.
Anestetik local dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.
Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh
dengan mencampur anestetik local dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik
biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.

5
Tabel 2. Anestesi Lokal Pada Anestesi Spinal
Anestetik Lokal Berat Jenis Sifat Dosis
Lidokain
2% plain 1.006 Isobaric 20 -100 mg (2-5 ml)
5% dalam dekstrosa 1.033 Hiperbarik 20 – 50 mg (1-2 ml)
7,5%
Bupivakain
0,5% dalam air 1.005 Isobaric 5 - 20 mg (1-4 ml)
0,5 % dalam dekstrosa 1.027 Hiperbarik 5 – 15 mg (1-3 ml)
8,25%

5
Penyebaran anestetik local tergantung:
a) Faktor utama
1) Berat jenis anestetika local (barisitas)
2) Posisi pasien (kecuali isobarik)
3) Dosis dan volum anestetik local (kecuali isobarik)
b) Faktor tambahan
1) Ketinggian suntikan
2) Kecepatan suntikan/barbotase
3) Ukuran jarum
4) Keadaan fisik pasien
5) Tekanan intraabdominal
5
Lama kerja anestetik lokal tergantung:
a) Jenis anestetik lokal
b) Besarnya dosis
c) Ada tidaknya vasokonstriktor
d) Besarnya penyebaran anestetika lokal

5
3.3.6 Komplikasi tindakan
a) Hipotensi berat
Akibat blok simpatis, terjadi „venous pooling‟. Pada dewasa dicegah
dengan memberikan infuse cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500
ml sebelum tindakan.
b) Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok
sampai T-2.
c) Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali napas.
d) Trauma pembuluh darah
e) Trauma saraf
f) Mual-muntah
g) Gangguan pendengaran
h) Blok spinal tinggi, atau spinal total
5
Komplikasi pasca tindakan
a) Nyeri tempat suntikan
b) Nyeri punggung
c) Nyeri kepala karena kebocoran likuor
d) Retensio urin
e) Meningitis
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada pasien ini didiagnosis G1P0A0 hamil aterm belum inpartu


dengan preeklampsia berat janin tunggal hidup presentasi kepala dengan
status fisik ASA II dan akan dilakukan tindakan pembedahan berupa sectio
caeseria. Pada pembedahan tersebut akan dilakukan anestesi spinal karena
memenuhi indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal, yaitu bedah
obstetri – ginekologi dan merupakan tindakan pembedahan yang
berlokasi di abdomen bawah. Pada tindakan pembedahan tersebut juga
tidak terdapat kontraindikasi dari anestesi spinal. Atas dasar tersebut
maka, anestesi spinal menjadi pilihan.Pada kasus ini menggunakan obat
Bunascan yang mengandung Bupivacaine HCL 15 mg yang di disuntikkan
memakai jarum spinal no.26 pada regio L3 – L4. Bunascan berisi
bupivacain, merupakan anestesi lokal yang digunakan untuk mencegah
rasa nyeri dengan memblok konduksi sepanjang serabut saraf secara
reversible. Obat menembus saraf dalam bentuk tidak terionisasi (lipofilik),
tetapi saat di dalam akson terbentuk beberapa molekul terionisasi, dan
molekul-molekul ini memblok
+
kanal Na , serta mencegah pembentukan potensial aksi. Bupivacaine
memiliki onset 5 – 8 menit dengan durasi sampai 150 menit. Dosis
bupivacaine untuk blokade hingga T10 adalah 8-12 mg, sedangkan hingga
blockade T4 adalah 14-20 mg Bupivacaine memiliki periode analgesia
yang tetap setelah kembalinya sensasi.Pada pasien ini diberikan medikasi
preoperative ondansetron Hcl 4 mg untuk mencegah emesis selama
durante operasi. Ondansetron adalah antagonis reseptor serotonin 5-HT3
selektif yang ditemukan secara perifer pada terminal saraf vagal dan
sentral dalam zona pemicu kemoreseptor dari area postrema.
Ondansetron dapat mengantagonis efek emetik serotonin pada salah satu
atau kedua reseptor. Onset ondansetron < 30 menit dengan durasi 12 – 24
jam.
Diagnosa pasien Ny. D 27 tahun adalah G1P0A0 hamil 27
minggu belum inpartu dengan preeklampsia berat janin
tunggal hidup presentasi kepala. Diagnosis kerja sudah tepat,
berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang telah dilakukan pada pasien.
a. G1P0A0 ,menunjukkan pasien datang dengan keadaan sedang
hamil anak pertama, riwayat melahirkan belum pernah dan abortus
tidak ada.
b. Hamil aterm, berdasarkan hasil anamnesis HPHT pasien 10 Maret
2020,
c. Belum inpartu, dikarenakan pada pasien ini belum terdapat tanda-
tanda inpartu seperti penipisan dan bukaan dari servix, belum terdapat
HIS yang teratur dan belum terdapat keluarnya cairan lendir bercampur
darah (bloody show) yang keluar melalui vagina.
d. Preeklamsia berat, dikarenakan pasien datang dengan keluhan utama
hamil cukup bulan dan darah tinggi. Riwayat penyakit dahulu pasien
mengaku tidak memiliki riwayat hipertensi sebelum hamil. Dari hasil
pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah pasien 160/110 mmHg dan
pemeriksaan laboratorium urinalisa didapatkan proteinuria +2, disertai
dengan keluhan kedua kaki bengkak.
e. Janin tunggal hidup, berdasarkan hasil anamnesis pasien masih
merasakan gerakan janin.
f. Presentasi kepala, ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan leopold
bagian terbawah janin adalah bulat dan keras yang merupakan kepala.

Dasar pengelolaan preeklampsia bila kehamilan dengan penyulit


apapun pada ibunya, dilakukan pengelolaan sebagai berikut:
a. Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya yaitu terapi
medikamentosa dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya.
Pada kasus ini diberikan terapi medikamentosa berupa Inj MgSO4
40% sesuai protokol, nifedipin tab 3x10mg.
1. Inj MgSO4 40% diberikan sudah tepat. Pemberian obat ini bertujuan
untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian eklamsia, serta
mengurangi morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal.
Mekanisme kerja obat ini adalah dengan menyebabkan vasodilatasi
melalui relaksasi dari otot polos, termasuk pembuluh darah perifer
dan uterus,sehingga selain sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat
juga berguna sebagai antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat
juga berperan dalam menghambat reseptor N- metil-D-aspartat
(NMDA) di otak, yang apabila teraktivasi akibat asfiksia dapat
menyebabkan masuknya kalsium ke dalam neuron dan
mengakibatkan kerusakan sel dan serta kejang.
2. Nifedipin tab 3x10mg diberikan sudah tepat. Pemberian obat ini
bertujuan sebagai antihipertensi. Antihipertensi direkomendasikan
pada preeklamsia dengan hipertensi berat, atau tekanan darah
sistolik ≥160mmHg atau diastolik ≥110mmHg. Pada kasus
didapatkan tekanan darah pasien 160/110mmHg, sehingga
memenuhi kriteria PNPK POGI 2016 untuk diberikan antihipertensi.
Nifedipin adalah obat golongan ca-chanell blocker yang bekerja
pada otot polos arteriolar dan menyebabkan vasodilatasi dengan
menghambat masuknya kalsium ke dalam sel. Berkurangnya
resistensi perifer akibat pemberian obat ini dapat mengurangi
afterload, sedangkan efeknya pada sirkulasi vena hanya minimal.
Nifedipin selain berperan sebagai vasodilator arteriolar ginjal yang
selektif juga bersifat natriuretik dan dapat meningkatkan produksi
urin.

b. Kedua menentukkan rencana sikap terhadap kehamilannya yang


tergantung pada umur kehamilan.
Sikap terhadap kehamilannya dibagi 2, yaitu :
1. Ekspetatif: Bila umur kehamilan < 37 minggu pada ibu hamil dengan
preeklamsia dan umur kehamilan < 34 minggu pada ibu hamil
dengan preeklamsia berat, artinya: kehamilan dipertahankan selama
mungkin sambil memberikan terapi medikamentosa.
2. Aktif: bila umur kehamilan ≥ 37 minggu pada ibu hamil dengan
preeklamsia dan umur kehamilan ≥34 minggu pada ibu hamil dengan
preeklamsia berat, artinya: kehamilan diakhiri setelah mendapat
terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.
Pada kasus ini sikap terhadap kehamilan awalnya di pilih terapi
ekspetatif dimulai dari terapi stabilisasi 1-3 jam, Inj. MgSO440%
sesuai protokol,nifedipin tab 3 x 10mg. Namun setelah di pantau
pasca terapi stabilisasi indeks gestosis pasien tidak mengalami
kemajuan disertai dengan gejala yang persisten sehingga
direncanakan manajemen aktif yaitu terminasi kehamilan setelah
2 hari pasien diberikan terapi kortikosteroid untuk pematangan
paru.Pada kasus ini kondisi kehamilan pasien sesuai dengan kriteria
terminasi kehamilan pada preeklamsia berat PNPK POGI 2016
yaitu umur kehamilan pasien≥34 minggu, disertai dengan kondisi
maternal berupa primigravida dengan preeklamsia berat disertai
dengan gejala dan tanda hipertensi berat yang tidak berkurang dan
belum ada tanda- tanda inpartu, sehingga disarankan dilakukan
pemilihan terapi berupa terminasi perabdominan.
• Preoperatif
Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dioperasi harus
dilakukan, sehingga dapat mengetahui adanya kelainan di luar
kelainan yang akan di operasi, dapat menentukan jenis operasi yang
akan digunakan, dapat mengetahui kelainan yang berhubungan
dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi
obat, penggunaan gigi palsu. Selain itu, dengan mengetahui
keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan
cara anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan
preoperasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas
dan salah operasi. Evaluasi harus dilengkapi dengan klasifikasi status
fisik pasien berdasarkan skala The American Society of
Anaesteshesiologist (ASA) yaitu:
a. Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia,
atau psikiatri.
b. Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang, tanpa keterbatasan aktivitas sehari-hari.
c. Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang
membatasi aktivitas normal.
d. Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam
nyawa dan memerlukan terapi intensif, dengan
keterbatasan serius pada aktivitas sehari-hari.
e. Kelas V : Pasien sekarat yang akan meninggal dalam 24 jam,
dengan atau tanpa pembedahan
Pada kasus ini pasien dikategorikan dengan status fisik ASA II
dengan kelainan sistemik yang dimilikinya saat ini berupa
hipertensi yang merupakan penyakit sistemik yang tidak
mengakibatkan keterbatasan fisik sehari-hari. Riwayat penyakit yang
dimiliki pasien sekarang memerlukan tindakan pembedahan segera
untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas.
Kunjungan pada pasien dengan rencana operasi harus dimulai
dari tindakan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis bisa dimulai dengan menanyakan adakah
riwayat alergi terhadap makanan dan obat-obatan, riwayat DM,
riwayat asma, riwayat hipertensi, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, juga riwayat operasi dan anestesi
sebelumnya yang bisa menunjukkan bila ada komplikasi anestesi.
Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk
mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum
terdiagnosa.
Pemeriksaan fisik dan anamnesis melengkapi satu sama
lain. Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien yang sehat dan
asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah,
heart rate, respirasi, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-
paru, neurologis, dan sistem muskuloskeletal.Pentingnya
pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan.Pemeriksaan gigi
geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan
kaku sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam
melakukan intubasi.
Pemeriksaan penunjang laboratorium rutin seperti pemeriksaan
kadar hematokrit, hemoglobin, leukosit, trombosit, urinalisis, ureum,
kreatinin, EKG, dan foto polos thoraks pada pasien.
Hal penting lainnya pada kunjungan pre operasi adalah
informed concent informed concent yang tertulis mempunyai aspek
medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam
proses inform consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan
informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan
resikonya. Tujuan kunjungan pre operasi bukan hanya untuk
mengumpulkan informasi yang penting dan informed concent, tetapi
juga membantu membentuk hubungan dokter-pasien. Bahkan pada
interview yang dilakukan secara empatis dan menjawab pertanyaan
penting serta membiarkan pasien tahu tentang harapan operasi
menunjukkan hal tersebut setidaknya dapat membantu mengurangi
7
kecemasan yang dirasakan pasien. Pada pasien ini persetujuan
tindakan kedokteran yang akan dilakukan sudah dilengkapi yang
terdiri dari SIO tindakan pembedahan maupun SIO tindakan
dilakukan pembiusan atau anastesi. Pasien dan keluarga juga
telah mendapat penjelasan secara rincin tentang rencana
penatalaksanaan yang akan dilakukan dengan segala risiko yang ada.
Mallampati score adalah suatu klasifikasi untuk menilai
tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah
dijulurkan maksimal, terdiri dari 4 gradasi8 yaitu :

Gradasi Pilar faring Uvula Palatum molle


1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -

Mallapati score penting untuk diketahui sebagai pertimbangan


jika akan dilakukan tindakan intubasi dengan segala pertimbangan.
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
bangun dari anesthesia diantaranya yaitu:
a. Meredakan kecemasan dan ketakutan
b. Memperlancar induksi anesthesia
c. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat anestetik
e. Mengurangi mual muntah pasca bedah
f. Mengurangi efek yang membahayakan
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita
hipertensi. Premedikasi yang diberikan pada pasien ini adalah
ondancetron 4 mg, dengan tujuan mengurangi salah satu risiko dari
teknik anastesi regional yang dipilih yaitu mual maupun muntah.
• Durante Operatif

• Induksi Anestesi (Anestesi Regional)


a. anestesi regional:
 Jika nyawa penderita dalam bahaya karena kehilangan
kesadarannya, seperti pada pasien yang mengalami
sumbatan pernapasan atau infeksi paru
 Kedaruratan karena tidak ada waktu untuk
mengurangi bahaya anestesi umum, seperti partus obstetrik
operatif, kasus diabetes, lambung penuh dan pasien yang
mengalami perdarahan yang lama
 Menghindari bahaya pemberian obat anestesi umum
seperti pada pasien gagal ginjal dan hepar
 Prosedur yang membutuhkan kerjasama dengan
penderita seperti perbaikan tendo serta pemeriksaan gerakan
faring
 Lesi superfisialis permukaan tubuh
b. Kontraindikasi anestesi regional:
 Hipersensitivitas terhadap obat analgesi

 Kurangnya tenaga terampil

 Kurangnya prasarana resusitasi

 Infeksi lokal dan iskemia pada tempat suntikan


 Pembentukan sikatriks
c. Obat anestesi:
1. Bupivacain (buvanes)
 Dosis 2 mg/Kg berat badan
 Indikasi : blok hantaran pada durasi lama atau anestesi
subarachnoid
 Kontraindikasi: pasien dengan hipotensi, pasien syok
 Efek samping: kelelahan,pandangan kabur, hipotensi,
gangguan saluran pencernaan, bradikardia
 Onset kerja: 5–10 menit
 1
Durasi kerja: 75–150 menit.
 Mekanisme kerja: semakin kecil ukuran partikel dan
tinggi kelarutan lemaknya, semakin cepat kerja suatu
obat. Bupivakain adalah obat anestesi lokal golongan
amida. Obat ini bekerja menempel pada kanal natrium
serabut saraf dan memblokade kanal tersebut. Hal ini
berakibat meningkatkan nilai ambang eksitasi dan
menghambat potensial aksi terjadi. Hambatan potensial
aksi dari serabut saraf inilah yang mampu menyekat
saraf dan membuat hilangnya semua sensasi pada
daerah yang dipersarafi saraf tersebut.

 Monitoring Anastesi

Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode


intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan
9,11
hipertensi pada periode preoperatif. Selama operasi diberikan
3 colf infuse yang terdiri dari 2 kolf cairan RL dan 1 kolf cairan
gelofusal yang masing - masing adalah 500 cc dan dilanjutkan
dengan pemberian cairan RL di ruangan perawatan, dikarenakan
untuk mengganti kebutuhan cairan karena puasa selama 6 jam dan
stress operasi. Dengan perhitungan kebutuhan cairannya adalah
sebagai berikut :
Perhitungan Terapi Cairan
 Cairan pengganti puasa : 6 jam x 2 ml/kg jam x 70 kg = 840 cc
 Maintenance : 2 ml x 70 kg = 140 cc
 Stress operasi : 6 x 70kg x 1 = 420 cc
 EBV : 65 x 70 kg = 4.550 cc

Selama operasi cairan urin yang keluar berjumlah 500 ml


(produksi urin normal minimal 0,5 – 1 ml/KgBB/jam). Pada kasus,
selama operasi terjadi perdarahan sebesar 600 ml, perdarahan penting
dinilai karena jika perdarahan >20% Estimated Blood Volume merupakan
salah satu indikasi transfuse darah. EBV = 4.550 dengan persentase
600ml/4550 ml x 100% = 13,18% (< 20%).
± 600 ml perdarahan dapat digantikan dengan 3 x
kristaloid. Jadi perdarahan tersebut dapat digantikan dengan 3 kolf RL.
Pada pasien selama operasi diberikan 2 kolf larutan RL dan 1 kolf
larutan koloid gelofusal. Selama operasi pasien juga diberikan drip
oxitocin 2 ampul dan injeksi metergin 1 ampul untuk memperbaiki
kontraksi uterus.

• Post Operatif
Pulih dari anestesi umum atau regional secara rutin dikelola di
kamar pulih atau unit perawatan pasca anestesi. Idealnya dapat
bangun dari anesthesia secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus.
Kenyataannya sering dijumpai hal – hal yang tidak menyenangkan
akibat stress pasca operasi atau pasca anesthesia yang berupa
gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan,
5
mual –muntah, menggigil dan kadang – kadang perdarahan.

Selama di unit perawatan pasca anestesi pasien dinilai tingkat pilih


– sadarnya untuk kriteria pemindahan ke ruang perawatan
biasa. Obat Postoperasi yang diberikan yaitu Novaldo (Metamizole)
2 ampul drip dalam RL 500 cc dengan alderete score adalah 9 dan
pasien layak untuk dipindahkan ke ruangan biasa.

Aldrete scoring
KESADARAN 2. sadar, orientasi baik

1. dapat dibangunkan

0. tidak dapat dibangunkan

WARNA KULIT 2. Merah muda, tanpa oksigen


saturasi 92%
1. pucat atau kehitaman, perlu
oksigen agar saturasi 90%
0. sianosis
2.
4 ekstremitas bergerak
AKTIVITAS
1. 2 ekstremitas bergerak
0. tidak ada ekstremitas bergerak
RESPIRASI 2. dapat nafas dalam, batuk
1. Nafas dangkal, sesak nafas
0. apnoe atau obstruksi
KARDIOVASKULER 2. tekanan darah beruba20%
1. berubah 20 – 30%
0. berubah ≥ 50%
Keterangan :
- 9-10 pindah dari unit perawatan pasca anestesi
- 7-8 Pindah ke ruangan
- 5-6 Pindah ke ICU
BAB V
KESIMPULAN

4.1 Simpulan
1. Tatalaksana anestesi pasien dengan ASA II pada kasus ini yang
meliputi tatalaksana jalan napas, pemilihan dan dosis obat anestesi,
terapi cairan dan terapi nyeri sudah tepat.
2. Pasien bedah dengan aldrete score 9 setelah 2 jam dirawat
ditransportasikan ke ruang perawatan biasa di ruang khusus kebidanan
untuk pemulihan
4.2 Saran
Perlu memperhatikan dan mempertimbangkan pemilihan terapi analgetik
pada pasien setelah menjalankan operasi.
DAFTAR PUSTAKA

1 Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. 2016. Diagnosis dan Tata


Laksana Pre-Eklamsia. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia. Himpunan Kedokteran Feto Maternal.
2 ACOG, 2013. Hypertensi in pregnancy.
3 Cunningham, FG. Leveno, KJ. Bloom, SL. Spong, CY. Dashe, JS. Hoffman,
BL. Casey, BM. Sheffield, JS. Williams Obstetrics Edition 24, 2014
4 Norwitz ER,Dong Shu C, Repke JP, Acute complications of preeclampsia
in Clinical Obstetric and Gynecology : Lippincott Williams & Wilkins. Inc;
vol 45;number 2.308-329:2002
5 Wiknjosastro H, Sumpraja S, Saifuddin AB. Ilmu kebidanan. Edisi kedua.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1986: 7, 480-487, 476-477.
Jakarta
nd
6 Arias F. Partical guide to high-risk pregnancy and delivery. 2 ed. Missouri
: Mosby Year Book inc., 1993; 433-440
7 Cavanagh D, Knuppel RA, O‟Connor TCF. Preeclampsia and eclampsia
In: Cavanagh D, Woods RE, O‟Connor TCF, Knuppel RA. Obstetric
emergencies. Philadelphia: Harper and Row publisher, 1982; 107-132
8 Walker JJ, Dekker GA. The etiology and pathophysiology of hypertension
in pregnancy. In: Walker JJ, Gant NF. Hypertension in pregnancy. London:
Chapman & Hall Medical, 1997: 47-48
9 Sibai BM. Magnesium sulfate is the ideal anticonvulsant in preeclampsia-
eclampsia. Am J Obstet Gynecol, 1990; 162:1141-5
10 Sheehan JL, Lynch JB. Pathology of preeclampsia in pregnancy. Baltimore
(MD): Williams and Wilkins; 1973.
11 Spinal Anesthesia: Subarachnoid Block.Editor Lee A. Fleisher. 2008.
Diunduh 15 Oktober 2020. Available from:
http://www.proceduresconsult.com/medical-procedures/spinal-anesthesia-
subarachnoid-block-AN-procedure.aspx.
12 Mangku Gde, Senapathi Agung Gde Tjokorda. Buku Ajar Ilmu Anestesia
dan Reanimasi, Indeks Jakarta: Jakarta. 2010
13 Latief, Said. A. Suryadi, Kartini. A. Dachlan, M. Ruswan. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran UI: Jakarta.2010

Anda mungkin juga menyukai