A. Gagasan Judicial Review dan Kelembagaan Mahkamah
Konstitusi
Sejarah judicial review pertama kali timbul dalam praktik hukum di
Amerika Serikat melalui putusan Supreme Court Amerika Serikat dalam perkara “Marbury Vs Madison” tahun 1803. Meskipun ketentuan judicial review tidak tercantum dalam Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, Supreme Court Amerika Serikat membuat sebuah putusan yang ditulis John Marshall dan didukung 4 Hakim Agung lainnya yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Dalam perkara tersebut, ketentuan yang memberikan kewenangan Supreme Court untuk mengeluarkan writ of mandamus pada Pasal 13 Judiciary Act dianggap melebihi kewenangan yang diberikan konstitusi, sehingga Supreme Court menyatakan hal itu bertentangan dengan konstitusi sebagai the supreme of the land. Namun, di sisi lain juga dinyatakan bahwa William Marbury sesuai hukum berhak atas surat-surat pengangkatannya. Keberanian John Marshall dalam kasus “Marbury Vs Madison” untuk berijtihad menjadi preseden baru dalam sejarah Amerika dan pengaruhnya meluas dalam pemikiran dan praktik hukum di banyak negara. Sejak saat itu telah banyak undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme Court. Lain halnya dengan judicial review, keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri secara teoritis baru diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut tidak konstitusional. Untuk kepentingan tersebut, dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut MK(Constitutional Court), atau pengawasan konstitusionalitas undang-undang (judicial review) dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa, khususnya Mahkamah Agung (MA). Organ khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ lain. Sedangkan jika pengadilan biasa yang memiliki kompetensi menguji konstitusionalitas undang-undang, hal itu dilakukan dalam bentuk menolak untuk menerapkannya pada kasus kongkrit saat menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak konstitusional, sedangkan organ lain tetap diwajibkan menerapkannya. Di Austria, Pemikiran Kelsen itu mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau MK (Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sering disebut The Kelsenian Model. Gagasan ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919–1920 dan diterima dalam Konstitusi Tahun 1920. Inilah MK pertama di dunia. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament). Walaupun demikian, keberadaan lembaga MK secara umum merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Sebagian besar negara hukum demokrasi yang sudah mapan tidak mengenal lembaga MK yang berdiri sendiri terpisah dengan MA (Supreme Court of Justice). Akan tetapi dilaksanakan oleh kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung). Negara-negara yang membentuk MK tersendiri ini pada umumnya adalah negara-negara yang mengalami perubahan dari negara yang otoritarian menjadi negara demokrasi termasuk Indonesia. Ide Hans Kelsen mengenai pengujian undang-undang di atas sejalan dengan gagasan yang pernah dikemukakan Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Ia mengusulkan seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk “membanding” undang-undang. Namun usulan Muhammad Yamin ini disanggah oleh Soepomo dengan alasan bahwa: (i) konsep dasar yang dianut dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power); selain itu, (ii) tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang- undang; (iii) kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat; dan (iv) sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review. Akhirnya, ide pengujian konstitusionalitas undang-undang yang diusulkan oleh Yamin tersebut tidak diadopsi dalam UUD 1945.
B. Kedudukan , Fungsi, dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Kedudukan Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga yang berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara. Dengan demikian, kedudukan Mahkamah Konstitusi sejajar dengan MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK dan Mahkamah Agung (MA). Sebagai lembaga baru, MK merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, disamping MA. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan tata negara (Constitutional Court) yang kewenangannya diatur dalam Pasal 24C UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Fungsi Serta Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Sebagai lembaga baru, MK merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, disamping MA. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan tata negara (Constitutional Court) yang kewenangannya diatur dalam Pasal 24C UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , SBB ; 1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final untuk menguji ungang-undang terhadap Undang-Undang Dasar ( Pasal 24C ayat (1)) Kewenangan ini yag kemudian disebut dengan kewenangan pengujian terhadap undang-undang (Judicial Review). 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD ( Pasal 24C ayat (1)). Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, dan Komisi Yudisial 3. Memutus pembubaran Partai Politik ( Pasal 24C ayat (1)) 4. Memutus perselisihan hasil Pemilihan Umum ( Pasal 24C ayat (1)) 5. Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD ( Pasal 24C ayat (2)) Dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD adalah pelanggaran hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7B ayat (1) yaitu berupa: penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,tindak pidana berat lainya, atau perbuatan tercela. 6. Memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 7B ayat (1)
C. Sususan Hakim Konstitusi
Menurut Pasal 4 UU No 7 Tahun 2020 , Susunan Hakim Konstitusi , SBB ; (1) Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan)orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (2) Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi. (3) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. (3a) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk 1 (satu) kali masa jabatan. (4) Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat tiga (3) terpilih, rapat pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua.