Anda di halaman 1dari 3

II.

2 Jenis – Jenis Uji Toksisitas

II.2.1. Uji Toksisitas Akut

Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk menetapkan potensi toksisitas akut LD50,
menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik, dan mekanisme kematian (Depkes, 2000).
Tujuan uji toksisitas akut adalah untuk mendeteksi adanya toksisitas suatu zat, menentukan
organ sasaran dan kepekaannya, memperoleh data bahayanya setelah pemberian suatu
senyawa secara akut dan untuk memperoleh informasi awal yang dapat digunakan untuk
menetapkan tingkat dosis yang diperlukan untuk uji toksisitas selanjutnya (Soeksmanto, dkk.
2010)
Metode kerja uji toksisitas akut antara lain (Soeksmanto, dkk. 2010) :
1. Disiapkan 40 ekor mencit (Mus musculus) dari strain balb/c jantan berumur sekitar 2 bulan
dengan berat ± 16 g
2. Kemudian ditempatkan mencit tersebut dalam 4 buah plastic dengan pemberian pakan dan
minum secara ad libitum.
3. Kepada mencit tersebut diberikan 3 tingkatan perlakuan dosis ekstrak yang di pakai, untuk
kelompok kontrol diberikan akuades4. Dilakukan pengamatan kerusakan pada hari ke 5, 12, 19
dan 26.
II.2.2 Uji Toksisitas Kronik
Uji toksisitas kronik pada tujuannya sama dengan uji toksisitas sub akut, tapi pengujianini
dilakukan selama 6 bulan pada hewan rodent (pengerat) dan non-rodent (bukan hewan
pengerat). Uji ini dilakukan apabila obat itu nantinya diproyeksikan akan digunakan dalam
jangka waktu yang ckup panjang (Murtini, 2007)
Adapun metode kerja uji toksisitas kronik adalah sebagai berikut (Wahyuningsihm, dkk. 2016) :
1. Digunakan 25 ekor mencit betina dewasa strain Balb/C, berumur 8-10 minggu dengan berat
badan berkisar 25-30 gr.

2. Hewan coba dikelompokkan menjadi 5 kelompok dengan 5 replikasi.


3. Kemudian hewan coba diberikan polisakarida krestin dari ekstrak yang digunakan selama 4
bulan secara oral dengan perbedaan dosis.
4. Setelah perlakukan selesai, hewan coba dibedah untuk diambil organ ginjalnya
5. Dibuat ginjal dengan sediaan histologi dengan metode paraffin

6. Diambil darah secara intracardiac untuk dilakukan isolasi secara serum.


7. Kemudian serum diukur kadar kreatinin dengan menggunakan metode Jaffe reaction.
8. Sediaan ginjal diamati daerah korteks dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran
400x.
9. Pengamatan Histologi ginjal dilakukan dengan menghitung jumlah sel tubulus yang normal
atau tidak normal (mengalami pembengkakan dan nekrosis)
II.2.3 Uji Toksisitas Subkronik

Uji toksisitas subkronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis
berulang pada hewan uji tertentu, selama 1 sampai 3 bulan. Pada uji toksisitas subkronik yang
diperhatikan adalah pengamatan pada fungsi organ seperti hati dan ginjal setelah pemberian
selama 60 hari (Huang, et all. 2010)
Metode kerja dari uji toksisitas subkronik antara lain (Wahyuni, dkk. 2017) :

1. Digunakan hewan coba mencit putih jantan yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan 20-
30 gram sebanyak 25 ekor.
2. Hewan coba dibagi kedalam 4 kelompok yang terdiri dari 3 kelompok uji dan 1 kelompok
kontrol.
3. Digunakan dosis sesuai dengan penelitian sebelumnya
4. Sediaan uji diberikan secara oral dengan frekuensi pemberian 1 kali sehari selama 60 hari

5. Kemudian di cek kreatinin serum, SGPT dilakukan pada hari ke-31 dan ke-61 serta diambil
organ hati dan ginjal untuk menentukan rasio berat organ.

II.2.4 Uji Toksisitas Khusus


Uji toksisitas khusus terbagi menjadi tiga antara lain Uji teratogenik, uji mutagenik dan uji
karsiogenik (Priyanto, 2009).Uji teratogenik adalah suatu pengujian untuk memperoleh
informasi adanya abnormalitas fetus yang terjadi karena pemberian suatu zat dalam masa
perkembangan embrio (Priyanto, 2009). Prinsip pengujian ini senyawa uji dalam beberapa
tingkat dosis diberikan kepada beberapa kelompok hewan hamil selama paling sedikit masa
organogenesis dari kehamilan, satu dosis untuk satu kelompok. Sesaat sebelum waktu
melahirkan, uterus diambil dan dilakukan evaluasi terhadap fetus (OECD, 2008).
Adapun metode kerja dari uji keratogenik antara lain (Ifora, dkk. 2015):
1. Dipilih hewan uji mencit putih betina sebanyak 20 ekor dan 4 ekor mencit putih jantan dan
dibagi menjadi 4 kelompok percobaan’
2. Pada masa estrus hewan dikawinkan dengan perbandingan jantandan betina 1: 5. Mencit
jantan dimasukkan kekandang mencit betina pada pukul empat sore dan dipisahkan lagi besok
paginya. Pada pagi harinya dilakukan pemeriksaan sumbat vagina. Sumbat vagina menandakan
mencit telah mengalami kopulasi dan berada hari kehamilan ke-0. Mencit yang telah hamil
dipisahkan dan yang belum kawin dicampur kembali dengan mencit jantan
3. Sediaan uji diberikan dengan jarumsonde secara peroral selama 10 hari berturut-turut mulai
hari ke-6 sampai hari ke-15 kehamilan, tanpa mempuasakan hewan. Laparaktomi dilakukan
pada hari ke-18 kehamilan. Mencit dibunuh dengan cara dislokasi leher, kemudian lakukan
laparaktomi untuk mengeluarkan fetus mencit, amati apakah terdapat tapak resorpsi, jumlah
fetus, fetus yang masih hidup dan fetus yang telah mati. Setelah itu fetus dikeringkan dengan
tisu, berat masing – masing fetus ditimbang untuk mengetahui berat rata–rata kelahiran

4. Kemudian sebagian fetus direndam dengan larutan Bouin’s amati ada tidaknya kelainan
secara visual misalnya ekor, daun telinga, kelopak mata, jumlah jari kaki depan dan belakang,
sisanya direndam dengan larutan alizarin merah digunakan untuk mewarnai skeletal dan
pertulangan mencit, amati ada tidaknya kelainan tulang.

Anda mungkin juga menyukai